Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Kembar Karepun

Kompas Rabu, 07 April 2004

Kembar Kerepun, "Sang Pemberontak"


ANTROPOLOG Amerika Clifford Geertz, setelah menyelesaikan risetnya di Bali pada tahun 1958, masih menggolongkan agama Hindu di Pulau Dewata itu sebagai agama tradisional. Tetapi, ketika dia kembali lagi ke Bali tahun 1964, Geertz melihat masyarakat di daerah ini mengalami perubahan sosial drastis, sebagian besar disebabkan kemerdekaan Indonesia. Dengan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk transformasi tata cara peribadatan, Geertz menyebut masyarakat Bali memasuki sosok agama rasional.

KINI, diskusi filosofis menyangkut makna dan tujuan agama semakin luas dan meningkat. Ciri Hindu di Bali sebagai "agama rasional" semakin kokoh. Segala yang bersifat tradisional terus ditilik dan dikaji kembali untuk disesuaikan dengan kemajuan dan kebutuhan pemeluknya. Di antara para penilik dan pengkaji itu terdapat Made Kembar Kerepun yang sangat kritis.

Made Kembar Kerepun, lahir di Banjar Pande, Blahbatuh, Gianyar, 20 Juni 1935, termasuk penulis yang produktif. Dia memperbanyak dan mengirimkan tulisannya secara gratis kepada yang dia telah kenal maupun yang baru dia kenal. Tulisan itu dia kirim pula kepada lembaga pengkajian budaya Bali di luar negeri.

Perhatian Pejabat Bupati Gianyar (1965-1969) yang beristrikan Anak Agung Ngurah Mayun ini sangat beragam. Mulai dari bahasa, sosial, sejarah, agama, pariwisata, ekonomi, hingga politik. Gaya analisisnya yang tajam dan terus terang sering membuat orang terperangah, tetapi fakta yang dia kemukakan tetap tidak terbantah.

Misalnya, perjuangan penggunaan Sarwa Sadaka (pandita dari berbagai warga/ golongan di Bali) yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Perjuangan itu baru berhasil disepakati Gubernur Bali Dewa Made Beratha pada tanggal 4 Maret 1999. Itu pun dalam kaitan dengan upacara di pura terbesar Besakih.

Inti perjuangan itu sebenarnya sederhana dan adil. Jika secara tradisional upacara besar hanya dipuja tiga pandita (Tri Sadaka), yaitu pandita Siwa, pandita Buda, dan pandita Bhujangga, maka pandita yang dimiliki warga lain pun diharapkan bisa ikut memuja. Pandita dari warga lain seperti dari warga Pasek dan Pande sudah ada sejak dulu, kenapa hanya Tri Sadaka yang dipergunakan?

Maka Kembar Kerepun selaku sesepuh dan tokoh warga Pande berjuang bersama tokoh warga lain, seperti warga Pasek dan warga Bhujangga. Tujuannya memfungsikan Sarwa Sadaka dalam setiap upacara penting, khususnya di pura milik seluruh umat Hindu: Besakih. Perjuangan ini ditanggapi pasif oleh sebagian warga Brahmana (Siwa dan Buda) karena secara tradisional memang Tri Sadakalah yang selalu dipakai.

Kesepakatan Gubernur Bali itu ternyata dilanggar dan tidak dilaksanakan panitia upacara, sementara gubernur membiarkan saja. Kembar Kerepun, ayah lima anak laki-laki dan satu anak perempuan, serta kakek 13 cucu ini menjadi kecewa.

"Saya mendapat firasat, apabila kesepakatan itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, hal itu akan membawa dampak sangat serius dan membahayakan ketenangan dan keamanan di Bali," ujarnya.

Selama dua tahun berikutnya dia menggalang kekuatan antarwarga yang lebih besar. Akhirnya, pada upacara besar di Pura Besakih 7 April 2001, kesepakatan 4 Maret 1999 kembali ditegakkan dan Sarwa Sadaka menjadi pemuja upacara. Sampai kini peranan Sarwa Sadaka dalam upacara di Bali semakin populer.

PUTRA kedua dari Pande Mas Made Sabung dan Ni Ngumin ini mengawali kariernya sebagai guru SMP Negeri Gianyar (1955-1958) setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru Atas Katolik, Malang, tahun 1955. Kemudian dia diangkat menjadi anggota DPR Daerah Istimewa II Gianyar, sekaligus terpilih sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD) Gianyar sejak tahun 1959, menyebabkan dia non-aktif sebagai guru.

Tahun 1960-1965 dia menjadi anggota Badan Pemerintah Harian Daerah Tingkat II Gianyar, sebelum menjadi pejabat bupati (1965-1969). Kariernya di bidang politik dicapainya lewat dukungan dan aktivitasnya di Pemuda Demokrat dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Setelah PNI berfusi dengan partai-partai lain pada tahun 1971, Kembar Kerepun mengundurkan diri dari politik praktis, lalu terjun di bidang pariwisata menjadi Kepala Bagian Bina Wisata Dinas Pariwisata Daerah Bali sampai mengundurkan diri tahun 1973. Mulailah dia merambah dunia bisnis dengan mendirikan CV Satya dan PT Satya Sidhi yang bergerak di bidang ekspor produk tekstil, kerajinan Bali dan kerajinan Indonesia.

Pada usia senjanya kini dia mengabdikan diri pada lembaga umat Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, sebagai anggota kelompok ahli, serta menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Dengan demikian, perhatiannya terhadap masalah keumatan tetap hidup.

Sebutlah misalnya penolakan Kembar Kerepun terhadap usaha menjadikan Pura Besakih sebagai Warisan Budaya Dunia. Bahkan dia menganjurkan agar masyarakat Hindu, khususnya di Bali, menolak pura yang mana pun dijadikan benda cagar budaya.

Setelah mencermati Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 serta peraturan pelaksanaannya dia menyimpulkan jika menjadi benda cagar budaya, umat tidak bebas lagi mengelola tempat peribadatannya. Tugas pengelolaan akan beralih ke tangan pemerintah meskipun masih tetap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan agama. Perjuangannya mendapat dukungan luas dari PHDI, Pemuda Hindu, dan sebagian anggota DPRD Bali.

Lalu pada akhir tahun 2001 merebak pembicaraan tentang unggah-ungguh (strata) bahasa Bali. Kembar Kerepun menentang upaya mempertahankan unggah-ungguh bahasa Bali itu dengan menuduh upaya itu tidak lebih dari usaha melanggengkan tatanan "kasta baru" era "Majapahitisasi Bali". Kembar Kerepun dengan tegas menyatakan, dengan tumbangnya suprastruktur feodalisme di Bali, seharusnya tumbang pulalah penggunaan unggah-ungguh bahasa Bali yang mendukung dan didukung tatanan feodal itu.

Bahasa Bali harus berkembang menjadi "bahasa egaliter". Namun, ternyata rekomendasi Kongres V Bahasa Bali 17 November 2001 tidak menanggapi pemikiran kolektor banyak buku tentang adat dan budaya Bali ini.

Dapatkah kita sebut Made Kembar Kerepun sebagai "Sang Pemberontak" menuju budaya Bali yang egaliter dan maju? Geertz pernah mengatakan apa yang akan terjadi di Bali nanti tidak bisa diprediksikan.

Akan tetapi, masyarakat Bali sendiri sudah seharusnya berani mengambil suatu pedoman dari perubahan-perubahan dinamis yang terjadi sekarang ini untuk menuju sistem beragama dan berbudaya yang semakin rasional.

(Raka Santeri, Wartawan)

Tidak ada komentar: