Who am I

Who am I

Kamis, 24 April 2008

Angkatan Muda ke Satria Bela Bangsa

Dari Angkatan-Angkatan Muda ke Satria-Satria Bela Bangsa

I Ngurah Suryawan *)

Dari kejauhan melalui speaker radio sederhana seorang kawan, sayup-sayup saya mendengar suara serak-serak agak berat. Sangat jelas terdengar suara lelaki paruh baya bernama Ketut Mungkreg membuka pembicaraan. "Tiang (saya) ingin komentar tentang kerusuhan di Buleleng. Sungguh, saya kembali teringat Gestok (Tragedi 30 September 1965). Kali ini, bukan hanya bayangan, tapi sudah saya lihat didepan mata saya," katanya dengan lirih dan berat dalam bahasa campuran Bali dan Indonesia. Ungkapan lirih dan mengejutkan hati saya, yang terdengar dalam sebuah acara curah pendapat interaktif di stasiun radio swasta di Bali.

Tapi kini, kekerasan dan kerusuhan yang menjadi barang haram pariwisata, sudah berada didepan mata masyarakat Bali. Bali kini adalah cerita akan keakraban dan kekerasan yang datang silih berganti, bertubi-tubi. Berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan politik hilir mudik menimpa Pulau Seribu Pura ini. Paling akhir yang membuat semua masyarakat Bali tersentak dan kembali akrab membicarakan kekerasan adalah kerusuhan politik di kota Panji Sakti, daerah panas Kabupaten Buleleng, 120 kilometer utara Denpasar. Seperti komentar Mungkreg, yang saya dengar dengan penuh emosional dan juga begitu beratnya menanggung trauma kekerasan di Pulau Dewata ini. "Waktu Gestok, Bali bagaikan pulau penuh dengan darah. Mangkin (sekarang) terulang lagi,” katanya dalam bahasa Bali halus.

Trauma dan pedihnya hati ketika menyaksikan halaman-halaman koran di Bali penuh dengan berita bentrok partai politik, tidak bisa ditutupi dari Mungkreg. Senin, 27 Oktober 2003, head line fhoto dan berita adalah kerusuhan di Desa Petandakan, sebuah desa kecil di pelosok kabupaten Buleleng. Terlihat jelas bagaimana fhoto dua korban bersaudara yang tewas mengenaskan, Putu Negara (40) dan Ketut Agustana (25), pengurus dan kader AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) Desa Petandakan dengan lumuran darah, bertelanjang dada. Ditangan kedua korban masih tertancap taji (senjata tajam) untuk sabungan ayam dan panah yang masih tertancap kuat. Badan kedua korban penuh dengan lubang tusukan benda tajam seperti arit, pisau, klewang, panah. Sungguh biadab. Dalam bentrok partai itu, kedua korban berada dalam amukan massa PDI-P. Mayat kedua korban juga sempat diseret menuju jalan raya oleh massa, sebelum dikembalikan di depan rumah Kelihan (Ketua) Desa Petandakan, Made Gelgel.

Minggu mencekam di Buleleng. Kota ini dalam malam mengenaskan itu, penuh dengan percikan api dendam, kobaran api yang menghanguskan gedung-gedung megah dua partai politik yang menjadi ayam aduan dalam kisah tragis ini, Partai Golkar dan PDI-Perjuangan. Kini Bali mencatatkan lagi kisah kekerasan, pembantaian yang telah diakrabinya sejak lama. Kekerasan di Petandakan adalah imajinasi baru dari Mungkreg tentang tradisi kekerasan saat pembantaian PKI dan juga rutinitas setiap hajatan Pemilu di Bali. Terdekat saat Pemilu 1998, Bali juga menyisakan kerusuhan yang menelan 5 nyawa di Desa Banjar Kabupaten Buleleng. Dendam politik antara Golkar dan PDI-P seakan sudah mendarah daging dan menunggu letupan-letupan berikutnya. Desa Banjar saat itu seperti desa mati. Sebagian besar warganya menutup pintu rumah mereka rapat-rapat, seperti menutup pintu hati mereka akan tragedi kekerasan yang sudah akrab mereka saksikan di desa mereka ataupun di sebelah desa mereka, Desa Pedawa yang terkenal dengan desa residivis, pencuri dan preman. Belum terbayangkan bagi saya, bagaimana trauma sang anak melihat kisah akrab kerusuhan, pembantaian disebelah mereka. Atau mereka harus bermain dan bertegur sapa dengan pembunuh ayah atau paman mereka. Dan semuanya begitu akrab terjadi di desa jauh dipelosok gunung ini.

Selain Buleleng yang sudah kenyang dengan kekerasan dan kerusuhan politik, Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dalam pemanasan Pemilu 2004 ini mencatatkan diri sebagai daerah potensi kekerasan. Dua minggu sebelum kerusuhan Petandakan, di Jalan Soetomo Grenceng Denpasar adalah akarnya. Massa Golkar yang memasang bendera disepanjang ruas jalan tersebut disambut dengan perusakan dan penurunan bendera dari Satgas PDI-P. Bentrokan antara barisan BMI (Banteng Muda Indonesia), dengan kaos Satria Bela Bangsa PDI-P dengan AMPG menyulut pembakaran ban, perusakan pohon dan bendera serta pelemparan batu. Krama (warga) Desa Grenceng sontak keluar, kulkul bulus (kentongan yang dipukul bertalu-talu) tanda bahaya dipukul sekeras-kerasnya. Jalan Soetomo ditutup dan massa kedua partai masih bersitegang sebelum dibubarkan polisi. Sebelum itu, riak-riak kecil bentrokan adalah perusakan papan nama partai, penghadangan, perkelahian antar angkatan muda masing-masing partai adalah cerita sehari-hari dan berita media massa dari mulai September 2003. Kabupaten Tabanan memulai dengan perusakan kantor Golkar, penghadangan anggota Golkar oleh PDI-P.

Di sebuah warung kopi di Desa Kediri Tabanan, terjadi perbincangan serius tentang kerusuhan yang terjadi kurang lebih 1 Km dari tempat itu. Seorang lelaki muda, berbadan tegap, penuh tato berbaju Satria Bela Bangsa, menayakan bagaimana komisi saat kerusuhan itu. “Harus banyak akal sekarang. Saatnya menguras uang bapak-bapak (untuk menyebut calon anggota DPRD partai) sebelum nanti kita dikuras, “ celotehnya. Kata ngawurnya disambut tawa, tanda persetujuan lima kawannya lagi yang memenuhi warung itu. Tiba-tiba seorang kawannya menepuk bahu dan merangkulnya, “Katanya sekarang pasang bendera. Modal (uang) sudah turun? Kontek ya kalau sudah cair. Kita siap bergerak,” kata kawannya ringan dilanjutkan tawa yang lainnya.

Ternyata, rakyat punya caranya sendiri untuk memainkan perang politik ini. Disamping unjuk kekuatan politik, rakyat juga punya agenda “politik” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kader partai politik tadi adalah preman desa, atau Brandes (Brandalan Desa), istilah di Bali. Kerjaannya setiap hari hanya nongkrong di posko, minum Arak (minuman keras Bali dari air kelapa) dan membuat keributan. Sebelum ada posko partai politik, ia dan kawan-kawannya nongkrong di pasar, tempat bilyar, warung-warung kopi atau tempat-tempat hajatan Joged Bungbung (pementasan tari Joged, sejenis Ronggeng). Ia dan kawan-kawannya siap untuk dikerahkan mengerjakan kerusuhan ataupun kekerasan. Kiprahnya sudah terkenal di seluruh desa. Ia dan kawan-kawannya adalah jagoan lokal desa itu. Ia adalah korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) salah satu hotel di Nusa Dua. Sebagian kawannya telah menjadi Satgas partai politik, pecalang (pengamanan tradisional di Bali) ataupun anggota tim sweeping pendataan penduduk di desa.

Potret generasi muda korban PHK, luntang-lantung tak tentu arah inilah yang dirangkul oleh angkatan-angkatan muda serta barian-barisan muda partai politik. Gde Lempar ikut menjadi BMI, Satgas PDI-P dengan alasan yang sederhana. “Untuk uang tambahan, daripada saya bergantung dari penghasilan cuci motor yang tidak seberapa, “katanya ringan. Atau penuturan polos Komang Semut, yang menjadi Satgas FPD (Forum Peduli Denpasar) dan Laskar BMI Kota Denpasar. “Biar tiang (saya) ada kerjaan saja. Sudah tamat SMU, malu tidak dapet pekerjaan,” kata Komang. Setelah di PHK jadi Satpam sebuah perusahaa surfing di Kuta, Komang memang tidak punya sandaran hidup. Sampai kawan ayahnya menawarkan menjadi Satgas FPD. Sejumlah 100-an pemuda dihimpun untuk menjadi Satgas yang merangkap menjadi BMI, Satgas PDI-P kota Denpasar. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyanggupinya. Sebagai Satgas FPD, ia hanya bekerja 10 jam perhari. Kerjaannya hanya nongkrong disepanjang jalan setelah terminal Ubung, mengawasi angkutan yang bandel mencari penumpang disepanjang ruas jalan itu. Jika si sopir berani melawan, memukul, mengeroyokpun tidak segan dilakukan untuk memuluskan tugas. Dari jerih payahnya itu, Komang mendapatkan gaji Rp.300.000 perbulan. “Ya, dicukup-cukupkan untuk hidup. Makanya perlu uang tambahan kalau ingin foya-foya,” katanya. Uang tambahan itu ia dapatkan dari menjadi Satgas BMI, Satria Bela Bangsa Kota Denpasar. Saat kerusuhan di Jalan Soetomo, Desa Grenceng, Komang sempat dikontak untuk menambah kekuatan. Sayang, ia masih bertugas sehingga tidak bisa ikut.

Generasi muda adalah kelompok potensial untuk dimanfaatkan oleh partai politik. Dengan kekuatan serta potensinya, pemuda adalah satu bagian yang harus “digarap” menjelang Pemilu 2004. Hal itu sangat disadari oleh partai politik. Sehingga tidak hanya satgas-satgas partai yang berdiri. Begitu perlunya sayap organisasi pemuda itu, maka muncullah berbagai organisasi pemuda sayap partai politik tertentu, yang sudah barang tentu berafiliasi ke partai tersebut. BMI, AMPG, Satria Bela Bangsa adalah contohnya. Kehadiran mereka mengundang sejumlah pertanyaan akan potensi pemuda yang dimanfaatkan oleh partai politik. Rata-rata pemuda yang tergabung dalam organisasi sayap pemuda itu adalah pemuda pengangguran, korban PHK, preman desa yang mudah untuk digerakkan. Sehingga kehadiran mereka menyisipkan sebuah potensi akan kekerasan dan kerusuhan massal yang dilakukan oleh generasi muda atas komando atasan mereka. “Yang penting kebutuhan kita bisa dipenuhi. Untuk bergerak, kita hanya tunggu perintah dari atasan,” kata Komang enteng.

Hal itu sungguh nyata terjadi. Saat pemasangan bendera. Semua Satgas partai dikontak dan dikumpulkan. Sebelum bergerak, makan dan minum-minum adalah sebuah tradisi. Baju-baju dan bendera dikumpulkan untuk dipasang atau dibagi-bagikan kepada simpatisan partai. Setelah agak “berat” (mabuk) sedikit, pemasangan benderapun dilakukan. Selesai bertugas, para Satgas kembali berkumpul untuk pengarahan dari Caleg (Calon Anggota legislatif) pengayom mereka. Setelah selesai pengarahan, mereka bubar untuk melanjutkan nongkrong dan minum-minuman keras sampai mabuk hingga larut malam. Jika kampanye atau konvoi keliling unjuk kekuatan, para Satgas partai ini berkumpul untuk menerima baju terbaru, uang konvoi, uang bensin dan sudah tentu uang makan. Setelahnya mereka akan berkumpul bersama—kembali—mendengarkan pengarahan atasan mereka.

