Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Posisi Cultural Studies

Kompas Minggu, 09 April 2006


Posisi Cultural Studies "Di Manakah?"

Mudji Sutrisno


Sejak kapan, fenomena-fenomena budaya populer atau budaya aksesori dalam bacaan-bacaan buku Harry Potter menjadi gaya hidup yang dipacu dan disediakan jalan tol-nya oleh perkembangan amat dahsyat kapital (baca modal) yang bekerja sama dengan teknologi informasi serta kekuatan iklan dan pasar menjadi penentu, bahkan ikon "berbudaya-nya" manusia?

Sejak kapan pula fenomena-fenomena studi lesbi, studi gay, atau sastra remaja ABG kota, dan lain-lain; yang dalam bingkai besar globalisasi kebudayaan yang disumberkan pada menangnya kapital dalam mengolah hasrat dan konsumsi generasi kini menjadi teks-teks yang dikaji dan dibaca sebagai cultural studies?

Ada tiga hipotesis mengapanya. Hipotesis pertama, munculnya kritik terhadap teori-teori besar kebudayaan yang hanya mampu merangkum gejala besar kebudayaan, seperti peradaban, kebudayaan huruf besar, serta bingkai teoretik yang logis rasional menaruh manusia sebagai sang pencari makna hidupnya dalam komunitasnya atau peziarah nilai hidup yang dirajut dalam perjalanan untuk menjalani hidup dalam tingkatan-tingkatan common sense (akal sehat); ilmu pengetahuan; estetika dan agama, seperti kajian tafsir budaya Clifford Geertz yang meluaskan dilema penelitian kualitatif (soal nilai) dan kuantitatif empiris dengan deskripsi tebalnya yang merangkum keduanya (thick description) sehingga hasil budaya sebagai kata benda dan dinamika budaya sebagai kata kerja masuk di dalamnya. Namun bagaimana menafsir hubungan antara kapital; I.T.; kuasa iklan dan hasrat konsumtif dalam dinamika budaya? Cultural studies menempatkan diri di sini tanpa mau berpretensi menjadi penafsir satu-satunya dan mengagumkan monopoli tafsirannya.

Hipotesis kedua, ketika kebudayaan ditafsir dan dibela oleh QD Leavis dan Mattew Arnold seperti disunting Chris Barker dalam Cultural Studies: Theory and Practice (2003, hal 56-80) sebagai budaya huruf besar atau tinggi yang dipandang sedang digerogoti oleh budaya populer; pemerosotan ini disebabkan oleh tidak ketatnya pematokan selektif dan hilangnya standardisasi budaya tinggi oleh industri hingga menghasilkan budaya massa dalam dunia industri. Kebudayaan adalah puncak-puncak peradaban, begitu posisi penafsir kebudayaan elitis sebagai puncak.

Dalam hipotesis kedua inilah, cultural studies mau mencoba membaca, menafsir, dan mengurai hubungan antara ekonomi dan kebudayaan, namun tidak dalam skala tafsir besar, tetapi memberikan bacaan deskripsinya.

Hipotesis ketiga, dengan berpijak pada pengandaian (asumsi) setelah psikoanalisisnya Sigmund Freud diperdalam oleh Jacque Lacan ("L’Ecrits", 1967): yang menyimpulkan bahasa (baik tulis maupun wacana/diskursus) itu "terbatas" hanya merumuskan yang secara logis, sadar dan rasional saja, sementara yang di luar itu (baca ketidaksadaran atau hasrat terpendam dalam naluri manusia) tidak diungkapkan lewat bahasa! Apa konsekuensinya untuk kajian-kajian kebudayaan? Rumusan teoretik kebudayaan dalam bahasa tuturan logis, sistematis tidak mampu merangkul dan tidak memuat gejala-gejala kebudayaan yang sumbernya adalah histeria; hasrat libido dan hasrat-hasrat irasional, seperti konsumsi dan hasrat cari panggung demi identitas diri.

Cultural studies ingin mengisi celah-celah yang menjadi ranah- ranah penjelajahan pembacaan budaya lewat simbol-simbol, ekspresi irasional atau ungkapan histeria serta hasrat-hasrat yang dengan bahasa-bahasa selain logis dan sistematis.

Lalu, apa itu cultural studies?

Untuk memahaminya, baik bila kita tempatkan dalam bingkai Raymond Williams yang mau mencari solusi atas proses budaya dengan mengembalikan dinamika kebudayaan pertama-tama dan terutama adalah "antropologi si manusia yang dalam kesehari- hariannya merajut terus kebudayaan baik yang dirumuskan atau diwacanakan lisan". Raymond Williams mengajak kembalinya orang meneliti dan membaca kebudayaan dengan rajutan makna keseharian dalam nilai, norma, adat, dan ungkapan materialis serta simbolis yang secara kebersamaan saling dipertukarkan dan dihayati bersama-sama dalam kehidupan menjadi makna-makna yang dipertukarkan bersama.

Yang kedua, kebudayaan sebagai ranah catatan dokumentasi praksis kehidupan di mana kehidupan dihayati sebagai "teks" yang mencatat struktur imajinasi; pengalaman dan pemikiran manusia. Catatan atau teks itu lalu diberi penilaian kritis. Di sinilah, manakala dinamika budaya dalam kehidupan dibaca sebagai "teks" di mana catatan dokumentasi pikiran manusia, imajinasinya dicatat dalam deskripsi kisah, maka kehidupan itu sendiri lalu dibaca sebagai "teks" kebudayaan.

Dengan hadirnya Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengembangkan studi tanda (tolong dibaca bagaimana hasrat atau libido misalnya lebih muncul dalam tanda!) dalam semiotika maka lengkaplah studi budaya untuk membaca baik bahasa logis atau pun bahasa tanda dalam semiotika. Semiotika sendiri oleh Saussure dipapar sebagai studi atau kajian mengenai sistem tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja di masyarakat. Studi tentang tanda semiotika ini melaju pesat di tangan Roland Barthes untuk mengkaji cara berpakaian, gaya hidup, cara komunikasi, cara sosialisasi yang kesemuanya mau mengomunikasikan diri kita dalam tanda-tanda yang disusun, yang disebut sebagai "kode".

Susunan tanda (baca: kode) ini ditentukan aturan main implisit maupun eksplisit kesepakatan anggota-anggota kelompok budaya itu. Maka dari itu, kode (atau susunan tanda) kelompok budaya ini membawa pesan dan makna yang disandikan oleh kelompok ini dan merekalah yang dapat membaca pesan dan makna kode budaya mereka. Kode atau susunan tanda dengan pesan dan makna di dalamnya itu disebut sebagai TEKS.

Raymond Williams masih menunjuk satu lagi ranah budaya ketiga, yaitu ranah rumusan kemasyarakatan kebudayaan sebagai gambar atau pandangan jagat hidup tertentu di mana kajian-kajian budaya merupakan usaha dan ikhtiar mengonstruksi perasaan dalam adat, kebiasaan dan struktur mentalitas yang dipakai untuk menghayati kehidupan.

Dengan menempatkan tema tulisan dalam pemahaman dinamika kata kerja kebudayaan atau kata kerja proses peradaban kita, semogalah nuansa kritik dalam judul-judul tulisan maupun nuansa reflektif gugatan untuk menjadi lebih arif dan lebih mendalam dalam hiruk-pikuk suasana serbuan konsumsi budaya ini, kita diajak untuk menyadari bahwa perjalanan budaya adalah perjalanan untuk menjadi lebih beradab!


Mudji Sutrisno Rohaniwan, Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Tidak ada komentar: