Who am I

Who am I

Senin, 14 April 2008

Menangkap Maling dengan Maling

Jagoan dan Kekerasan : Menangkap Maling dengan Maling
I Ngurah Suryawan

Kelompok-kelompok paramiliter juga direkrut dan dilatih oleh tentara untuk melawan gerakan separatis di Aceh dan Timor-Timur pada tahun 1990-an. Kelompok-kelompok ini mengembangkan budaya kekerasan yang mendorong praktik-praktik tertentu seperti ditunjukkannya kepada publik mayat anggota pembelot, pemenggalan kepala, perkosaan, serta serangan misterius di malam hari oleh apa yang disebut ninja, serta dilancarkannya ancaman kepada keluarga korban kekerasan. Satuan-satuan militer elit yang melatih mereka ini juga tampaknya melakukan kekerasan dan terror sepanjang kekuasaan Orde Baru untuk menindas oposisi serta menangani masalah-masalah social. Pembunuhan eksta-judisial yang dikenal sebagai petrus (penembak misterius) pada tahun 1984 adalah salah satu contoh ini, yang belakangan dijelaskan Soeharto dalam autobiografinya
sebagai “shock treatment”.
(Elizabeth Fuller Collins, Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan, 2002)


Ilustrasi awal yang dihadirkan semoga menarik, paling tidak untuk menguraikan masyarakat kecil memandang keampuhan “memajang tokoh aparat atau jagoan local” untuk menakut-nakuti kelompok kekerasan yang lain. Dalam bahasa yang sering beredar, “Inilah pentingnya punya dekking” (sosok yang menjadi pelindung).
Cobalah berjalan-jalan ke mana saja di negeri ini, akan mudah diketemukan orang-orang, gedung-gedung, hingga kendaraan-kendaraan yang secara fisik mendekatkan diri dengan nuansa militeristik. Ada stiker berbunyi, “We Are the Big Family Kopassus”. Ada kaos loreng (“Army Look,” demikian istilah perancang busana) yang dikenal remaja-remaja, bertuliskan, “Indonesian Army, Yes!” Lalu, masuklah ke warung-warung tegal, biasanya akan terpampang foto berbingkai seorang pria gagah beruniform militer, lengkap dengan tanda pangkatnya. Jika kita tanyakan ke si pemilik warung, siapakah mereka, jawabannya, ”Ini lho mas, supaya preman ngaak macem-macem.” (FX Rudy Gunawan dan Nezar Patria, 2000: 1-2).
Kehadiran kelompok organisasi massa dan barisan milisi-milisi local bagai jamur di musim hujam. Angin demokratisasi dan otonomi daerah menguatkan kehadiran para “jagoan-jagoan local” ini dengan alasan “memberdayakan potensi masyarakat”. Kelompok-kelompok kekerasan ini hadir memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Kehadiran mereka tak jarang menebar terror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan di kalangan pihak tertentu yang berkepentingan.[1]

Peran kelompok kekerasan ini seolah “mengunci” peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah masyarakat. Jejeraring mereka menembus tapal batas kuasa politik di ranah negara dan masyarakat. Kondisi ini tidak mengherankan karena kelompok-kelompok kekerasan ini memiliki akar tradisi sejak Indonesia modern belum lahir. Dinamikanya terkadang mengalami fase pasang dan surut, tergantung konstelasi politik yang berkembang. Aktor utamanyapun dapat saja mati menemui ajalnya, entah karena ter(di)bunuh atau melalui proses hokum alam. Namun demikian, karena tradisi dan habitatnya belum punah maka seperti pepatah yan berkembang di masyarakat, patah tumbuh hilang berganti, dalam arti ritus kekerasan itu selalu melahirkan aktor-aktor baru seiring dengan fase zamannya yang terus bergerak. (Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, 2006: ix-x)

Karakter kekerasan, represi dan terror itulah yang membentuk watak system social kemasyarakatan di Indonesia. Yang sangat kentara sekali adalah saat Orde Baru berkuasa. Di penghujung 1990-an, menjelang kejatuhan Soeharto, negara memanfaatkan peranan milisi untuk mengelola konflik yang terjadi di masyarakat. Untuk mempertahankan kekuasaannya, negara justru melempangkan jalan bagi didirikannya pasukan-pasukan partikelir bersenjata dengan tujuan melahirkan konflik-konflik horizontal di masyarakat. Melihat fenomena kelahiran dan kehadiran banyaknya milisi-milisi yang mempergunakan sentimen agama, kelompok, dan golongan pada decade 1990-an ini. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah Pam Swakarsa saat Sidang Istimewa November 1998 serta Front Pembela Islam pada Sidang Umum MPR, Oktober 1999, atau Jihad Fisabillilah, dan Furkon.[2]
Selain milisi-milisi yang dibentuk oleh ormas-ormas tertentu dengan pendanaan dan fasilitas oleh elite-elite politik dan militer, maka pemerintah secara formal juga membentuk Rakyat Terlatih (Ratih) dan Kamra yang kehadirannya dilegalisasi secara juridis berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. (FX Rudy Gunawan dan Nezar Patria, 2000: 10).
Tumbuh suburnya kelompok milisi ini, dan juga legalisasi dari pemerintah menunjukkan bahwa rezim otoritarian Orde Baru menerapakan praktik kekerasan dengan “mempersenjatai” rakyat untuk kepentingan kekuasaannya. Atau dalam bahasa (Alm) Munir, rezim Orde Baru adalah rezim yang “yakin benar bahwa kekerasan adalah metode yang paling pas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat”.

Sebuah rezim yang yakin bahwa harmoni dan kepatuhan masyarakat hanya bisa dikontrol lewat alat-alat represif sehingga kekuatan-kekuatan represif terdorong untuk berfungsi. Termasuk memobilisasi kekuatan-kekuatan masyarakat untuk menjadi kekuatan represi. Sebelum Ratih dan Kamra adalah Hansip dan aktivitas Siskamling di setiap kampung. Karakter semacam ini bukan khas atau dominasi rezim Orde Baru, tapi yang pasti Orde Baru telah sukses menerapkannya selama 30 tahun sehingga membuat kita lupa bahwa kultur social itu dibangun lewat represi. (FX Rudy Gunawan dan Nezar Patria, 2000: 8).

Genealogi Para Jagoan
Ong Hok Ham mencatat para milisi, jagoan, dan kelompok-kelompok kekerasan sudah akrab dalam sejarah Indonesia. Istilah yang umum dipakai adaalah “tukang pukul”, atau jago. Namun ada beragam istilah dalam sejarah untuk menyebutkan para satuan kekerasan ini yaitu brandal, weri, blater. Berbagai istilah ini bergantung pada daerah, waktu, dan fungsi yang dipegang. [3]
Geneologi kelompok jagoan ini dalam catatan Henk Schulet Nordholt sudah ada sejak zaman kolonial, di mana terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan masyarakat desa seperti pencurian sapi, pemerasan, penyelundupan candu, kekerasan, dan terutama intimidasi sebagai fenomena sehari-hari. Pelaku-pelaku yang paling penting dalam hal ini adalah para jagoan. Istilah jagoan tidak hanya merujuk suatu kebudayaan yang menekankan maskulinitas, kejantanan, keahlian dalam berkelahi, dan kekuasaaan yang diperoleh secara ‘magis’, melainkan juga suatu kategori baru ‘orang kuat’ lokal yang beroperasi di sisi kelam pemerintahan kolonial.
Pekerjaan mencuri milik lembaga-lembaga lokal yang menyediakan pekerjaan untuk banyak orang, dan untuk beberapa orang merupakan kesempatan untuk menanam modal, dan menawarkan keuntungan-keuntungan bagi para pelindung kelompok jagoan ini. Tak ada pemimpin desa yang menganggap desanya aman dan beres, jika ia tidak memelihara sekurang-sekurangnya seorang pencuri/maling atau biasanya beberapa orang yang bekerja di bawah komando maling tua dan bijaksana, yang disebut ‘jagoan’.
Bentuk kejahatan di pedesaan yang dilakukan oleh para jagoan ini ternyata tidak bisa ditampik oleh pemerintah kolonial. Kejahatan pedesaan ini terjadi sebagaian besar terjadi karena ketidakmampuan institusi pemerintah resmi desa (khususnya di Jawa) dalam mengendalikan seluruh desa. Oleh karena itu mereka terpaksa mengerahkan para jagoan, dengan imbalan bebas menjalankan kegiatan kriminal mereka.[4] Karena itulah Ong Hok Ham menegaskan:

Gejala jago berhubungan erat dengan tidak adanya negara sentral (pusat) yang kuat dengan institusionalisasi kekuasaan. Negara masa lampau terlalu mendasarkan diri pada charisma raja dan penguasa setempat. Kendati demikian, charisma ini juga merupakan legitimasi yang diberikan dari bawah. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan charisma pada seorang pemimpin local atau dalam skala lebih luas meskipun dia menentang penguasa[5]

Dengan mengutip Soemarsaid Moertono, Ong Hok Ham mengungkapkan penguasa tradisonal biasanya memilih orang terkuat di dalam masyarakat sebagai jago atas dasar prinsip politik tradisional. Istilah “menangkap maling dengan maling” menunjukkan betapa pentingnya peran kekerasan dalam masyarakat tradisinal, karena organisasi jago menunjukkan worlordism (militerisme) baik dalam skala kecil maupun luas. Jago adalah tukang pukul dalam arti luas.[6]
Khususnya di Bali, untuk melihat sejarah organisasi massa pemuda tidak bisa dilepaskan dengan kolonialisme. Geoffry Robinson mencatat organisasi milisi yang melibatkan pemuda-pemuda desa sebagai satuan pengamanan terlihat jelas saat pendudukan colonial Jepang. Khususnya di Bali dan mungkin sebagain besar daerah di Indonesia. Geoffry menguraikan:

Organisasi massa pertama dan terbesar yang berdiri di Bali adalah seinendan atau perkumpulan Pemuda, yang dikendalikan oleh jawatan propaganda Jepang, sendenbu. Merekrut lelaki berusia antara 12 dan 30 tahun mulai akhir 1943, cabang-cabangnya pertama terbentuk di Denpasar, ianyar, dan Negara pada November 1943. Cabang-cabang lainnya menyusul, dan memasuki 1944, kesatuan-kesatuan Seinendan telah benar-benar terbentuk di seluruh distrik dan desa di pulau Bali di mana, mereka resminya bertugas sebagai pasukan keamanan local dan penajag desa.[7]

Inisiasi dan latihan organisasi milisi pemuda ini bersifat militeristik, namun anggota tidak diperbolehkan menyandang senjata kecuali bambu runcing, yang belakangan jadi symbol romantic perjuangan pemuda melawan Belanda.[8]
Freek Colombijn (2005) mengungkapkan selama Revolusi Indonesia (1942-1945), jagoan-jagoan memiliki kesempatan luas untuk membangun reputasi sebagai orang kejam. William Frederick mengemukakan kisah-kisah yangmendirikan bulu roma mengenai kekerasan oleh orang Indonesia terhadap orang Belanda tetapi juga pada orang Indonesia sendiri. Pada akhirnya, apa yang paling mengerikan adalah bukan kebrutalan itu sendiri tetapi kenyataan bahwa pemimpin sipil dan militer Indonesia senang sekali menggunakan jagoan-jagoan: kekerasan yang ekstrim cenderung dilihat dari sisi manfaat praktis terlebih dahulu dibandingkan dari sisi moral. Kekerasan dan ketakutan yang ekstrim merupakan alat yang berguna dan secara moral dapat diterima, meski barangkali berpotensi berbahaya.[9]
Pengalaman kolonial memberikan pelajaran bahwa kejahatan, aksi-aksi kriminalitas dengan negara, pemerintahan, ternyata saling memperkuat. Negara mempunyai formasi dan sistem untuk menggerakkan pemerintahan, tapi seiring sistem dan formasi itu macet, muncullah kelompok-kelompok massa, milisi dan para jagoan ini untuk menawarkan jasa pengamanan “membantu” pemerintah. Negara dan kejahatan berelasi kuat dan menciptakan sebuah jaringan mafia kejahatan. Sungguh sulit membedakan mana kelompok jagoan, para milisi dengan “aparat berwajib”.
Pada masa kini, masyarakat sering menyebutnya sebagai “preman”. Preman berasal dari dari kata ‘vrij-man’ yang berarti orang yang bebas dari kerja paksa. Arti ini kemudian berubah dari ‘prajurit berpakaian sipil’ serta ‘agen dalam samaran’ menjadi ‘perantara kekerasan politik’.[10] Dalam isitilah geneologi, preman adalah ‘cucunya’ jagoan. Dari jagoan, preman belajar ‘bisnisnya”. Negara dan kajahatan menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Di dalamnya terdapat pertarungan memperebutkan akses dan keuntungan ekonomi politik yang tak terhindarkan. Dalam kasus Bali, munculnya kelompok massa para milisi dan jagoan ini saling menguatkan dengan negara, antar keduanya terdapat “hubungan manis”.
Praktik “hubungan manis” dan “pelenyapan” negara (kekuasaan) dengan para organisasi milisi serta para jagoan ini terlihat jelas pada saat rezim Orde Baru berkuasa. Pada masa itu stabilitas politik menjadi syarat mutlak dan musuh-musuh negara sebisa mungkin dapat dibabat habis. Lembaga yang berwenang untuk itu adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Jagoan yang berkeliaran juga menjadi sasaran operasinya. (Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, 2006: xiv).
Pemerintah Orde Baru memiliki dua pola pedekatan terhadap jago; perangkulan dan penindasan.

Perangkulan: Pemerintah Orde Baru mencoba merangkul jago-jago dengan melembagakan mereka. Jika dirangkul dan dilembagakan, jago-jago, menurut pandangan pemerintah, lebih gampang diawasi, diatur, dan dikontrol. Mereka yang berhadapan dengan massa ketika ada demonstrasi mahasiswa atau demo buruh. Tentara dan polisi berada di belakang mereka. Salah satu lembaga yang paling menonjol adalah Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh Yapto. PP memiliki cabang di seluruh Indonesia dan menjaga keamanan di tempat hiburan malam dsb.

Penindasan: Jagoan-jagoan tidak mungkin dirangkul semua oleh pemerintah dan masih tetap saja ada jagoan yang berkeliaran di jalanan. Ketika Orde Baru memulai, usaha pengamanan swasta untuk industri, tempat hiburan, pasar dlll. Pun bermunculan. Pertumbuhan usaha tersebut menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara mereka dan tidak terkendali. Ketika Laksamana Soedomo menjabat sebagai Panglima Kopkamtib, Kopkamtib membubarkan segala bentuk usaha swasta di bidang pengamanan dan membubarkan gang-gang anak muda. Pada pertengahan 1980-an juga ada penindasan terhadap preman. Ribuan preman ditembak mati di tempat secara misterius. (Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, 2006: xiv).

Pernyataan dan kesan yang serupa juga diungkapkan oleh Joshua Barker. Dalam Vigilantes and the States (tanpa tahun), Ia mengungkapkan sungguh rumit untuk menguraikan secara sederhana telah terjadi “kekerasan negara” tanpa kemudian menjelaskannya secara mikro dalam hubungan-hubungan yang sangat rumit antara vigilante violence ke state violence, atau antara barisan milisi dan polisi. Semuanya tidak bisa dijelaskan secara hitam putih, hubungan mereka “Blurred” dan kita harus memeriksa relasi yang membentuk hubungan tersebut dan kepentingan yang mendasarinya. Lebih lanjut Joshua Berker menuliskan:

The myth of state power during the New Order was that all these micro-level machines and their routine forms of violence were part of a giant whole that was pyramidal in shape and unified in form and content. In the realm of policing, this myth was enshrined in official and unofficial government policies and practices that sought to co-opt vigilante groups and put them to work for the rulling party, the police, or the army. There is no denying that theses policies had real effects. When I conducted research on urban policing during the mid-1990s , I found a security “system” in which neighborhood watches, preman, and private security guards worked in close collaboration with the ruling party, the army and the police. In most cases these groups offered themselves up to be cultivated and supported by elements within the New Order regime. However, even then there were many cases in which such groups acted relatively independently of the regime, occasionally standing in outright defiance of its authority. [11]

Dalam konteks Bali, salah satu faktor penting munculnya kelompok massa para jagoan ini menunjukkan relasi penting dari Bali sebagai destinasi “sorga pariwisata”. Pariwisatalah yang memungkinkan lahir beragam infrastruktur pendukungnya seperti diskotik, jaringan prostitusi, bisnis narkotika, traffiking, dan bentuk kriminalitas lainnya, di samping ideologi, wacana, dan cara berpikir manusia Bali. Tapi di tengah gempuran fenomena globalisasi tersebut, selalu muncul reaksi kembali ke tradisi, mencari celah keaslian untuk menjawab tantangan globalisasi. Munculnya satuan pecalang sebagai ikon “tradisi Bali” menunjukkan bagaimana derasnya globalisasi ditanggapi dengan “memberdayakan adat”. Salah satu bagian penting dari “tradisi dan adat” tersebut adalah satuan pecalang sebagai penjaga kebudayaan Bali.
Kelompok milisi dan para jago bermain dalam ruang-ruang kehidupan intim masyarakat. Kalau pecalang berbendera “adat dan tradisi”, kelompok milisi seperti yang dijelaskan di atas menjadi barisan broker kekerasan, yang masuk dalam jejaring akses kekuasaan dan modal. Pecalang pun tidak bias dipisahkan hanya sebagai “penjaga tradisi” saja. Ia telah masuk dalam ruang-ruang kekuasaan dan modal yang dilakukan Desa Pakraman. Gerakan “penertiban penduduk” menunjukkan bagaimana lahan uang bernama “penertiban” menghidupi biaya operasional satuan pecalang ini. Dengan “kekuasaan tradisi” inilah pecalang menghidupi dirinya.
Saling melindungi, begitulah posisi antara kekuasaan dan para jagoan lokal ini. Sejarah para jagoan dan kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan dari perebutan ruang-ruang ekonomi dan pengaruh politik. Geneologi preman terbentuk dari mengganasnya kriminalitas dan politik kepentingan kekuasaan. Maka jangan salahkan jika para satuan pengamanan terlatih dan resmi seperti tentara dan polisi menjadi pembina dari kelompok-kelompok preman ini. Akhirnya preman menjadi sebuah kekuatan yang bisa tumbuh sumbur dan disemai benihnya oleh kekuatan-kekuatan pemerintah untuk kemudian dijadikan kepentingan politik kekuasaan. Kasus para militia saat pembantaian massal PKI di Bali menunjukkan hal itu. Para tameng--barisan pemuda dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang dilatih tentara untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI—dijadikan bemper untuk mengadu domba rakyat, sementara tentara menyaksikan bagaimana brutalnya pembantaian dilakukan tanpa kejelasan dan alasan yang tepat. Sentimen, masalah pribadi, masuk menjadi benang kusut yang kemudian menjadi antitesis pembantaian ’65 bukanlah sebuah genocide yang terencana tapi juga hasil sebuah pertarungan dan politik kepentingan ritual, status, tanah dan segala macam konflik yang lama terpendam. Setelah tameng melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI, selanjutnya para tameng ini yang dibunuh oleh tentara karena mereka juga menjadi daftar hitam serta melenyapkan jejak-jejak kesaksian.
Berperannya para jagoan, milisi dengan gaya teror dan kekerasan didepan mata diakomodasi oleh negara untuk melakukan tekanan kepada masyarakatnya. Negara menjadi bagian yang sangat diuntungkan dalam konteks seperti ini. Negara akan dengan senang hati menaungi para kelompok jagoan ini untuk kemudian melakukan pelenyapan terhadap gerakan kritis lainnya. Politik adu domba dan menghorizontalkan konflik adalah gaya pemerintah untuk menyaksikan dengan gembira bagaimana konflik dan kekerasan terjadi di antara kelompok preman dan masyarakat. Padahal negara menjadi sebuah kontestan yang penting sebagai dalang dari sebuah skenario tadi. Tapi, memang tidak mudah untuk menjelaskan teori kuasa negara yang begitu konspiratif dan “besar”. Ada baiknya untuk mengurai dan mendetailkan kembali bagaimana operasi bekerjanya para jagoan, milisi dan preman tadi dalam kontestasi politik yang ada dalam konteks lokal. Operasi mereka tentu menyentuh pada kepentingan politik dan ekonomi yang menaungi mereka seperti menjadi “peliharaan bupati”, tukang pukulnya tokoh elite politik, atau yang lainnya.
Studi awal satuan pecalang dan kelompok milisi ini ingin mulai melihat bagaimana keterkaitan pariwisata, budaya, dan kekuasaan menciptakan barisan-barisan “penjaga tradisi” yang diwakili dengan lahirnya pecalang, Tidak hanya itu, industri pariwisata juga melahirkan satuan milisi penjual jasa keamanan yang “dipelihara” menjadi anak manis dari kekuasaan resmi.
Memang sejarah organisasi jago tidak bisa dilepaskan dari “kekuasaan resmi”. Tapi kekuasaan resmi yang ada pada negara telah menyebar dalam masyarakat dan membentuk jejaring kekuasaan. Kekuasaan resmi adat misalnya yang melahirkan pecalang. Bentuk operasi lainnya diperankan oleh satuan bernama organisasi milisi dan jagoan lokal. Bagaimana mereka beroperasi serta relasinya dengan akses ekonomi politik kekuasaan akan terurai jika kita bisa melihat “jejaring kekuasaan” yang membentuk mereka. Sungguh rumit memang…






[1] Lebih lengkap lihat, Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, (Yogyakarta: IRE Press dan CSEAS Kyoto University, 2006) hlm. ix- xxi.
[2] Lebih lanjut lihat Tim ISAI (Editor: Togi Simanjutak, Penulis: FX Rudy Gunawan, Nezar Patria), Premanisne Politik, (Jakarta: ISAI, 2000), khususnya dalam Bab II Milisi di Tengah Krisis Ekonomi, hlm. 9.
[3] Lihat Ong Hok Ham, Peran Jago dalam Sejarah, dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Sejarah Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm.101-106.
[4] Lihat Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 10-11.
[5] Ong Hok Ham, op.cit, hlm.102.
[6] Ibid.
[7] Geoffry Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasa Politik, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm.133.
[8] Ibid.
[9] Lebih jauh lihat Freek Colombijn, Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia, Pelajaran dari Sejarah dalam Dewi Fortuna Anwar dkk, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, (Jakarta: Penerbit Obor, 2005) hlm. 281-308.
[10] Loren Ryther, Nico Schulet Nordholt via Henk Sculte Nordholt, op, cit.
[11] Joshua Barker, Vigilantes and the State (tanpa tahun), naskah tidak dipublikasikan.

Tidak ada komentar: