Dari Angkatan-Angkatan Muda ke Satria-Satria Bela Bangsa
I Ngurah Suryawan *)
Dari kejauhan melalui speaker radio sederhana seorang kawan, sayup-sayup saya mendengar suara serak-serak agak berat. Sangat jelas terdengar suara lelaki paruh baya bernama Ketut Mungkreg membuka pembicaraan. "Tiang (saya) ingin komentar tentang kerusuhan di Buleleng. Sungguh, saya kembali teringat Gestok (Tragedi 30 September 1965). Kali ini, bukan hanya bayangan, tapi sudah saya lihat didepan mata saya," katanya dengan lirih dan berat dalam bahasa campuran Bali dan
Tapi kini, kekerasan dan kerusuhan yang menjadi barang haram pariwisata, sudah berada didepan mata masyarakat
Trauma dan pedihnya hati ketika menyaksikan halaman-halaman koran di
Minggu mencekam di Buleleng.
Selain Buleleng yang sudah kenyang dengan kekerasan dan kerusuhan politik, Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dalam pemanasan Pemilu 2004 ini mencatatkan diri sebagai daerah potensi kekerasan. Dua minggu sebelum kerusuhan Petandakan, di Jalan Soetomo Grenceng Denpasar adalah akarnya. Massa Golkar yang memasang bendera disepanjang ruas jalan tersebut disambut dengan perusakan dan penurunan bendera dari Satgas PDI-P. Bentrokan antara barisan BMI (Banteng Muda
Di sebuah warung kopi di Desa Kediri Tabanan, terjadi perbincangan serius tentang kerusuhan yang terjadi kurang lebih 1 Km dari tempat itu. Seorang lelaki muda, berbadan tegap, penuh tato berbaju Satria Bela Bangsa, menayakan bagaimana komisi saat kerusuhan itu. “Harus banyak akal sekarang. Saatnya menguras uang bapak-bapak (untuk menyebut calon anggota DPRD partai) sebelum nanti kita dikuras, “ celotehnya. Kata ngawurnya disambut tawa, tanda persetujuan
Ternyata, rakyat punya caranya sendiri untuk memainkan perang politik ini. Disamping unjuk kekuatan politik, rakyat juga punya agenda “politik” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kader partai politik tadi adalah preman desa, atau Brandes (Brandalan Desa), istilah di
Potret generasi muda korban PHK, luntang-lantung tak tentu arah inilah yang dirangkul oleh angkatan-angkatan muda serta barian-barisan muda partai politik. Gde Lempar ikut menjadi BMI, Satgas PDI-P dengan alasan yang sederhana. “Untuk uang tambahan, daripada saya bergantung dari penghasilan cuci motor yang tidak seberapa, “katanya ringan. Atau penuturan polos Komang Semut, yang menjadi Satgas FPD (Forum Peduli Denpasar) dan Laskar BMI Kota Denpasar. “Biar tiang (saya) ada kerjaan saja. Sudah tamat SMU, malu tidak dapet pekerjaan,” kata Komang. Setelah di PHK jadi Satpam sebuah perusahaa surfing di Kuta, Komang memang tidak punya sandaran hidup. Sampai kawan ayahnya menawarkan menjadi Satgas FPD. Sejumlah 100-an pemuda dihimpun untuk menjadi Satgas yang merangkap menjadi BMI, Satgas PDI-P
Generasi muda adalah kelompok potensial untuk dimanfaatkan oleh partai politik. Dengan kekuatan serta potensinya, pemuda adalah satu bagian yang harus “digarap” menjelang Pemilu 2004. Hal itu sangat disadari oleh partai politik. Sehingga tidak hanya satgas-satgas partai yang berdiri. Begitu perlunya sayap organisasi pemuda itu, maka muncullah berbagai organisasi pemuda sayap partai politik tertentu, yang sudah barang tentu berafiliasi ke partai tersebut. BMI, AMPG, Satria Bela Bangsa adalah contohnya. Kehadiran mereka mengundang sejumlah pertanyaan akan potensi pemuda yang dimanfaatkan oleh partai politik. Rata-rata pemuda yang tergabung dalam organisasi sayap pemuda itu adalah pemuda pengangguran, korban PHK, preman desa yang mudah untuk digerakkan. Sehingga kehadiran mereka menyisipkan sebuah potensi akan kekerasan dan kerusuhan massal yang dilakukan oleh generasi muda atas komando atasan mereka. “Yang penting kebutuhan kita bisa dipenuhi. Untuk bergerak, kita hanya tunggu perintah dari atasan,” kata Komang enteng.
Hal itu sungguh nyata terjadi. Saat pemasangan bendera. Semua Satgas partai dikontak dan dikumpulkan. Sebelum bergerak, makan dan minum-minum adalah sebuah tradisi. Baju-baju dan bendera dikumpulkan untuk dipasang atau dibagi-bagikan kepada simpatisan partai. Setelah agak “berat” (mabuk) sedikit, pemasangan benderapun dilakukan. Selesai bertugas, para Satgas kembali berkumpul untuk pengarahan dari Caleg (Calon Anggota legislatif) pengayom mereka. Setelah selesai pengarahan, mereka bubar untuk melanjutkan nongkrong dan minum-minuman keras sampai mabuk hingga larut malam. Jika kampanye atau konvoi keliling unjuk kekuatan, para Satgas partai ini berkumpul untuk menerima baju terbaru, uang konvoi, uang bensin dan sudah tentu uang makan. Setelahnya mereka akan berkumpul bersama—kembali—mendengarkan pengarahan atasan mereka.
Kehadiran oraganisasi pemuda sayap partai politik ini menjadi kekuatan yang sungguh luar biasa. Berbagai macam kebijakan partai bisa dijalankan dengan cara bijaksana, intimidasi dan tidak tanggung-tanggung dengan cara kekerasan yang sukses. Kerusuhan politik di Desa Petandakan, Buleleng hanya diawali dengan pelemparan batu generasi muda pada rombongan PDI-P setelah selesai Gerak Jalan Santai Sumpah Pemuda. Setelah itu, massapun tersulut dan terjadilah kerusuhan politik yang sangat menyedihkan. Belum lagi mencatat berbagai pemicu kekerasan yang dilakukan oleh organisasi pemuda partai politik ini. Di Tabanan, beberapa kali tertangkap pemuda yang menghancurkan posko PDI-P ataupun Golkar secara bergantian. Ketika posko Golkar coba dirusak, warga melihat pemuda setengah baya mengamuk dengan bertopeng hitam, bercadar layaknya pengawal Iman Samudra ketika ditangkap dan disiarkan berulangkali di TV. Tidak hanya itu. Setelah kasus Petandakan yang menelan 2 korban tewas, hari berikutnya kembali terjadi teror dan pelembaran bom molotov juga oleh kader muda partai politik. Teror di Desa Banyuning, Buleleng, sebuah kompleks perumahan sungguh mencekam. TV lokal
Sekjen PDI-P, Soecipto dalam pernyataannya di media
Tersirat jelas balas dendam pengulangan intimidasi serta teror dari pernyataan itu. “Jika Golkar saja bisa seperti itu dulu, kenapa PDI-P tidak sekarang,” begitulah setidaknya maksud dari pernyataan itu. Dendam dan imajinasi kekerasan masa lalu kini terlampiaskan di Bali, dengan kuda tunggangan partai politik. Dendam masa lalu adalah sebuah trauma akan ingatan pada bayangan kekerasan—pembantaian PKI di Bali yang menelan kurang lebih 80.000 nyawa atau kekerasan, intimidasi partai Golkar ketika berkuasa. Seluruh banjar (organisasi masyarakat terkecil di Bali), tentu masih ingat bagaimana “Politik keseragaman aspirasi politik” dilakukan di banjar-banjar dengan program Gebyar Golkarnya. Dalam acara ini, dipertunjukkan dengan berwibawa bagaimana harus mencoblos lambang partai golkar berpohon beringin, bernomor 2. Sebelum peragaan pencoblosan, dipentaskan Tari Janger (tarian anak muda yang sedang memadu kasih) yang lagunya diubah menjadi propaganda dan agitasi partai Golkar. Hal seperti ini mengingatkan kita pada tarian Genjer-Genjer yang dilakukan PKI untuk menyebarakan gagasan dan program mereka pada rakyat.
Politik di Bali adalah politik suryak siyu (bertepuk seribu untuk menganalogikan tepukan paling gemuruh, paling mendominasi). Partai politik yang menang Pemilu di Bali selalu menang mutlak. Saat Pemilu 1955, PNI (Partai Nasionalis Indonesia) unggul mutlak dengan 388.352 suara. Berdirinya Sekber (Sekretariat Bersama) Golkar pada 16 Januari 1966 di Bali adalah awal dominasi Golkar saat Pemilu 1971 menyingkirkan PNI. Inilah awal dari “kuningisasi” semua kehidupan di Bali sampai Pemilu 1998. Sampai kemudian PDI-P berhasil menjungkalkan Golkar, dan kembali suara dominasi dan menang mutlak. Pemilih adalah orang-orang yang sama, sedangkan setiap partai yang menang selalu dengan mutlak. Jadi, pemilihnya yang selalu melompat-lompat, loncat dari PDI-P ke Golkar atau sebaliknya, bahkan mendirikan partai baru.
Saya ingat bagaimana saya—ketika itu baru menjadi anggota sekaa teruna (organisasi pemuda) di Bali—dimohon dengan sangat untuk menghadiri Gebyar Golkar di banjar saya. Pak Lurah yang langsung menyatakan itu. “Tiang (saya) mohon dengan hormat, adik-adik untuk datang nanti. Ingat bajunya rompi yang sudah dibagikan,” kata Pak Lurah diiyakan seluruh anggota sekaa teruna. Begitu juga menjelang Pemilu 1998, kelihan (Ketua) sekaa teruna saya keliling mendatangi rumah anggotanya untuk membagikan baju PDI-P dan surat undangan mengikuti pawai dan pemasangan bendera besar di perempatan desa. “Ingat datang ya, anggota banjar juga ikut,” katanya yang saya ingat.
Berbagai janji-janji yang dilupakan—pengaspalan jalan yang dikorup, bantuan kemiskinan yang tersendat-sendat dan berbagai jani-jani bantuan lainnya—kekerasan militer pada rakyat di Aceh, Papua, dendam korban PKI yang harus menerima perlakuan diskriminatif sebagai “keluarga eks”, korupsi, ketidakadilan bagi koruptor, penjahat Hak Asasi Manusia, dibredielnya pers adalah sedikti dari trauma politik yang lama mengendap pada bayangan akan kekerasan di masyarakat Bali dan juga masyarakat Indonesia. Dendam lama itulah kini yang perlu tumpangan untuk pelampiasan. Di Bali pelampiaskan dendam bisa dilakukan saat-saat paruman (rapat) di banjar-banjar, saat upacara ritual keagamaan atau sekalian dengan tindakan kriminal. Maka tumpangan massal yang bisa dipakai saat ini adalah partai politik. Inilah tumpangan yang didalamnya penuh dengan 1001 dendam kader partai, anggota Satgasnya ataupun juga konflik dendam elite politiknya. Semuanya bergulat, berkolaborasi dan membentuk sebuah kesepakatan akan politik balas dendam yang harus dicarikan musuh bersama. Politik mepapas (berlalu, berseberangan) karena dendam paling nyata terjadi di Bali. Tumpangan untuk berbeda itu kini yang paling populer adalah partai politik.
Politik Trauma dan dendam politik masa lalu ini terjadi secara alamai, dan sama sekali bukan konflik ideologis antara merah dengan kuning atau lainnya. Trauma dan keinginan balas dendam inilah yang terus mencari tumpanganannya. Ia bisa massal jika tumpanganya sebuah wadah besar seperti partai politik, atau bisa menjadi kasus adat jika tumpangannya hanya organisasi adat seperti desa adat atau konflik ritual-ritual keagamaan. Tapi semuanya berelasi dalam kepentingan politik tertentu dan penyaluran balas dendam. Itu yang tercermin dari pengakuan yang polos dari Komang Semut, anggota Satgas BMI Satria Bela Bangsa, yang tidak tahu apa itu ideologi partai politik. “Wah, gawat sekali. Tiang (saya) tidak tahu apa itu ideologi, apalagi ideologi partai. Pokoknya Tiang ikut apa kata bapak-bapak saja,” ujarnya.
I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali. Sedang melakukan penelitian Broker Kekerasan: Pecalang, Preman dan Satgas Partai Politik di Bali untuk KITLV dan Universitas Amsterdam Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar