Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Kekerasan Tak Kunjung Padam

Kompas Selasa, 16 Desember 2003

Konflik dan Kekerasan yang Tak Kunjung Padam

SEBUAH harapan diawalinya sebuah era baru jalan nonkekerasan dalam konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pupus sudah. Harapan itu muncul ketika pemerintah membuka mata, memilih cara-cara damai, untuk menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua. Di pengujung 2002, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan penghentian permusuhan. Harapan melambung. Kesepakatan itu diharapkan akan menjadi akhir lingkaran kekerasan yang terjadi di Aceh selama puluhan tahun. Akan tetapi, jalan damai itu hancur dalam sekejap. Perang dikobarkan. Di Papua, janji otonomi khusus diingkari, bahkan wilayah itu kini dipecah menjadi tiga provinsi.

SABANG dan Merauke merupakan ujung dari mata rantai konflik dan kekerasan yang terjadi di Tanah Air. Belasan ribu orang telah mati sia-sia, dari Aceh hingga Papua, selama lima tahun masa transisi yang kini makin tidak jelas arahnya. Kekerasan dan pembunuhan atas dasar etnisitas dan keyakinan politik hingga sekarang belum berhenti sepenuhnya. Teror bom terjadi di pusat ibu kota negara. Pembunuhan terhadap petani yang memperjuangkan haknya atas sejengkal tanah terus saja terjadi. Hak orang miskin atas penghidupannya diabaikan. Mereka digusur secara paksa dengan menggunakan alat-alat kekerasan negara. Nyawa manusia dicabut demi kemenangan politik dalam pemilu. Sekolah pamong praja justru dijadikan sarang pembibitan budaya kekerasan. Kelompok-kelompok milisi sipil dari berbagai partai politik tengah bertarung dalam Pemilu 2004.

Kekerasan seolah melekat dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya muncul dalam peristiwa penting seperti peralihan kekuasaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Jamak terjadi seorang tak bersalah mesti kehilangan nyawanya, dikeroyok hingga mati, hanya gara-gara diteriaki maling. Setiap jam makan siang hampir seluruh stasiun televisi di Jakarta menyiarkan ke pelosok Tanah Air berita dan gambar-gambar yang mengeksploitasi darah dan mayat. Begitu kuatnya impresi orang asing terhadap kultur kekerasan di Indonesia hingga bangsa ini diidentikkan dengan kultur amuk yang kini telah bergeser maknanya dalam kamus asing untuk menunjuk semua tindakan brutal kekerasan yang membabi buta.

Antropolog asal Belanda, Freek Colombijn, mengemukakan kultur kekerasan di Indonesia berkembang tahun demi tahun. Akar sejarah kekerasan itu bisa dilacak jauh ke belakang di masa lalu. Bahkan, jauh ke sebelum kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto, rezim yang sering dikaitkan sebagai sumber dari seluruh permusuhan menakutkan di Indonesia. Menurut Cribb, genealogi kekerasan di Indonesia dapat dilacak ke belakang sampai masa kolonial, bahkan sampai masa prakolonial.

Ketiadaan penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan, penggunaan kekerasan secara eksesif oleh negara, dan dipergunakannya persenjataan berat oleh negara untuk menghadapi warga negaranya sendiri mengukuhkan gambaran kultur kekerasan yang ada di Indonesia. Pembantaian terhadap mereka yang dituduh terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timtim, Aceh, dan Papua, penembakan warga sipil dalam kasus Tanjung Priok, sampai kasus Mei, Semanggi I dan II, tidak diselesaikan secara serius atau bahkan dibiarkan berlalu. Kekerasan masih dipergunakan secara eksesif untuk melawan gerakan masyarakat sipil, termasuk dalam kasus penggusuran, kasus perburuhan, dan gerakan reclaiming tanah yang dilakukan para petani yang tak memiliki lahan. Senjata berat seperti tank dan pesawat tempur tidak hanya dipergunakan untuk menghadapi ancaman eksternal, tetapi juga dipergunakan untuk menghadapi gerakan separatisme.

KASUS Aceh merupakan bukti kasatmata bahwa budaya kekerasan mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. Puluhan tahun konflik di Aceh dicoba diselesaikan melalui pendekatan militer. Daerah operasi militer diberlakukan selama belasan tahun, baru dicabut pada masa pemerintahan BJ Habibie 1998. Ratusan orang menjadi korban kekerasan, dari pemerkosaan, penghilangan paksa, sampai pembunuhan. Akan tetapi, ketika pendekatan nonkekerasan untuk menyelesaikan kasus Aceh dicoba, wacana segera didominasi oleh opini kegagalan implementasi kesepakatan damai.

Di Jakarta justru berkembang opini perlunya menghabisi gerakan separatisme secara militer. Tokoh-tokoh pemerintah, elite politik di Senayan, wartawan, hingga rakyat kebanyakan hampir serempak memadukan suara mendukung operasi militer di Aceh. Di televisi, operasi militer disajikan tidak ubahnya sebagai berita kriminal. Seolah-olah menjadi orang Aceh adalah kejahatan. Karena itu, penghormatan harkat manusia tidak perlu diberlakukan. Setiap orang Aceh, tanpa peduli apakah mereka aktivis proreferendum, aktivis hak asasi manusia atau aktivis organisasi nonpemerintah, ataukah rakyat jelata yang ketakutan semuanya dipukul rata sebagai simpatisan dan pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Konflik di Aceh sekaligus berbicara tentang dimensi kultural dalam konflik. Kesamaan kultural dalam suatu kelompok, atas dasar etnisitas atau agama, sering menjadi pemicu munculnya perlawanan bersenjata untuk memperoleh otonomi kultural atau politik. Identitas kultural merupakan sebuah sarana yang kuat untuk mengikat suatu kelompok masyarakat untuk bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan tertentu. Karena itu, etnisitas maupun agama menjadi instrumen dalam konflik. Ketika identitas kultural itu bercampur baur dengan perasaan ketidakadilan dalam perebutan sumber-sumber ekonomi dan politik makin besar pula potensi konflik. Kombinasi antara identitas kultural, marjinalisasi ekonomi dan politik, tidak hanya muncul dalam bentuk gerakan separatisme seperti di Aceh dan Papua, tetapi manifes dalam berbagai konflik komunal yang terjadi di Tanah Air. Namun, aspek ekonomi dalam konflik tidak hanya terkait dengan marjinalisasi suatu kelompok, tetapi juga ada faktor ketamakan dari para pihak yang terlibat dalam konflik.

Di samping penderitaan yang dialami masyarakat luas, konflik selalu menjadi peluang ekonomi bagi sekelompok kecil orang. Konflik memungkinkan kelompok-kelompok penganggur, orang-orang tak berpendidikan, dan mereka yang tersisih pada saat normal memperoleh privilese dalam masa konflik. Merekalah kelompok yang direkrut sebagai anggota atau memimpin kelompok bersenjata. Namun, keuntungan ekonomi dan politik yang diperoleh pada saat konflik bukan hanya bersifat individual. Dari media, politisi, birokrasi, polisi, sampai militer memperoleh keuntungan dari konflik.

Birokrat memperoleh dana yang besar, tetapi bagaimana pertanggungjawabannya masih bisa dipertanyakan. Polisi dan militer akan memperoleh anggaran dalam jumlah besar dengan disetujuinya operasi di daerah konflik. Peluang bisnis ilegal dari pengamanan, jual beli senjata, penjarahan harta rakyat terbuka dalam suasana konflik. Selama konflik Maluku, peluru dan senjata menjadi komoditas transaksi. Peluru dan senjata dapat diperoleh dari aparat dengan beberapa ribu rupiah atau dibarter dengan seekor burung langka. Senjata dari masyarakat pun dikumpulkan dengan iming-iming ganti rugi uang.

Kekerasan dan konflik yang terjadi di beberapa daerah bagaimanapun telah memberikan peluang bagi restorasi politik militer. Sidharta Chandra dan Douglas Kemen dalam tulisannya di jurnal World Politics (Oktober 2002) menyimpulkan bahwa posisi politik militer Indonesia saat ini justru lebih kuat dibandingkan dengan ketika militer berada di bawah Soeharto. Militer memperoleh kekuasaan politik yang penting dari perannya sebagai pembela hak milik atas pulau terpencil di Indonesia. Tidak heran sejak operasi militer di Aceh, belanja militer meningkat pesat, suara kritis politisi terhadap militer menghilang, agenda untuk memperkuat kontrol sipil atas militer terkatung-katung. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berlatar belakang militer bermunculan sebagai calon anggota legislatif dan calon presiden. Bahkan mereka yang pernah dituding harus bertanggung jawab dalam kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Tiga bulan masa kesepakatan penghentian permusuhan antara RI dan GAM tinggal kenangan bagi masyarakat Aceh. Insiden kontak senjata maupun jumlah korban tewas menurun drastis. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) per 7 Oktober 2003, sejumlah 342 warga sipil tewas, 94 luka-luka, dan 101 hilang. Sedangkan data Polda Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan 319 tewas, 117 luka-luka, dan 108 hilang. Kepolisian juga menyebut data 816 anggota GAM tewas, 607 orang ditangkap, dan 466 orang menyerahkan diri. Versi TNI per 25 September menyebutkan 304 warga sipil tewas, 140 luka-luka. Sedangkan jumlah anggota TNI yang tewas mencapai 52 orang dan Polri 11 orang. Di pihak GAM 839 tewas, 989 ditawan, dan 483 menyerah.

Terhadap mereka yang menyerahkan diri, aparat keamanan melakukan pembinaan di Neuheun sebanyak 380 orang dan Meulaboh sebanyak 120 orang. Sejumlah 142 kasus makar diproses secara hukum, 830 kasus telah berada di tangan kejaksaan, dan 371 lainnya telah divonis. Persoalan yang muncul adalah sempitnya akses pembelaan hukum bagi mereka yang diduga terlibat GAM dan kekhawatiran. Dikhawatirkan pula mereka yang pernah ditangkap atau menyerahkan diri akan mengalami nasib seperti mereka yang pernah dituduh terlibat dalam PKI yang akan mendapat stigma dan diskriminasi seumur hidup.

Di Papua insiden kekerasan terjadi sepanjang 2003 meskipun tidak menimbulkan jumlah korban yang eksesif. Akan tetapi, pada awal 2003 pemerintah Jakarta menebarkan bibit konflik baru di Papua dengan dikeluarkannya Inpres Nomor I Tahun 2003 untuk memecah Papua dalam tiga provinsi. Di lain pihak UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tidak diimplementasikan secara konsisten. Padahal, UU otonomi khusus itu pernah dipuji sebagai jalan kompromi yang orisinal untuk menyelesaikan konflik dan meminimalkan gerakan separatisme di wilayah itu. Koordinator Kontras Papua, Pieter Ell, memperkirakan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua pada 2004 akan meningkat karena konflik elite daerah akibat pro-kontra pemekaran wilayah makin terbuka. Menurut pemantauan Kontras Papua, saat ini milisi-milisi sipil yang pernah terlibat di Timtim mulai masuk ke Papua.

Ketika kekerasan dan konflik yang menghadapkan negara dan rakyat cenderung makin intens, sepanjang 2003 konflik komunal yang terjadi di berbagai daerah cenderung menurun. Maluku yang didera konflik komunal sejak Januari 1999 dengan korban tewas antara 4.000 sampai 9.000 orang mulai tenang. Satu dua insiden kekerasan masih terjadi, tetapi kehilangan daya tariknya bagi masyarakat. Di Poso sejak Agustus 2003, insiden-insiden kekerasan secara sporadis terjadi di beberapa wilayah. Insiden itu berupa penembakan, peledakan bom, serangan kelompok bersenjata, maupun pembakaran bangunan dan rumah milik warga. Pada akhir November lalu, empat korban tewas dan empat lainnya luka- luka dalam penyerangan di Poso Pesisir dan Kecamatan Ulu Bongka Pesisir. Akan tetapi, insiden-insiden itu didalangi oleh kelompok-kelompok profesional bersenjata sehingga tidak bisa serta-merta disamakan dengan konflik-konflik sebelumnya. Anehnya ketika polisi dengan cepat bisa mengungkap kasus-kasus peledakan bom yang dikaitkan dengan terorisme, berbagai insiden yang terjadi di Poso lama bisa diungkap.

Meredanya konflik komunal di berbagai daerah tidak mampu menghapus identitas kekerasan yang melekat dalam bangsa Indonesia. Kasus-kasus kekerasan bermunculan di berbagai daerah dilakukan oleh negara. Penggusuran, konflik perburuhan, dan konflik agraria dihadapi dengan alat-alat kekerasan negara. Sama persis dengan cara-cara yang dipilih rezim otoriter Soeharto.

PAKAR studi konflik dari Universitas Oxford, France Stewart, menyebut empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat kategori itu adalah negara dengan pendapatan dan pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat dalam konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat perbedaan horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim yang lebih demokratis. Indonesia serta-merta bisa masuk dalam keempat kategori itu sekaligus.

Stewart menekankan perlunya kebijakan pencegahan dilakukan. Untuk mencegah konflik, kata Stewart, beberapa kebijakan perlu dilakukan, yakni koreksi untuk memperkecil perbedaan horizontal, memperkecil fungsionalitas konflik, dan mempromosikan pembangunan adil dan imparsial. Dari aspek ekonomi, upaya mengurangi perbedaan horizontal itu dapat dilakukan dengan land reform dan kebijakan untuk mempromosikan akses yang seimbang pada aset industrial dan ketenagakerjaan. Pemberian akses seimbang ini termasuk kebijakan kredit perbankan yang memberikan akses kepada semua kelompok dalam masyarakat.

Tindakan yang mesti dilakukan itu justru tidak dilakukan, bahkan sebaliknya. Pilihan strategi pembangunan ekonomi yang mengabdi pada kapitalisme global dan neoliberalisme yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru justru diperkuat kembali saat ini. Pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan kontribusi usaha-usaha besar dan konglomerasi justru makin memperkuat perbedaan horizontal yang sering berkorelasi positif dengan problem etnisitas. Jakarta merupakan contoh telanjang dari sebuah kebijakan negara yang menutup mata terhadap penguatan inklusivitas kelompok-kelompok ekonomi dalam masyarakat. Gubernur Sutiyoso dengan gencar membangun etalase sepanjang Monas, Thamrin, Sudirman. Puluhan miliar rupiah dibelanjakan untuk mempercantik Monas, memugar patung Krisna, merenovasi Bundaran Hotel Indonesia, dan bongkar pasang taman di sepanjang jalan itu.

Tindakan afirmatif untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial yang termarjinalkan secara ekonomi dan politik perlu dilakukan. Akan tetapi, ketika upaya jangka panjang yang memerlukan komitmen yang kuat dari para pemimpin negara, ancaman konflik yang terkait dengan berbagai peristiwa politik ada di depan mata. Menjelang Pemilu 1999, berbagai kelompok masyarakat dan media secara terbuka mengampanyekan pemilu secara damai. Kampanye itu berhasil baik karena di tengah konflik yang berkecamuk di berbagai daerah pada waktu itu, pelaksanaan Pemilu 1999 berlangsung damai. Desakan pemilu damai itu tidak muncul signifikan hingga saat ini. Bahkan jauh sebelum kampanye Pemilu 2004 dilakukan, 26 Oktober lalu dua pendukung Partai Golkar tewas dalam bentrok antara pendukung PDI-P dan Golkar di Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali.

Pemilu 1999 yang dipuji dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis dan damai, bila dicermati lebih dalam, ternyata media untuk menebarkan dan memperkuat konflik komunal. Konflik Poso pada awalnya sangat terkait dengan kompetisi elite lokal. Saat konflik Poso meletus pertama kalinya Desember 1998, saat itu berakhir masa tugas Bupati Arief Patangga.

Perebutan kursi kepala daerah terjadi antara Sekwilda Yahya Patiro dan Damsyik Ladjalani, keduanya tokoh Golkar. Akan tetapi, Damsyik didukung PPP dan tokoh-tokoh Muslim dan Patiro didukung PDI-P dan tokoh-tokoh Kristen. Keduanya gagal menjadi bupati yang dipilih anggota DPRD hasil Pemilu 1999. Konflik memanas lagi saat sekwilda baru mau ditunjuk. Seorang tokoh PPP mengancam akan ada kerusuhan apabila Damsyik tidak ditunjuk sebagai sekwilda. Sebaliknya tokoh-tokoh Kristen menuntut sekwilda dari kalangan mereka sebagai bagian dari power sharing.

Di Maluku, konflik etnis yang berlangsung selama empat tahun juga dipengaruhi konflik elite lokal. Setelah Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dibentuk sampai ke pelosok daerah, posisi politik dan jabatan-jabatan birokrasi yang semula didominasi kelompok Kristen di Maluku tergusur. Sejumlah laporan juga menyebutkan diembuskannya sentimen antipendatang dilakukan dalam rangka mengatrol perolehan suara PDI-P. Di Maluku Utara pembentukan Kecamatan Makian-Malifut yang menjadi pemicu konflik di wilayah itu merupakan bagian dari perebutan kekuasaan. Pembentukan provinsi, kabupaten, dan kecamatan baru di berbagai daerah dalam banyak kasus terkait dengan penegasan garis- garis etnisitas.

Berakhir atau berkembang biaknya konflik dan kekerasan sedikit banyak bergantung pada para komitmen pemimpin politik yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2004. Apakah mereka mempunyai kepedulian untuk mempertahankan eksistensi Indonesia tanpa jalan kekerasan, apakah mereka punya akal dan kreativitas untuk menyelesaikan konflik dan ketidakpuasan yang terjadi di berbagai daerah dan dalam kelompok masyarakat, apakah mereka mempunyai komitmen untuk mengurangi perbedaan horizontal yang terjadi dalam masyarakat dengan keberpihakan pada rakyat kecil? Ataukah sebaliknya, mereka memilih mengeksploitasi sentimen- sentimen etnis dan agama demi kepentingan jangka pendek diri sendiri dan kelompoknya untuk memperoleh suara dalam pemilu. (P Bambang Wisudo)

Tidak ada komentar: