Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Eksotika yang Ajeg

Eksotika yang Ajeg
(Jejak Kuasa dalam Politik Kebudayaan)[1]

I Ngurah Suryawan


Kekuasaan dan pengetahun secara langsung saling menyatakan satu dengan yang lain…tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan…Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang (dihargai) sebagai akibat dari impilkasi-implikasi fundamental pengetahuan/kekuasaan dan transformasi-transformasi histories mereka”. Dengan kata lain, kekuasaan dan pengetahuan saling mengandaikan atau saling bertautan erat.
(Michel Foucault)


Dalam sebuah essaynya, Degung Santikarma (2004) mengungkapkan bahwa definisi kebudayaan bagi orang Bali adalah sebuah objek yang kongkrit, yang mempunyai kesimpulan, esensi, dan wujud yang jelas. Oleh karena itulah maka harus dipertahankan, dijaga, dan dilestarikan. Kebudayaan yang telah tereduksi menjadi benda dibayangkan sebagai hak milik yang bersifat eksklusif. Sebagai pemilik budaya, orang Bali secara otomatis dipercaya menghormati nilai kebudayaan mereka tanpa pertanyaa, tanpa sanggahan, atau kritik.
“Harta” kebudayaan yang diwariskan hingga kini sebenarnya adalah sebuah bentukan, sebuah rekayasa dengan campur tangan kekuasaan, ceceran darah serta lenyapnya nyawa manusia Bali. Eksotika Bali sebagai “Sorga Dunia” tidaklah ada begitu saja, tapi “diadakan” oleh berbagai kepentingan dan relasi kuasa yang berkepentingan pada Bali. Beberapa kawan yang kritis terhadap Bali dan para sarjana asing yang membongkar “sorga rekayasa”— meminjam karya mengesankan Adrian Vickers (1989)—sadar, proyek “puja-puji” dan perekayasaan Bali menghadirkan “kebenaran citra” yang kemudian dibekukan dan diwariskan. Konstruksi pembentukan Bali dianggap ilmiah, dan jika perlu diilmiahkan dengan berbagai cara. Ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa semuanya adalah warisan leluhur yang diterima sebagai wahyu dan harus dilestarikan.
Dalam proyek “pelestarian budaya” inilah tersimpan selubung relasi pengetahuan dan kekuasaan. Karena praktik kekuasaan tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah kekerasan fisik, tapi lebih membujuk, tanpa sadar yang tersebar produktif, diantaranya lewat pengetahuan, konstruksi citra, warisan, dan gerakan kebudayaan.
Michel Foucault (2003) menguraikan, melihat kekuasaan sebagai penindasan, pembatas atau larangan tidak memadai lagi. Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran...Pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan. Melihat kekuasaan sebagai penindasan, pembatas atau larangan tidak memadai lagi. Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran...Pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan. (Medan Sarup, 2003: 124-128).
Bagi Foucault kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus menerus. Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah: kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominant, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi. Dengan demikian kekuasaan tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang, dalam suatu institusi tertentu, atau melekat pada aparat negara. Kekuasaan itu ada dimana-mana menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat. (Haryatmoko, 2002: 8-21)
Dalam konteks Bali untuk membongkaran warisan colonial, metode yang diungkapkan Foucault tentu sangat penting untuk dipraktikkan. Dan jangan dilupakan juga bahwa kesadaran membongkar warisan colonial ini berdasar pada arus pemikiran pascakolonial dari gerakan perumusan identitas diri dan ekspresi ketertindasan dari negara-negara bekas koloni (jajahan).
Mariana Amirudin (tanpa tahun) mengungkapkan salah arti penting studi postcolonial adalah menempatkan paradigma penggugatan berbagai macam konstruksi dan relasi kuasa yang terjadi dalam selubung-selubung penjajahan, warisannya serta pelanggengan warisan tersebut oleh masyarakat koloni. Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi colonial yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Postkolonial lemudian membongkar (dekonstruksi) kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan.
Bagi sejumlah teoritikus postkolonial, usaha mendekonstruksi, menelanjangi ideology dan asumsi yang terselubung dibalik wacana yang dominant, masih dirasakan perlu. Sumbangan Edward Said dalam Orientalisme (2001) sangat penting untuk diajukan. Said bertolak dari konsep awal Foucault yang mencakup bukan hanya teks verbal, tetapi akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan.(Melani Budianta, 1994)
Edward Said bisa disebutkan menjadi tonggak awal dari kelahiran studi-studi postcolonial. Tesis utama buku yang menggunakan pendekatan Michel Foucault tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan adalah bahwa studi-studi ilmiah Barat mengenai Timur (Orientalisme) tidaklah terutama didorong oleh kepentingan pengetahuan, melainkan kepentingan penguasaan (Mudji Soetrisno dan Hendar Putranto, 2004: 155-171)
Mariana Amirudin (tanpa tahun) mengungkapkan Edward Said dalam ide postcolonial melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan’ dengan paradigma orientalisnya di tahun 1978. Timur adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan oleh Barat. Said menguliti orientalisme sevagai wacana ilmiah yang didorong oleh motif-motof kekuasaan yang amat buas (kolonialisme). Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari “negeri terjajah”, maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang terjajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Ini semakin menunjukkan bahwa postkolonialisme selain satu nafas dengan feminisme, ia juga bersanding dengan postmodernisme. (Mariana Amiruddin, tanpa tahun)
Oleh Frantz Fanon, seorang tokoh postcolonial, mengemukankan gagasannya bahwa kolonialisme sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebagai benda. Warna kulit hitam, cokelat atau kuning menunjukkan bahwa rakyat terjajah itu bukan hanya mereka yang kerjanya dirampas, tetapi juga mereka yang dalam jiwanya diciptakan kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya local mereka. Kompleksitas inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat koloni (Mudji Soetrisno dan Hendra Putranto, 2004; Frantz Fanon, 2000). Maka studi-studi pascakolonial diantaranya menaruh perhatian pada tema-tema kolonialisme dan imperialisme, wacana, oposisi biner, gender dan feminisme serta ideology dan identitas untuk menyebut sedikit contoh.
Sebagai sebuah wacana sisipan dari Buku Ibe Darmadi, artikel ini berusaha untuk menelusuri dan membongkar praktik kekuasaan dengan mendasarkan argumen dari analisis tentang opresifnya kuasa dan pengetahuan dari Foucault menganalisis konstrusi citra Bali. Untuk membongkar praktik-praktik pewarisan kuasa rezim colonial Belanda, artikel ini mendasarkan pada pemikiran postkolonial untuk membongkar praktik dan warisan kuasa rezim colonial yang masih terselubung dalam politik kebudayaan Bali kini.

***

Genealogi penaklukan dan kekerasan rezim colonial terhadap Bali disertai dengan penaklukan budaya yang kemudian langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideology konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi. (Picard, 2006; Jean Cotteau, 2002). Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun image Bali. Salah satunya adalah pesanan dari jaringan rezim kolonial atas karya-karya seni Bali yang dianggap eksotik, asli dari dunia timur yang “asing”, “mistis” dan sorga bagi warga dunia di barat. Pandangan orientalis ini menjadi pondasi berubahnya citra terhadap Bali. Landasan sosial religius seni lukis Bali lama tergerus dengan pesanan karya-karya yang mereproduksi eksotika Bali dalam lukisan pewayangan dan citra akan dunia pewayangan dan “mistik” seperti bayangan para pelancong dan rezim kolonial.
Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya, berlangsung menjadi landasan praktek kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengekspolitasi Bali.
Proyek perombakan budaya dan pentradisian Bali itu terkenal dengan nama Baliseering (Balinisasi). Menurut pihak Belanda, orang Bali harus berbusana “Bali”; teknik-teknik konstruksi modern, tak peduli betaapapun praktis atau menariknya bagi para pemakainya, ditetapkan sebagai “buruk” secara estetis, dan karena itu harus dihindari.
Bahasa Bali digalakkan, dan pengawasan ketat terhadap kode-kode statusnya dikuatkan sebagai hukum adat. Dalam konteks “pencerahan” udaya Bali yang disponsori oleh rezim kolonial, pemakaian celana panjang oleh laki-laki atau kebaya oleh perempuan menjadi tindakan yang subversif. Yang diutamakan adalah pencarian “keaslian” dan “ketradisionalan” Bali yang kemudian tunduk dibawah pengawasan, ketertiban, dan keharmonisan yang dijaga oleh rezim kolonial Belanda.
Citra “keseimbangan” dan “harmoni” diciptakan oleh serangkaian relasi kuasa kolonial, yang melibatkan produksi bahasa, tingkah laku, dan citra yang tanpa sadar menjadi cikal bakal terbentuknya Bali hingga kini. Citra eksotika Bali muncul beriringan dengan dengan konstruksi “pentradisian” Bali tersebut, yang kemudian berimbas pada bidang kesenian, terutama munculnya lukisan realis yang mengeksploitasi eksotika Bali di tahun 1950-an.
Bagi pandangan eksotika kolonialis ini, “keseimbangan”, “harmoni”, “tatanan”, dan “kebahagian” terkandung dalam budaya dan organisasi social di Bali. Tanda-tanda ketegangan atau disharmoni—“kegilaan” penari yang kesurupan atau fenomena “kalap”—pada hakikatnya dipahami sebagai mekanisme yang berfungsi integrative dari sebuah masyarakat “tradisoonal” yang “teratur”. Tema-tema tersebut menjadi sokoguru citra eksotik tentang Bali. (Robinson, 2006: 9).

***

Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.(Gde Pitana, 1999: 19-20)
Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan Bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali.
Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa di setiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat program-program pemerintah, ataupun lewat agency manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga. Karena itulah ehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik. (Degung Santikarma, tanpa tahun)
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.
Begitulah pentas politik kebudayaan Bali diciptakan oleh rezim kekuasaan. Depolitisasi, harmonisasi, dan penyeragaman dilakukan untuk membentuk “manusia Indonesia seutuhnya“ dan manusia Bali berguna dan berdaya untuk pariwisata. Harmonisasi dan keamanan adalah persyaratan mutlak bagi daerah destinasi pariwisata seperti Bali. Karena Bali harus aman, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan. Dari itulah lahirnya manusia-manusia Orde Baru yang etno-nasionalis, konservative, fundamentalis, dan yang terpenting apolitis. Hal ini diwujudkan dengan semakin menguatnya politik etnis seiring berjalannya pariwisata. Wacana kapitalistik dan industrial seperti pariwisata melahirkan wacana hak milik kebudayaan bagi masyarakat Bali.
Politik identitas “pariwisata budaya Bali”, yang diikuti dengan penguatan identitas etnis, menyertai perkembangan pariwisata. Pariwisata, kebudayaan, dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Karena hanya itulah yang menjadi senjata sakti dan “jualan” dari “pariwisata budaya” di Bali. Ini diwujudkan dengan klaim dan citra, “budaya Balilah yang eksotik dan asli”
Politik puja-puji terhadap Bali juga mewarnai bagaimana strategi Orde Baru untuk menaklukkan seni dan kebudayaan di Bali. Politik pujian ini dimulai dari rezim kolonial dalam membentuk citra dan budaya Bali. Istilah setiap orang Bali adalah seniman”, “manusia Bali mencintai kedamaian”, dan “Bali adalah pusat kreatifitas Indonesia” dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai investasi untuk menyedot datangnya dollar dalam bentuk “pariwisata budaya”. Gambaran etnografi yang dibuat oleh orang luar ini pun terus dihembus-hembuskan dan dijadikan suatu sertifkat bukti diri dan kebanggaan ke-Bali-an mereka. Degung Santikarma menuliskan:

Bagi beberapa orang yang diuntungkan oleh kucuran dollar industri pariwisata, gambar ini bukan lagi sebuah bikinan tetapi sebuah gambaran keramat yang tidak boleh diutak-atik. Gambaran ini bahkan perlu dijaga oleh barisan pecalangan (satpam desa adat). Gambaran ini tidak boleh dikritik karena telah dia telah terbukti sebagai modal yang telah mendatngkan banyak devisa. Sekalipun begitu panjang perjalanan sejarah seni di Bali, cikal bakal sejarahnya dicoba untuk dihapus dari gambaran tersebut untuk menunjukkan seni bali sebagai ekspresi otentisitas etnis mereka.(Degung Santikarma, 2003).
***

Operasi ideology “pariwisata budaya” yang memanfaatkan keaslian identitas ke-Bali-an direproduksi oleh gerakan kebudayaan Ajeg Bali pasca Bom Bali 2002 dan 2005. Jika Terminologi Ajeg Bali, seperti yang diungkapkan Degung Santikarma berasal dari bahasa Bali biasa yang mempunyai arti “kokoh, tegak, tegar, kekal, kencang, kuat, dan stabil”.

Merunut pemikiran yang ada dalam wacana Ajeg Bali, walaupun Bali mengalami guncangan ledakan bom yang dahsyat, kebudayaan Bali tetap berwibawa , tak tergoyahkan, berdiri tegak, kokoh dan tegar. (Degung Santikarma, 2003).


Dengan bahasa Ajeg Bali yang berasal dari bahasa local yang biasa, Degung melihat tersimpan maksud untuk mempromosikan diri sebagai wacana populis untuk membayang-bayangi otoritas elite tradisional, yaitu kaum Brahmana, aristokrasi, dan kekuasaan negara yang memakai bahasa Sansekerta sebagai tanda legitimasi atas peradaban seperti dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Panca Dharma Wanita, dan Sapta Pesona.
Namun di balik bahasa akrab Ajeg Bali tersembunyi ketidaksetaraan gender dan keperkasaan. Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Melalui program “Bali Lestari”, pemerintah Orde Baru meneruskan cita-cita sang penjajah yang sama-sama melihat kebudayaan Bali sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” yang harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya.(Degung Santikarma, 2003). Tapi pasca lengsernya rezim Orde Baru, wacana politik kebudayaan Ajeg Bali bergeser dari arah wanita cantik ke lelaki berotot dan bertubuh kekar dengan semboyan Nindihin Bali, yang siap menjaga Bali dari ancaman pihak-pihak luar yang ingin merusak dan merongrong kebudayaan Bali yang adiluhung.
Munculnya slogan Ajeg Bali mulai riak-riak terdengar setelah Bom Bali Oktober 2002 berdentum di Legian, Kuta. Dari mulai pencalonan Gubernur, penguatan kebudayaan manusia Bali untuk melawan globalisasi, agenda setting Bali kedepan, penguatan basis ekonomi manusia Bali, wacana Ajeg Bali terasa simpang siur pasca Bom Bali Oktober 2002. Hingga tanggal 16 Agustus 2003, setelah harian Bali Post menerbitkan edisi khusus ulang tahun yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita” (2004).
Ternyata Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran. Pada tataran individu, Ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri cultural (cultural confidence), sifatnya kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisik semata. Pada tataran lingkungan cultural, Ajeg Bali dimaknai sebagai terciptanya sebuah ruang hidup budaya Bali yang besifat inklusif, multicultural dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Pada tataran proses cultural, diartikan sebagai interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai cultural dan kearifan local serta memiliki kesadaran ruang (spatial) serta waktu yang mendalam. (Nyoman Wijaya, 2004: 154-179).
Nyoman Wijaya menunjukkan, juru bicara Ajeg Bali berkeyakinan persoalan yang dihadapi Bali dapat diatasi melalui beberapa langkah: pembaharuan otonomi khusus di daerah tingkat I (propinsi) guna mencegah terjadinya fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar daerah tingkat II; pembaharuan atas berbagai kontrak social dan cultural untuk mencapai jalan tengah baru yang mampu meminimalisasi berbagai otoritas atas ruang budayanya, seperti banjar atau desa adat; dan melakukan perkuatan atas berbagai institusi yang selama ini yang menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar, desa adat, dan pura, baik dengan memberinya peran yang baru maupun dengan memperluas peran yang sudah ada. Selanjutnya adalah dengan melakukan pencanggihan dan pencerdasan atas institusi-institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar dan kliannya (ketua adatnya), serta berbagai warisan budaya manusia Bali, sehingga mampu menghadapi godaan banak atau keganasan modernitas; pembuatan produk-produk legislagi budaya yang bertujuan menjaga eksistensi ruang budaya, ruang religius maupun modal budaya manusia Bali.
Secara tidak langsung, gerakan Ajeg Bali ini, menurut juru bicaranya, terdapat sebuah ancaman yang harus “diwaspadai” untuk menjaga ketahanan budaya Bali. Dengan melihat berbagai lontaran wacana Ajeg Bali, Nyoman Wijaya (2004) mengungkapkan nada bicara dan semangat juru bicara Ajeg Bali menunjukkan tidak jauh berbeda dengan konsep lestari yang di zaman Orde Baru menjadi dictum, pernyataan resmi pemerintah atau bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan. Dari sini lahir berpuluh-puluh proyek pelestarian budaya Bali dan banyak yang mendapat cipratan rejeki darinya.
Tidak lama setelah wacana Ajeg Bali menghangat, diluncurkanlah stasiun televisi swasta Bali TV milik dari jaringan korporasi bisnis media terbesar di Bali yaitu Bali Post. Setelah menyiarkan rangkaian peristiwa Bom Bali di diskotik Sari Club dengan mayat-mayat yang bergelipangan, Bali TV kemudian menyuarakan pentingnya kebersamaan pada semua orang Bali untuk menjaga Bali. Melalui media Bali Post, mengerucutlah sebuah wacana, atau lebih tepatnya sebuah tekad untuk melindungi Bali dari “teroris”, dari para pendatang yang merusak Bali dengan meledakkan bom.
Maka tersemailah bibit-bibit sentimen etnis, kewaspadaan, dalam pendataan penduduk pendatang yang masuk ke Bali. Di tengah kepanikan untuk menjaga Bali itulah muncul angin segar untuk merangkul masyarakat Bali bernama ajakan untuk Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut.
Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.
Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang Ajeg Bali.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).
Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu.
Sebuah majalah Media Hindu dalam edisi “Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali” (2005), dalam satu artikelnya dari Ngakan Made Madrasuta berjudul “Ajeg Bali, Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali” (21 November 2005) secara gamblang mengungkapkan bahwa sumber utama dari budaya Bali adalah agama Hindu. Bila Hindu tidaka ada, budaya Bali seperti sekarang ini tidak akan pernah ada. Maka untuk mewujudkan “Ajeg Bali” terlebih dahulu yang harus diwujudkan adalah “Ajeg Hindu” di Bali.
Mengkristalnya gerakan kebudayaan Ajeg Bali terlihat dari berbagai pernyataan yang menghubungkan antara Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. Majalah Hindu Raditya memulainya dengan tajuk “Ajeg Bali atau Ajeg Hindu”. Putu Setia sebagai pendiri majalah tersebut menulis apapun dikaitkan dengan Ajeg Bali. Ia mencontohkan di daerah Pupuan dibangun masjid baru, di pinggir jalan, besar, dan dalam pengerjaan. Putu Setia (2004) menulis dengan mengutip perkataan kawannya mengungkapkan masjid ini nantinya akan jadi contoh bagaimana tempat suci itu bersih, punya halaman luas. Pokoknya sesuai dengan konsep Ajeg Bali, karena kita hidup di Bali tentu kita sangat mendukung konsep Ajeg Bali”
Putu Setia melanjutkan mereka bicara tentang Ajeg Bali, kata yang begitu popular. Apapun dikaitkan dengan Ajeg Bali. Barangkali umat Kristiani di Dalung, Tuka, Palasari dan tempat-tempat lain juga punya pandangan serupa bahwa mereka sebagai penduduk sah di Pulau Bali akan ikut menjaga dan menegakkan Ajeg Bali. Siapa yang membantah bahwa mereka bukan orang Bali? Karena mereka orang Bali maka adat dan budaya yang mereka pakai adalah adat dan budaya Bali.
Sikap hidup yang sesuai dengan Tri Hitan Karana dijalankan umat lain melebihi apa yang dilakukan oleh umat Hindu. Bahkan hubungan antar sesama manusia, melebihi perilaku orang Bali yang selalu bicara Tri Hita Karana. Umat Kristiani gencar membangun Panti Asuhan, umat Muslim gencar membantu temannya yang berdagang baik di kaki lima maupun di pertokoan (ditambah bantuan perbankan yang modern), umat Budha juga solidaritasnya tinggi. Sementara umat Hindu, justru anak-anak mereka masuk ke panti Asuhan umat lainnya.

Ajeg Bali itukah yang akan dilanggengkan di Bali? Ajeg Bali di mana setiap tahun jumlah umat Hindu berkurang dalam komposisi penduduk Bali. Prosentasi pemeluk Hindu terus menurun setiap tahun di Bali, baik karena populasi yang rendah maupun karena ada yang pindah agama. Bagi saya, ini menyedihkan. Karena itu saya lebih setuju berbicara tentang Ajeg Hindu di Bali, bukan Ajeg Bali. Dengan Ajeg Hindu, maka pertama-tama yang dibuat Ajeg adalah kehidupan orang Bali. Cegah orang Bali pindah agama dengan memberikan pendidikan agama Hindu sejak dini kepada anak-anak. Cegah orang Bali menjual tanahnya dengan menanamkan konsep bhakti kepada leluhur sehingga warisan harus dipertahankan. Bwndung misi agama lain dengan segala cara, jika perlu termasuk membatasi pendirian tempat ibadah umat non-Hindu di kantong-kantong umat Hindu sesuai dengan aturan yang ada. Sucikan pura dari segala bentuk perjudian, dan sucikan pura dengan menjaga kebersihannya. Ajarkan Manusa Yadnya dengan konsep menolong sesama, bukan cuma dengan membuat banten (sesajen). (Putu Setia, 2004)

Harapan Putu Setia tentu jauh dari ideal. Yang terjadi sekarang justru wacana Ajeg Bali telah jauh bergerak, bahkan mengarah pada pengentalan dan sentimen budaya yang tanpa disadari. Karena begitu lenturnya, sungguh sulit untuk mengharapkan suatu yang ideal dari wacana ini. Yang terjadi dan dapat kita lihat kemudian adalah bagaimana operasi dari wacana Ajeg Bali ini menyentuh dalam alam bawah sadar “penguatan” kebudayaan seperti juga yang dicita-citakan Putu Setia.
Gerakan esensialisme kebudayaan ini berawal dari konstruksi “pentradisian” budaya Bali dari kebijakan politik kebudayaan kolonial. Eksotisme Bali dengan penduduk yang sopan santun dan rasa toleransi yang tinggi mulai dipertanyakan.
Pasca otonomi daerah dan bom meledak dua kali di Bali, bayangan eksotisme sopan santun dan toleransinya manusia Bali ternyata terbukti menjadi discourse yang dipergunakan rezim pembangunan Orde Baru melalui program “Pariwisata Budaya” untuk mendatangkan dollar dari industri pariwisata. Kebudayaan dipelihara untuk pariwisata, dan masyarakat Hindu Bali hanya menjadi manusia-manusia eksotik yang dimuseumkan. Sentimen identitas ke-Bali-an itu kembali dihidupkan oleh gerakan Ajeg Bali. Kini dengan selubung kuasa “mengokohkan budaya Bali”, yang genealoginya tercipta dari relasi kuasa rezim colonial Belanda yang kita terima, wariskan, dan bekukan tanpa kritik.
Pergolakan panjang budaya dan kuasa di Bali memberi kita cermin, bahwa memandang Bali penuh dengan bujuk rayu dan jebakan eksotika. Melihat Bali adalah memandang sejarah pergolakan manusia, kuasa, dan kekerasan yang hadir silih berganti dalam perjalanan sejarah. Selayaknya kita melihat Bali bukan sebuah “dongeng pariwisata” dengan cerita harmoni, eksotis, damai, dan adapt serta budaya yang “kokoh dan lestari”.
Bali selalu bergejolak untuk mendebatkan dirinya terus menerus, mengkritik dirinya, dan merumuskan identitasnya untuk melakukan resistensi terhadap penjajahan-penjajahan gaya baru yang terselubung dalam pariwisata dan hiruk pikuk globalisasi.
Sepantasnya juga kita tidak melihat Bali dengan kebekuan citra eksotis tersebut. Bali harus terus dibongkar, dikritisi. Bukan karena kita ingin berkhianat atau melepaskan identitas sebagai bagian dari Bali. Justru dengan mengkritik dan membongkar jejak-jejak kekuasaan dan pergolakan manusia Bali, kita telah menentukan salah satu cara kita untuk mencintai Bali, dan sekaligus juga menjadi orang Bali.
Ibe Darmadi melalui bukunya ini mencoba menghadirkan pada kita narasi-narasi kecil pergolakan manusia Bali. Sebuah karya yang menunjukkan pada kita, kegelisahan dan pergolakan pemikiran kritis menyala secara pelan tapi pasti di Bali. Sejarah membuktikan, perubahan sering kali dimulai dari inisiatif anak muda.
Suksma…


Ubung, 23.09 wita.
30 Januari 2008

Daftar Pustaka


Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah
2004 Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.
Bali Post
2004 Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.

2001 K. Nadha Sang Perintis, Denpasar, Penerbit Bali Post.

Budianta, Melani
1994 Yang Memandang dan Yang Dipandang, Potret Orang Kecil dan Wacana (Post) Kolonial” dalam Kalam edisi 2-1994.

Cribb, Robert (editor)
2003 The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali
1965- 1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Colombijn, Freek
2005 Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia, Pelajaran dari Sejarah, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor), 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Collins, Elizabeth Fuller
2002 Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan, diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko, pernah dimuat dalam Asian Survey Vol. XIII No. 4 Juli/Agustus 2002, hlm. 582-604.

Cotteau, Jean
2003 Wacana Seni Rupa Bali Modern dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti.

Dwipayana, AAGN
2005 Bali: Surga Bertepi Kekerasan, Pengantar buku I Ngurah Suryawan, 2005, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Yogyakarta, Kepel Press.

Fanon, Frantz
2000 Bumi Berantakan, Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang mengubah Wajah Dunia, Jakarta, Teplok Press.

Geertz, Clifford
2000 Negara Teater, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Gie, Soe Hok
1995 Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Hardiyanta, Petrus Sunu
1997 Michel Foucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Indivisu Modern, Yogyakarta, LKiS.

Haryatmoko
2002 Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Nordholt, Henk Schulte
2002 Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Palguna, IBM Dharma (ed)
2006 Bom Teroris dan “Bom Sosial”, Narasi dari Balik Harmoni Bali, Perspektif Korban dan Relawan, Denpasar, Yayasan Kanaivasu.

Pitana, I Gde
1999 Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, Denpasar, Bali Post.

Picard, Mchel
2006 Bali, Pariwisata Budaya dan Budya Pariwisata, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

Robinson, Geoffery
1995 The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

2006 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.

Said, Edward
2001 Orientalisme, Bandung, Penerbit Pustaka.

Sarup, Medan
2003 Post-Structuralism and Postmodernism, Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta, Jalasutra.

Santikarma, Degung
2002 “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”, Kompas Minggu 6 November 2002 juga dalam Darma Putra (ed), Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif (Denpasar: Bali Post, 2004). Hlm. 113-131.

tt “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”, makalah terbatas.

2000 “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas 1 September 2000.

2003 “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”,Kompas 7 Desember 2003.

2004 “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas, 7 Juli 2004

Setia, Putu
2004 Ajeg Bali atau Ajeg Hindu, dalam Majalah Raditya No. 89 Desember 2004.

Suryawan, I Ngurah
2004 “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004

2005 BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

2005 Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.

2005 Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan, Yogyakarta, Kepel Press.

2006 Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965, Yogyakarta, Galang Press.

2007 Kesaksian Air Mata (Kisah-kisah Memecah Senyap), Denpasar, Pustaka Larasan
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed)
2004 Hermeneutika Pasca Kolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

Vikers, Adrian
1989 Bali: A Paradise Cretated, Victoria Penguin.

Wijaya, Nyoman
2004 Melawan Ajeg Bali: Antara Eksklusifitas dan Komersialisasi, dalam Jurnal Ilmu Sejarah, Tantular, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali Edisi No. 2 Tahun 2004.






I Ngurah Suryawan, Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Publikasinya diantaranya: Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 dan Kesaksian Air Mata: Kisah-kisah Memecah Senyap, 2007. Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com.



[1] Versi lengkap artikel ini direncanakan akan dimuat di Jurnal Kajian Budaya, Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana Bali edisi 2008..

Tidak ada komentar: