Who am I

Who am I

Senin, 07 April 2008

Pecalang: Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris

Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris :
Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali

I Ngurah Suryawan



Akibat jalinan mesra antara pembangunan dan pariwisata, kebudayaan Bali direduksi menjadi “benda” daripada suatu proses, sebuah objek berharga yang bisa diberi cap dan dijual pada turis melalui jalur “pariwisata budaya.” Kebudayaan menjadi semacam barang berharga yang harus dijaga oleh orang Bali yang diwakili oleh para pecalang. Perasaan “siaga satu” perlu dibina terus.[1]


Nyoman Losmen terheran-heran. Anaknya sudah seminggu terus berpakaian ngadat, berbusana adat. Bahkan ini sangat berbeda, tidak seperti pakaian adat untuk ritual di pura yang sering mereka lakukan, dengan kebiasaan kemeja putih dan kamen, kain kuning, dilengkapi destar putih. Anaknya Ia lihat berkali-kali keluar dari kamar berbaju kaos berwarna merah tangan panjang, memakai rompi hitam, lengkap dengan simbol di bajunya berbentuk senjata cakra dan bertuliskan, Pecalang Desa Pakraman. Selain itu, kamen dibalut dengan kain poleng (warna hitam putih).
Nyoman Losmen lebih heran ketika anaknya juga menyelipkan keris di punggungnya. Tidak hanya keris, tapi juga alat komunikasi seperti handphone dan walkie-talkie yang terlihat jelas di dalam tas pinggangnya. Tidak lupa kaca mata hitam dan destar batik dihiasi bunga berwarna merah. Nyoman Losmen perlahan mengerti, sudah seminggu ini anaknya mengikuti pelatihan yang diadakan kepolisian daerah bersama prajuru, pengurus, desa pakraman, institusi adat di Bali. Anaknya menjadi bagian dari satuan pecalang desa yang disiapkan untuk terjun dalam menertibkan penduduk pendatang. Selain ‘pengarahan’ dan ceramah di dalam ruangan, satuan pecalang ini juga dilatih baris-berbaris oleh pihak kepolisian.
Nyoman Losmen teringat pengalamannya ketika muda dulu, saat dengan semangat mengikuti pelatihan Hansip (Pertahanan Sipil) di kantor kelurahan. Kebanggaannya dulu adalah berbaju seragam, sepatu kulit tinggi warna hitam, ikat pinggang besi, dan sudah pasti ‘senjatanya’ berupa pentongan pemukul berbahan plastik. Sama seperti anaknya, Nyoman Losmen juga dilatih baris-berbaris. “Dumun kebanggaan tiang dados Hansip, mangkin jamanne pecalang gus,” tuturnya. Dulu kebanggaan saya menjadi Hansip, mungkin sekarang jamannya bangga menjadi pecalang, dik”[2]
Mengapa anak muda Bali begitu tertarik bahkan bangga menjadi pecalang? Satuan polisi adat, penjaga keamanan pelaksanaan ritual di Bali ini, menjadi primadona dan mendapat perhatian utama generasi muda Bali tahun Oktober 1998. Saat itu adalah pelaksanaan pertama Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merekomendasikan Megawati Soekarnoputri menjadi calon presiden. Bali sudah terkenal sebagai basis pendukung partai bersimbol kepala banteng tersebut. Para satuan pecalangan ini berjaga-jaga di sekitar lokasi kongres, menghardik simpatisan partai yang ugal-ugalan menaiki motor.
Tidak jelas darimana munculnya kata pecalang, namun menjadi bagiannya pada tahun tersebut menunjukkan kewibaan bahkan kekuasaan melebihi polisi. Saat pelaksanaan apel akbar sebelum kongres, pawai kampanye PDIP mengandalkan jasa pecalang untuk menertibkan para simpatisan dengan berbagai ulah. Di perempatan kawasan Sanur, Kota Denpasar, para pecalang ini menyebar berada di setiap sisi jalan, menggunakan baju kaos warna merah bertuliskan, “Pecalang Kongres PDIP”. Menggunakan pluit dan pentungan, pecalang akan menertibkan simpatisan peserta kampanye. Di sisi lainnya, ada yang sibuk memainkan walkie-talkie.[3]
Sejak saat itulah, pecalang mendapat perhatian karena berperan penting dalam suksesnya Kongres PDIP. Dengan berpakaian adat, pecalang menjadi sebuah ‘mahluk unik’, yang akhirnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Hindu Bali. Kesuksesan momentum politik Kongres PDIP Oktober 1998 memang tidak dapat dilepaskan dari jasa pecalang. Tapi, bagi sebagian ‘penggali nilai adat dan tradisi’ Bali, mulailah dikemukakan berbagai sumber dari kehadiran pecalang hingga kini di Bali. Maka dimulailah project pencarian ‘akar tradisi’ pecalang yang ada dalam kebudayaan Bali. Kesimpulannya adalah pecalang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Hindu Bali. Munculnya institusi adat di Bali bernama Desa Adat, kini bernama Desa Pakraman adalah awal munculnya pecalang. Tugasnya adalah sebagai satuan Jagabaya Desa, satuan pengamanan desa.
Pecalang berasal dari kata bahasa Bali celang, yang berarti tajam inderanya. Posisi sebagai pecalang adalah orang yang mempunyai indera tajam melebihi ketajaman masyarakat yang lain. Dalam konteks kekinian ada yang berpendapat pecalang adalah krama (warga) Desa Pakraman yang dipilih melalui paruman (rapat) desa, cakap lahir batin, dipasupati (disucikan dengan ritual) dan diberikan tugas melancarkan kegiatan adat dan upacara agama serta menjaga ketertiban dan keamanan Desa Pakraman.[4]
Banyak nama lain dari pecalang ini, diantaranya yang pernah dikenal adalah sikep, dolap, sambangan, poleng, dan nama lainnya sesuai daerah masing-masing. Tapi pada setiap zaman, pecalang atau satuan milisi pemuda mempunyai konteks dan dinamikanya masing-masing. Misalkan pada zaman penjajahan kolonial Belanda dikenal istilah prayoda, sebagai satuan milisi pemuda untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa, juga bila diperlukan dapat dimobilisasi atau digerakkan sesuai dengan kepentingan penjajah.[5]
Pasca kemerdekaan 1945, di Bali terkenal gerombolan LOGIS (Lanjutan Organisasi Gerilya Indonesia Seluruhnya), sebagai barisan mantan tentara dan gerilyawan yang tidak puas pada satuannya di jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka melakukan aksi kekerasan dengan melakukan pembunuhan terhadap para tentara yang berkhianat kepada republik, tapi mendapatkan posisi terhormat. Di tahun 1960-an, barisan massa sipil yang berhubungan dan dilatih oleh tentara juga berperan dalam melakukan pembersihan, pembantaian kepada orang-orang Bali yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Barisan massa untuk melakukan pembantaian inilah yang dikenal dengan sebutan Tameng. Barisan milisi ini terdiri dari pemuda desa yang direkrut oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan dukungan dari satuan militer dan jagoan-jagoan lokal yang anti komunis.[6] Satuan besar barisan milisi menentang komunis ini terkenal dengan nama ‘Front Pancasila Mengganyang Komunis’.[7]
Barisan milisi semakin menguat di Bali saat konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru. Negara dan piranti kekuasaannya menciptakan barisan milisi-milisi yang kuat, yang berasal dari kekuatan masyarakat sendiri. Maka lahirlah program negara dengan jargon ‘keamanan swakarsa’ melalui Pos Kamling (Pos Keamanan Lingkungan Lingkungan). Pengayom serta pusat kendali kekuasaan keamanan berada pada institusi kepolisian dan militer yang merasuk hingga ke pelosok desa. Sebut misalnya nama-nama seperti Koramil, Babinsa pada satuan tentara dan Binmas (Pembinaan Masyarakat) dari Kepolisian. Lembaga inilah selama rezim Orde Baru melakukan penertiban untuk menciptakan ‘stabilitas keamanan’ yang selalu diucapkan dalam setiap pidato dari pejabat pusat hingga kepala desa.
Gegap gempita reformasi 1998 serta otonomi daerah dan ledakan Bom Bali 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005, membawa semangat kembali pada tradisi dan kekuatan Bali. Semangat masyarakat Bali dalam menyambut otonomi daerah diperkuat dengan sentimen penguatan tradisi. Dengan semangat “memberdayakan” tradisi itulah masyarakat Bali mencoba melawan desakan globalisasi yang semakin menghimpit Bali.
Kekhawatiran terancamnya tradisi dan identitas ke-Bali-an, memunculkan keinginan untuk membentuk sikap siaga menghadapi “ancaman” yang “merusak” kebudayaan Bali. Maka lahirnya satuan keamanan yang berasal dari “tradisi” kebudayaan Bali bernama pecalang. Dan sentimen menjaga Bali membuat pecalang terjun melakukan penertiban penduduk (sweeping) yang dilakukan kepada penduduk pendatang yang berasal dari luar Bali—orang Bali sering menyebutnya, Nak Jawa. Nak Jawa inilah yang menjadi kambing hitam karena “merusak Bali” dengan melakukan peledakan bom-bom berikutnya.[8] Pecalang, sebagai satuan dari “tradisi dan akar kebudayaan Bali” menguasai otoritas “ketertiban dan keamanan” di bawah payung institusi adat bernama Desa Pakraman. Barisan pecalang menenggelamkan otoritas kekuasaan negara dalam institusi militer dan kepolisian. Barisan tradisi inilah sekarang yang bereinkarnasi, dengan meniru gaya dan otoritas lembaga negara untuk mengatur masyarakatnya sendiri. Insitusi kekuasaan negara melalui birokrasi pemerintahan dan kepolisian kini berlindung di balik jargon, “pembina” dan “fasilitator” masyarakat. Cara berpikir, praktek, bahasa, institusi, dan kebijakan kekuasaan negara diwarisi oleh satuan pecalang dan Desa Pakraman untuk mengawasi dan menetibkan diri mereka sendiri. Mungkin ini yang menterjemahkan pernyataan bahwa kekuasaan menyebar dan produktif, ditiru dan direproduksi dalam berbagai bentuk.[9]
Meskipun giat melakukan penertiban penduduk, ledakan Bom Bali 1 Oktober 2005 tak terhindarkan. Bali kembali menangis. Dan aksi penertiban penduduk semakin gencar dilakukan. Selain dilakukan oleh satuan pecalang, kini setiap Desa Pakraman membuat Tim Pendataan Penduduk. Bahkan kini terdapat sebuah satuan baru bernama BANKAMDES (Bantuan Keamanan Masyarakat Desa) yang tetap berada di bawah Desa Pakraman. Satuan ini mendapatkan dana operasional dari pengusaha-pengusaha di lingkungan desa dan bertugas melakukan razia setiap malam untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa.
Para anggota dari barisan BANKAMDES ini bukanlah orang baru. Mereka biasa merangkap-rangkap posisi, dari menjadi pecalang, Satpam bahkan polisi hingga menjadi anggota BANKAMDES. Seperti diceritakan Kadek Monog. Untuk menghidupi keluarganya, di pagi hari ia bekerja sebagai Satpam di sebuah bank swasta di Denpasar. Jika kebagian tugas, malam harinya jam 10 Ia sudah bersiap-siap memakai seragam BANKAMDES dan melakukan patroli keliling desa. Dan menjelang perayaan Nyepi akhir Maret 2006 nanti, ia yakin mendapat tugas sebagai pecalang.[10]



Genealogi ‘Tradisi’ dan Aksi Pecalang
Jejak sejarah pecalang seolah hilang dengan semangat bagaimana “mentradisikan” barisan pengamanan penjaga kebudayaan Bali ini. Proyek pentradisian pecalang diungkapkan Degung Santikarma dari hasil pengalaman berbicara dengan banyak orang:

“Lepas dari ketiadaan konsensus mengenai sejarah pecalang, semua orang yang saya ajak bicara sepakat dengan gagasan yang sering muncul di media massa atau keluar dari mulut pejabat bahwa pecalang adalah sesuatu yang ‘tradisi’. Walaupun mereka sadar bahwa tidak pernah ada yang disebut pecalang di desa mereka sebelumnya, mereka mampu meyakinkan seolah-olah pecalang bagian dari warisan situs kuno yang baru saja digali. Dengan memakai predikat ‘penjaga tradisi’, sekaligus mereka menjadi ‘penjaga tradisional.’[11]

Pecalang menjadi kata sakti dan jaminan keamanan Bali. Serta merta setelah melihat keberhasilan pecalang dalam mengamankan kongres PDIP I 1999 dan kembali diulangi pada kongres ke-II 2005, desa-desa adat seluruh Bali seperti keranjingan membuat satuan-satuan pecalang. Lebih daripada itu, pecalang bahkan dibuatkan posko, dibelikan peralatan lengkap dalam tugas, bahkan disediakan mobil patroli oleh desa adat. Pecalang juga bertugas melakukan patroli keamanan desa. Dalam wilayah kekuasaan Desa Pakraman, toko-toko diwajibkan menyumbang untuk dana jaga baya (uang keamanan) untuk operasi satuan pengamanan tradisional ini. Pecalangpun menjadi tenaga keamanan dalam razia penduduk pendatang, sweeping, bahkan untuk menjaga pesta perkawinan dan konser-konser musik. [12]
Awal munculnya pecalang untuk kepentingan (politik) pengamanan kongres ternyata berbuah manis. Lalu bagaimana tugas pecalang secara adat? Para penekun adat pernah menyatakan bahwa tugas pecalang adalah untuk mengamankan pelaksanaan upacara adat di desanya. Selain pecalang, dulu ada istilah sikep, dolap untuk pengamanan adat ini. Tapi kini, maraknya pecalang melakukan razia juga mendapat pembenar; “Pecalang bertugas untuk menjaga adat dan budaya Bali dari pengaruh luar yang bias merusak keutuhan Bali”. Pecalang akhirnya bergulat dalam kepentingan yang sama, bagaimana mempertahankan dan menjaga kebudayaan Bali dari pengaruh luar. Dengan kehadiran pecalang diperkuat oleh wacana Ajeg Bali, yaitu sebuah gerakan kembali ke ‘tradisi’ dan menguatkan serta melestarikan kebudayaan Bali. Dengan demikian, pecalang hadir sebagai satuan pengamanan ‘tradisional’ yang bertugas untuk menjaga usaha untuk menguatkan, mengokohkan dan yang terpenting menjaga kebudayaan Bali tetap lestari, indah dan damai.[13]
Satuan pengamanan, berikade, milisi dalam setiap partai adalah perangkat yang tidak bisa dilepaskan. Kehadiran pecalang menjadi menarik karena masuknya simbol adat dan kebudayaan (Hindu-Bali) yang diperankan oleh pecalang. Busana pecalang mencerminkan bagaimana simbol adat, kebudayan dan politik menjadi relasi yang sangat kuat. Pecalang bukan Satgas (Satuan Tugas) partai dengan pakaian kebesaran layaknya milisi tempur. Tapi pecalang adalah pengamanan tradisional dengan busana adat dan budaya Bali. Pecalang dalam Kongres PDIP menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan akan Bali. Pecalang menjadi wacana menarik karena kemudian dalam konteks politik keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan pada saat kongres salah satu partai politik. Basis pecalang adalah lembaga adat, karena itulah barisan “milisi sipil” berbaju adat ini menjadi satuan pengamanan dalam penertiban penduduk yang dilaksanakan di setiap desa-desa di Bali. Para anggotanya juga sebagian Seadat juga menjadi satuan keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan dalam partai atau pertarungan kelompok geng dan preman (keberadaan pecalang menjadi satuan politik pengamanan?). Pecalang menjadi satuan petarung pengamanan yang pasti ada dalam setiap areal konflik dan sengketa di Bali.
Di sebuah pasar tradisional terbesar di Denpasar, pasca terjadinya perusakan kantor kepala pasar oleh sekelompok orang tidak dikenal, dibentuklah satuan pengamanan untuk pasar tersebut. Sahabat saya seorang pedagang di pasar tersebut bercerita dengan polos. “Saya lihat rompinya bisa dibolak-balik. Kadang bertuliskan “Satgas Pasar” dan jika dibalik bertuliskan “Pecalang Pasar”.” ujarnya. Orangnya sebenarnya sama saja, Cuma berubah rompi dan sudah pasti berubah busana (Alasannya?).[14]
Pecalang sering dikritik berlaku arogan dan seenaknya untuk menutup jalan. Pecalang juga sering memantik konflik dengan peringai mereka yang kasar dan sok kuasa. Ini dirasakan sekali saat pecalang melakukan pengamanan untuk upacara adat. Bukannya untuk mengamankan, bahkan menimbulkan masalah untuk diamankan. Pecalang sebagai satuan pengamanan tradisional memang tidak siap dan memang tidak dilatih untuk melakukan pengamanan yang biasa dilakukan oleh polisi. Kesan pecalang sebagai penjual jasa keamanan terlihat jelas dari kepentingan desa adat untuk memungut biaya penduduk dinas (pendatang). Ini juga dilema yang dihadapi desa adat. Mereka (siapa?) jelas berorientasi untuk materi untuk menghidupi kegiatan-kegiatan adat dan budaya di desa. Sementara mereka juga harus berlaku keras dengan merazia penduduk yang membludak datang ke daerah mereka. Pecalang menjadi senjata utama untuk melakukan razia tersebut dibantu oleh Tim Pendataan Penduduk di masing-masing desa. Aksi mereka inilah yang banyak dikeluhkan oleh penduduk pendatang. Saat malam-malam, mengedor rumah untuk memeriksa KTP dan sikap keras dan arogannya (bisa benar dari segi tata bahasa?).
Pecalang juga kata sakti untuk melakukan pengamanan di daerah-daerah “basah”, rawan konflik dan pertarungan preman. Daerah-daerah seperti pasar, terminal, kafe-kafe juga telah mempekerjakan pecalang disamping Satpam (Satuan Pengamanan). Saya melihat dengan jelas di sebuah rumah makan siap saji di Denpasar, pecalang bersanding dengan Satpam untuk mengatur kendaraan yang parkir penuh di rumah makan tersebut.Begitu juga dengan pasar dan terminal. Para preman biasanya dengan mudah mengubah dirinya menjadi pecalang dengan simbol adat untuk menguasai daerah kekuasaan mereka dari preman lainnya (menguasai daerah mereka sendiri dari preman lain?).
Peran hampir mirip dilakoni oleh para milisi, organisasi massa yang kadang juga menjadi pecalang di desanya. Tempat-tempat strategis dan potensial untuk perebutan sumber ekonomi ini bisa di terminal, tempat-tempat keramaian dan hiburan seperti kafe-kafe, diskotik menjadi sasaran dari para milisi dan organisasi massa ini (kalimatnya tidak jelas). Bisa juga pasar tradisional bahkan yang lumrah(¿) terjadi pengerahan kelompok/organisasi kekuatan massa untuk kepentingan politik saat pesta demokrasi pemilu, kampanye dan Satuan Tugas (Satgas) partai politik. Para kelompok massa—yang biasanya dikomandoi oleh orang kuat lokal dengan sejarah perkelahian dan kekuasaannya—biasanya memilih untuk menjadi tenaga pengaman dalam sebuah aktivitas partai politik. Kampanye Pemilu 2004 lalu di Bali memberikan gambaran bagaimana pertarungan jasa pengamanan dari kelompok organisasi massa ini. Bukan hanya pertarungan elite politik saja yang mendapat tempat, tapi juga tenaga pengaman, satuan jagoan, para milisi yang ditugaskan untuk menjaga para elite partai dan mensukseskan kegiatan partai politik tersebut. Jadi bukan hanya jasa dari pecalang saja, tapi jasa para milisi dan organisasi massa juga berperan sangat penting.

Para Milisi (Satuan Tugas) dan Jagoan Lokal
Satu kisah pedih akan saya hadirkan untuk melihat bahwa para Satgas (Satuan Tugas) partai politik ini sangat beringas dan menjadi barisan broker kekerasan. Barisan Satgas partai politik ini menjadi salah satu satuan milisi yang akan menunjukkan kebrutalannya saat pentas perebutan kekuasaan politik. Diantaranya terkenal nama-nama seperti Satria Bela Bangsa dari PDIP dan Angkatan Muda Partai Golkar, dan tentu partai-partai lain dengan bermacam nama. Tapi di Bali, ketegangan antara PDIP dan Partai Golkar berakhir dengan amukan massa yang menyesakkan dada.
Kisah pedih ini menimpa Nyoman Dangin yang tertunduk lesu. Raut mukanya memerah, tetes air mata perlahan keluar membasahi mukanya. Sama sekali tidak ada dalam mimpinya, kedua anaknya, Putu Negara dan Ketut Agustana terkapar beku dengan darah segar yang terus mengucur dari perutnya. Kedua anaknya baru saja menjadi korban kebejatan anak manusia, sesama saudara satu banjar, komunitas adat di Bali. Peristiwanya terjadi di suatu siang hari minggu, 26 Oktober 2003. Nyoman Dangin pasti tidak akan melupakannya, sampai ajal menjemput. [15]
Rumah kelihan banjar, ketua adat Desa Petandakan, Made Gelgel, menjadi saksi bagaimana serbuan massa, para manusia Bali berbaju merah, dengan beringas mengelilingi Putu Negara (40) yang berada di rumah tersebut. Tanpa pikir panjang, Putu yang terjebak dalam kerumunan massa berbaju merah itu (PDIP?), diserang oleh temannya sendiri yang memang telah lama megincarnya.[16] Massa yang kalap dan bersenjata tajam kemudian menebaskan pedang, klewang, panah dan batu ke arah Putu. Ditangan korban masih tertancap taji (senjata tajam) untuk sabungan ayam yang menusuk tajam(redundant?). Badan Putu penuh dengan lubang tusukan benda tajam seperti sabit, pisau, klewang, panah.
Sementara Ketut Agustana (25), adik Putu, yang melihat kakaknya dikerubuti dan dibantai massa kemudian mengejar dan mendekati kerumunan itu. Massa yang beringas akhirnya juga membantai Ketut tanpa ampun. Ketut tersungkur di antara kerumunan massa dengan dua busur panah yang masih tertancap kuat di lengan kiri korban dan sabetan pedang. Ketut Agustana yang menggunkan celana pendek putih dengan baju biru dan Putu Negara dengan baju putih dengan lengannya berwarna biru serta celana panjang biru, penuh dengan lumuran darah. Kepala kedua korban terus mengeluarkan darah hingga menggenangi tanah.
Setelah dibantai, mayat kedua korban sempat diseret menuju jalan raya oleh massa. Saya menghela nafas, seperti inikah manusia Bali yang disebarkan lewat brosur pariwisata, yang katanya ramah, sopan, murah senyum, bahkan manusia sapta pesonik[17] yang selalu tersenyum manis, namun bisa berbalik menebas saudara sendiri? Saya kembali terkejut, dua hari setelah tragedi yang kemudian disebut ‘Buleleng Berdarah’ itu, lewat tayangan berita televisi lokal di Bali, seorang pembantai yang diketahui masih siswa SMU di kota Singaraja, Kabupaten Buleleng mengaku sempat memukul kepala korban dengan batako beberapa kali. Siswa SMU ini sempat diwawancarai dan dengan tertawa menjelaskan semua perbuatannya, bahkan menyempatkan diri untuk mengacungkan jari lambang PDIP tanpa berdosa.
Putu Negara dan Ketut Agustana adalah dua kader AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) di desanya. Sebelum menyeberang ke Partai Golkar, mereka sebelumnya adalah kader banteng PDIP. Nasib naas menimpa mereka saat ketegangan politik memuncak menjelang kampanye Pemilu 2004. Saat itu, seluruh kader PDIP sedang merayakan ulang tahun mereka dengan acara jalan santai. Massa PDIP yang melintasi desa dengan menggunakan sepeda motor ini melampiaskan dendam mereka, menganggap Putu dan Ketut pengkhianat menyeberang ke Partai Golkar.
Bukan kali ini saja keluarga Nyoman Dangin tertimpa musibah. Hampir sama, menjelang Pemilu 1999, terjadi pengerusakan rumahnya oleh massa bercadar yang diduga berasal dari Partai Golkar. Tapi Dangin mengaku tahu siapa orang-orang yang melakukan aksi pengerusakan tersebut, tapi Dangin tidak ingin menyebutnya. Setelah itu, saat pemilu 1999, massa yang saling bersitegang (PDIP dan Golkar) di desa, sepakat membuat perjanjian berdamai dan tidak mengulangi lagi. ”Dengan kejadian ini berarti mereka melanggar perjanjian dulu, “ kata Dangin. Dangin juga tidak akan pernah melupakan dan akan terus menyimpan dendam terhadap para pembunuh anaknya. Dia sudah tahu siapa pembunuh anaknya, yang juga tetangganya sesama krama, warga, Desa Petandakan, Kabupaten Buleleng.[18]
Desa lainnya di Kabupaten Buleleng, Desa Banjar namanya, sempat terjadi bentrok massa antara PDIP dan Golkar di satu desa yang menelan korban tewas 17 orang (tahun berapa?). Malam harinya suasana mencekam dengan penculikan-penculikan orang dan keesokan harinya sudah ditemukan mayat bergelimpangan. Dendam politik antara Golkar dan PDI-P seakan sudah mendarah daging dan menunggu letupan-letupan berikutnya. Desa Banjar saat itu seperti desa mati. Sebagian besar warganya menutup pintu rumah mereka rapat-rapat, seperti menutup pintu hati mereka akan tragedi kekerasan yang sudah akrab mereka saksikan di desa mereka ataupun di sebelah desa mereka, Desa Pedawa yang terkenal dengan desa residivis, pencuri dan preman. Belum terbayangkan bagi saya, bagaimana trauma sang anak melihat kisah akrab kerusuhan, pembantaian di sebelah mereka. Atau mereka harus bermain dan bertegur sapa dengan pembunuh ayah atau paman mereka. Dan semuanya begitu akrab terjadi di desa jauh dipelosok gunung ini?
Tragedi ‘Buleleng Berdarah’ Oktober 2003 bagai pecut yang kembali membuka ingatan Ketut Mungkreg, yang dengan suara berat serak-serak saya dengar di sebuah radio, pada sebuah acara pebligbagan, urun rembug interaktif. Dari suaranya, saya bisa membayangkan Ketut Mungkreg adalah lelaki tua, cukup berumur untuk mengetahui sejarah di desanya. “"Tiang, saya, ingin urun rembug kerusuhan di Petandakan Buleleng. Sungguh, tiang kembali teringat Gestok (Gerakan 1 Oktober /G30S 1965). Mangkin, sekarang, bukan hanya bayangan, tapi sudah tiang lihat di depan mata tiang,“ ungkapnya dengan lirih. Mungkreg yang warga asli Buleleng mungkin pedih saat melihat halaman-halaman koran lokal Bali memuat headline berita pembantaian yang terjadi di daerahnya sendiri, ditambah dengan fhoto vulgar mayat kedua korban terlentang dengan lumuran darah.
Kekerasan berupa penusukan, rusuh di karaoke dan tempat hiburan malam lainnya rajin menghiasi halaman-halaman media massa di Bali. Yang menjadi aktor utamanya tentu saja berbagai macam agency manusia Bali sendiri, institusi, organisasi dan sudah pasti beragam kepentingan. Tapi kiranya, menarik melihat kiprah para kelompok milisi, para jago yang bergabung dalam organisasi-organisasi massa.
Munculnya kekuasaan Orde Baru menyertai berdirinya organisasi-organisasi massa yang memperebutkan lahan-lahan kekuasaan di setiap sudut kota dan sudah tentu akses ekonomi politik. Saat rezim Orde Baru berkuasa, salah satu mesin kekuasaannya adala tentara. Hampir di seluruh negeri ini, tak terkecuali di Bali, dekking, backing, (yang memberi perlindungan) tentara sangat berkuasa hampir di seluruh sektor kehidupan. Maka bermunculanlah berbagai macam organisasi massa yang tumbuh dengan berbagai latar belakang, dan sudah tentu dengan berbagai macam kekuatan dan kepentingan ekonomi politik.
Di Bali, munculnya organisasi massa tidak bias dilepaskan dari munculnya kembali kekuaatan-kekuatan masyarakat dari berbagai elemen untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Sementara itu negara ‘mencari’ selamat dengan betindak sebagai fasilitator bahkan pelindung serta anggota organisasi massa tersebut. Tujuannya pun beraneka ragam, ada yang dengan jelas-jelas menjadi barisan keamanan salah satu partai politik, pendukung kepemimpinan salah satu pejabat, hingga menjadi broker keamanan yang siap dikerahkan untuk menggarap sebuah kasus. Bahkan kini kelompok-kelompok organisasi massa di Bali juga mengarah kepada kekuatan-kekuatan tradisional seperti puri dengan tujuan untuk “Mengajegkan Bali”, sebuah slogan untuk mempertahankan budaya Bali dari kekuatan-kekuatan yang menghancurkannya.
Munculnya organisasi massa dan jasa keamanan sekaligus kekerasan bagai jamur di musim hujan. Kehadirannya di Bali mengisi halaman-halaman surat kabar tentang visi, aksi, dan sikap mereka dalam pertarungan politik lokal. Tidak heran kemudian, dengan akses ekonomi, politik, dan kekuasaan, beberapa organisasi massa yang mempunyai akses ke kekuasaan menunjukkan aksi-aksi kekerasan secara vulgar di hadapan publik. Mereka menunjukkan diri tidak hanya menggunakan kaos bertuliskan nama organisasi mereka, tapi juga merambah pada pertarungan politik local dan kekuasaan dengan melibatkan berbagai macam pihak dan kepentingan. Pentas-pentas perebutan kekuasaan seperti Pemilu 2004 dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 lalu di Bali menjadi momen perebutan kekuasaan dengan melibatkan para jagoan-jagoan local dari berbagai macam organisasi massa ini.[19]

Jagoan dan Kekerasan : Menangkap Maling dengan Maling
Ong Hok Ham mencatat para milisi, jagoan, dan kelompok-kelompok kekerasan sudah akrab dalam sejarah Indonesia. Istilah yang umum dipakai adaalah ‘tukang pukul’, atau jago. Namun ada beragam istilah dalam sejarah untuk menyebutkan para satuan kekerasan ini yaitu brandal, weri, blater. Berbagai istilah ini bergantung pada daerah, waktu, dan fugnsi yang dipegang. [20]
Geneologi kelompok jagoan ini dalam catatan Henk Schulet Nordholt sudah ada sejak zaman kolonial, di mana terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan masyarakat desa seperti pencurian sapi, pemerasan, penyelundupan candu, kekerasan, dan terutama intimidasi sebagai fenomena sehari-hari. Pelaku-pelaku yang paling penting dalam hal ini adalah para jagoan. Istilah jagoan tidak hanya merujuk suatu kebudayaan yang menekankan maskulinitas, kejantanan, keahlian dalam berkelahi, dan kekuasaaan yang diperoleh secara ‘magis’, melainkan juga suatu kategori baru ‘orang kuat’ lokal yang beroperasi di sisi kelam pemerintahan kolonial.
Pekerjaan mencuri milik lembaga-lembaga lokal yang menyediakan pekerjaan untuk banyak orang, dan untuk beberapa orang merupakan kesempatan untuk menanam modal, dan menawarkan keuntungan-keuntungan bagi para pelindung kelompok jagoan ini. Tak ada pemimpin desa yang menganggap desanya aman dan beres, jika ia tidak memelihara sekurang-sekurangnya seorang pencuri/maling atau biasanya beberapa orang yang bekerja di bawah komando maling tua dan bijaksana, yang disebut ‘jagoan’.
Bentuk kejahatan di pedesaan yang dilakukan oleh para jagoan ini ternyata tidak bisa ditampik oleh pemerintah kolonial. Kejahatan pedesaan ini terjadi sebagaian besar terjadi karena ketidakmampuan institusi pemerintah resmi desa (khususnya di Jawa) dalam mengendalikan seluruh desa. Oleh karena itu mereka terpaksa mengerahkan para jagoan, dengan imbalan bebas menjalankan kegiatan kriminal mereka.[21] Karena itulah Ong Hok Ham menegaskan:

“Gejala jago berhubungan erat dengan tidak adanya negara sentral (pusat) yang kuat dengan institusionalisasi kekuasaan. Negara masa lampau terlalu mendasarkan diri pada charisma raja dan penguasa setempat. Kendati demikian, charisma ini juga merupakan legitimasi yang diberikan dari bawah. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan charisma pada seorang pemimpin local atau dalam skala lebih luas meskipun dia menentang penguasa”[22]

Dengan mengutip Soemarsaid Moertono, Ong Hok Ham mengungkapkan penguasa tradisonal biasanya memilih orang terkuat di dalam masyarakat sebagai jago atas dasar prinsip politik tradisional. Istilah ‘menangkap maling dengan maling’ menunjukkan betapa pentingnya peran kekerasan dalam masyarakat tradisional, karena organisasi jago menunjukkan worlordism (militerisme) baik dalam skala kecil maupun luas. Jago adalah tukang pukul dalam arti luas.[23]
Pengalaman kolonial memberikan pelajaran bahwa kejahatan, aksi-aksi kriminalitas dengan(¿) negara, pemerintahan, ternyata saling memperkuat. Negara mempunyai formasi dan sistem untuk menggerakkan pemerintahan, tapi seiring sistem dan formasi itu macet, muncullah kelompok-kelompok massa, milisi dan para jagoan ini untuk menawarkan jasa pengamanan ‘membantu’ pemerintah. Negara dan kejahatan berelasi kuat dan menciptakan sebuah jaringan mafia kejahatan. Sungguh sulit membedakan mana kelompok jagoan, para milisi dengan ‘aparat berwajib’(¿).
Pada masa kini, masyarakat sering menyebutnya sebagai ‘preman’. Preman berasal dari dari kata ‘vrij-man’ yang berarti orang yang bebas dari kerja paksa. Arti ini kemudian berubah dari ‘prajurit berpakaian sipil’ serta ‘agen dalam samaran’ menjadi ‘perantara kekerasan politik’.[24] Dalam isitilah geneologi, preman adalah ‘cucunya’ jagoan. Dari jagoan, preman belajar ‘bisnisnya’. Negara dan kajahatan menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Di dalamnya terdapat pertarungan memperebutkan akses dan keuntungan ekonomi politik yang tak terhindarkan. Dalam kasus Bali, munculnya kelompok massa para milisi dan jagoan ini saling menguatkan dengan negara, antar keduanya terdapat ‘hubungan manis’.
Salah satu faktor penting munculnya kelompok massa para jagoan ini menunjukkan relasi penting dari Bali sebagai destinasi ‘sorga pariwisata’ (agak rancu). Pariwisatalah yang memungkinkan lahir beragam infrastruktur pendukungnya seperti diskotik, jaringan prostitusi, bisnis narkotika, traffiking, dan bentuk kriminalitas lainnya, di samping ideologi, wacana, dan cara berpikir manusia Bali. Tapi di tengah gempuran fenomena globalisasi tersebut, selalu muncul reaksi kembali ke tradisi, mencari celah keaslian untuk menjawab tantangan globalisasi. Munculnya satuan pecalang sebagai ikon ‘tradisi Bali’ menunjukkan bagaimana derasnya globalisasi ditanggapi dengan ‘memberdayakan adat’. Salah satu bagian penting dari ‘tradisi dan adat’ tersebut adalah satuan pecalang sebagai penjaga kebudayaan Bali.(redundant?)
Kelompok milisi dan para jago bermain dalam ruang-ruang kehidupan intim masyarakat. Kalau pecalang berbendera ‘adat dan tradisi’, kelompok milisi seperti yang dijelaskan di atas menjadi barisan broker kekerasan, yang masuk dalam jejaring akses kekuasaan dan modal. Pecalang pun tidak bias dipisahkan hanya sebagai ‘penjaga tradisi’ saja. Ia telah masuk dalam ruang-ruang kekuasaan dan modal yang dilakukan Desa Pakraman. Gerakan ‘penertiban penduduk’ menunjukkan bagaimana lahan uang bernama ‘penertiban’ menghidupi biaya operasional satuan pecalang ini. Dengan ‘kekuasaan tradisi’ inilah pecalang menghidupi dirinya.
Saling melindungi, begitulah posisi antara kekuasaan (tidak jelas maksud “kekerasan” di sini) dan para jagoan lokal ini. Sejarah para jagoan dan kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan dari perebutan ruang-ruang ekonomi dan pengaruh politik. Geneologi preman terbentuk dari mengganasnya kriminalitas dan politik kepentingan kekuasaan. Maka jangan salahkan jika para satuan pengamanan terlatih dan resmi seperti tentara dan polisi menjadi pembina dari kelompok-kelompok preman ini (¿). Akhirnya preman menjadi sebuah kekuatan yang bisa tumbuh sumbur dan disemai benihnya oleh kekuatan-kekuatan pemerintah untuk kemudian dijadikan kepentingan politik kekuasaan (preman dijadikan kepentingan politik kekuasaan?). Kasus para militisi saat pembantaian massal PKI di Bali menunjukkan hal itu. Para tameng--barisan pemuda dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang dilatih tentara untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI—dijadikan bemper untuk mengadu domba rakyat, sementara tentara menyaksikan bagaimana brutalnya pembantaian dilakukan tanpa kejelasan dan alasan yang dapat dibenarkan. Sentimen, masalah pribadi, masuk menjadi benang kusut yang kemudian menjadi antitesis pembantaian ’65 bukanlah sebuah genocide yang terencana tapi juga hasil sebuah pertarungan dan politik kepentingan ritual, status, tanah dan segala macam konflik yang lama terpendam (agak rancu kalimatnya) Setelah tameng melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI, selanjutnya. para tameng ini yang dibunuh oleh tentara karena mereka juga menjadi daftar hitam (tameng menjadi daftar hitam?) serta melenyapkan jejak-jejak kesaksian.
Berperannya para jagoan, milisi dengan gaya teror dan kekerasan didepan mata diakomodasi oleh negara untuk melakukan tekanan kepada masyarakatnya (Berperannya para jagoan diakomodasi?). Negara menjadi bagian yang sangat diuntungkan dalam konteks seperti ini. Negara akan dengan senang hati menaungi para kelompok jagoan ini untuk kemudian melakukan pelenyapan terhadap gerakan kritis lainnya. Politik adu domba dan menghorizontalkan konflik adalah gaya pemerintah untuk menyaksikan dengan gembira bagaimana konflik dan kekerasan terjadi di antara kelompok preman dan masyarakat. Padahal negara menjadi subjek yang penting, sekaligus “dalang” dari serangkaian peristiwa kekerasan yaqng terjadi di negeri ini Tapi, memang tidak mudah untuk menjelaskan teori kuasa negara yang begitu konspiratif dan ‘besar’ aksesnya. Ada baiknya untuk mengurai dan mendetailkan kembali bagaimana operasi bekerjanya para jagoan, milisi dan preman tadi dalam kontestasi politik yang ada dalam konteks lokal. Operasi mereka tentu menyentuh pada kepentingan politik dan ekonomi yang menaungi mereka seperti menjadi ‘peliharaan bupati’, tukang pukulnya tokoh elit politik, atau yang lainnya.
Studi awal satuan pecalang dan kelompok milisi ini ingin mulai melihat bagaimana keterkaitan pariwisata, budaya, dan kekuasaan menciptakan barisan-barisan ‘penjaga tradisi’ yang diwakili dengan lahirnya pecalang, Tidak hanya itu, industri pariwisata juga melahirkan satuan milisi penjual jasa keamanan yang ‘dipelihara’ menjadi anak manis dari kekuasaan resmi. Sejarah organisasi jago tidak bisa dilepaskan dari ‘kekuasaan resmi’. Tapi kekuasaan resmi yang ada pada negara telah menyebar dalam masyarakat dan membentuk jejaring kekuasaan. Kekuasaan resmi adat misalnya yang melahirkan pecalang. Bentuk operasi lainnya diperankan oleh satuan bernama organisasi milisi dan jagoan lokal. Bagaimana mereka beroperasi serta relasinya dengan akses ekonomi politik kekuasaan akan terurai jika kita bisa melihat ‘jejaring kekuasaan’ yang membentuk mereka. Sungguh rumit memang…






Daftar Pustaka


Bali Post, 2004, Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.

Cribb, Robert (editor), 2003, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Darma Putra, I Nyoman, 2004, Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Denpasar, Bali Post.

Harris, John, Kristian Stokke, Olle Tornquist, 2005, Politisasi Demokrasi, Politik Lokal Baru, Jakarta, Demos.

ISAI Tim, 2000, Premanisme Politik, Jakarta, ISAI.

Nordholt, Henk Schulte, 2002, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara, Jakarta, Penerbit Kompas.

Putra, Dharma (ed), Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif, Denpasar, Penerbit Bali Post, 2004.

Robinson, Geoffery, 1995, The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

------------------------, 2006, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.

Santikarma, Degung, 2002, Budaya Siaga dan Siaga Budaya, Kompas Minggu 6 November 2002.

------------, tanpa tahun, Budaya, Kuasa, dan Pariwisata, makalah.

------------, 2000, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Kompas 1 September 2000.

Siegel, James T, 2000, Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta, LKiS.

Suryawan, I Ngurah, 2002, Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.

-----------2005, “Pecalang” Politik dan Para Milisi, dalam Kompas 17 April 2005.

-----------,2004, Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan, dalam Kompas, 7 Januari 2004

-----------2005, BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

-----------2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.

Widnyani S.Ag, Nyoman dkk, 2003, Ajeg Bali Pecalang dan Pendidikan Budi Pekerti, Denpasar, Penerbit SIC.

Koran, Jurnal, dan Majalah
Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002
Basis, No. 09, 10 September-Oktober 2002.
Bali Post, 28 September 2003.
Bali Post, 29 September 2003.
Bali Post, 22 Oktober 1999.
Radar Bali, 1 Desember 2003.
Driyarkara Jurnal No. XXIII No. 4
Media Hindu, Majalah, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya dan Tanah Bali, Edisi 21 November 2005.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Pecalang Pulanglah, No. 31 Oktober 2002.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Sudahi Kelahi Sesami Bali, No. 44 Desember 2003.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Titah Latah Ajeg Bali, No. 43 November 2003.

































[1] Lihat Degung Santikarma, Pecalang Bali: Siaga Budaya dan Budaya Siaga, dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, (Denpasar: Bali Post, 2004), hlm. 113-131.
[2] Catatan lapangan di Kota Denpasar, Mei-Juni 2004.
[3] Catatan lapangan Kongres PDIP Oktober 1998 di sebuah hotel di kawasan Sanur, Kota Denpasar. Sebelum Kongres berlangsung dilakukan apel umum, pengerahan massa banteng merah di Lapangan Umum Padanggalak, Sanur.
[4] Nyoman Widnyani, S.Ag, I Ketut Widia, S.H, Drs. Ketut Wiana (ed), Ajeg Bali Pecalang dan Pendidikan Budi Pekerti, (Denpasar: Penerbit SIC, 2003), hlm. 59. Juga dalam kumpulan makalah, Semiloka Sesana Pecalang, Kabupaten Gianyar, Badan Kesbang Linmas, Panitia Penyelenggara Proyek Pemberdayaan Pecalang, Kabupaten Gianyar, 2001. Juga kumpulan makalah seminar Aktualisasi Fungsi Pecalang di Era Otonomi Daerah, Pusat pengkajian Pedesaan dan Kawasan Yayasan Tri Hita Karana, Garuda Wisnu Kencana, 30 Maret 2002.
[5] Ibid, hlm. 56.
[6] Lebih lengkap untuk uraian ini lihat Geoffry Robinson, The Dark Side of Paradise, Political Violence in Bali, (Cornell: Cornel University Press, 1995), telah diterjemahkan, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, (Yogyakarta: LKiS, 2006). Juga beberapa cerita tentang barisan tameng terdapat dalam Robert Cribb, Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, (Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat, 2003).
[7] Saya menemukan kata tersebut dalam penelitian lapangan tentang pembantaian massal 1965-6 di Bali, khususnya melalui beberapa cerita dan dikuatkan dengan dokumen yang menyebutkan kiprah “Front Pancasila Menggayang Komunis” ini. Uraian narasi pembantaian massal tersebut saya tuliskan dalam draft naskah yang akan terbit, Ladang Hitam di Pulau Dewa (Studi Awal Jejak-jejak Pembantaian Massal 1965-6 di Bali) pada program Fellowships PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, April-September 2005.
[8] Seperti juga saya tuliskan dalam, Bali, Narasi dalam Kuasa, Politik dan Kekerasan di Bali, (Yogyakarta: Ombak, 2005) dalam artikel Hati-Hati!!! Teror Budaya Bali, hlm. 103-118.
[9] Lihat A. Widyarsono, Hubungan Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, dalam Jurnal Driyarkara Tahun XXIII No. 4 tahun 2000, seperti juga diungkapkan oleh Degung Santikarma, Budaya, Kuasa dan Pariwisata, makalah tanpa tahun.
[10] Catatan lapangan, Januari-Feberuari 2006, khususnya tentang pembentukan BANKAMDES di seluruh desa di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Program ini awalnya berasal dari Kepolisian Daerah Bali pasca Bom Bali 1 Oktober 205.
[11] Degung Santikarma, Pecalang Bali: Siaga Budaya dan Budaya Siaga, hlm. 113-131, dalam Nyoman Darma Putra (ed), Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, (Denpasar: Bali Post, 2004).
[12] Sebagian besar bagian ini diambil dari artikel saya, Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali, Kompas 22 Oktober 2002 serta Pecalang Politik dan Para Milisi, Kompas 17 April 2005.
[13] Selain pecalang, yang memanfaatkan gerakan kebudayaan Ajeg Bali ini adalah para satuan milisi dengan alasan ikut berpartisipasi/menjaga daerahnya. Akan diuraikan juga dalam paper ini. Lebih lengkapnya beberapa bagiannya sempat saya tuliskan dalam Ajeg Bali dan Lahirnya jago-jago Kebudayaan, Kompas 7 Januari 2004.
[14] Catatan lapangan di sebuah pasar tradisional di Kota Denpasar, Oktober 2004.
[15] Seluruh bahan tragedi “Buleleng Berdarah” Oktober 2003 saya kumpulkan dari catatan lapangan saya (November-Desember 2003) di Buleleng dan laporan media massa di Bali dan nasional. Di antaranya adalah Bali Post (27-30/10/2003), Nusa (26, 28, 30/10/2003), Radar Bali (31/10/2003), dan Kompas (30/10 dan 8/11/2003).
[16] Banyak yang menyebut bahwa Putu Negara dan Ketut Agustana terbunuh karena ketidakpuasan teman-temannya di PDIP. Sebelumnya Putu dan Ketut adalah kader banteng tapi kemudian pindah menjadi anggota AMPG. Catatan lapangan November-Desember 2003.
[17] Jargon rezim otoritarian orde baru dan negara pariwisata budaya di Bali. Sapta Pesona adalah proyek pembangunan citra manusia Bali yang selalu menjungjung tinggi: keamanan, ketertiban, kebersihan, keindahan, kesejukan, keramahtamahan, dan kenangan demi datangnya turisnya dan amannya industri pariwisata. Dengan demikian, manusia Bali bisa tersenyum manis menunggu gemerincing dollar memenuhi kantong mereka. Satu jargon lagi produksi rezim ideologi “pariwisata budaya” adalah menciptakan pulau Bali yang BALI, Bersih, Aman, Lestari, Indah.
[18] Seluruh bahan tragedi “Buleleng Berdarah” Oktober 2003 saya kumpulkan dari catatan lapangan saya (November-Desember 2003) di Buleleng dan laporan media massa di Bali dan nasional. Di antaranya adalah Bali Post (27-30/10/2003), Nusa (26, 28, 30/10/2003), Radar Bali (31/10/2003), dan Kompas (30/10 dan 8/11/2003).
[19] Saya melakukan penelitian kecil, Raja Bertahta, Para Jago Berkuasa, tentang kiprah para jagoan local ini dalam perebutan kekuasaan di Pemilu 2004 dan Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) 2005 lalu di Bali
[20] Ong Hok Ham, Peran Jago dalam Sejarah, dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Sejarah Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm.101-106.
[21] Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 10-11.
[22] Ong Hok Ham, op.cit, hlm.102.
[23] Ibid.
[24] Loren Ryther via Henk Schulte Nordholt, op.cit.,

1 komentar:

M.yusuf Ismail mengatakan...

Terima kasih sudah berbagi ilmu, sampai habis sudah saya baca...