Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Catata Akhir Tahun 2005 (2)

Catatan Akhir Tahun (2)

Melacak Keberingasan Manusia Bali

Silih berganti kerusuhan dan kekerasan terjadi di Bali. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Mendekati akhir tahun, kantor polisi dirusak massa di Karangasem dan di Buleleng, kelompok massa mengamuk dan merusak. Belum lagi kerusuhan antar sesama desa dalam memperebutkan akses ekonomi menjadi berita akrab di media massa. Bahkan tidak tanggung-tanggung, saat hari raya Nyepi, kerusuhan tidak urung terjadi di desa Batuparas, Padangsambian Kaja, Kota Denpasar. Saat hari raya Nyepi 10-11 Maret 2005, daerah yang tidak jauh dari kota Denpasar ini justru tidak sepi, tapi terjadi hujan batu. Sekelompok warga menghujani rumah warga Dadia (garis keturunan darah) Alas Arum yang terdiri dari 31 KK, yang kemudian disebut “kelompok 13”.

Batu dan benda keras sambung menyambung mendera atap rumah. Tak pelak, tujuh unit bangunan rumah jadi korban, dua diantaranya rusak berat. Genteng dan kaca pecah, berantakan. “Kejadian muncul spontan, malam hari, karena dipicu sengketa adat berupa pembagian setra (kuburan),” ungkap I Made Loteng, Klian Banjar Pakraman Batuparas. Kemarahan massa Banjar Batuparas berawal dari keluarnya “Kelompok 13” dari keanggotaan banjar, sehingga tidak berhak atas kuburan desa. Tapi saat “Kelompok 13” ingin kembali masuk menjadi warga adat, dengan mudah bisa diterima.

Bukan hanya kasus Batuparas saja, sebelumnya juga terjadi keberingasan manusia Bali yang justru terjadi saat mereka merayakan hari sucinya. Saat perayaan Galungan dan Kuningan, hari perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adhrama (kejahatan), ditandai dengan sederetan peristiwa konflik dan keberingasan manusia Bali. Tidak hanya disebabkan kasus adat, tapi juga dari bentrok anak muda yang kemudian berujung pertempuran antar banjar. Itu terjadi pada 13 Maret 2005, dua hari setelah Nyepi di Kabupaten Klungkung. Massa Banjar Manggis nyaris bentrok melawan massa Kampung Gelgel. Pemicunya adalah perselisihan anak muda yang kemudian dilanjutkan dengan memukul kulkul bulus (ketongan bertalu-talu) tanda bahaya. Warga kedua banjar keluar berhamburan dengan senjata terhunus.

Saat April 2005, ketegangan juga menyeruak antara warga Desa Pakraman Ulakan dengan Angantelu. Batas tapal batas menjadi pemicu timbulnya perselisihan antar Desa Pakraman. Satu desa dengan desa yang lainnya saling klaim nilai itu menjadi milik desa tertentu.

Kasus lainnya yang membuat kita tidak habis pikir kenapa terjadi adalah konflik yang terjadi pada 12 April 2005. Suasana memanas terjadi di Dusun Kejula, Yeh Embang, Jembrana. Sekitar 12 rumah warga dari kelompok Munduk Paras dan kelompok Jati terkena lemparan batu. Kejadian berawal saat penjor (bambu yang dihias) seorang warga kelompok minoritas tersenggol oleh iring-iringan upacara ngaben (pembakaran mayat) pun berakhir dengan keberingasan massa yang melempari rumah warga lain dengan batu dan benda keras lainnya.

Tentu akar masalahnya bukan hanya sekadar tersenggol, tapal batas, perkelahian anak muda bahkan kasus adat yang seperti benang kusut. Saya meyakini pasti ada masalah lain yang lebih besar yang menyebabkan orang Bali begitu beringas dan sensitif. Bahkan tidak tanggung-tanggung untuk merusak dan menyerang orang dengan benda-benda tajam. Lalu di mana potret manusia Bali yang manis dan tersenyum ramah dalam postcrd-poscrd pariwisata itu? Di mana?

Kasus-kasus kekerasan dan konflik desa adat hanyalah satu dari sekian banyak “masalah” manusia Bali yang seperti api dalam sekam dan menunggu ledakan dahsyatnya. Kini yang terjadi hanyalah letupan-letupan kecil reaksi dari keterhimpitan orang Bali di daerah kelahirannya sendiri. Setiap jengkal tanah kini sangat berharga. Invasi ekonomi dan giuran tanahnya laku terjual membuat manusia Bali saling klaim tanah dengan saudaranya, dan tidak jarang melahirkan perseteruan dan kekerasan, seperti kasus perebutan tapal batas tadi.

Kasus-kasus kekerasan terjadi dengan sangat mudah menjadi “diadatkan” seperti pada contoh-contoh di atas. Karena “diadatkan”, maka persoalan akan berhenti dalam kesepakatan di sesama desa adat/pakraman. Maka dimulailah proyek-proyek untuk melokalitasnya kekuasaan jengka-jengkal tanah di Bali yang dikuasai oleh desa adat/pakraman. Konflik dan kekerasan yang terjadi ditanggulangi dengan menjelaskan daerah dan wewenang kekuasaan masing-masing desa. Akhirnya kasus-kasus kekerasan dan potret beringas manusia Bali tidak dilihat sebagai persoalan konstruksi benih dari politik, kuasa dan pembangunan pariwisata, tapi sebagai masalah bersama bagi Bali untuk menguatkan identitas ke-Balian, menjaga Bali dari pengaruh luar. Ia menjadi semacam gerakan politik identitas etnis. Persoalan saling “cakar-mencakar” sesama manusia Bali harus dicarikan musuh bersama yang bisa menyatukan manusia Bali untuk tetap bertahan dan kokoh dengan budayanya.

“Diadatkan” dan “dibudayakannya”nya semua konflik dan kekerasan di Bali juga untuk mensterilkan bahwa Bali lepas dari gerahnya wacana politik yang terjadi di nasional. Kasus-kasus yang terjadi di Bali adalah kasus-kasus kebudayaan yang bisa diredam dengan pendekatan “keamanan” dan demi berlangsungnya “pariwisata budaya”. Justru pada perspektif inilah bisa dibongkar mengapa manusia Bali begitu beringas? Pada dekonstruksi politik kebudayaan Bali.

Pariwsata, kuasa dan pembangunan membuat manusia Bali lama terbungkam dan menjadi sapi perahan dari pariwisata. Tapi setelah semua bulan madu pariwisata budaya habis tertelam bom, manusia Bali kebingungan dan frustasi dengan situasi yang terjadi. Bayangan dan mimpi mereka untuk hidup mewah dari gemerincing dollar pariwisat punah sudah. Sementara itu, mereka (manusia Bali), telah banyak berkorban untuk pariwisata. Di samping itu, mereka melihat situasi sudah semakin kompetitif dengan banyaknya masuk penduduk pendatang.

Bulan madu pariwista (baca: pembangunan) dengan kebudayaan melahirkan “pariwisata budaya”. Di sini kebudayaan dilihat sebagai hak milik, possession dan modal (baca: kapital). Hal ini menyebabkan klaim “kebudayaan Bali hanya milik orang Bali”. Klaim ini oleh sang kuasa dianggap sah. Karena itulah menjadi penting untuk selalu mencitrakan dan meyakinkan orang Bali bahwa “hanya kebudayaan Balilah yang unik”. Klaim dan siasat inilah yang digunakan oleh duet sang wisata dan sang kuasa. Dengan pernyataan “jagalah kebudayaan Bali yang indah itu”. Untuk menjaga modal (baca: kebudayaan) tersebut, Bali harus aman, diamankan dengan pendekatan keamanan.

Adat dan kebudayaan adalah dua “hak milik” tersisa yang dimiliki manusia Bali. Kebudayaan dan tradisi dalam perspektif manusia Bali telah menjadi hak milik, dank arena itulah harus dilestarikan, dijaga dan disterilisasi dari pengaruh luar. Maka segala macam potret beringas manusia Bali kembali diselesaikan dengan wacana mulat sarira, “introspeksi diri“ dan ajakan untuk bersama-sama segalak-seguluk selulunglung sebayantaka (bersama-sama sehidup semati) untuk menghadapi masalah ini. Caranya dengan menjaga “hak milik” terakhir –adat dan kebudayaan—dan sudah pasti menancapkan politik identitas etnis untuk membendung pengaruh orang luar.

Wacana Mulat Sarira juga tidak lebih sekadar wacana perekat untuk kembali Nyegjegan Desa Pakraman (mengokohkan Desa Pakraman). Yang dijadikan argumentasi tentunya Desa Pakraman adalah benteng terakhir yang dimiliki manusia Bali. Karena itu pula, ia harus dilestarikan untuk menjadi “material kebudayaan” yang dimuseumkan, dijadikan hak milik, anti perubahan, dan sudah pasti menjualnya untuk “kebudayaan yang berpariwisata”.

Suara nyaring itu terdengar saat saya menghadiri Temu Wirasa Mulat Sarira (temu keakraban untuk mengkoreksi diri) untuk refleksi akhir tahun 2003. Tema Temu Wirasa ini adalah Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali (mendoakan keselamatan, kedamaian bumi Bali). Banyak tokoh penting yang hadir, diantaranya adalah Kapolda Bali, Mangku Pastika dan rohaniawan yang terkenal namanya karena publikasi televisi lokal lewat acara Dharma Wacana (penyuluhan agama), Ida Pedanda Made Gunung.

Hampir seluruh tokoh lembaga adat diundang dalam acara tersebut. Seluruh Desa Adat, kini menjadi Desa Pakraman, setiap daerah di Bali diwakili oleh tokohnya dari Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga untuk memayungi banyaknya desa adat di Bali itu. Pertemuan itu menyepakati perlunya suara bersama untuk mengatasi konflik dan keberingasan antar sesama manusia Bali dalam Desa Pakraman. Karena Desa Pakraman adalah “benteng terakhir pertahanan manusia Bali”, maka perlu dilakukan agenda penyelamatan dengan menyatukan kekuatan manusia Bali, bukan memecah-belahnya.

Salah satu tawaran yang diajukan adalah dengan menghimpun kekuatan manusia Bali itu dalam gerakan Bali Mawacara (Bali berbicara/bersikap), bukan lagi terbelah dalam sikap-sikap Desa Mawacara (setiap desa berbicara/bersikap) yang hingga kini masih berjalan. Saat Desa Pakraman mulai bersatu, mulailah kata “keamanan” menjadi standar baku dalam menjaga Bali. Pendekatan keamanan adalah prioritas utama untuk membuat Bali aman dan stabil, tidak ada gejolak, seolah terlihat damai-damai saja. Pendekatan keamanan ini sangat cerdik diterapkan rezim otoriter orde baru yang menempatkan Bali menjadi “daerah budaya” yang tidak terjamah politik. Tapi pendekatan keamanan ini runtuh dengan menyeruak dan beringasnya manusia Bali keluar dari tekanan dan pembungkaman itu. Potret dan wajah-wajah kekerasan yang terjadi dalam kasus-kasus dalam uraian di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang bisa diungkapkan. Semuanya telah menjadi bukti bagaimana pendekatan orde baru itu menuai kritik tajam oleh orang Bali dan menutup rapi persoalan yang terjadi, letupan yang menunggu ledakan dahsyatnya, atau bahkan telah meledak perlahan tapi kontinyu dalam serangkaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi.

Tapi dengan Temu Wirasa itu, bukan operasi kekuasaan dan pendekatan keamanan itu yang dibongkar, tapi membentuk cara pengamanan baru, meniru gaya negara dalam melakukan pengamanan pada rakyatnya. Tapi kini yang menjalankan sendiri adalah masyarakat itu sendiri di setiap Desa Pakraman yang ada di Bali. Tentu yang menjadi supporting institutionnya adalah “aparat berwenang”, bisa kepolisian dan birokrasi.

“Pendekatan keamanan” inilah yang masih digunakan oleh negara melalui aparat-aparatnya dalam “mengawasi dan melindungi” Desa Pakraman. Institusi sipil ini menjadi bemper yang kuat untuk menjalankan pengawasan terhadap sesama masyarakat. Tentu cara ini sangat didukung oleh aparat keamanan dan negara dengan dalih “pemberdayaan masyarakat untuk keamanan lingkungannya”.

Kapolda Bali, Mangku Pastika, yang diacungi jempol berhasil menangkap teroris itu, mengemukakan gagasannya tentang “Manajemen Keamanan Terpadu”. Menajemen pendekatan keamanan ini, kata Kapolda, diwujudkan dan dipelihara dengan kondisi dinamis yang terjadi di masyarakat. Untuk itulah ia mengajak bersama-sama dengan Desa Pakraman untuk menciptakan keamanan. Keamanan, kata Kapolda, terdiri dari securuty, rasa aman itu sendiri, keselamatan, kepastian, dan kedamaian.

Mangku Pastika juga menekankan, “Dengan adat, budaya, dan agama yang satu, yaitu agama Hindu, adalah modal dasar untuk mewujudkan keamanan berlandaskan adat, budaya, agama. Semuanya itu ada di Desa Adat/Pakraman,” ujarnya. Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali, (Mendoakan Kedamaian Bumi Bali), ajaknya untuk bersama-sama Kepolisian dan Desa Pakraman menjaga Bali.

Maka dimulailah ajakan untuk mengajegkan budaya Bali dengan serangkaian program-program bernuasa adat dan budaya Bali. Media massa terbesar di Bali mempromosikan jargon ini dengan simultan hingga ke desa-desa. Dengan kuasa media yang dimilikinya, menterjemahan Ajeg Bali dan praksis nyata di masyarakat menjadi lebih kongkrit. Ajakan “Waspada Terhadap Orang Luar” misalnya, membuat manusia Bali menjadi siaga dan waspada dengan sesamanya. Logika “kita” dan “mereka” menjadi sangat kental di Bali.

Ajakan mengajegkan Bali ini terasa memilukan di tengah begitu terbuka dan plurarisnya kini penduduk Bali. Politik harmoni ini lahir di tengah begitu beringasnya manusia Bali dalam banyak banyak kasus-kasus adat. Yang menjadi korbannya adalah nak jawa (orang di luar Bali yang datang ke Bali) dan orang Bali sendiri. Lokalitas kekuasaan kini bukan terletak sentralistik, dimana negara menjadi otoritas tunggal. Tapi kini, kekuasaan menyebar dalam lokalitas-lokalitas kekuasaan, perilaku manusia Bali terhadap sesamanya, keberingasan untuk merusak dan menyerang. Praksis politik kekerasan menjadi nyata diakrabi manusia Bali sehari-hari. Kenyataan ini sudah terjadi jauh berpuluh-puluh tahun lalu saat Bali kolonial, di mana kekerasan, pelenyapan menjadi cerita sehari-hari dan catatan sejarah manusia Bali. Saat keberingasan itu ditekan oleh orde baru untuk menciptakan manusia-manusia Bali yang “murah senyum”, kini semuanya meledak menjadi keberingasan yang sebenarnya menjadi karakter kuat manusia Bali.

Catata Akhir Tahun 2005

Catatan Akhir Tahun (1)


Mengurai Benih-benih Fundamentalis

Masih terngiang dan terasa jelas bagaimana reaksi masyarakat Bali pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Seluruh masyarakat panik tindakan apa yang mesti dilakukan. Seluruh desa merapatkan dirinya untuk menjaga keamanan lingkungan masing-masing. Suasana ini sejalan karena ketika itu sudah muncul tawaran untuk otonomi daerah, mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Maka lengkaplah sudah, setiap desa pakraman tidak perlu lagi menunggu pemerintah pusat untuk bertindak. Mereka bisa bertindak sendiri. Dan juga dengan otonomi daerah, pemerintah pusat bisa berlindung dibalik semangat desa-desa untuk mengurus dirinya sendiri. “Pemerintah hanya sebagai fasilitator,” begitu nyaring pernyataan pemerintah dalam setiap kasus-kasus di desa.

Diberikan kekuasaan, desa-desa pakraman di Bali mengkonsolidasikan dirinya. Seluruh aparat desa diharapkan bersatu untuk menjaga daerahnya. Aparat keamanan dan tenaga satuan tugas disiapkan untuk melakukan razia penduduk di sekitar wilayah kekuasaan desa. Bom meledak adalah malapetaka bagi masyarakat Bali. Tersiar berita di televisi, pelakunya adalah para “teroris” yang berasal dari luar Bali.

Telah lama sebenarnya masyarakat di desa-desa pakraman di Bali resah dengan desakan pendatang yang masuk ke Bali bagai air bah. Hitungan jumlah penduduk di masing-masing desa, khususnya di kota-kota besar seperti Denpasar, Badung, Buleleng, dan Gianyar terus bertambah. Khususnya Denpasar dan Badung, tanpa terasa jumlah penduduk pendatang terus merambah naik, dan kini hampir menyamai penduduk lokal yang sudah lama tinggal di Bali, dengan terikat di desa-desa pakraman. Tentu perkiraan statistik ini menimbulkan bias dan generalisasi, orang yang datang ke Bali hanya menikmati sari-sari Bali, tanpa menjaga keamanan dan kebudayaannya.

Tapi persepsi itu kental terasa di pikiran manusia Bali. Para “teroris” yang mereka bayangkan ikonnya adalah para tokoh-tokoh jihad yang sering mereka saksikan di televisi. Tapi “pengancam kebudayaan” mereka adalah para penduduk pendatang yang tidak peduli dengan Bali, sementara mereka, para manusia Bali yang terikat dengan tradisi memikul beban berat untuk “melestarikan” ritual dan budaya mereka.

Awal sikap dan persepsi ini menimbulkan sebuah reaksi dan benih dari semangat “anti teroris” dan semua pihak yang mengancam kebudayaan Bali. Padahal dibalik semua semanangat dan nasionalisme “penjaga kebudayaan Bali” itu, tersimpan relasi dan reproduksi kekuasaan akan citra Bali yang dibentuk kolonial dan menenggelamkan cerita-cerita kekerasan, perlawanan, dan gugatan manusia Bali terhadap perdebatan politik dan kebudayaan. Semuanya “diharmoniskan” oleh kolonial untuk membentuk sebuah bayangan akan pulau yang sorgawi dan nir dengan kekerasan, gugatan dan perlawanan.

Karena itulah manusia Bali selalu bangga dengan beragam citra yang “baik-baik”, puja-puji yang membuat masyarakatnya terlena menjadi pulau yang “berbudaya” dan steril dari cerita pedih, getir, kekerasan dan kemuraman. Saat mentari dan kicauan burung di pagi hari bersinar adalah sorga yang hanya ditemukan di hamparan sawah yang hijau di Desa Tegalalang, Gianyar. Bali akhirnya terbentuk sebagai sebuah pulau sorga dunia, dimana segala keindahan, keramahan dan kesksotikan alamnya dicari-cari orang.

Padahal dibalik citra—yang dibentuk oleh warisan kolonial dan dilanjutkan serta dipelihara oleh masyarakat Bali sendiri—eksotik dan “pulau sorga” itu tersimpan kemuraman yang sebenarnya menjadi keakraban dalam keseharian masyarakat di Bali. Tapi sayang, saat kolonisasi terjadi, rezim kolonial memberangus semua catatan pembantaian manusia Bali dalam penjajahan, penindasan dalam kerja paksa, dan “perang saudara” dalam Tragedi 1965-1966 menjadi sebuah bayangan pulau tropis yang eksotis bagi para pelancong.

Konstruksi tersebut diamini oleh masyarakat Bali dan terpelihara dalam berbagai rezim kebenaran dari kekuasaan. Dari warisan kolonial itulah terbentuk industri-industri pembentukan manusia Bali yang luar biasa canggih dan produktif. Saat zaman pembangunan pariwisata budaya, terbentuk manusia Bali yang manis, sopan dan penurut karena mendukung program pembangunan dan pariwisata budaya. Tapi dibaik semua kisah manis dan sopannya manusia Bali itu, ternyata menyimpan kegetiran dan kisah kekerasan.

Pembantaian manusia Bali tahun 1965-1966 adalah sisi kelam yang tersimpan rapi dibawah selimut pembangunan dan pariwisata budaya. Ingatan kelam para saksi sejarah dan survivor peristiwa itu harus terbungkam dan menjadi stigma subversif yang menodai gerakan pembangunan. Sisi kelam akhirnya terbungkus rapi gemerlap rencana pembangunan dan gairah pariwisata yang menjamur di Bali awal tahun 1980-an.

Saat gemerlap pariwisata itu perlahan-lahan runtuh karena pondasi yang rapuh, dentuman Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005 dan krisis pariwisata, Bali menjadi panik dan gelagapan menghadapi kondisi ini. Indah dan nikmatnya pembangunan pariwisata yang semu itu menjadi cerita muram dan kelam dari kepanikan manusia Bali. Senja kala di Kuta menjadi sepi dari turis-turis yang berderet menyaksikan sunset dan keindahan pesona Bali. Yang ada hanyalah ibu-ibu tua tukang pijat atau pedagang asongan yang menjerit karena turis takut datang ke Bali. Banyak anak muda Bali yang menganggur karena hotel-hotel kosong melompong dan tidak kuat lagi membayar gaji karyawan. Saat itulah kemuraman Bali benar-benar dirasakan, yang sebenarnya sudah ada sejak dulu, tapi ditutup-tutupi oleh rekayasa kemegahan budaya untuk pembangunan pariwisata.

Dari keterpurukan itulah lahir sebuah semangat persatuan sekaligus tekad. Yang menghidupi Bali selama ini adalah budayanya. Orang datang ke Bali karena ingin melihat kekhasan tradisi dan budaya manusia Bali. Yang mengikat budaya adalah agama Hindu. Semua masyarakat Bali akan mengangguk setuju jika ia masih merasa beragama Hindu dan tinggal di Bali. “Siapa yang rela budaya Bali dan agama Hindu tercabik-cabik?” Tekad itu adalah sebuah modal untuk kembali menggugah kepedulian masyarakat Bali di tengah keterpurukan dan muramnya kondisi yang sangat memukul sendi kehidupan ekonomi.

Masalah-masalah kependudukan akan bisa diatasi jika masyarakat Bali di setiap desa adat ketat dengan razia dan penertiban penduduk pendatang di wilayahnya. Pengaruh budaya dari luar bisa juga dihadapi dengan pelestarian dan mengokohkan nilai-nilai tradisi kebudayaan Bali. Dengan segalak-seguluk, bersatu-padunya masyarakat Bali akan bisa kuat menghadapi perubahan yang tak terhindarkan itu.

Bergegas kemudian mengkristallah sebuah gerakan bernama Ajeg Bali, sebuah seruan untuk bersama-sama menjaga Bali dengan melestarikan dan mengokohkan, menguatkan kebudayaan Bali. Dengan keterpurukan saat Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005, maka dipandang sudah sepantasnyalah untuk merenung, refleksi diri apa yang akan terjadi pada Bali di kemudian hari jika daerah ini terus dihantam bencana. Kesadaran masyarakat Bali saat ini adalah bagaimana bisa survive dengan pertahanan terakhir bernama adat, budaya dan tradisi. Hanya dengan pertahanan terakhir itulah masyarakat Bali mempunyai “harga” dan harkat untuk bisa menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri.

Hanya dengan modal budaya dan agama Hindulah benteng pertahanan masyarakat Bali, yang perlahan namun pasti terdesak ke pinggir. Berlangsungnya pariwisata adalah contoh riil bagi masyarakat Bali bagaimana budaya, termasuk di dalamnya kesenian dan ritual-ritual keagamaan, menjadi aset yang menjanjikan untuk pariwisata. Berbagai pentas-pentas seni tari dan kerawitan banjir order ke hotel-hotel berbintang yang megah, sementara mereka diangkut dengan truk. Begitu juga saat ritual-ritual keagamaan berlangsung. Masyarakat Bali sangat bangga dan menunjukkan tingkah polah “paling Bali” ketika para pelancong menjepretkan kilatan blitz kameranya. Ini dengan harapan foto itu nanti tersebar di luar negeri, tentang bagaimana masyarakat Bali menjunjung tinggi agama dan kebudayaannya.

Ajeg Bali adalah satu gerakan untuk mengkonstruksi politik kebudayaan Bali pasca kolonial. Tapi konstruksi politik kebudayaan Bali melupakan kemuramannya, salah satunya adalah tahun yang gelap dalam sejarah kebudayaan Bali, 1965-1966, saat 80.000 hingga 100.000 manusia Bali tewas di tangan saudaranya sendiri. Cerita pedih itu lama tersimpan. Kalau ada yang bercerita, dianggap “perusak pembangunan” dan “pengkhianat Bali” yang sedang menatap masa depan yang lebih cerah. Dan hingga masa kini, warisan kekerasan itu lama tersimpan, bahkan bereinkarnasi menjadi kekerasan-kekerasan politik dalam setiap pentas perebutan kekuasaan di Bali, atau bahkan dalam beringasnya masyarakat adat pada krama, warganya sendiri.

Ajeg Bali menjadi sebuah penawar baru kebingungan masyarakat Bali. Ia menjadi rayuan dan gemerlap glamour baru yang juga palsu dan pada dasar yang keropos. Ajeg Bali menyimpan relasi kuasa dari warisan industri pembentukan manusia zaman kolonial yang terjadi di Bali. Industri pembentukan manusia itulah yang kemudian kini menciptakan manusia-manusia Bali yang sangat sensitive, beringas, bahkan kadang rasis. Dengan industri pembentukan nilai bernama Ajeg Bali, manusia Bali berlindung dengan nyaman dibalik budaya dan agama yang mereka anggap menjadi hak milik mereka, dan dengan demikian sangat pantas untuk dipertahankan.

Industri nilai bernama Ajeg Bali sebenarnya bukan barang baru. Dalam perkembangannya, wacana ini begitu lentur dan tidak steril dari kekuasaan, sebagaimana seruan moral gerakan ini untuk “menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali”. Dalam pentas “Mengajegkan Budaya Bali” bertarung banyak relasi kuasa dan kepentingan manusia Bali. Di dalamnya begitu banyak kompleksitas masalah yang dengan gampang akan disebutkan untuk mengajegkan kebudayaan Bali. Tapi di tengah kompleksitas itu, ada juga gugatan terhadapnya. Ada penentangan, tapi juga usaha penyeragaman dan penundukan masyarakat yang mencoba mengkritisinya.

Masalah penduduk pendatang bisa disebutkan untuk menjaga budaya Bali dari Nak Jawa, orang Jawa, yang datang mengadu nasib ke Bali dengan segala dampak negatifnya. Maka, diberlakukanlah gerakan untuk waspada dan siaga bagi penduduk pendatang yang dianggap melahirkan masalah kriminalitas dan kemiskinan di pulau seribu pura ini.

Ajeg Bali di dalamnya juga terdapat usaha menyediakan ruang bagi pengentalan etnis menuju rasisme yang dialami manusia Bali. Dengan Ajeg Bali bersinonim dengan agama Hindu, maka muncullah kelompok-kelompok fundamentalis yang memperjuangkan kokohnya budaya Bali dan sekaligus eksistensi agama Hindu. Di dalamnya, dengan melestarikan dan penguatkan budaya, mulailah masyarakat Bali mengais-ngais kembali romantisme asal-usul, keturunan, garis darah dari zaman Majapahit dan Empu Kuturan. Gerakan-gerakan ritual keagamaan dan kemeriahan upacara juga berlangsung meriah di desa-desa adat di Bali.

Tapi sebenarnya, ditengah kompleksitas masalah itulah manusia Bali tercipta dengan segudang ironi dan kontradiksinya. Ajeg Bali tidak dengan mudah kemudian disebut sebagai gerakan kebudayaan dengan identitas ke-Balian-an yang kental, meskipun dalam operasinya itu terjadi. Tapi kontestasi banyak pihak dalam wacana Ajeg Bali, yang melibatkan hampir sebagian besar seluruh komponen masyarakat di Bali, adalah perantara dan agensi-agensi yang mengkonstruksi budaya sebagai sebuah modal sosial dan politik. Agen-agen manusia Bali itulah yang dengan lantang mengkampanyekan gerakan Ajeg Bali.

Pelopor gerakan Ajeg Bali, sebuah industri media terbesar dan berpengaruh Bali Post Group, tidak bisa dilepaskan peranannya dalam pentas perebutan kekuasaan dan pelenyapan manusia Bali tahun 1960-an. Ia bermain dengan menggunakan sentimen cair bernama “menjaga budaya Bali” yang langsung disambut sumringah masyarakat Bali yang sedang terpuruk pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Karena kompeksitas masalah, Ajeg Bali menjadi tong sampah yang menampung semua masalah yang menimpa Bali. Menjaga Bali” perlu dilakukan dengan langkah apapun yang bermuara pada mengembalikan kekuatan masyarakat untuk mencoba survive.

Dengan melacak benih-benih akar fundamentalis itulah kita bisa mengerti bagaimana gerakan-gerakan pemurnian dan esensialisme agama, politik dan kebudayaan Bali lahir kini. Itu diwujudkan dengan bermunculannya agensi-agensi manusia fundamentalis dalam gerakan-gerakan berbasis kebenaran agama dan kebudayaan. Juga disertai dengan sentimen dan provokasi menyudutkan agama lainnya. Jejak panjang dan benih gerakan ini terciptra melalui sebuah pergulatan panjang kesepakatan dan perlawanan terhadap kekuasaan. Dan kini, kekuasaan bereproduksi menjadi sebuah gerakan fundamentalis memperjuangkan agama dan kebudayaan. Bali mengalami itu semua, yang lahir dari sebuah proses perjalanan panjang bagaimana politik kebudayaaan, agama dan kekuasaan beroperasi. Dan kini mungkin yang ada dalam referensi kita adalah Ajeg Bali dan gerakan fundamentalis agama. Bukankah keduanya saling bereleasi dan merepdoduksi nilai?

Masa Lalu Bali

Kompas Sabtu, 15 Oktober 2005

Masa Lalu dan Tantangan Masa Depan Bali

Iskandar P Nugraha

Menjelang peringatan tiga tahun tragedi bom Bali, di tengah-tengah upaya giat meski tertatih-tatih membangun keterpurukan dunia pariwisata Bali yang belum lagi pulih sebagai dampak langsung bom tersebut, kita dikejutkan lagi oleh terjadinya bom Bali kedua yang mematikan baru-baru ini. Bagi sebagian pengamat, peristiwa tersebut diprediksikan akan membuat kondisi pariwisata yang adalah tulang punggung utama kehidupan perekonomian masyarakat Bali makin terpukul.

Lebih jauh lagi, peristiwa ini dikhawatirkan makin menyematkan bahkan mematrikan imaji-imaji kekerasan sebagai bagian dominan dari episode sejarah kontemporer di Bali. Dengan demikian, tampaknya harapan memunculkan kembali buku Willard Hanna sebagai upaya melawan imaji kekerasan yang lebih menyerobot perhatian dunia terhadap Bali sejak bom Kuta tersebut tampaknya sulit untuk memenuhi sasaran utamanya. Buku yang pertama kali terbit tahun 1976 dengan judul Bali Profile: people, events, circumstances 1001-1976 memang sarat akan refleksi imaji eksotisme dan romantisme Bali yang menjadi daya tarik pesonanya pada era pra 1970-an.

Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa imaji Bali yang khusus, unik, dan telah hidup di Bali berpuluh-puluh tahun lamanya itu adalah aset penting Bali yang besar perannya bagi kehidupan masyarakatnya. Namun kini, upaya untuk merestorasi Bali dalam konteks sosial-masyarakat yang lebih luas adalah terlalu naif bila melulu hanya bersandarkan pada fokus pengembalian citra Bali seperti era 1970-an itu. Usaha pemulihan Bali yang berkelanjutan, yang didasarkan pada pijakan kekuatan nyata sejarah, budaya dan orang Bali merupakan jawaban mendesak yang patut direnungkan pihak-pihak yang berkeinginan mencari formulasi terbaik bagi masa depan Bali.

Atas alasan tersebut tidaklah buku Hanna yang dianggap klasik ini masih signifikan kehadirannya. Penyertaan diskusi panjang lebarnya mengenai aktor-aktor dalam pariwisata (hal 156-210), misalnya, akan selalu bermanfaat. Kelengkapan detail deskriptif-naratif yang diperkaya data statistik dan informasi sosial lewat proyeksi kepariwisataan tak pelak merupakan bagian dari sejarah perkembangan pariwisata Bali yang perlu ditelaah sebagai landasan penelitian yang lebih luas, yakni konteks sejarah sosial-budaya Bali.

Walau begitu, agar dapat mendeteksi tempatnya dalam ruang contemporary past (masa lalu kontemporer) Bali tersebut, buku ini mestinya dinilai bersama-sama dengan karya sejarah Bali lain yang lebih anyar. Tulisan Robert Pringle, A Short of History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm (2004) agaknya pilihan tepat bagi perbandingan tersebut. Meski disusun dengan pemahaman, konteks, dan era yang berlainan, kedua buku itu sama-sama ditulis pengamat Amerika dan sama-sama memilih untuk menyuarakan kekhawatiran akan perkembangan yang terjadi di Bali.

Sebagaimana telah diwanti-wanti spesialis Bali Prof Adrian Vicker dalam pengantar buku Hanna (hal 15-21), karya yang meng-cover sejarah Bali yang direntang sejak sebelum abad ke-18 hingga 1970-an harus dipahami dalam konteks Indonesia sampai awal Orde Baru saja. Sedangkan buku Pringle itu sendiri, walaupun juga mengetengahkan sejarah panjang Bali dimulai sejak Bali Zaman Perunggu, meletakkan sejarah Bali dari perspektif terjadinya bom Kuta Bali tahun 2002. Dengan menghadirkan 2 buku bersubyek budaya dan masyarakat Bali yang pembahasannya ditarik mundur ke belakang, suatu pemahaman sejarah Bali yang penuh nuansa, mendalam dan holistik kiranya sungguh akan sangat menjanjikan.

Terbagi atas 16 bab bahasan, pelbagai pandangan tertulis mengenai Bali, termasuk perihal tokoh-tokoh penting yang hidup dan berkiprah di Bali hingga masa awal Orde Baru direkonsiliasi Hanna dalam bukunya secara gamblang. Meskipun tidak dilengkapi catatan-catatan kaki, bahasan tentang dilema Bali, diskusi mengenai Dewa Agung dan raja-raja Bali sebelum abad ke-18, pengaruh kuat Westernisasi termasuk juga prinsip-prinsip kebalian orang Bali secara lengkap dibeberkan penulisnya dengan sangat runtut. Pada bagian lain, penulis juga menekankan pentingnya kerajaan Gianyar serta penglihatan maupun rekaman pandangan pro-kontra orang Bali terhadap Soekarno. Ini jelas suatu potret rekaman menarik bagi sejarawan pemerhati Bali.

Pelbagai episode sejarah Bali yang tercipta tiga dasawarsa kemudian, di mana terdapat situasi Bali masa Orde Baru, Reformasi, termasuk Bali pasca bom Kuta 2002, tentu saja ada di luar jangkauan buku Hanna. Di sinilah peran utama kehadiran buku Pringle yang terdiri atas 11 bab itu. Muncul menyeruak tidak saja melengkapi, ia juga meng-”update” isu-isu kontemporer Bali yang bagi kita terdengar lebih relevan bagi kekinian masalah Bali.

Bila Hanna menuduh praktik pariwisata sebagai biang keladi munculnya dampak negatif kelestarian budaya Bali (hal 7), Pringle justru menganggap bahwa ancaman dari dan ketakutan akan praktik pariwisata yang dikaitkan dengan aspek negatif budaya di Bali sebagai pandangan yang sungguh tak berdasar. Sebagaimana juga sudah ditunjukkan pendahulunya, Michel Picard dalam Cultural tourism and touristic culture (1996), aspek pariwisata Bali justru telah memberikan identitas budaya yang khusus, unik, dan penting, utamanya memunculkan renesans bagi budaya Bali. Pentingnya pariwisata bagi Bali tidak berhenti di situ saja. Kebanyakan ahli Bali lain juga sepakat bahwa pariwisata telah menempatkan posisi Bali dan orang Bali menjadi demikian penting dalam kancah percaturan kehidupan politik nasional. Keberhasilan strategi pariwisata di Bali itulah sumbangan yang bisa diteladani daerah-daerah lainnya di Indonesia yang masih berkutat mencari sumber-sumber perbaikan ekonomi bagi masyarakatnya.

Bagi Pringle, isu utama dampak pariwisata Bali bukanlah terletak pada budaya, namun lebih pada sudut ekologi dan lingkungan. Diidentifikasikannya dengan jelas dilema yang dihadapi Bali dalam upaya menggunakan kekayaan dan potensinya secara berkelanjutan. Dengan meyakinkan ditunjukkan bahwa miskinnya kesadaran pengelolaan kedua aspek tersebut sebenarnya telah memengaruhi kualitas kehidupan orang Bali di luar faktor-faktor eksternal lainnya. Ini adalah suatu dampak serius di masa mendatang yang secara tak langsung menentukan arah sejarah masyarakat Bali itu sendiri.

Bom Kuta yang memilukan terjadi Oktober 2002, menghantam tanpa ampun Bali dan dunia wisatanya. Sejarah modern Bali memperlihatkan bahwa tanpa terjadinya tragedi itu sekalipun, dampak pariwisata telah makin bermuara pada munculnya ekses-ekses lain yang bukannya menaikkan taraf kehidupan namun justru memengaruhi kualitas kehidupan sosial dan lingkungan hidup Bali. Dengan ketahanannya dan kreativitasnya yang luar biasa tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya, Pringle optimistis bahwa Bali akan selalu bisa bangkit dengan catatan, bila kesadaran sejarah dan budaya orang Bali sebagai bagian dari asetnya itu masih tetap dipelihara.

Pemikiran yang dilandasi oleh keprihatinan atas bom Kuta, Bali, tiga tahun lalu tentu saja bagian paling berharga dari diskusi Pringle dan menjadi renungan paling relevan bagi Bali pascabom kedua. Diskusi tersebut diungkapkan dengan jelas dan gamblang di bab 10 Bali Abad 21: Tantangan Baru Termasuk Terorisme, serta bab akhir Beberapa Pemikiran Penutup (hal 227-230).

Cara pandang yang ditawarkan Pringle dalam bukunya jelas akan membuat argumentasi Hanna menjadi tampak usang. Namun begitu, sesungguhnya buku Hanna juga masih relevan untuk beberapa alasan. Ketika terbit adalah sumber klasik berbahasa Inggris satu-satunya pengungkap masa lalu Bali yang panjang dengan penuh detail dan nuansa. Mungkin tidak ada satu pun terbitan mengenai Bali sesudah itu yang alpa merujuknya. Dua antropolog ternama, Clifford Geertz dan James A Boom, memanfaatkan informasi dan pandangan-pandangan Hanna bagi riset monumental mereka yang kemudian hari merupakan bagian dari aliran diseminasi pengetahuan kita akan Bali.

Walau kemudian juga tidak terbukti, upaya Hanna menyuarakan kekhawatiran melalui perdebatan ”budaya versus pariwisata” bagi masa depan Bali secara tidak langsung telah menjadi inspirasi yang menyadarkan kita agar senantiasa mempertanyakan seraya mencarikan solusi terbaik bagi persoalan Bali lainnya yang kian hari kian kompleks itu, yang di antaranya adalah kemunculan ancaman terorisme di Bali. Harus diingat bahwa terbitnya buku Pringle dengan segala ungkapan, elemen baru, dan kekhawatiran akan masa depan Bali yang didasarkan pada esensi budaya dan sejarahnya adalah bagian dari sintesa tradisi pengetahuan yang antara lain telah dipelopori oleh Hanna. Itulah sebabnya buku Hanna dianggap karya standar yang masih kerap harus ditengok ahli Bali mutakhir sekalipun.

Bila Hanna memberikan landasan-landasan sejarah Bali klasiknya yang di mata Bali jelas aset kebanggaan bernilai, buku Pringle lah yang agaknya lebih mampu menginspirasikan kita bagi pencarian cara-cara jitu bagaimana sesungguhnya membawa masa depan Bali yang didasarkan persoalan-persoalan depan mata tampak lebih nyata di era globalisasi.

Mereka yang berkepentingan membangun Bali dan ingin turut terlibat menorehkan arah sejarah Bali yang berpihak pada kebaikan masyarakat Bali di masa depan agaknya perlu mempertimbangkan dengan baik pemikiran-pemikiran Hanna maupun Pringle yang termaktub dalam terbitan terbaru mengenai Bali ini

Iskandar P Nugraha, Pemerhati Sejarah Pariwisata, Mengajar di Department of Indonesian Studies, University of New South Wales, Sydney, Australia

Seni dan Kuasa di Bali (Project Rsearch Yayasan Seni Cemeti)

Dari “Moii Bali” ke “Mendobrak Hegemoni”

Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali

I Ngurah Suryawan

Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Bali. Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Karyanya: Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), dan Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), 2005. Dapat dihubungi di Mobile: 081-2396-5390 atau email: ngurahsuryawan@gmail.com dan suryawanku@eudoramail.com.

Latar Belakang

“Dalam abad ini berkembang dua golongan seni lukis baru di Indonesia. Yang pertama berkembang di Bali sejak tahun-tahun tiga puluhan. Seni lukis ini memperlihatkan beberapa sifat baru yang membedakannya dari seni lukis Bali lama, namun pada umumnya tetap memperlihatkan hubungan yang jelas dengan kesenian dan kebudayaan di Bali. Karena itu ada dasarnya jika orang tetap menamakannya “seni lukis Bali[1]

Pernyataan kritikus seni rupa, (alm) Senento Yuliman menyiratkan bahwa seni lukis di Bali mendapatkan tempat sendiri dalam perjalanan seni visual di Indonesia. Ini disebabkan karena pengaruh kebudayaan dan ritual agama Hindu Bali menjadi cikal bakal terbentuknya apa yang disebut Sanento sebagai seni lukis Bali lama. Seni lukis Bali lama mendasarkan dirinya pada sebuah ritus bernama yadnya, persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Masa Esa dalam bentuk perlengkapan upacara seperti kain umbul-umbul yang bergambar tokoh cerita pewayangan Ramayana atau Mahabharata yang disakralkan. Juga lukisan-lukisan pewayangan di atas kanvas. Si seniman sebagai kreatornyapun tidak terlacak secara jelas, karena dalam pengerjaan berlangsung secara kolektif. Maka dari itu, banyak karya-karya seni lukis Bali lama yang anonim.

Jejak-jejak peninggalan seni lukis Bali lama ini kadang terdapat dalam peninggalan-peninggalan ritual agama Hindu Bali. Banyak karya-karya seni lukis berhubungan dengan teologi dan filsafat dari agama Hindu. Hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan.[2] Semua karya-karya tersebut dipersembahkan untuk ritual di pura-pura atas permintaan dari kaum bangsawan/raja-raja di Bali. Semua proses pembuatan karya seni itu disertai dengan ritual pasupati, ritual mensakralan karya itu, untuk persembahan kepada para dewa-dewi yang berada di pura-pura. Periode ini berlangsung sejak perkembangan ajaran Hindu-Budha di Bali dan masuknya invasi Majapahit dari Pulau Jawa ke Bali tahun 1343, yang kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan Hindu dengan tatanan agama dan ritual yang kental.

Landasan tatanan ritual, agama, sosial politik yang membentuk dunia seni dan kebudayaan Bali pra kolonial mulai mengalami perubahan mendasar. Masuknya invasi Belanda di Bali utara 1845-1848 dan di Bali selatan 1906-1908 merubah cepat Bali. Perlahan tapi pasti tatanan kehidupan masyarakat Bali berubah seiring kolonisasi yang dilakukan Belanda. Puri dan kerajaan-kerajaan lokal diintegrasikan ke dalam administrasi kolonial. Kehidupan ekonomi masyarakat Bali disatukan dan dibawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Begitu juga dengan keseniannya. Mulai ada perubahan tematik dari seni sebagai persembahan ritual menjadi terintegrasi dengan konteks kekuasaan kolonial ketika itu.

Di Bali selatan, Jean Cotteau mencatat dominasi asing dan komodifikasi kesenian berlangsung secara tiba-tiba. Pada waktu puputan, perang sampai titik darah penghabisan, Badung dan Klungkung (1906-1908), kapitalisme sudah menerjang budaya lokal. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu, begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideology konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi.[3]

Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun image Bali. Salah satunya adalah pesanan dari jaringan rezim kolonial atas karya-karya seni Bali yang dianggap eksotik, asli dari dunia timur yang “asing”, “mistis” dan sorga bagi warga dunia di barat. Pandangan orientalis ini menjadi pondasi berubahnya citra terhadap Bali. Landasan sosial religius seni lukis Bali lama tergerus dengan pesanan karya-karya yang mereproduksi eksotika Bali dalam lukisan pewayangan dan citra akan dunia pewayangan dan “mistik” seperti bayangan para pelancong dan rezim kolonial.

Menginjak tahun 1920-1930 mulailah intervensi seniman barat ke Bali, yang kemudian memepengaruhi perkembangan seni lukis di Bali. Walter Spies, seniman serba bisa, pelukis, koreografer, penari, dan juga fotografer asal Jerman datang ke Bali tahun 1927. Tahun 1929 menyusul datang Rudolf Bonnet, seniman akademik asal Belanda dan Arie Smith 1956.[4] Dua yang disebut pertama berkongsi dengan Raja Ubud Tjokorde Gde Raka Sukawati (almarhum putra Ubud yang dilahirkan di Ubud tahun 1910) bersama dengan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan organisasi yang disebut dengan Pita Maha tahun 1936.[5] Perkumpulan seniman ketika itu diadakan di rumah Spies di Tjampuhan, Ubud dan bertemu setiap minggu. Pertemuan Pita Maha langsung dipimpin Tjokorde Gde Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Perkumpulan ini mengadakan pameran-pameran di dalam dan di luar negeri yang memungkinkan seni lukis Bali menjadi dikenal dan diakui dunia internasional. Dari kegiatan pameran keliling dunia inilah yang kemudian merangsang dan memunculkan pengaruh kuat pada seniman muda Bali dan bagi perkembangan seni lukis modern di Bali.

Kongsi dagang untuk promosi seni lukis Bali ini terbentuk beriringan dengan penyeberan promosi pariwisata Bali melalui brosur-brosur turis untuk berwisata ke pulau tropis di Asia bernama Bali. Terbentuknya organisasi dan kongsi ini adalah bukti pengaruh luar (Barat) yang luar biasa pada Bali. Pelukis-pelukis Barat yang datang ke Bali secara tidak sadar memberi pengaruh paling dasar dalam perubahan tematik, cara sampai paradigma seni rupa di Bali. Sebelumnya tema-tema lukisan di Bali tidak jauh dari corak tradisi-religius wayang lukis dari epos-epos Mahabharata dan Ramayana. Pada periode ini, Spies dan Bonnet memberikan ide-ide baru dan contoh-contoh baru dalam tema dan teknik melukis pada pelukis Bali. Maka pelukis Bali pun terpengaruh, terutama dari motif yang diangkat dari kehidupan sehari-hari dan lingkungannya.

Seniman yang bergabung dalam Pita Maha tercatat 125 orang. Diantaranya adalah A.A Gde Sobrat (Desa Padangtegal), I Gusti Ketut Kobot (Desa Pengosekan), I Ketut Roja (Desa Mas), I Gusti Made Debelog (Denpasar), I Riok (Desa Celuk). Pelukis Bali ketika bertemu dengan Spies banyak yang memunculkan karya corak baru. Motif yang diangkat dari lingkungan hidup sehari-hari.

Gaya Ubud adalah kelanjutan dari proses kerja dan pengaruh Pita Maha. Pelukis Bali dengan gaya ubud mampu melukiskan pada taferil yang satu. Misalkan peristiwa seorang petani pergi ke sawah, persitiwa di jalan, mengerjakan sawah atau menuai padi, membawa pulang dan menjemurnya di halaman umumnya. Ini semua dilukiskan dengan bercerita dalam satu bidang kanvas. Dalam gaya lukis tradisional, gaya ubud sekarang merupakan komoditi terbesar dalam seni lukis Bali dan memperlihatkan kecenderungan untuk berkembang dalam karangka tradisional. Gaya lukisan ini juga berhubungan dengan kehidupan sehari-hari orang Bali sebagai ide pengambilan temanya. Tokoh-tokoh kunci dari pengusung gaya ubud ini diantaranya Ida Bagus Made, Anak Agung Gde Sobrat dan I Gusti Ketut Kobot. Mereka inilah pelukis elite dari lukis gaya Ubud. Ini karena pengaruhnya amat besar terhadap karya dan pandangan filosofis generasi yang lebih muda. Pelukis muda yang muncul menggantikan Ida Bagus Made dkk. diantaranya Ketut Nama, Wayan Djuljul, Ketut Sepi, Made Subalon, Ketut Brata dan Made Parsita.[6]

Aliran lukisan Gaya Batuan berasal dari tradisi cerita wayang dan tarian. Tapi aliran ini jelas berbeda dengan gaya Kamasan yang juga memiliki dasar yang sama. Dr. AA Djelantik, penulis seni senior di Bali pernah mengatakan pertumbuhan seni lukis Bali memperhatikan perbedaan-perbedaan gaya Batuan dan Kamasan dalam istilah “lebih berbentuk human” dan dalam objek pemandangan lebih dalam dan perspestif. Djelantik mengatakan pilihan aneka warna yang digunakan lebih gelap dan dengan bayangan yang dalam, merefleksikan lukisan bersuasana malam, mengingatkan tarian atau drama Gambuh yang dipertunjukkan malam hari [7]

Sesungguhnya Desa Batuan telah lama dikenal sebagai pusat seni tari dan drama. Hingga kini banyak pelukis yang masih aktif di desa tersebut. Selain melukis, mereka juga memainkan musik, menari dan ikut dalam pementasan drama klasik yang disebut gambuh. Tahun 1960-an, lukisan gaya Batuan dapat dibedakandalam tiga genre. Pertama, keturunan keluarga almarhum Ida bagus Togog yang menurut tradisi mewarisi ketrampilan sebagai perajin, melukiskan cerita-cerita Ramayana dan Mahabharata atau subjek mitologi. Genre kedua, adalah peran Made Djata yang suka menciptakan karya berformat besar. Djata ikut menggambarkan mitologi dan cerita wayang ditambah dengan kekayaan imajinasi dan fantasi-fantasinya sendiri. Genre ketiga adalah dari lukisan-lukisan berbumbu humor, jenaka yang merupakan reaksi balik tentang kehidupan modern, terutama industri pariwisata yang menggilas Bali dari berbagai aspeknya.[8]

Kelompok lainnya adalah Young Artist. Kelompok dan aliran ini bermula dengan munculnya pelukis Arie Smith. Arie punya pengaruh dan pengikut untuk memunculkan gaya khusus sewaktu mengasuh anak-anak untuk melukis di Desa Panestanan, Ubud. Tahun 1990-an murid yang belajar melukis pada Arie Smith sudah berjumlah ratusan orang yang kemudian menghasilkan gaya Young Artist. Gaya ini umumnya berani menggunakan warna primer seperti kuning, biru, merah, serta campurannya. Serta dengan goresan-goresan garis yang tebal. Motif-motif lukisan gaya ini sama dengan pelukis Ubud dan Batuan. Banyak mengangkat motif kehidupan sehari-hari. Seperti petani mengembala kerbau di sawah, pengembala itik, suasana saat upacara agama, situasi rumah tangga. Dengan tema ini jelas berbeda dengan gaya tradisional Kamasan yang melukis cerita Ramayana dan Mahabharata.

Dengan tumbuhnya anak didik Arie Smith menjadi dewasa, corak lukisan Young Artist mengalami perubahan. Warna primer meredup dan tidak mencolok, goresan menjadi kurang tebal, tapi semua masih menunjukkan spontanitas. Pentolan young artist ini diantaranya Nyoman Cakra, I Ketut Soki, Ketut Punduh, Wayan Pagur, I Nyoman Londo, I Made Norif, I Nyoman Gerebig dan I Wayan Kembang.[9] Kelompok-kelompok pelukis lainnya sebenarnya masih banyak tersebar di Bali. Di antaranya adalah kelompok lukisan Wayang Kerambitan, lukis kaca Nagasepaha di Buleleng, HPS (Himpunan Pelukis Sanur) di Denpasar.

Berikutnya adalah masa gelap seni rupa Bali. Generasi yang “hilang” dan “tahun yang lenyap” dalam jejak panjang wacana seni rupa Bali. Tahun dan generasi itu adalah “generasi seniman politik” tahun 1960-an. Ketagangan politik juga berimbas dalam bidang seni yaitu persaingan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Ketegangan bukan hanya terjadi dalam seni rupa, tapi juga dalam kesenian-kesenian lainnya seperti tari dan gamelan. Yang paling terkenal adalah persaingan dua partai politik besar pada zamannya ini di tarian Janger (tarian kegembiraan anak muda). Dari tarian janger ini biasanya diselipkan kampanye-kampanye politik kedua partai. Dalam seni rupa, barisan seniman Lekra membuat baliho-baliho dukungan politik dan membuat famlet-famlet mendukung gerakan PKI, demikian juga yang dilakukan oleh seniman dari LKN. Begitu juga yang terjadi di bidang sastra, pewayangan dan sudah pasti tari. Semuanya telah menjadi politik. Seni menjadi bagian dari politik sebagai panglima saat itu.[10]

Generasi seniman tahun 1960-an tertumpas habis dalam pembasmian orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI dan ormas-ormasnya yang terjadi di Bali 1965-1966. Termasuk di dalamnya adalah anggota Lekra. Jejak sejarah perkembangan seni di Bali, terputus saat memasuki tahun gelap 1965. Catatan sejarah mentabukan bagaimana kiprah Lekra dan ketegangannya dengan LKN berlangsung. Juga bagaimana cikal bakal dari seni tari, tabuh dan pertunjukan yang menjadi medium penting dalam perjuangan partai politik.

Jean Cotteau hanya menyinggung sedikit, bahwa sumbangan seniman realis yang paling peka terhadap masalah sosial “hilang” setelah Gestapu. Mereka adalah seniman-seniman dari luar Bali penganut aliran realis (PERSAGI) yang sebagian anggotanya berafiliasi ke Lekra. Mereka mendirikan studio dan sanggar-sanggar di Ubud dan Denpasar dari tahun 1950-1970-an.[11] Meletusnya peristiwa G30S dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI dan organiasi pendukungnya membuat banyak seniman Lekra “hilang” di Bali.

Raka Suasta, salah seorang mantan anggota Lekra Bali, mengungkapkan saat berkiprah di Lekra, slogan yang selalu diingatnya adalah seniman harus membela rakyat. Sedang bentuk visual yang digunakannya adalah bahasa realisme sosialis. Ia menyatakan hubungan Lekra dan PKI tidak ada garis organisasi afiliasi. Tetapi banyak anggota Lekra yang ikut partai, dan kebetulan partainya adalah PKI, sehingga kesan Lekra menjadi organisasi afiliasi PKI menjadi kental. Raka Suasta diciduk oleh tentara dan diangkut truk pada malam hari 26 Desember 1965. “Dinaikkan di atas mobil truk dibawa berkeliling untuk mengambil orang lagi di tempat lainnya. Saya sudah pasrah, di manapun akan dibunuh ya sudahlah,” tutur Raka Suasta yang berada di balik jeruji besi hingga 1968.[12]

Semua cerita itu terhapus oleh politik stabilitas orde baru yang menempatkan seni kini menjadi bagian dari industri pariwisata. Politik pembangunan menyusupkan bagaimana kebudayaan Bali dengan identitas khasnya, dengan spirit Bali, menjadi komoditas. Sementara itu, pariwisata dan pembangunan mendukung kesenian yang bersedia menjadi bagian dari politik kebudayaan Bali saat itu, kuasa, modal (pembangunan) dan pariwisata. Akhirnya, selepas ketegangan dan pembasmian gerakan kiri itu, muncullah kelompok seniman muda Bali yang merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Nama kelompok itu adalah SDI (Sanggar Dewata Indonesia) yang kemudian mewarnai perkembangan seni rupa Bali.

SDI, dalam konteks Yogya dan Bali adalah sebuah paguyuban, dalam mereka sekaa bebanjaran (perkumpulan komunitas adat di Bali). Lahir tahun 1970-an, SDI kemudian terkenal dengan deklarasinya menggunakan spirit religiusitas dan mistis Bali melalui symbol-simbol kultural dan agama yang ada. Sebuah paguyuban[13] bersemangat primordialisme, yang dari perantauan (di Yogya) mendapatkan pensahan untuk membentuk sentimen dan pengentalan etnis kedaerahan. Romantisasi karena tinggal jauh dari Bali menempatkan kelompok ini seakan menjadi wakil dan representasi paling sahih dari seni rupa Bali di nasional dan internasional. Dan itu dibuktikan dengan serangkaian pameran-pamerannya yang sukses.

Dimulai dari Nyoman Gunarsa dengan figuratif Legongnya (tari tradisi di Bali), cipratan cat-cat menyala ekspresif dan figur penari Legong Bali. Lalu Wayan Sika dengan abstrak ekspresionis “ke-Bali-an” dengan memajang ikon poleng (kain hitam putih) simbol dualisme, kontradiksi baik buruk dan lainnya dalam lukisannya. Juga Nyoman Erawan yang hampir senada dengan Sika, dengan letupan menggunakan ikon-ikon tradisi Bali dalam setiap karyanya. Karya-karya Erawan sering dianggap sebagai avant garde tradisi karena keberanian mengeksplorasi tradisi Bali dalam lukisan abstrak ekspresionis. Ia juga mengambil seni intalasi dan perfomance art dalam karyanya. Dan sederet seniman yang lahir dari kelompok SDI seperti Made Djirna, Putu Sutawijaya, Made Wiradhana, Made Sumadiyasa, Made Budhiana, Nyoman Nuarta, Nyoman Masriadi dan yang lainnya.

Jean Cotteau banyak mengulas sebagian besar karya-karya dari seniman anggota SDI ini.[14] Tapi saya tidak tertarik untuk membicarakan bagaimana karya mereka—seperti yang dilakukan Jean Cotteau—tapi lebih melihat SDI sebagai sebuah organisasi telah menciptakan sebuah rezim kekuasaan dalam relasi kuasa seni rupa di Bali. Pasca “hilangnya” sejarah seni rupa Bali, seniman-seniman yang tergabung dalam SDI menguasai dua poros Yogyakarta-Bali. Disadari atau tidak, SDI telah membentuk gurita kekuasaan yang menyebar dalam relasinya dengan wacana, lingkaran dan bangunan infrastruktur seni visual, dan nilai yang diwtawarkannnya. Jaring-jaring kuasa yang beroperasi inilah yang menjadi dasar bangunan SDI sebagai lembaga maupun anggotanya sebagai individu, berkembang kuat menjadi kelompok seniman yang mewarnai perkembangan seni visual di Bali.

Dari segi wacana, SDI mampu memenuhi hasrat dari wacana keotentikan, keaslian dan sentuhan “spirit Bali” yang selalu diusung oleh seniman SDI. Wacana ini bertemu dengan semakin terkonsolidasikannya rezim wacana “pariwisata budaya” yang mencoba mengangkat kesenian yang berspirit Bali menjadi salah satu produk dari sebuah relasi besar, yang melibatkan seluruh politik seni dan kebudayaan di Bali: wacana “pariwisata budaya” tahun 1980-1990-an. Seni bertemu dengan sebuah rezim kekuasaan bernama orde baru dan menciptakan sebuah relasi yang apik bagaimana seni dan kebudayaan menjadi sebuah wacana dan produk dibawah ideologi pariwisata.

Relasi seni dan kekuasaan diwujudkan oleh agency-agency para pemilik modal yang mendirikan museum dan gallery atau artshop-artshop di kawasan Kuta, Sanur, Ubud, dan Klungkung. Hadirnya Musuem Puri Lukisan, Neka, Rudana, Gunarsa berbarengan dengan mulai tertatanya secara solid infrasturktur pariwisata di Bali saat rezim orde baru. Maka konsekuensi dari semua itu adalah tarik-menariknya seni dan kebudayaan (kekuasaan) serta industri yang terus-menerus direproduksi oleh negara yang sangat kuat ketika itu. Maka seni dan kebudayaan tanpa sadar menempel menjadi salah satu prasayarat berjalannya “pariwisata yang berbudaya”. Lukisan “moii Bali”, seperti ditawarkan seniman-seniman SDI laku keras sebagai cinderamata untuk melihat keeksotikan Bali dan juga mereproduksi identitas keBalian dalam sebuah spirit yang sering dianggap mempunyai kekuatan inner power yang dalam kepercayaan Hindu Bali disebut taksu.

Maka muncullah sebuah event seni rupa Mendobrak Hegemoni yang dilakukan Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar, 23-25 Februari 2001 di Lapangan Puputan Badung, di pusat kota Denpasar. Acaranya sebenarnya biasa, perfomance art, pameran lukisan dan melukis bersama oleh semua mahasiswa seni rupa STSI/ISI Denpasar. Yang tidak biasa adalah tema dan lukisan-lukisan yang dipamerkan. Hampir sebagaian besar karya bertema “menghujat” dan “menyerang” kelompok-kelompok yang dianggap hegemonik, yang tidak lain adalah sebagaian besar seniman SDI, para pemilik museum dan gallery yang menjadi institusi yang berkuasa untuk menentukan dan menciptakan wacana, didukung oleh para kurator dan penulis seni yang bisa dibeli untuk terus mengokohkan kekuasaan kelompok hegemonic SDI dan relasi-relasinya. Mereka didukung oleh modal yang kuat dan bisa membeli media massa sebagai sarana promosi mereka. Mendobrak Hegemoni menyerang Nyoman Erawan, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Putu Wirata Dwikora sebagai penulis seni rupa, Bali Post sebagai media yang menjadi corong SDI dan lingkaran museum, gallery, penghargaan, kolektor (kolekdol) yang menciptakan relasi yang hegemonik.[15]

Rekasinya mengejutkan. Pasca gerakan Mendobrak Hegemoni, bukan hanya lembaga yang menekan, lingkungan mahasiswa di STSI juga “memusuhi” anak muda yang dituduh frustrasi ini. Lambat laun ternyata kelompok ini menyebar benihnya. Pertama di kampus tercatat sapihan mereka kembali beraksi dengan pamflet-pamflet dari Maret—Mei 2001. Tercatat pamflet seni aksi, buletin SUAKA (Solidaritas Untuk Aksi Kamasra), Membongkar Sejarah Seni Rupa Bali, Seni Kritik dan Penyadaran, Kiri Sampai Mati, Sikat Gigi Erawan Harus Disikat. Pamflet ini selain disebar dan ditempel di kampus juga disebar saat aksi dipublik. Terutama saat Sikat Gigi Erawan di pentaskan di Puputan Badung.[16]

Saat yang paling menegangkan tentunya saat pameran Pesta Kapitalisme Bali Juni 2001 sebagai kritik dari PKB (Pesta Kesenian Bali) yang membosankan itu. Sebelum pameran, terjadi pemanggilan mahasiswa, teror, perusakan karya-karya oleh lembaga STSI Denpasar melalui Satpam, pengusiran mahasiswa sampai adanya jam malam 20.00 WITA di kampus. Rangkaian teror terbukti dengan main ancamnya staf dosen STSI Denpasar yang mengadukan mahasiswa pada polisi. Akhirnya, 16 Juni 2001 dibuka pameran kontra PKB di halaman depan museum Lattha Mahosadhi disertai penyebaran pamflet “Pemerintah Kolonial Bali”.[17] Saat inilah terjadi pembongkaran paksa pemeran oleh lembaga STSI Denpasar yang langsung dipimpin Ketuanya, Prof. Wayan Dibia beserta Pembantu Ketua STSI menganggap pameran kontra PKB sebagai bentuk pembangkangan mahasiswa terhadap lembaga STSI, juga pameran ini tidak sesuai dengan ijin dan prosedur. Pameran kontra PKI ini dilanjutkan di depan kampus Universitas Udayana Sudirman, depan kampus Fakultas Sastra di Jalan Pulau Nias dan berakhir 24 Juni 2001.[18]

Berikutnya, mulailah tradisi diskusi dan refleksi aksi kesenian dalam lingkungan komunitas seni pasca gerakan Mendobrak Hegemoni. Sedikit demi sedikit jumlah mahasiswa yang terkumpul tambah banyak dan diwadahi dalam diskusi seni rupa setiap senin dan kamis di sebuah rumah kos seorang kawan.

Komunitas Pojok dan Klinik Seni Taxu memulainya di tahun 2001. Gerakan seni alternative sebagai kelanjutan dari gerakan Mendobrak Hegemoni ini sebenarnya berawal dari kegelisahan. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut sejarah Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar sebagai awal dan kelompok-kelompok perupa muda di kampus ini yang belum mendapat ruang seide dengan mereka. Kedua kelompok ini bertemu dan merefleksikan kegiatan mereka selama berkesenian.

Dari diskusi dan kumpul beberapa kali terwujudlah ide untuk melembagakan gerakan kesenian baru ini menjadi komunitas seni, sebuah klinik seni pada September 2001. Namanya pun disepakti Taxu, plesetan dari kata-kata taksu yang jamak digunakan di Bali untuk menjelaskan keangkeran, kemistisan kesenian dan upacara agama di Bali. Kelahirannya pun bertitik tolak untuk melakukan kritik dan desakralisasi dan menghancurkan mitos-mitos kesenian dan kebudayaan Bali. Tidak hanya melakukan diskusi, terbitlah pertama kali buletin seni rupa Kitsch[19] yang mewadahi pemikiran alternatif tentang seni rupa dari anggota Taxu dan juga peminat seni rupa lainnya. Untuk pertama kali edisinya mengangkat “Kebohongan Pengider Bhuana” sebagai kritik pameran bersama Pengider Bhuana dosen STSI Denpasar di Museum Rudana, Agustus 2002.

Klinik Seni Taxu terus berkembang. Mereka atas biaya urunan dari 12 anggotanya mendirikan Klinik Seni Taxu Art Space sebagai initiative art space dari sebuah kelompok alternative art space di Bali. Pemeran perdana yang menandakan eksistensi kelompok ini adalah, “Hati-hati Ada Upacara Taxu !!!” 2002. Perlahan tapi pasti Taxu mulai melakukan pameran ke luar Bali seperti Yogyakarta dan Jakarta sambil secara kontinyu setiap tiga bulan sekali menerbitkan Kitsch, Visual Art Bulletin. Anggota-anggotanya tersebar untuk melakukan pameran-pameran dengan menawarkan ide/gagasan yang baru tentang politik kebudayaan di Bali dan juga dengan kekuatan tampilan visual.

Komunitas Pojok memulai benih berdirinya pertengahan tahun tahun 2001. Anggotanya terdiri dari mahasiswa STSI, kini ISI Denpasar. Nama Pojok mereka ambil dari tempat studio mereka di kawasan pojok kampus ISI Denpasar. Disamping karena studio yang letakknya di pojok, posisi mereka dalam pergaulan di kampus ISI juga terpojok Pameran mereka pertama, “Tentang Manusia”, sebagai wujud berdirinya Komunitas Pojok berlangsung di ruang pameran Gedung Kriya Art Centre Denpasar tahun 2001. Komunitas Pojok dengan 6 anggotanya lebih intens menggarap seni-seni sosial di ruang-ruang publik seperti mural dan perfomance art.

Hingga kini, kedua kelompok alternative itulah yang berada di tengah-tengah konsolidasi dan jerat-jerat kekuasaan kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya. Usaha membangun sendiri ruang seni dan wacana sempat dilakukan Klinik Seni Taxu dengan membuka art space dan memicu perkembangan kelompok-kelompok alternative dari anak-anak muda Bali. Juga pernah dilakukan Komunitas Pojok dengan menghadirkan serta mendekatkan seni pada masyarakatnya, dengan melakukan proyek mural kota dan serangkaian pameran di ruang-ruang publik, tidak hanya sebatas di museum dan gallery.[20]

Tapi konsolidasi bagian kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya ternyata melahirkan sebuah event monumental bernama Bali Bienalle 2005. Lalu dimana posisi kelompok alternative semacam Klinik Seni Taxu dan Komunitas Pojok, atau sikap kelompok muda yang lainnya? Apa mereka telah luluh atau tetap menjaga tensi ketegangan dan perlawanan? Apakah mereka mau terlibat dalam sebuah proyek konstruksi kesenian dan kebudayaan Bali yang tetap saja diproduksi oleh institusi dan jaringan relasi kuasa kelompok-kelompok yang dikritik oleh Mendobrak Hegemoni?

AAGN Ari Dwipayana, mengungangkapkan pendapatnya tentang Bali Bienalle 2005 yang disandingkannya dengan gerakan kebudayaan yang sedang hangat-hangatnya di Bali, yaitu gerakan Ajeg Bali, usaha mempertahankan, mengokohkan, menguatkan kebudayaan Bali.

“…Kampanye Ajeg Bali dan sikap terbuka Bali Biennale mengandung sejumlah kedekatan; Pertama, keduanya ingin membangun proyek ekonomi-politik baru atas budaya Bali. Jika kita mengikuti logika studi yang dilakukan, baik oleh Adrian Vickers (1998) maupun Picard (1997) yang menggabarkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda mendefinisikan kembali citra kebudayaan Bali, maka melalui Ajeg Bali dan ajang Bali Biennale kita bisa menyaksikan keterlibatan aktor-aktor baru, setidaknya terlihat dari peran Satria Naradha dari Bali Post maupun posisi para pemilik Galery besar dalam mendefinisikan perjalanan seni rupa Bali.

Titik persamaan yang kedua adalah kedua proyek perumusan identitas budaya Bali itu cenderung mempunyai cara pandang yang romatik dalam melihat budaya Bali. Kalau dikaji lebih dalam, asumsi dasar yang digunakan kedua wacana itu adalah sama yakni: citra Bali yang harmonis, Bali yang damai, Bali yang dialogis, dan Bali yang menghormati perbedaan dan keragaman. Dengan demikian, kedua wacana itu sesungguhnya sama-sama ingin membangun kembali citra populer Bali sebagai pulau surga. Dalam representasi Bali sebagai Pulau Surga; segala sesuatunya berjalan dengan damai seperti kehidupan di “nirwana” dan tidak pernah ada masalah yang serius dalam budaya dan masyarakat Bali, termasuk ketika harus berinteraksi dengan perbedaan dan keragaman. Bahkan, Bali Beinnale mulai dengan keyakinan bahwa kebudayaan Bali adalah produk dialog damai. Tentu, akan muncul serangkaian pertanyaan atas asumsi dasar itu : apakah memang tidak pernah ada masalah dalam budaya Bali dalam menyikapi perbedaan? Apakah memang benar budaya Bali merupakan hasil dari serangkaian dialog damai? Apakah benar perjalanan budaya Bali berjalan begitu linear, tanpa konflik dan kekerasan? Apakah benar kebudayaan Bali dibangun dengan semangat keterbukaan dan menghormati perbedaan? Bagaimana menjelaskan konflik dan kekerasan yang muncul dalam sejarah Bali? Bagaimana menjelaskan pergulatan seniman-seniman politik di era tahun 1960-an? Bagaimana menjelaskan tindak kekerasan yang terjadi di Bali saat ini dalam merespon perbedaan?...”[21]

Jadi jelaslah, kehadiran Bali Bienalle 2005 beriringan berjalan untuk mengkonstruksi kembali politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Representasi atas Bali kembali dibangun dalam sebuah project bertemunya jaring-jaring kekuasaan lama yang dikritik dan dibongkar oleh gerakan Mendobrak Hegemoni. Kehadiran Bali Bienalle 2005 juga bertepatan dengan gemuruhnya kampanye bagaimana menjaga identitas dan kebanggaan pada Bali dengan budayanya yang “kuat dan kokoh” menerima pengaruh budaya luar. Kampanye Ajeg Bali menjadi sebuah rezim baru untuk mencipta, menafsir dan merepresentasikan kebudayaan dan khususnya seni visual di Bali. Rezim kekuasaan kadang tidak beroperasi jauh dalam bayangan kita pada kekuasaan otoritas gallery, pemilik museum, politik media massa, dan licik dan rayuan kapital, tapi pada sentimen identitas dan penguatan budaya, sebuah konsep fluid dimana operasi kekuasaan melalui agency-agency para pemain seni visual mementaskan pertarungan mereka.

Pergulatan politik seni visual dari zaman rezim kolonial, terciptanya sebuah kongsi bernama Pita Maha, ideologi Balisering, pariwisata budaya, dan Ajeg Bali menempatkan seni visual sebagai produk-produk yang merepresentasikan operasi kekeuasaan dan kesenian berlangsung di Bali. Project proposal Tuhfah Yayasan Seni Cemeti 2005-2006 ini ingin menelisik bagaimana operasi kekuasaan itu bekerja dalam setiap catatan sejarah dan pentas seni visual dan kebudayaan yang berlangsung di Bali.

Pentingnya Penelitian Ini

Riset kecil ini merupakan studi awal untuk melihat politik perkembangan seni visual di Bali. Sebelumnya sangat banyak catatan-catatan sarjana asing dan Indonesia yang mengungkapkan perkembangan seni rupa Bali. Catatan itu sangat penting untuk melihat perkembangan secara keseluruhan seni rupa Bali. Seperti juga pernyataan yang dituliskan oleh Sanento Yuliman. Tapi catatan atau penelitian terkini tentang seni rupa Bali pasca 1990, atau pada masa kejayaan SDI sangatlah sedikit. Untuk menarik pembicaraan kebelakang, masa suram seni di Bali saat para seniman dan aktivisnya dibantai oleh saudaranya sendiri tahun 1965-1966 juga luput dari catatan itu.

Karena itulah, penelitian kecil ini mencoba untuk membongkar dan menelisik lebih dalam dan (semoga) tajam tentang pergulatan politik kekuasaan dalam perjalanan sejarah seni visual di Bali. Catatan ini setidaknya memberikan perspektif lain dalam melihat seni rupa Bali yang selalu direpresentasiakan dalam tarian legong atau sapuan lukisan abstrak dengan beragam simbol-simbol Hindu Bali. Ada gugatan dan relasi kekuasaan dari apa yang dibayangkan masyarakat Bali terhadap kesenian dan kebudayaannya yang terus dibanggakan, disanjung sebagai kebudayaan yang adiluhung.

Perjalanan politik kebudayaan dan termasuk kesenian di dalamnya tidak bisa lerpas dari intervensi rezim kekuasaan yang beroperasi yang liar dan masif dalam setiap ruang dan wacana di masyarakat. Termasuk juga dalam bayangan masyarakat Bali akan “kebudayaan dan kesenian Bali”. Karena itulah, konstruksi kesenian dan kebudayaan yang kita terima hari ini tidak terlepas dari bagaimana semuanya terbentuk, terwarisi. Tentu banyak yang “dihilangkan” dan “diadakan” oleh sang kuasa. Maka dari itu, riset ini ingin memulai untuk membongkar jejaring ada apa dibalik itu semuanya.

]Metodologi Penelitian dan Penulisan

Penelitian ini akan memadukan metode wawancara mendalam terhadap pelaku-pelaku seni yang terlibat dalam subyek penelitian ini tanpa kecuali, termasuk pemilik gallery, museum, seniman, akademisi, penulis seni, kelompok alternative, SDI, dan yang lainnya, dengan riset pustaka/dokumen, terutama hasil penelitian tentang sejarah seni rupa Bali dan catatan-catatan kuratorial yang berhamburan tentang pameran seniman-seniman Bali baik di Bali maupun di luar Bali.

Penulisan menggunakan metode deskriptif analisis, dengan menguraikan catatan lapangan dan hasil wawancara untuk dideskripsikan dipadukan dengan teori-teori kebudayaan dan kekuasaan untuk melihat operasi kesenian dan kekuasaan yang berlangsung dalam setiap zaman di Bali.

Draft Rancangan Penulisan

Dari “Moii Bali” ke “Mendobrak Hegemoni”

(Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali )

PENDAHULUAN

Bab I : Lahirnya Sebuah Kongsi (Pita Maha dan Kolonisasi Seni)

Bab II : Eksotika Realis: Politik “Baliserring” dan Seni 1950-1960-an

Bab III : Mereka yang Dihilangkan (Kesaksian Kiprah Seniman Lekra)

Bab IV : Ideologi “Pariwisata Budaya” dan Lahirnya Sanggar Dewata Indonesia

Bab V : Mendobrak Hegemoni: Membongkar Relasi Seni, Modal, Kebudayaan dan Kekuasaan

Bab VI : Beyond Mendobrak Hegemoni: Alternative Art Space dan Jerat-jerat Kekuasaan

Bab VII: Pentas Representasi Politik (Seni) Kebudayaan (Bali Bienalle 2005 dan Gerakan Ajeg Bali)

PENUTUP

Daftar Pustaka

Glosari

Indeks

Ubung Denpasar, Desember 2005

Terimakasih,

I Ngurah Suryawan



[1] Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru (hal. 78-104) dalam Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Kalam, 2001.

[2] Jean Cotteau, Wacana Seni Rupa Bali Modern (hal.102-141) dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, 2003.

[3] M. Picard, Bali, Cultural Tourism and Touristic Culture, Archipelago Press, 1996 via Jean Cotteau, op.cit.

[4] Bahan publikasi tentang Arie Smith banyak diterbitkan oleh Museum Neka, dimana pemiliknya Pande Wayan Suteja Neka adalah sahabat karib Arie Smith. Diantara publikasinya adalah, Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, Museum Neka, 1996 dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, Yayasan Seni Rupa AIA, Jakarta 1993.

[5] Saya telah melakukan studi awal atas kongsi sejarah seni rupa Bali, sejak lahirnya perkumpulan bernama Pita Maha. Diantaranya adalah Jejak Sang Maestro (Sejarah Perjalanan Seni Lukis di Bali) dalam Laporan KKN (Kuliah Kerja Nyata) Opsional di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, 2000. Juga dalam beberapa bagian buku saya, Mensubversi Seni: Jejak Politik Kesenian di Bali dalam Sandyakalning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), 2005 dan Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005.

[6] Dalam Ipong Purnama Sidhi, Panorama Seni Lukis Bali Masa Kini: Tradisi dan Pertumbuhan dalam pengantar katalog pameran Seni Lukis Tradisional Bali, Gaya Ubud dan Batuan di Bentara Budaya Jakarta 7-17 Juli 1995.

[7] Ipong Purnama Sidhi, op.cit.

[8] Saya membacaa tulisan dari Dr.Djelantik ( 1986) sebagai Ketua Yayasan Walter Spies di Bali dan kini digantikan oleh Agung Rai, pemilik Agung Rai Museum of Art (ARMA). Dalam tulisannya ini, Dr. Djelantik sedikit menjelaskan tentang perjalanan seni tradisi di Bali. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah perkembangan gaya lukisan Batuan.

[9] Ipong Purnama Sidhi, op.cit dan Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, Museum Neka, 1996 dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, Yayasan Seni Rupa AIA, Jakarta 1993.

[10] Sangat jarang yang coba mengungkap sejarah seni rupa Lekra di Bali. Seolah sejarah mereka (di)hilangkan dalam perjalanan seni rupa Bali. Usulan penelitian dan penulisan Tuhfah ini mencoba untuk membahas dalam satu bagian tentang sejarah dan kiprah seniman Lekra di Bali dalam Mereka yang Dihilangkan (Kesaksian Kiprah Seniman Lekra di Bali) yang didapat dari hasil riset independen sebelumnya dengan melakukan wawancara dengan seniman Lekra yang masih hidup di Bali

[11] Jean Cotteau, op.cit. hal. 122.

[12] Wawancara dengan Raka Suasta di studionya di Ubud, 26 April 2004. Sebagian ceritanya ditulis Muliana Bayak, Sejarah yang Terputus dari Perjuangan Seniman Lekra Bali, Buletin Kitsch Klinik Seni Taxu, edisi 8 Mei-Agustus 2004. Sangat sulit mencari jejak kiprah seniman Lekra di Bali kini yang masih hidup dan bersentuhan dengan dunia seni rupa. Salah satu bagian dari riset ini akan memberikan fokus yang besar terhadap pergulatan seniman Lekra dalam dunia seni rupa Bali. Bagian ini menghadirkan penuturan-penuturan dan kesaksian seniman Lekra di Bali dari serangkaian oral history dan catatan lapangan pergulatan serta perjuangan kehidupan mereka.

[13] Dalam setiap presentasinya atau dalam pameran-pameran SDI, anggotanya selalu mengatakan bahwa organisasi mereka bersemangat paguyuban. Dalam istilah Balinya Bebanjaran (sistem adat/organisasi desa di Bali), dengan semangat etnis, nilai-nilai tradisi lokal dengan musyawarah mufakat dan gotong royongnya (seperti jargon pemerintah Orde Baru) untuk mencitrakan organisasi adat dan budaya yang masih bertahan di Indonesia (Bali)

[14] Jean Cotteau, op.cit, hal. 125-141 dalam ulasannya tentang gelombang modernis 1950-1990 dalam seni rupa Bali.

[15] Famflet Isu paling Gress!!! yang sangat sederhana dan menjadi awal dari gerakan Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar. Berisi pemaparan beberapa infrastruktur seni rupa dengan segala kritiknya. Diantaranya Media Massa: Kritikus seni cenderung sebagai agen promosi dan periklanan, atau Seniman: seniman terikat kontrak dengan galeri yang akhirnya membelenggu kemerdekaan berkreasi. Lainnya, ada pokok kritik untuk galeri, museum, art shop, kompetisi, dan spekulan seni. Karya yang paling mewakili semuanya tentunya adalah Manifesto Kebudayaan yang berisi kecaman pada jurnalis, kritikus juga dosen-dosen malas di STSI Denpasar dengan gaya kalimat plesetan dan bercanda. Yang lainnya diantaranya lukisan berjudul Potret Nyoman Erawan mirip gorila, Art Ne Pis (plesetan Art and Peace, proyek miliaran Made Wianta), Sangkar Dewata Indonesia (plesetan untuk Sanggar Dewata Indonesia), dll. Lebih lengkap lihat katalog Mendobrak Hegemoni, 2001.

[16] Buletin Suaka edisi Maret 2001 terbit setelah katalog Mendobrak Hegemoni. Isinya tentang Pembelaan dari Kamasra dalam Buku Putih Kamasra-gate, Kritik STSI Denpasar.

[17] Famflet Pesta Kapitalisme Bali, juga sub judul Pemerintah Kolonial Bali yang menyediakan dana kurang lebih 1 milyar rupiah untuk pesta yang membosankan dan layaknya seperti pasar malam ini. Selebaran ini juga tersebar saat berlangsungnya pembukaan PKB di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali 16 Juni 2001.

[18] Kronologis peristiwa perusakan karya saat Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi Pameran Kontra PKB, Juni 2001.

[19] Lihat terbitan perdana Buletin Seni Rupa Kitsch Agustus—September 2002

[20] Lihat Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam I Ngurah Suryawan, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005.

[21] AAGN Ari Dwipayana, Bali: Surga Bertepi Kekerasan, hal. 13-24 dalam pengantar buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Kepel Press 2005.