Kehadiran oraganisasi pemuda sayap partai politik ini menjadi kekuatan yang sungguh luar biasa. Berbagai macam kebijakan partai bisa dijalankan dengan cara bijaksana, intimidasi dan tidak tanggung-tanggung dengan cara kekerasan yang sukses. Kerusuhan politik di Desa Petandakan, Buleleng hanya diawali dengan pelemparan batu generasi muda pada rombongan PDI-P setelah selesai Gerak Jalan Santai Sumpah Pemuda. Setelah itu, massapun tersulut dan terjadilah kerusuhan politik yang sangat menyedihkan. Belum lagi mencatat berbagai pemicu kekerasan yang dilakukan oleh organisasi pemuda partai politik ini. Di Tabanan, beberapa kali tertangkap pemuda yang menghancurkan posko PDI-P ataupun Golkar secara bergantian. Ketika posko Golkar coba dirusak, warga melihat pemuda setengah baya mengamuk dengan bertopeng hitam, bercadar layaknya pengawal Iman Samudra ketika ditangkap dan disiarkan berulangkali di TV. Tidak hanya itu. Setelah kasus Petandakan yang menelan 2 korban tewas, hari berikutnya kembali terjadi teror dan pelembaran bom molotov juga oleh kader muda partai politik. Teror di Desa Banyuning, Buleleng, sebuah kompleks perumahan sungguh mencekam. TV lokal Bali menayangkan bagaimana mencekamnya suasana desa itu setelah terjadi teror dengan bom molotov. Dalam tayangannya, stasiun TV ini menayangkan bagaimana reaksi warga yang penuh emosional menyetop mobil yang hendak lewat ke wilayah mereka. Juga ditayangkan bagaimana aparat kepolisian melakukan penyergapan dan penangkapan di malam hari pada tersangka teror di Desa Banyuning, Buleleng. Dan dari kerusuhan politik di Desa Petandakan dan Banyuning, Buleleng ditetepkan 21 tersangka yang didominasi oleh Satgas partai politik yang tergabung dalam sayap organisasi pemuda. Pentolan-pentolan Satgas telah ditangkap dan diintrogasi oleh aparat keamanan

Sekjen PDI-P, Soecipto dalam pernyataannya di media massa mengungkapkan tidak akan mau meminta maaf atas kejadian di Petandakan, Buleleng. Baginya, apa yang harus dimaafkan dari kerusuhan politik yang menelan 2 nyawa tersebut. Baginya, kader PDI-P, BMI lebih dulu dipancing untuk melakukan kerusuhan, lebih dulu diprovokasi dengan lemparan yang datang dari kantor partai Golkar. “Dulu Golkar juga melakukan teror dan intimidasi pada partai lain,” ujarnya. Golkar sebagai korban politik bertindak lebih “lembut”. Mereka menyerahkan kasus ini sepenuhnya pada aparat kepolisian untuk mengusut tuntas. Sebagai “korban”, Golkar betindak simpatik dengan menyerahkan bantuan upacara Pengabenan (pembakaran mayat di Bali), uang santunan, beasiswa pendidikan bagi keluarga dan anak korban

Tersirat jelas balas dendam pengulangan intimidasi serta teror dari pernyataan itu. “Jika Golkar saja bisa seperti itu dulu, kenapa PDI-P tidak sekarang,” begitulah setidaknya maksud dari pernyataan itu. Dendam dan imajinasi kekerasan masa lalu kini terlampiaskan di Bali, dengan kuda tunggangan partai politik. Dendam masa lalu adalah sebuah trauma akan ingatan pada bayangan kekerasan—pembantaian PKI di Bali yang menelan kurang lebih 80.000 nyawa atau kekerasan, intimidasi partai Golkar ketika berkuasa. Seluruh banjar (organisasi masyarakat terkecil di Bali), tentu masih ingat bagaimana “Politik keseragaman aspirasi politik” dilakukan di banjar-banjar dengan program Gebyar Golkarnya. Dalam acara ini, dipertunjukkan dengan berwibawa bagaimana harus mencoblos lambang partai golkar berpohon beringin, bernomor 2. Sebelum peragaan pencoblosan, dipentaskan Tari Janger (tarian anak muda yang sedang memadu kasih) yang lagunya diubah menjadi propaganda dan agitasi partai Golkar. Hal seperti ini mengingatkan kita pada tarian Genjer-Genjer yang dilakukan PKI untuk menyebarakan gagasan dan program mereka pada rakyat.

Politik di Bali adalah politik suryak siyu (bertepuk seribu untuk menganalogikan tepukan paling gemuruh, paling mendominasi). Partai politik yang menang Pemilu di Bali selalu menang mutlak. Saat Pemilu 1955, PNI (Partai Nasionalis Indonesia) unggul mutlak dengan 388.352 suara. Berdirinya Sekber (Sekretariat Bersama) Golkar pada 16 Januari 1966 di Bali adalah awal dominasi Golkar saat Pemilu 1971 menyingkirkan PNI. Inilah awal dari “kuningisasi” semua kehidupan di Bali sampai Pemilu 1998. Sampai kemudian PDI-P berhasil menjungkalkan Golkar, dan kembali suara dominasi dan menang mutlak. Pemilih adalah orang-orang yang sama, sedangkan setiap partai yang menang selalu dengan mutlak. Jadi, pemilihnya yang selalu melompat-lompat, loncat dari PDI-P ke Golkar atau sebaliknya, bahkan mendirikan partai baru.

Saya ingat bagaimana saya—ketika itu baru menjadi anggota sekaa teruna (organisasi pemuda) di Bali—dimohon dengan sangat untuk menghadiri Gebyar Golkar di banjar saya. Pak Lurah yang langsung menyatakan itu. “Tiang (saya) mohon dengan hormat, adik-adik untuk datang nanti. Ingat bajunya rompi yang sudah dibagikan,” kata Pak Lurah diiyakan seluruh anggota sekaa teruna. Begitu juga menjelang Pemilu 1998, kelihan (Ketua) sekaa teruna saya keliling mendatangi rumah anggotanya untuk membagikan baju PDI-P dan surat undangan mengikuti pawai dan pemasangan bendera besar di perempatan desa. “Ingat datang ya, anggota banjar juga ikut,” katanya yang saya ingat.

Berbagai janji-janji yang dilupakan—pengaspalan jalan yang dikorup, bantuan kemiskinan yang tersendat-sendat dan berbagai jani-jani bantuan lainnya—kekerasan militer pada rakyat di Aceh, Papua, dendam korban PKI yang harus menerima perlakuan diskriminatif sebagai “keluarga eks”, korupsi, ketidakadilan bagi koruptor, penjahat Hak Asasi Manusia, dibredielnya pers adalah sedikti dari trauma politik yang lama mengendap pada bayangan akan kekerasan di masyarakat Bali dan juga masyarakat Indonesia. Dendam lama itulah kini yang perlu tumpangan untuk pelampiasan. Di Bali pelampiaskan dendam bisa dilakukan saat-saat paruman (rapat) di banjar-banjar, saat upacara ritual keagamaan atau sekalian dengan tindakan kriminal. Maka tumpangan massal yang bisa dipakai saat ini adalah partai politik. Inilah tumpangan yang didalamnya penuh dengan 1001 dendam kader partai, anggota Satgasnya ataupun juga konflik dendam elite politiknya. Semuanya bergulat, berkolaborasi dan membentuk sebuah kesepakatan akan politik balas dendam yang harus dicarikan musuh bersama. Politik mepapas (berlalu, berseberangan) karena dendam paling nyata terjadi di Bali. Tumpangan untuk berbeda itu kini yang paling populer adalah partai politik.

Politik Trauma dan dendam politik masa lalu ini terjadi secara alamai, dan sama sekali bukan konflik ideologis antara merah dengan kuning atau lainnya. Trauma dan keinginan balas dendam inilah yang terus mencari tumpanganannya. Ia bisa massal jika tumpanganya sebuah wadah besar seperti partai politik, atau bisa menjadi kasus adat jika tumpangannya hanya organisasi adat seperti desa adat atau konflik ritual-ritual keagamaan. Tapi semuanya berelasi dalam kepentingan politik tertentu dan penyaluran balas dendam. Itu yang tercermin dari pengakuan yang polos dari Komang Semut, anggota Satgas BMI Satria Bela Bangsa, yang tidak tahu apa itu ideologi partai politik. “Wah, gawat sekali. Tiang (saya) tidak tahu apa itu ideologi, apalagi ideologi partai. Pokoknya Tiang ikut apa kata bapak-bapak saja,” ujarnya.

I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali. Sedang melakukan penelitian Broker Kekerasan: Pecalang, Preman dan Satgas Partai Politik di Bali untuk KITLV dan Universitas Amsterdam Belanda.

Tidak ada komentar: