Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Ilmu Sosial antara Modernisme dan Posmodernisme

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/56

Status Ilmu-ilmu sosial dalam
Diskursus Modernisme dan Postmodernisme
Sebuah Upaya Merumuskan Epistemologi Sosial Kontemporer

Reza Antonius Wattimena

Abstrak


Diskursus tentang status ilmu-ilmu sosial kini tengah dihadapkan pada suatu tantangan baru, yakni hilangnya kepercayaan pada segala bentuk konsep ataupun narasi, yang dianggap mampu menjelaskan berbagai problematik di dalam kompleksitas dunia sosial. Ketidakpercayaan itu merupakan bentuk pemberontakan terhadap totalitarisme ide, yang selama ini dianggap menjangkiti seluruh pemikiran filsafat Barat, dan telah mereduksi segala sesuatu ke dalam satu penjelasan, yang berlaku mutlak, dan dianggap universal. Masalahnya adalah bahwa problematika sosial kini tidak lagi dapat dijelaskan dengan menggunakan kosa kata modern, yang totaliter tersebut. Justru karena penjelasan itulah maka lahir berbagai bentuk penindasan di dalam ranah epistemologis, dimana terjadi penindaasan dan klaim-klaim kekuasaan, yang semakin mendominasi, dan menutup kemungkinan bagi teori-teori sosial untuk menciptakan perubahan sosial. Tulisan ini ingin memberikan solusi bahwa kebuntuan epistemis semacam itu dapat dicairkan, jika teori-teori sosial menggunakan paradigma yang bersifat komunikatif dalam pendekatannya. Alih-alih mendestruksi epistemologi secara keseluruhan, seperti yang dilakukan oleh para pemikir postmodern, tulisan ini mencoba menggarisbawahi proyek yang lebih rekonstrukstif terhadap problematika yang melekat di dalam status ilmu-ilmu sosial kontemporer.

1. Pendahuluan

“...Diskursus Postmodernisme dan modernisme akhir-akhir ini haruslah dimengerti sebagai a pervasive amorphous mood...”[1] Tulis R.J Bernstein. Artinya, “...diskursus ini dapat dipahami sebagai ‘suasana hati yang sedang menggejala’ dalam dunia filsafat...”[2]. Karena dapat dipahami sebagai suasana hati yang sedang menggejala, maka argumentasi-argumentasi yang dilontarkan para pemikir postmodern adalah sebuah serangan intelektual yang tidak memiliki kepastian bentuk, majemuk, dan sangat liar. Kalaupun kita memaksa untuk menempatkan mereka sebagai sebuah satuan tempur, pasukan tanpa seragam ini sama-sama ingin menghancurkan segala bentuk argumentasi totalitas abstrak, segala bentuk universalisme, dan rasionalisme yang telah melekat dalam segala bentuk pemikiran modernitas. Senjata intelektual yang mereka gunakan adalah dekonstruksi, penghancuran metafisika, dialektika pencerahan, genealogi kekuasaan, dan sebagainya. Senjata tersebut akan digunakan untuk menghancurkan asumsi filsafat kesadaran yang lahir semenjak Descartes, yakni proyek rasionalisasi masyarakat yang berpusat pada subyek. Intensi destruktif ini didasari suatu sikap curiga dan ragu-ragu bahwa modernisme akan mampu mewujudkan cita-citanya, yakni masyarakat rasional yang adil dan makmur bedrasarkan sains dan tekonologi.
Diskursus modernisme dan postmodernisme ini terjadi di semua displin-displin intelektual, dari sastra, seni, arsitektur, dan semua bidang-bidang estetika lainnya, sampai bidang epistemologi sosial dan humaniora, dan ilmu-ilmu alam yang masuk dalam bidang teoritis. Dengan kata lain, angin postmodernisme merambah masuk baik itu ke dalam dunia estetis, maupun dunia teoritis. Figur besar yang ingin dilawan disini adalah Immanuel Kant, “...yang telah membuat distingsi antara rasio teoritis, rasio praktis, dan rasio estetis...”[3] tulis Budi Hardiman. “...Pencerahan Barat lebih jauh lagi membuat sebuah demarkasi yang dalam modernitas sangat dinikmati oleh sains, yaitu antara ilusi dan fakta, antara fiksi dan kebenaran ilmiah, antara prasangka subyektif dan pengetahuan obyektif...”[4] Para pemikir postmodernisme mau mengaburkan batas-batas yang telah ditetapkan oleh pencerahan tersebut. Pengaburan batas tersebut sebenarnya bukanlah tanpa tujuan. Para pemikir postmodern mau menempatkan segala bentuk universalisme ke dalam salah satu jenis permainan bahasa saja, mereka mau menurunkan sains dan positivisme serta metafisika dari tahktanya. Sejak jaman pencerahan pada abad ke-18, sains memiliki status khusus dalam kebudayaan. Metode sains yang empiris telah mendominasi tafsiran tentang apa yang baik dan benar dalam kebudayaan modern. Bidang-bidang lain seperti etika dan estetika otomatis dinisbikan, dianggap mitos, bahkan seringkali dituduh sebagai fiksi, prasangkan subyektif, fantasi, imanjinasi belaka, dengan kata lain “...dianggap bukanlah kebenaran...”[5] tulis Hekman. Nah, kalau batas antara mitos dan fakta dihapus, hak-hak khusus yang selama ini diterima sains juga akan lenyap. Pelenyapan batas semacam itupun nantinya akan merambah masuk ke dalam bidang lain, antara sains dan narasi, antara kebenaran dan fiksi, antara mitos dan logos. Inilah semangat jaman yang merasuk ke dalam rahim epistemologi postmodern.
Tulisan ini berupaya menanggapi kritik para pemikir postmodern terhadap perkembangan epistemologi dari sudut pandang Jürgen Habermas. Dengan kata lain, tulisan ini ingin memperkenalkan problematik modernisme dan postmodernisme di dalam bidang epistemologi, dan tanggapannya dari sudut pandang Habermas.

2. Optimisme Sains dan Keterbatasannya
Marilah kita mulai dari jaman pencerahan dengan optimismenya pada sains dan rasionalitas. Jika kita berbicara tentang rasionalisasi dalam masyarakat melalui sains untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, hal tersebut tidaklah dapat dipisahkan dari tokoh utama modernitas, yakni rasionalitas yang terwujud dalam sains dan positivisme. Filsuf pencerahan Marquis de Condorcet begitu optimis dengan rasionalitas dan sains ini. Dia menulis, “... Rasio yang berwujud dalam sains akan menghancurkan ketimpangan-ketimpangan kultural, politis, dan ekonomis diantara berbagai bangsa, menyempurnakan kemampuan manusia, mewujudkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan umum, menyingkirkan diskriminasi seksual dan rasial, serta menghapus perang dari muka bumi...”[6] Jika kita melihat fakta sejarah seperti barbarisme NAZI, totalitarianisme, pemusnahan massal di Hiroshima, Krisis Teluk, pembersihan etnis di Bosnia, argumentasi Condorcet itu terdengar sangat utopis dan sinis.
Di sisi lain, optimisme Condorcet itu, bahwa sains sebagai tokoh utama proses rasionalisasi, bukanlah tanpa argumentasi yang kuat. Seperti sudah diketahui bersama, ciri sains modern itu adalah netral, tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ciri-ciri obyektif ini secara meyakinkan melekat dalam ilmu-ilmu alam, dan secara tegas dibedakan dari etika dan estetika yang lebih berciri preskriptif, personal, dan memberi penilaian pada suatu tindakan. Dengan ciri-ciri seperti itu, “...sains merupakan ideal pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas ilmiah. Nilai-nilai itu terwujud dalam sikap tak berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah dalam sains yakin bahwa ada kebenaran obyektif yang tidak tergantung pada perspektif dan otoritas subyektif...”[7] tulis Richards. Nilai-nilai yang dianut oleh sains modern tersebut lalu berusaha untuk diterapkan dalam masyarakat luas. Asumsi inilah yang disebut sebagai saintisme, yakni “...suatu kepercayaan bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan, autoritatif, dan seriusnya...”[8]
Banyak pemikir kini yang menganggap bahwa “...saintisme telah mengalami kegagalan menerjemahkan asas-asas ilmiah ke dunia manusiawi...”[9] Proses rasionalisasi masyarakat melalui sains ternyata tidak membawa masyarakat menuju emansipasi dan kemajuan, melainkan memecahnya kedalam dua kebudayaan yang saling bertentangan, yakni “...sains dan teknologi di satu sisi, dan dunia kehidupan sosial di sisi lain...”[10] Benturan dua kebudayaan itu semakin mencolok, ketika sains mulai merangsek masuk ke dalam dunia kehidupan. Pertarungan keduanya bukanlah pertarungan mencari kebenaran, melainkan pertarungan mengklaim hak hidupnya masing-masing. Sains, yang merupakan harapan utama pencerahan, ketika dia melampaui batas dan menerjang batas-batas dunia kehidupan yang manusiawi, kini telah kehilangan ciri netralnya. “...Sains pun bukan lagi cerita tentang emansipasi dari mitos, fiksi, metafisika, feodalisme, melainkan juga sebuah cerita tentang dominasi dan eliminasi...” tulis Budi Hardiman.[11]
Di titik inilah narasi besar tentang sains sebagai tokoh utama pencerahan memasuki tahap baru dalam sejarah. Tahap itu adalah tahap rasionalisasi, yang dirumuskan oleh Adorno dan Horkheimer sebagai “...tahap metamorfosis...”[12] Setelah menyingkirkan mitos dan metafisika, sains yang semula berperan sebagai tumpuan harapan, kini telah mengubah karakternya. “...tiba-tiba, sesudah peristiwa-peristiwa katastrofik dalam dua perang dunia, selaput yang menutupi kedua mata kita seakan-akan terlepas, dan dengan cukup terang kita menyaksikan perwakan sains, bukan sebagai logos, melainkan sebagai mitos yang dipuja, dan diamini secara sukarela, tetapi juga dengan cara itu membiarkan dominasinya...”[13] tulis Budi Hardiman. Kritik semacam itulah yang dilontarkan oleh Adorno dan Horkheimer. Sebuah kritik total atas pencerahan dan optimisnya rasionalitas dan sainsnya, yang akan membuka diskusi modernisme dan postmodernisme kemudian.

3. Teori Kritis dan Rekonstruksi Teori Sosial Modern
Dalam konteks epistemologi, pendekatan yang cukup mutakhir dan yang berpengaruh adalah teori kritis. Teori ini bukan hanya ingin melampaui teori-teori sosial sebelumnya, melainkan juga mengupayakan sebuah rekontruksi rasional yang penting bagi teori-teori sosial lainnya. Tokohnya yang terpenting adalah Jürgen Habermas. Dengan teori kritis yang dirumuskannya, Habermas mau memberikan pemahaman mendalam tentang hakekat sesungguhnya modernitas, dan produksi-produksi kulturalnya, khususnya ilmu-ilmu sosial. Yang menarik dari teori kritis yang dirumuskan Habermas adalah sebuah upaya yang gigih dan tidak kenal lelah untuk menyelamatkan elemen-elemen kritis emansipatoris dengan asumsi bahwa pencerahan barat tidak hanya menghasilkan patologi-patologi, melainkan juga peningkatan diri, dan pendewasaan kehidupan sosial yang universal. Ambiguitas pencerahan tersebut juga menjangkiti ilmu-ilmu sosial modern. Menurut dia, seluruh ilmu-ilmu sosial modern kerap menggunakan paradigma filsafat kesadaran, sehingga menyingkirkan potensi komunikatif yang ada di rahim masyarakat. Oleh karena itu, Habermas berupaya merangkum kembali semua ilmu-ilmu sosial modern ke dalam paradigma teori tindakan komunikatif.
Pertarungan antara sains dengan metafisika tradisional dapat dibayangkan sebagai pertempuran antara mitos dan logos dalam seluruh sejarah filsafat. Sains, yang awalnya berperan sebagai Logos yang menghancurkan mitos dalam rupa metafisika tradisional dan feodalisme, kini telah berubah menjadi mitos baru yang lebih rasional. Habermas berhasil menemukan penyebab utama perubahan karakter sains tersebut, atau apa yang disebut para seniornya sebagai Dialektika Pencerahan. Sains telah merubah karakternya menjadi mitos, karena sains dipahami sebagai rasionalitas instrumental, yakni kemampuan akal budi manusia untuk mengontrol proses-proses alam melalui kerja, dengan tujuan menguasainya. Padahal, Logos, sebagai protagonis dalam pertempuran sepanjang sejarah filsafat, juga dapat dipahami sebagai komunikasi dan bahasa. Oleh karena itu, “...rasionalitas yang mendasari pencerahan dan perkembangan sains serta teknologi juga dapat dipahami sebagai rasionalitas komunikatif, yakni kemampuan akal budi manusia untuk mencapai kesalingpemahaman dengan pihak lain secara timbal balik...”[14] Proses pertempuran filosofis antara Logos dan Mitos tidaklah harus melulu dilihat sebagai dominasi dan teror, selama Logos, dalam filsafat, dipahami sebagai proses diskursus argumentatif, dimana argumen yang lebih baik, yakni yang mampu dipertanggungjawabkan melalui klaim-klaim kesahihan, dapat diterima tanpa paksaan, sampai munculnya gangguan baru dalam konsensus. Habermas menulis, “... ketika konsensus merupakan dominasi, Logos sebagai komunikasi tampil sebagai kritik untuk menyingkirkan distorsi-distorsi dalam konsensus...”[15] Dengan optimismenya itu, Habermas ingin memahami Logos dengan segala “...kesegaran dan kemudaannya...”[16] untuk menghancurkan mitos dalam bentuk ideologi yang mendistorsi proses komunikasi sosial antara manusia.
Disamping itu, teori tindakan komunikatif yang dirumuskan Habermas membuat distingsi antara dunia sistem, dan dunia kehidupan. Dua dunia ini adalah dua matra kehidupan sosial yang menandai modernitas. Dalam konteks epistemologi, ilmu-ilmu sosial positivistis dapat bermanfaat meneliti proses-proses dalam dunia sistem, seperti dalam dunia ekonomi modal kapitalis dan dunia birokrasi pemerintahan, yang keduanya bekerja menurut prinsip-prinsip rasionalitas instrumental. Akan tetapi, pendekatan saintifik positivistis seperti itu tidaklah boleh, dan bahkan tidak dapat, melanda batas-batasnya dan digunakan untuk menganalisa dunia kehidupan sosial yang dilandasi solidaritas. Penerobosan batas oleh ilmu-ilmu sosial positivistis ke dalam dunia kehidupan sosial disebut Habermas sebagai “....saintisme dan kolonisasi dunia kehidupan....”[17] Dunia kehidupan, yang dilandasi oleh solidaritas, dibentuk oleh proses-proses komunikasi yang bersifat intersubyektif. Dengan demikian, dunia kehidupan hanya dapat didekati oleh fenomenologi dan hermeneutik. Di titik ini, Habermas merumuskan dua jenis pengetahuan, pertama adalah ilmu-ilmu empiris analitis yang digunakan untuk menganalisa alam dan dunia sistem, yang kedua adalah ilmu-ilmu historis hermeneutis, seperti fenomenologi dan hermeneutik, yang digunakan untuk menganalisa dunia kehidupan sosial yang dilandasi oleh solidaritas. Tidak hanya itu, Habermas juga melihat ada jenis pengetahuan yang ketiga, yakni ilmu-ilmu sosial kritis, atau teori tindakan komunikatif yang dirumuskannya, yang mau bersikap kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmu sosial yang sudah ada sebelumnya, yang tidak lagi sensitif terhadap asal usul dan perkembangan rasionalitas. Di titik lain, ilmu-ilmu ini juga bersikap kritis terhadap fenomenologi dan hermeneutik, yang masih terperangkap dalam logika filsafat kesadaran, dikotomi subyek obyek, yang tidak mengenal adanya dialog dan diskursus untuk mencapai pengertian bersama. Habermas menulis, “...ilmu-ilmu sosial kritis juga kritis terhadap fenomenologi dan hermeneutik yang kehilangan kepekaannya terhadap intersubyektifitas...”[18] Di titik ini, berbeda dari Gadamer, Habermas meyakini aspek normatif dari modernitas, yakni masyarakat yang mampu berkomunikasi secara rasional dan bebas dominasi.

4. Pembantaian Logos: Disposisi Teoritis Para Pemikir Postmodernisme.
Upaya gigih teori kritis yang dipelopori Jürgen Habermas, untuk menciptakan perubahan sosial yang bermakna dalam kerangka modernitas seperti diringkas diatas, mendapat tantangan yang sangat radikal dari para pemikir postmodernisme. Tokoh-tokohnya yang terpenting antara lain Michel Foucault dan Jacques Derrida. Para pemikir postmodern ini memainkan peranan yang sangat krusial, disposisi teoritis mereka sangat canggih dan rumit. Para pemikir postmodern lainnya seperti Baudrillard, Gilles Deleuze, Guattari, dan Julia Kristeva ini mencurahkan seluruh perhatiannya pada problem yang sebenarnya sudah dibuka oleh Heidegger dan Nietzsche, yakni problem bahasa dan teks.[19] Sementara itu, aliran pragmatisme Amerika juga telah menghasilkan seorang filsuf postmodernis lain dalam konteks epistemologi, yakni Richard Rorty.

4.1 Dekonstruksi Derrida
Pemikiran tentang bahasa dan teks juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari analisa-analisa sosial. Giddens pernah menulis, “...Sejak strukturalisme Saussure, ilmu bahasa atau linguistik kerap dipandang sebagai kunci bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial...”[20] Dari sudut pandang para pemikir postmodernisme, realitas adalah teks atau bahasa, dan bahasa selalu memiliki dua sisi, pertama bahasa sebagai percakapan lisan, yakni sisi eksekutif bahasa. Kedua, bahasa sebagai sistem tanda atau tata bahasa. Nah, bahasa sebagai sistem tanda atau tata bahasa ini bisa dibagi menjadi dua, yakni bahasa sebagai penanda, dan bahasa sebagai petanda.
Sejak strukturalisme, sudah lahir pemikiran bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter. Artinya, kita tidak akan dapat menemukan alasan definitif mengapa suatu benda kita sebut sebagai kursi, dan bukan bangku. Kata itu ditetapkan begitu saja, tanpa alasan yang definitif. Suatu tanda mendapat maknanya karena perbedaannya dengan tanda-tanda lain. Misalnya, kata pohon mendapat maknanya karena berbeda dari mobil, batu, sungai, dan sebagainya. Jika demikian, seperti relasi antara penanda dan petanda yang bersifat arbiter, relasi antar kata, antar kalimat, dalam keseluruhan sistem bahasa ternyata juga arbiter. Dan jika kita sepakat bahwa realitas adalah teks, maka totalitas realitas adalah suatu “...struktur relasi-relasi antar komponen yang berbeda-beda...” Dengan kata lain, realitas adalah suatu Structure of Differance. Juga dapat disimpulkan bahwa, “pikiran” tidak pernah berkorespondensi langsung dengan kenyataan, sebagaimana menjadi pengandaian bagi para filsuf modernis. Maka dari itu, setiap klaim kebenaran bisa terus disangsikan. Derrida menimba inspirasi dari disposisi teoritis semacam itu. “...Ia meradikalkan tiga konsep strukturalis diatas, yakni ciri arbiter dari tanda, konsep perbedaan, dan ciri relasional dari totalitas realitas...”[21] Derrida terkenal dengan penolakannya atas apa yang disebut sebagai metafisika kehadiran. Bagi dia, seluruh tradisi pemikiran Barat, dalam narasi filosofis pertarungan mitos dan logos, adalah sebuah metafisika kehadiran. Ia menulis, “...anggapan mengenai ada sebagai kehadiran dalam segala kepenuhan arti dari kata ini. Mungkinlah memperlihatkan bahwa segala istilah yang berkaitan dengan dasar-dasar, asas-asas, atau pusat senantiasa melukiskan suatu kehadiran yang tetap, hakekat, eksistensi, substansi, subyek, transendentalitas, kesadaran, dan suara hati. Allah, manusia, dan seterusnya...”[22] Dengan demikian, Derrida bukan saja mau lepas landas dari modernitas dengan pertarungan klasiknya itu, ia bahkan membunuh kedua pahlawan narasi sepanjang sejarah filsafat, Mitos dan Logos, “...dengan menghampakan jati diri keduanya...”.[23]
Ada dua titik penting yang bisa ditimba dari pemikiran Derrida, yakni “...radikalisasi konsep difference menjadi différance, kata ciptaannya sendiri, dan prioritas tulisan atas percakapan...” tulis Giddens. Konsep différance tidak hanya menentukan makna, melainkan juga seluruh realitas. Différance berarti juga membedakan, namun juga menunda makna yang sudah ada maupun yang akan ada. Artinya, kita tidak akan pernah dapat mengindentifikasikan makna yang definitif dari kenyataan. Pengertian yang kita dapat bukanlah korespondensi dengan obyek. Jika pengetahuan bukanlah korespondensi dengan obyek, bagaimana pengetahuan bisa didapatkan? Bagi Derrida, kita hanya dapat mengenal jejak atau trace dari Différance itu. Jejak itu bagaikan jejak ingatan pada otak, suara yang lenyap setelah diucapkan. Implikasi gaya berpikir seperti ini bagi ilmu-ilmu sosial tampaknya sudah cukup jelas, yakni ilmu-ilmu sosial hanya bisa menangkap jejak. Oleh karena itu, klaim-klaim kebenaran ilmu-ilmu sosial tidaklah pernah dapat dipastikan. Dengan kata lain, kebenaran tidak akan pernah dapat dicapai.
Disposisi teoritis Derrida tersebut lebih kelihatan lagi dalam prioritas tulisan atau percakapan. Dalam Grammatology, Derrida berpendapat bahwa metafisika kehadiran sudah melekat di dalam bahasa percakapan, karena dalam percakapan, si penutur, tanda, dan makna hadir sekaligus. Dalam percapakan, bahasa dikaitkan secara erat dengan kesadaran penuturnya. Padahal, menurutnya, bahasa itu bersifat anonim. Bahasa yang asli sebenarnya bukanlah bahasa percakapan, seperti yang diyakini banyak filsuf, melainkan bahasa tulisan. Dalam tulisan, tidak seperti dalam percakapan, tak ada kaitan antara tanda, acuan makna, dan kesadaran penulis. Di titik ini, ia sebenarnya ingin meradikalkan makna arbiter dari tanda. Maka dari itu, jika realitas sungguh dipandang sebagai sebuah teks, maka teks itu dapat ditafsirkan dalam relasinya dengan teks-teks lain. Inilah yang disebut Derrida sebagai intertekstualitas. Penafsiran tersebut bisa sampai tak berhingga, dan tidak pernah akan ada alasan untuk merujuk pada suatu teks asli, karena teks semacam itu sudah hilang. Dengan kata lain, setiap upaya mencari makna definitif dengan merujuk pada suatu teks asli haruslah direlatifkan terhadap makna-makna lainnya. Pola seperti ini disebut dekonstruksi. Implikasi epistemis dari dekonstruksi dan intertekstualitas kiranya juga cukup jelas, yakin pengaburan batas antara yang mana mitos dan yang mana logos, yang mana fiksi yang mana pengetahuan, yang mana sastra yang mana sains, dan sebagainya, karena yang satu tidaklah lebih benar daripada yang lain. Suatu bentuk klaim kebenaran hanyalah absolutisasi dari suatu jejak. Maka dari itu, bersama dengan Lyotard, Derrida menyebut filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern sebagai narasi-narasi besar, yang tidak lebih baik atau lebih buruk daripada mitos.

4.2 Genealogi Foucault
Jika kita menyimak Derrida lebih serius, sebenarnya dia lebih menyinggung banyak soal metafisika dan sastra daripada ilmu-ilmu sosial. Maka dari itu, hubungannya tidak langsung, karena tetap ada celah antara metafisika dan ilmu-ilmu sosial, yakni basis empiris. Dicelah inilah Michel Foucault bermain. Dia menolak segala bentuk teori sosial maupun positivisme yang masih berbau humanisme, seperti pendekatan Habermasian, yang sudah dibicarakan diatas. Kalau ingin mencari inti dari pemikirannya, inti itu seperti problem utama Derrida yakni bahasa dan teks, inti pemikiran terletak di teori diskursus. “...ilmu-ilmu sosial dan sains adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hadirnya subyek dan obyek epistemologis, khususnya manusia sebagai subyek...”[24] Searah dengan Derrida, Foucault juga melihat realitas sebagai teks, dan teks itu jugalah tanpa kehadiran pengarang. “...Subyek adalah entitas yang anonim dan tercipta melalui percakapan...”[25] tulis Hekman. Pandangan inilah yang disebut decentering the subject, pandangan yang telah ada semenjak Saussure.
Akan tetapi, berbeda dari Derrida, teori diskursus yang dirumuskan Foucault tidak hanya bersifat linguistik, melainkan juga politik, karena dia berpendapat bahwa diskursus, seperti yang telah dilaksanakan dalam praktek ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam, “adalah suatu jaringan praktek pengetahuan sekaligus kekuasaan.”[26] Diskursus tersebut menciptakan subyek (ilmu-ilmu sosial) sekaligus obyeknya (rakyat, penyakit, dan sebagainya). Dalam bukunya yang berjudul Madness and Civilization, Foucault menjelaskan bagaimana pertumbuhan psikiatri sejak abad 17 memiliki kaitan yang sangat erat dengan praktek eksklusi dan terapi kegilaan. Dengan kata lain, kegilaan mau dihapus dari wilayah rasionalitas dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang abnormal. Padahal, di abad pencerahan, dialog rasio dengan kegilaan kerap melahirkan inspirasi-inspirasi yang bersifat tragis bahkan profetis, yang bisa memajukan wacana pengetahuan manusia.
Pemikiran tentang kaitan erat antara ilmu pengetahuan teknologi dengan dominasi juga terus dipertahankan dalam bukunya yang berjudul Discipline and Punishment. Dalam buku itu, ia memperlihatkan bagaimana kelahiran penjara modern berkait erat dengan aspek dominasi negara modern untuk memonopoli laku kekerasan terhadap warganya. Untuk melegitimasi praktek kekerasan itu, dibentuklah sistem administrasi sentral. Sistem ini pada akhirnya akan melahirkan bidang-bidang ilmu lainnya, seperti statistik, demografi, dan seterusnya. Dengan analisisnya itu, Foucault ingin menunjukkan, bahwa ilmu-ilmu sosial tak kurang dari perwujudan sebuah kekuatan metafisik yang disebutnya sebagai the will to truth.
Analisis Foucault tampaknya tak jauh berbeda dengan kritisisme yang telah dirumuskan oleh Jürgen Habermas. Habermas sendiri menyebut analisis Foucault sebagai hermeneutik dalam, seperti dalam psikoanalisis dan kritik ideologi. Dalam bukunya yang berjudul Archaeology of Knowledge, Foucault semakin menegaskan metodenya. Dia menolak tema-tema besar seperti refleksi diri, subyektivitas, pencarian asal usul, humanisme. Maka dari itu “dia menolak semua aspek strukturalisme dan positivisme maupun alternatifnya, seperti hermeneutik makna yang masih diteruskan dalam proyek teori kritis... maka ia menyebut metodenya sebagai ‘genealogi’.”[27] Yang dimaksud sebagai genealogi oleh Foucault adalah, semacam sejarah yang menggambarkan pembentukan berbagai macam pengetahuan, diskursus, obyek-obyeknya, dan sebagainya. Akan tetapi, sejarah dalam bentuk genealogi ini tidak mencari makna berdasarkan kontinuitas kausal yang mengarah pada suatu tujuan tertentu, melainkan suatu pemutusan kontinuitas sejarah, karena anggapan mengenai suatu kontinuitas sejarah dihasilkan oleh subyek historis, yakni sejarahwan, maka pemutusan sejarah adalah suatu penghapusan subyek itu sendiri. Dengan demikian, genealogi Foucault adalah suatu sejarah tanpa subyek. Alasannya sudah cukup jelas, subyektivitas hanya akan menggiring kita pada dominasi. Maka dari itu, setiap upaya untuk merekonstruksi Logos adalah berbahaya.
Dalam bukunya yang berjudul The Order of Things, Foucault mempraktekkan genealogi tersebut. Dia berpendapat bahwa di jaman Renaisans, benda-benda diatur berdasarkan hubungan kesamaan. Artinya, benda yang satu diacu dengan benda yang lain. Pada abad ke-16 dan 17, benda tidak lagi dilihat pada dirinya sendiri, melainkan diubah menjadi representasi atau sistem tanda. Dalam susunan tanda ini, manusia belumlah muncul, ia masih sejajar dengan benda-benda, karena representasi manusia identik dengan representasi benda-benda. Pada abad ke-18, Kant mulai mempersoalkan batas-batas reprsentasi. Penemuan batas-batas ini bukanlah suatu bentuk destruksi atas metafisika tanda-tanda, tetapi juga penemuan sang subyek penghasil representasi, yakni kesadaran diri. Dititik inilah awal dari antroposentrisme Barat. Oleh karena itu, menurut Foucault, manusia adalah hasil perubahan susunan tanda dan benda-benda. Dengan menghapus subyek sejarah itu, ia memproklamirkan kematian manusia, karena manusia sebagai subyek kerap menimbulkan dominasi, teror, pemerasan-pemerasan. Dengan membunuh manusia sebagai subyek sejarah, “ia mau mengakhiri filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, karena dua bentuk pengetahuan ini dihasilkan dari suatu keyakinan akan adanya subyek.”[28]

4.3 Rorty dan ‘matinya’ Epistemologi
Langkah epistemis yang lebih radikal dilakukan oleh Richard Rorty, seorang pemikir pragmatis Amerika. Ia mengambil posisi teoritis yang berbeda dengan para pemikir post-modernis lainny. Dalam bukunya yang berjudul Philosophy and The Mirror of Nature, ia ingin mengakhiri apa yang diistilahkannya sebagai epistemology centered philosophy, atau tradisi epistemis filsafat Cartesian-Lockean-Kantian. Bagi Rorty, epistemologi adalah, “...pencarian, yang dirintis oleh Descartes, untuk menemukan hal-hal yang istimewa dalam wilayah kesadaran yang merupakan batu penjuru kebenaran...”[29]Dengan demikian, bagi dia, epistemologi bisa dikatakan sebuah pencarian fondasi atas seluruh realitas. Ia ingin membuktikan bahwa pencarian fondasi atas realitas semacam itu adalah tidak tepat, karena mendasarkan diri pada anggapan bahwa filsafat sungguh-sungguh dapat mencerminkan alam. Maka dari itu, ia mengumandangkan sebuah pernyataan yang kontroversial, ‘the end of philosophy (as epistemology).”[30]
Rorty, dalam proyeknya untuk ‘membunuh’ epistemologi, menggunakan istilah Gadamer, yakni hermeneutik. Bagi Rorty, hermeneutik bukanlah suatu displin ilmu alternatif di samping epistemologi, ataupun sebuah metode programis riset, melainkan “... suatu ungkapan pengharapan bahwa ruang kultural yang disisakan oleh kematian epistemologi tidak akan pernah diisi...”[31] Kekosongan itu, baginya, dapat dibayangkan sebagai hilangnya fondasi atau kerangka permanen. Oleh karena itu, hermeneutik menolak mengandaikan rasionalitas dan fondasi kolektif yang menjadi basis bagi konsensus, karena dalam konstelasi hermeneutik, setiap kontribusi dalam diskursus bersifat tak terbandingkan. Maka dari itu, “...setelah fondasi disingkirkan, konsensus hanyalah tinggal harapan belaka, atau setidaknya disensus yang kreatif...”[32] Dengan argumentasi yang dilontarkannya ini, Rorty ingin memperkuat posisi filosofis yang disebutnya sebagai edifying philosophers, yakni para filsuf yang tidak lagi mencari fondasi akhir pengetahuan, melainkan meneruskan “percakapan-percakapan umat manusia dalam dunia filsafat”. Para filsuf yang diacu Rorty adalah Nietzsche, Heidegger, Gadamer, dan Derrida.[33] Dalam kaca mata Rorty, mereka ini tidaklah melakukan, seperti apa yang disebut oleh Kuhn, diskursus normal, melainkan diskursus yang sifatntya abnormal, yang hasilnya “...merentang dari tak masuk akal sampai revolusi intelektual yang tak terduga...”[34] Dengan demikian, epistemologi melakukan diskursus normal yang mengandaikan adanya konsensus-konsensus tetap, sedangkan, menurut Rorty, hermeneutik melakukan diskursus abnormal, dimana konsensus-konsensus yang definitif tersebut ditolak.[35]

5. Kesimpulan dan Tanggapan Kritis
Melihat keseluruhan narasi yang sudah kita telaah, Logos, yang ditolak oleh Derrida, Foucault, serta para pemikir postmodernis lainnya, adalah gaya berpikir yang memiliki tendensi kuat untuk mencari fondasi akhir kenyataan, atau apa yang lebih dikenal sebagai filsafat kesadaran. Filsafat kesadaran, yang telah membuat distingsi dikotomis ketat antara subyek dan obyek ini, telah menjadi paradigma utama filsafat dan ilmu-ilmu sosial sejak Descartes dan Comte. Gaya berpikir semacam ini telah menghasilkan suatu bentuk rasionalitas yang sangat berbahaya, baik itu bernama metafisika kehadiran (Derrida), rasionalitas instrumental (Habermas), ataupun antroposentrisme (Foucault). Logos dalam bentuk rasionalitas katastrofik itulah yang menjadi sasaran utama kritik para pemikir postmodernisme, sehingga Berstein menyebut kecenderungan ini sebagai kemurkaan terhadap rasio.
Kita dapat mengambil beberapa kesimpulan dari narasi filosofis para pemikir postmodernisme diatas. Pertama-tama, kita dapat mengerti bahwa suatu rekonstruksi rasional suatu teori sosial, kalaupun tidak kelihatan dengan jelas, secara implisit memiliki kelemahan untuk terpeleset ke dalam saintisme atau apa yang disebut Rorty sebagai epistemologi. Akibatnya, didalam ilmu-ilmu sosial terkandung bahaya dominasi dan normalisasi, karena menyingkirkan aspek-aspek sosial yang berada di luar rasionalitasnya (Foucault). Dengan pretensi besar untuk menemukan fakta positif (sains), segala realitas lain yang ada di luarnya cenderung disingkirkan sebagai mitos dan bukan kebenaran. Dalam arti ini, ilmu-ilmu sosial merupakan penampilan metafisika kehadiran atau logosentrisme (Derrida). Kritik-kritik yang dilontarkan para pemikir postmodern ingin menghancurkan sama sekali kepercayaan kita pada Kebenaran, karena dengan selubung Kebenaran, tindakan-tindakan represif, dominatif, dan totaliter dapat memperoleh pembenarannya. Hal seperti ini terjadi di jaman ketika agama diyakini menjadi satu-satunya sumber kebenaran, juga di jaman ketika sains diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. “ Seakan menelanjangi teror-teror bertopeng kebenaran, kritik pasca modernisme membuat kita semakin hati-hati dan waspada terhadap bahaya-bahaya konseptualisasi Kebenaran, entah dalam wujud agama, sains, ataupun ideologi yang cenderung mentotalisir segalanya menjadi yang sama dan mengeliminasi yang berbeda”[36], tulis Budi Hardiman. Kritik-kritik yang dilontarkan para pemikir postmodernisme ini dapat membuat filsafat dan ilmu-ilmu sosial lebih rendah hati dalam menganalisa realitas yang sangat kompleks ini.
Walaupun begitu, kritik-kritik tersebut justru mengandung sebuah bahaya yang sangat serius. Begini, jika kepercayaan akan kebenaran disingkirkan, apakah kritik yang dilakukan para pemikir postmodernisme ini masih bisa disebut sebagai kritik? Bukankah suatu bentuk kritik mengasumsikan suatu kepercayaan akan kebenaran tertentu, setidaknya kebenaran isi kritik tersebut? Kritik semacam ini dilontarkan oleh Jürgen Habermas. Dia menulis, “kritik atas rasionalitas ilmu-ilmu sosial tidak bisa tidak mengadaikan kepercayaan kepada rasio yang mungkin menjadi kritis.”[37]Baik Foucault maupun Derrida tampaknya mengandaikan asumsi implisit tentang kebenaran dibalik segala bentuk kritik-kritik mereka.
Foucault, dengan genealoginya, mau menemukan relasi-relasi kekuasaan obyektif di dalam realitas sosial. Akan tetapi, ia masih saja menganalisis relasi-relasi tersebut dengan metode-metode yang notabene ingin dikritiknya. Hekman menyebut pendekatan Foucault ini sebagai positivisme fenomenologis. Jadi, bagaikan seorang arkeolog, “dia berhasil menyelidiki pola-pola diskursus, tetapi sang arkeolog tidak menyadari peranannya, mungkin karena ia begitu terobsesi melenyapkan subyek”, tulis Hekman.[38] Derrida, dengan dekonstruksinya, mau menghancurkan fondasi kenyataan, dan menggantinya dengan interktekstualitas dan multi penafsiran, karena, bagi dia, tak ada yang namanya fondasi, dalam bahasa Derrida, teks asli. Habermas juga berpendapat bahwa Derrida ternyata juga mewarisi kelemahan tradisi kritik atas metafisika, yang ingin menjadi “filsafat pertama tentang teks yang hilang.”[39] Rorty terlalu ekstrem dengan mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial dan filsafat pastilah bersifat fondasionalistis, padahal filsafat Rorty tentang kesudahan filsafat itu sendiri, seperti pendapat Madison, merupakan sebuah filsafat dengan asumsi fondasionalistis.[40] Dengan demikian, ketiga filsuf postmodernis ini tampaknya masih saja terjebak dalam gaya berpikir filsafat kesadaran yang justru mau ditolaknya. Hal tersebut terlihat dari kritik mereka yang justru diarahkan pada pendekatan mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik mereka menikam dirinya sendiri!
Kita bisa saja mengatakan bahwa pemikiran postmodern hanyalah sebuah trend pemikiran yang cenderung destruktif, tak pernah bisa berhasil merumuskan secara positif basis-basis normatifnya, ditandai dengan keterputusan-keterputusan teoritis, dan berbagai kelemahan lainnya. Konsekuensi logis dari penghancuran logos, seperti juga dilihat oleh banyak pemikir oposan dari postmodernisme, adalah nihilisme dan relativisme. Sedangkan, konsekuensi politisnya adalah anarkisme. Mereka disebut nihilis karena mau menghapus segala bentuk makna dan kebenaran, termasuk makna dan kebenaran yang ditawarkannya sendiri, maka tak ada alternatif yang mereka tawarkan. Jika tidak jatuh ke nihilisme, mereka menjadi relativis, karena telah mengganti Kebenaran dengan kebenaran-kebenaran, yang justru sebenarnya adalah fiksi-fiksi personal subyektif mereka saja. Bahaya juga datang dari tendensi menjadi anarkis, karena cenderung untuk terus menolak segala bentuk rumusan yang mau memberikan realitas sosial sebuah stabilitas.
Akan tetapi, disisi lain, postmodernisme ini sesungguhnya juga bisa dipandang sebagai gejala suatu krisis intelektual dalam ilmu-ilmu sosial, maupun dalam seluruh kesadaran modern itu sendiri. Dalam krisis intelektual tersebut, para pemikir postmodern cenderung untuk meninggalkan modernitas sama sekali. Masalahnya adalah, menurut Jürgen Habermas, apakah postmodernisme sudah cukup tekun dan teliti melihat ciri paradoksal dari modernitas itu sendiri? Kalau dirumuskan lebih jelas, “ postmodernisme memang telah berhasil menggali dasar-dasar modernitas, tetapi gagal menemukan perbedaan antara segi-segi emansipatoris dan segi-segi represifnya yang mengalienasikan?”[41] Menurut Habermas, kalau Logos atau rasionalitas telah mengalami distorsi dan menjadi patologis, maka adalah tugas kita untuk menciptakan suatu ilmu sosial yang mampu menyingkirkan segi-segi represif tersebut, yakni dengan mengupayakan pengembangan isi normatif dari modernitas itu sendiri, seperti rasionalitas komunikatif yang diterjemahkan ke dalam proses rasionalisasi dunia kehidupan. Dengan demikian, gejala postmodern ini, baginya, hanyalah merupakan tanda bahwa kita perlu mengganti gaya berpikir yang sudah ada dengan gaya berpikir yang lain, yakni gaya berpikir yang menekankan intersubyektivitas dan rasio yang komunikatif, dan bukan menghancurkan keseluruhan proyek modernitas.
Setelah membaca tulisan ini, kita mungkin tidak akan mendapatkan kesimpulan final, mungkin juga tidak bertambah bijaksana. Akan tetapi, kita juga diajak untuk semakin hati-hati terhadap bahaya arogansi intelektual, dan terhadap segala upaya intelektual filosofis kita yang mudah sekali jatuh ke dalam nihilisme, relativisme, irasionalisme, ataupun terjerat di dalam jaring-jaring totalitarianisme, teror, homogenisasi, dan sebagainya. Rasionalitas janganlah dihapus dari kehidupan kita sebagai manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Terima kasih.


Daftar Pustaka
R. J. Berstein, The New Constellation, Cambridge, Polity Press, 1991.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta, Kanisius, 2002.
S.J.Hekman, Hermeneutics and Sociology of Knowledge, Cambridge, Polituy Press, 1986.
Richards, Philosophy and Sociology of Science, Oxford, Basil Blackwell.
Tom Sorrel, Scientism, London, Routledge, 1991.
Adorno dan Horkheimer, Dialectics of Enlightment, New York, Herder, 1972
Habermas, Theory and Practice, London, Heinemann, 1974,
Habermas, Theory of Communicative Action, Jilid 1, Boston, Beacon Press, 1981
Habermas, Toward a Rational Society, London, Heinemann, 1971
S.A Erickson, “ Nietzsche and Postmodernity”, dalam Philosophy Today, Vol. 34, Summer, 1990.
A. Giddens, “Structuralism, Post-Structuralism and The Production of Culture”, dalam Giddens & Turner (ed), Social Theory Today, California, Stanford University Press, 1987
J. Sturrock, Structuralism and Since, Oxford, Oxford University Press, 1979
R. Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford, Basil Blackwell, 1980
G.B. Madison, “Coping with Nietzsche’s Legacy”, Philosophy Today, Spring, 1992.

[1] R. J. Berstein, The New Constellation, Cambridge, Polity Press, 1991, hal. 11-12.
[2] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta, Kanisius, 2002, 1969, hal. 169.
[3] Ibid, hal. 170.
[4] A. Hekman, Hermeneutics and Sociology of Knowledge, Cambridge, Polituy Press, 1986, hal. 4-7.
[5] Ibid.
[6] Seperti dikutip dalam R. J. Bernstein, op.cit, hal. 33-34.
[7] Richards, Philosophy and Sociology of Science, Oxford, Basil Blackwell, hal. 147-150.
[8] Tom Sorrel, Scientism, London, Routledge, 1991, hal. 1.
[9] Richards, op.cit, hal. 144-145.
[10] Ibid, hal. 179-182.
[11] F. Budi Hardiman, op.cit, hal. 175.
[12] Adorno dan Horkheimer, Dialectics of Enlightment, New York, Herder, 1972, hal. XVI.
[13] Budi Hardiman, op.cit, hal. 175.
[14] Lihat Habermas, Theory and Practice, London, Heinemann, 1974, hal. 142., untuk lebih detilnya lihat hal. 142-169.
[15] Lihat Habermas, Theory of Communicative Action, Jilid 1, Boston, Beacon Press, 1981, hal. 18. Untuk lebih detilnya lihat hal. 18-23.
[16] Budi Hardiman, op.cit, hal. 181.
[17] Habermas, Toward a Rational Society, London, Heinemann, 1971, hal. 83. Untuk lebih detilnya lihat hal. 81-122.
[18] Habermas, The Theory of Communicative Action, Jilid II, hal. 376.
[19] Untuk uraian ini, saya banyak menimba inspirasi dari S.A Erickson, “ Nietzsche and Postmodernity”, dalam Philosophy Today, Vol. 34, Summer, 1990.
[20] A. Giddens, “Structuralism, Post-Structuralism and The Production of Culture”, dalam Giddens & Turner (ed), Social Theory Today, California, Stanford University Press, 1987, hal. 196.
[21] Ibid, hal. 202.
[22] J. Sturrock, Structuralism and Since, Oxford, Oxford University Press, 1979, hal. 161.
[23] Budi Hardiman, op.cit, hal. 184.
[24] Hekman, op.cit, hal. 173.
[25] Ibid.
[26] ibid, hal. 174.
[27] Ibid, hal. 175.
[28] Budi Hardiman, op.cit, hal. 187.
[29] R. Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford, Basil Blackwell, 1980, hal. 210.
[30] Ibid.
[31] Ibid, hal. 315.
[32] Ibid, hal. 318.
[33] Hekman, op.cit, hal. 164.
[34] Budi Hardiman, op.cit, hal. 188.
[35] Rorty, Ibid, hal. 320.
[36] Budi Hardiman, op.cit, hal. 189.
[37] Habermas, Philosophical Discourse of Modernity
[38] Hekman, op.cit, hal. 175.
[39] Habermas, op.cit.
[40] G.B. Madison, “Coping with Nietzsche’s Legacy”, Philosophy Today, Spring, 1992.
[41] Habermas, op.cit.

Tidak ada komentar: