Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Bertutur Di Balik Senyap

BERTUTUR DI BALIK SENYAP

(STUDI ANTROPOLOGI KEKERASAN PEMBANTAIAN MASSAL TRAGEDI 1965 DI DESA TEGALBADENG, NEGARA, BALI)


1. 1 Latar Belakang

Saya masih ingat, waktu itu tahun 2001, saat pelaksanaan bakti sosial di sebuah desa di Kabupaten Bangli. Tanpa sengaja saya bertemu dengan seorang kakek tua, saat bersama-sama membersihkan satu ruas jalan setapak di desa. Tubuhnya yang ringkih bergerak-gerak mengayunkan sapu jelas menunjukkan semangat hidupnya. Saat waktu istirahat, ia meneguk air putih kemasan yang saya berikan kepadanya. “Suksma Gus,” suara lirihnya yang saya sambut dengan senyum dan anggukan.[1]

Itulah awal perkenalan saya, dan setelah itu mulailah ia bercerita tentang sebuah zaman yang tidak saya duga, tanpa saya perkirakan, dan belum sekalipun saya dengar. Awalnya adalah cerita kematian seorang sahabatnya, tetangga di sebelah rumahnya. Kematiannya mengenaskan dan menyakitkan. Setelah hampir tiga tahun menahan sakit lumpuh total, selalu merintih dan mengerang kesakitan setiap malam. “Matine kegele-gele,” tutur si kakek menjelaskan kematiannya sahabatnya yang terlantar dan tersiksa karena sakitnya yang tak tersembuhkan.

Sahabat si kakek terkenal sebagai tokoh pemuda desa pada zamannya. Saat tahun 1960-an ialah yang bertindak sebagai Sang Suratma, penentu hidup matinya seseorang. Ia adalah tokoh pemuda desa yang paling dingin dan sadis dalam sejarah pertaruan jagoan desa. Dan di tahun 1965, ia direkrut oleh tentara dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) menjadi seorang pimpinan pemuda untuk melakukan penumpasan habis sampai ke akar-akarnya komunis di desa. Ia terkenal sadis dan dingin dalam melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. “Dumun nikange tameng,” kata si kakek menyebut sahabatnya itu zaman 1965 sebagai tameng, sebuah milisi pemuda-pemuda yang direkrut oleh tentara dan partai politik untuk bergabung dalam Front Pancasila.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965-1966? Dalam pelajaran sejarah generasi orde baru pasca 1966 sama sekali tidak dijelaskan tentang pembantaian massal setelah peristiwa G30S. Yang ada dalam pelajaran sejarah adalah kudeta yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap pemerintahan yang sah pada dini hari 30 September 1965.[2] Ini dibuktikan dengan penemuan jenazah tujuh jendral di kawasan Lubang Buaya yang disiksa dan dibunuh organisasi underbow PKI yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Untuk itulah dibangun monumen tujuh pahlawan revolusi dan diorama kekejaman Gerwani. Dan setiap 30 September, saat rezim orde baru para pelajar diwajibkan mengunjungi monumen itu untuk mengutuk kekejaman PKI dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur.[3]

Cerita kekejaman dan pengkhianatan PKI itu dilembagakan, disebarkan, dan dilestarikan dengan mesin yang paling ampuh dan akurat bernama media audiovisual film. Bayangan generasi orde baru adalah ingatan dan cerita-cerita sadistik tentang kekejaman PKI yang melakukan pembunuhan terhadap tujuh jendral. Setting malam mencekam ketika pasukan Cakrabirawa turun perlahan dari truk mengepung rumah para jendral tidak bisa saya lupakan. Musik di film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer[4] itu membuat saya kadang menutup mata dengan bantal untuk menyaksikan setiap adegan di film tersebut. Saat seorang anak jendral menangis sejadi-jadinya memandang ayahnya tewas tertembak dengan lumuran darah. Selanjutnya si anak meraup mukanya dengan darah ayahnya. Adegan itu jujur membuat saya tersentuh dan kemudian berpikir, “PKI memang Biadab”

Adegan lain yang tidak akan pernah saya lupakan dalam proyek “ritual 30 September” itu adalah saat para jendral diseret ke kamp penyiksaan di daerah Lubang Buaya. Mulailah “aksi silet” yang dilakukan Gerwani dalam menyiksa para jendral. “Darah itu merah jendral,” adalah kutipan dialog yang selalu membekas dalam ingatan saya. Kembali ke sekolah, kalimat itu selalu digunakan beberapa kawan untuk mengancam kawan yang lain dalam permainan.

Pakaian putih merah, putih biru, dan putih abu-abu adalah seragam resmi untuk menyerbu gedung bioskop menyaksikan film itu. Bagi saya, itu adalah rekreasi karena menonton film. Padahal, ratusan kali menonton film tersebut, adalah proyek propaganda ingatan dan cerita kekejaman. Maka lahirlah generasi orde baru yang memahami mengapa “hantu komunisme” dan PKI-PKI baru harus diwaspadai.

Tapi ada cerita lain dibalik monumen itu. Penuturan dari para saksi sejarah dan para survivor dari sisa-sisa kekejaman pembantaian massal yang terjadi hampir di setiap jengkal tanah di republik ini, tidak terkecuali di Bali. Saat meletusnya G30S dan diikuti dengan pembantaian besar-besaran orang yang dituduh simpastisan dan anggota PKI, Bali menjadi salah satu daerah dengan penyembelihan terganas dengan jejak darah pembantaian dan kuburan massal yang hampir ada di setiap jengkal desa-desa di Bali. Soe Hok Gie dalam sebuah essaynya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali saat hari-hari mencekam 1965-1966 di Bali;

“…Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali.Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu…”[5]

Kepedihan, kenangan, ingatan, dan jejak-jejak kelam pembantaian sesama saudara di Bali itu disimpan rapi dalam selimut bernama politik pariwisata budaya, sebuah ideologi yang mengawali ideologi pembangunan dan stabilitas keamanan ala orde baru. Tahun 1966 dimulai dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. Komunisme dan PKI menjadi barang terlarang dibicarakan. Suara-suara kritis dan kehidupan politik menjauh dari citra Bali. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat menginjak bangku sekolah menengah.

Tapi landasan pariwisata budaya terbangun di atas landasan yang keropos tercerai berainya ingatan sosial kekerasan peristiwa 1965-1966. Megahnya hotel-hotel berbintang yang ada di Bali kini beralaskan kuburan massal 80.000 hingga 150.000 nyawa manusia Bali[6] yang dibunuh saudaranya sendiri dalam tahun-tahun yang “hilang” dan “tak pernah berakhir”[7] dalam perjalanan negeri ini. Tak pernah yang ada mengupacarainya, kecuali secara sembunyi-sembunyi di tahun 1965-1996 dan siap menanggung stigma keluarga kene garis (keluarga merah/PKI).

Mengungkap suara-suara senyap yang tersembunyi, yang dibungkam oleh sebuah hantu bernama komunisme adalah tujuan penting dari studi ini. Karena itulah penuturan-penuturan para saksi sejarah dan survivor menjadi bagian penting dari penelitian ini. Penuturan mereka adalah harta yang sangat berharga untuk memperbaiki hubungan sosial kita yang menyimpan borok di tengah keharmonisan semu selama ini di Bali. Dan Peristiwa 1965 menyimpan gumpalan tanda tanya besar sengkarutan rasa pedih, ingatan kekerasan, kebenaran, kekuasaan, dan pertanggungjawaban negara, militer, dan pelaku lainnya dalam pembantaian massal yang terjadi.

Penuturan dan kesaksian itulah yang saya dapatkan di sebuah desa kecil di barat Pulau Bali. Namanya Desa Tegalbadeng di Kabupaten Jembrana. Tegalbadeng dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya ladang hitam dari bahasa Bali tegal (ladang) dan badeng (hitam). Kabupaten Jembrana dengan ibukota Negara adalah daerah barat pulau Bali yang paling dekat dengan pelabuhan Gilimanuk, perbatasan dengan Pulau Jawa. Tidaklah heran jika daerah Jembrana penduduknya sangat beragam karena pengaruh Islam, Kristen dan penduduk asli Hindu.

Jalan berliku, masuk jalan tanah ke semak-semak pohon, saya bertemu seorang lelaki renta, kurus, rambutnya mulai memutih. Lelaki renta itu kemudian saya ketahui bernama Mangku Nata, seorang pemangku (orang suci Hindu Bali) yang juga menjadi Balian (dukun) di Desa Tegalbadeng.

Suaranya yang berat, saya rasakan adalah ketegarannya menghadapi ingatan masa lalu yang tidak pernah akan dia lupakan. Desanya adalah awal dari rentetan pembantaian massal di Bali. Tegalbadeng memang telah menjadi ladang hitam, tanah berlumuran darah dari sanak saudara sendiri.

Mangku Nata mulai bercerita, desanya sempat tenang beberapa minggu dari pertengahan Agustus 1965 sampai ada berita di Tegalbadeng Timur pada awal Oktober 1965 ada surat yang berisi daftar 220 KK yang masuk “kena garis” dan harus dibantai. 220 kepala keluarga 300 orang dibantai tameng (satgas, pemuda desa yang dilatih tentara untuk membantai), tentara (RPKAD) dan Banser NU (Nahdatul Ulama) di Tegalbadeng Timur dan Desa Baluk. Pembantaian pada Oktober 1965 itu langsung dibawah komando militer, RPKAD, dilakukan di tanah seluas sepuluh are yang sudah dipasangi patok-patok dari bambu.[8]

Tanah-tanah saksi pembantaian itu kini telah berubah. Kini di tempat pembantaian itu berdiri megah Balai Desa Baluk dan Kantor Kepala Desa Baluk. Di depannya terpampang megah bangunan beton dengan lambang Garuda Pancasila dan Bali menuju Sapta Pesona dan Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) “Mereka yang kena garis dibawa dari seluruh desa di Tegalbadeng jam delapan malam. Jam sembilan sampai sepuluh malam, tali yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata dilepas. Mulailah dilakukan pembantaian sampai jam lima pagi oleh tameng yang memakai topi hitam, celana panjang dan baju hitam serta bersenjatakan klewang, samurai panjang,” cerita Mangku Nata datar dalam bahasa Bali. Ia masih ingat dimana orang dipaksa ke banjar (desa) dan kemudian diangkut dengan truk untuk dibawa ke kuburan-kuburan desa dan daerah dekat pantai di Desa Tegalbadeng. Lainnya yang telah dibunuh di tempat, mayatnya dibuang di sumur-sumur dekat rumah penduduk. Saat itu Mangku Nata hanya ikut-ikutan dan tanpa berani untuk menolak. Ia bersedia untuk menyeret mayat-mayat yang telah ditebas dengan klewang atau ditembak. Menyeret mayat, itulah tugasnya saat malam-malam mencekam yang tidak pernah akan ia lupakan. Ia melihat sendiri manusia-manusia dipenggal kepalanya seperti orang Bali mengistilahkan—begitu juga Mangku Nata—seperti ngeplokin nyuh (memecahkan kelapa). Suara beratnya terhenti. Ia menyeka keringat dan menunduk. “Dumun nike jakti aeb jagad,” katanya dengan suara berat tersendat-sendat. (Dulu itu memang kehancuran dunia).[9]

Secara keseluruhan, kabupaten Jembrana mulai tegang tanggal 30 September 1965, berbarengan dengan terjadinya peristiwa G30S di Jakarta. Bukan rembetan dari peristiwa di Jakarta yang menyebabkan Bumi Makepung—julukan untuk kabupaten Negara dari seni tradisionalnya balapan sapi—menjadi panas, tapi karena persaingan terpendam antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang menunggu momentum untuk meledak. Kasus yang menjadi pemicu adalah gerakan progresif dari PKI melalui BTI (Barisan Tani Indonesia) untuk memperjuangkan hak petani melalui undang-undang landreform yang sangat dibenci oleh PNI.[10] Gerakan PKI ini juga didukung oleh Gubernur Bali di Denpasar yang berasal dari Puri Agung Negara yaitu Anak Agung Bagus Suteja, yang terkenal dengan julukan Soekarno kecil. Adik Anak Agung Bagus Suteja yaitu Anak Agung Bagus Denia adalah tokoh terpenting pergerakan PKI di kabupaten Jembrana[11]

Catatan I Wayan Reken (alm) yang berasal dari Jembrana setidaknya membenarkan ingatan dari Mangku Nata. Reken dalam catatannya yang belum pernah terpublikasikan, kini disimpan dengan rapi oleh anaknya I Ketut Nirartha[12] menuliskan pada malam jam 21.00 tanggal 30 September 1965, diterimalah laporan dari seorang penduduk bangsa Bali Islam dari Desa Tegalbadeng kepada markas Anshor di Loloan Barat yang menerangkan ada suatu rapat gelap gerombolan-gerombolan PKI di Desa Tegalbadeng. Rapat gelap PKI itu berlangsung di rumah seorang anggota polisi tepat di sebelah barat Pura Pande di Desa Tegalbadeng. Laporan ini dilanjutkan pada Intel Kompi D. 471 di Negara. Dan untuk mengecek kebenaran berita tersebut dikirimlah dua tentara intel bersama puluhan pemuda Anshor dari Loloan Barat. Sebelumnya, mulai tanggal 20 September 1965 terlebih dahulu telah diambil tindakan-tindakan tegas oleh Komando Keamanan dan Ketertiban di Negara, yaitu penangkapan-penangkapan kepada pemimpin-pemimpin PKI di seluruh daerah Jembrana. Rombongan Pemuda Anshor yang mengantar dua orang tentara intel ketempat rapat gelap PKI di Desa Tegalbadeng dicegat oleh pengawal-pengawal PKI sewaktu akan masuk mengadakan pemeriksaan-pemerikasaan. Tanpa diduga sewaktu tentara intel dan pemuda Anshor bersitegang memasuki halaman, mereka telah dihujani batu-batu berbarengan dengan tembakan-tembakan dari dalam. Berpuluh-puluh lampu senter PKI menerangi halaman dimana pemuda Anshor berada. Kemudian terjadilah perkelahian sengit. Rupa-rupanya PKI telah mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Kentongan dibunyikan dengan kode-kode sehignga massa PKI yang siap bersiaga bersembunyi disekitarnya datang menyerbu. Karena jumlah musuh yang lebih besar, rombongan pemuda Anshor mundur dengan meninggalkan jenazah tentara intel yang bernama Regar dan dua jenazah pemuda Anshor. Tentara intel tewas tertembak dan dua pemuda Anshor tewas terpenggal senjata tajam.[13]

Sejak meletus peristiwa itulah, para tameng dibantu dengan polisi dan tentara kalap dan mulai melakukan penculikan dan diselingi dengan pembantaian-pembantaian di pinggir jalan. Ini terjadi diseluruh daerah kabupaten Jembrana yang sangat terkenal sebagai basis gerakan dari PKI. Hampir di seluruh banjar-banjar (desa di Bali) terdapat pembantaian dan pembakaran rumah-rumah penduduk yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Para anggota PKI yang telah diculik dimasukkan bergerombol di sebuah toko tua milik warga keturunan Cina yang telah diusir. Toko itu bernama Toko Wong. Di sinilah menurut cerita-cerita penduduk kota Negara, terdengar suara tembakan terus-menerus dari pagi hingga tengah malam. Cerita penduduk Negara menyatakan terjadi penembakan massal terhadap 200-an anggota PKI yang ditembak di sebuah ruang di Toko Wong. Konon, karena seringnya terjadi penembakan, darah dalam satu ruang pembantaian tersebut hingga sampai tumit kaki. Mayat-mayat yang bergelimpangan itu kemudian dibuang hingga penuh menumpuk di lubang sumur yang terdapat di dalam toko itu[14] Kini, saat saya pada awal Januari 2005 melihat Toko Wong telah berubah menjadi kantor pengacara dengan warna tembok biru tua. Selama seminggu saya di Negara, tidak pernah kantor pengacara itu buka.[15]

Kerusuhan dan pembantaian juga terjadi di Puri Agung Negara, rumah tua dari Anak Agung Bagus Suteja, Gubernur Bali saat itu. Massa mulai siang hingga malam di bulan Oktober hingga November 1965 melakukan perusakan dan pembakaran di Puri Agung Negara. Rumah Anak Agung Bagus Denia, dedengkot PKI Negara luluh lantak dengan api, begitu juga dengan Puri Agung Negara yang terletak bersebelahan dengan rumah Anak Agung Bagus Denia dibakar dan dijarah. Pelinggih dan Mrajan (pura keluarga) juga dihancurkan dan barang-barang milik puri semua dikeluarkan dan dibakar oleh massa yang kemudian diketahui dari Desa Tegalcangkring dan Desa Penyaringan yang dipimpin oleh Wedastra Suyasa dan Widagda, dua bersaudara anggota barisan tameng dan tokoh PNI Bali.[16] Seluruh anggota keluarga puri telah mengungsi sebelumnya saat mengetahui puri akan menjadi sasaran kerusuhan massa. Anak Agung Bagus Suteja, Gubernur Bali saat itu berada di Denpasar dan kemudian dipanggil ke Jakarta bertemu Presiden Soekarno dan hilang sampai saat ini. Sedangkan Anak Agung Bagus Denia dibantai dirumahnya oleh massa.

Tentang Wedastra Suyasa dan Widagda, Soe Hok Gie mencatat, perkosaan-perkosaan terhadap mereka yang dituduh Gerwani menjalar ke mana-mana dan dicontohi oleh pemuka partai setempat. Contoh yang paling monumental adalah apa yang dilakukan oleh Widagda, seorang tokoh PNI di Negara, Widagda adalah adik dari Wedastra Suyasa, tokoh PNI Bali yang menjadi anggota DPR-GR Pusat. Belasan wanita yang dituduh dengan semena-mena telah dizinai dan tiga orang diantaranya pada bulan Maret yang lalu mengadukan perbuatan yang terkutuk itu ke meja hijau. Widagda dijatuhi hukuman vonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri di Negara (vonis Juni 1967)[17]

Selain Puri Agung Negara, hampir setiap jengkal daerah di Negara terjadi pembantaian. Selain Tegalbadeng yang menjadi pemicu awal pembantaian, satu daerah yang menarik adalah Desa Merta Sari di daerah Loloan. Desa ini adalah desa Hindu yang berada di tengah kampung muslim Loloan Barat dan Timur yang dibelah oleh sungai Ijogading. Saat 1965, Desa Merta Sari adalah basis dari anggota PKI, khususnya BTI. Saat pembantaian, desa-desa disekitarnya yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur, dikomandani oleh temeng dan satuan Anshor melakukan pembantaian terhadap laki-laki yang berasal dari desa Merta Sari. Hingga akhirnya laki-lakinya habis dan Desa Merta Sari hanya menyisakan perempuannya saja. Sehingga desa tersebut kemudian diberikan cap sebagai desa janda.

Kuburan massal adalah hal lain yang menarik yang ditemui disetiap jengkal tanah di Jembrana. Selain Tegalbadeng, Toko Wong dan tempat pembantaian serta kuburan massal, saya melihat dua tempat yang menurut saya menarik. Pertama adalah sebuah sumur yang kemudian dinamakan Lubang Buaya[18] di Desa Melaya. Sumur ini saat pembantaian PKI adalah tempat pembuangan mayat-mayat yang kemudian ditanami bambu-bambu. Masyarakat Melaya yang tahu akhirnya percaya bahawa sumur ini angker. Akhirnya, disamping sumur itu dibuatkan pelinggih (pura kecil) dan masyarakat setempat secara rutin menghaturkan sesaji di tempat tersebut. Kedua adalah adalah sebuah pantai saat saya masuk di jalan tanah terdapat papan nama yang mulai lusuh bertuliskan Tempat Wisata Pantai Candikusuma. Didepan pantai terdapat bukit tinggi yang diatasnya berdiri pura. Dari cerita penduduk sekitar Melaya, diatas bukit itulah dulu para anggota dan simpatisan PKI dijejer dan ditembak sehingga jatuh ke pantai dan mayatnya langsung hanyut ditelan ombak. Dan kini pantai tersebut menjadi daerah tujuan wisata.[19]

Dari rangkaan narasi, poin-poin penting dari awal pembantaian PKI di Bali—yang terjadi di kabupaten paling barat pulau Bali (Jembranaa)—itulah yang mendorong ketertarikan saya untuk menggali cerita-cerita seputar pembantaian tersebut dan perlahan melakukan pengungkapan kebenaran terhadap apa yang sejatinya terjadi di Bali (khususnya di Jembrana) dari para pelaku, saksi-saksi sejarah, dokumentasi dan tulisan-tulisan yang masih tersisa. Bagi saya, pengungkapan kebenaran akan pembantaian massal di Bali (Jembrana) ini penting untuk membuka noda sejarah yang sebenarnya tersimpan dalam ingatan masyarakat, khususnya di kabupaten Jembrana yang sudah mengerti peristiwa ini tapi bungkam untuk membicarakannya apalagi mengungkapkannya. Studi ini berupaya untuk membongkar budaya bisu masyarakat yang enggan, takut untuk mengungkapkan ingatannya.

Rangkaian dari studi ini bersumber pada catatan lapangan dan serangkaian wawancara tentang ingatan sosial masyarakat Jembrana terhadap Peristiwa 1965. Karena itulah menjadi penting untuk memberikan ruang bertutur secara khusus kepada para survivor dan saksi sejarah dalam peristiwa kelam tersbut. Penuturan mereka menunjukkan bagaimana mereka bisa survive untuk hidup di tengah kekuasaan yang meminggirkan mereka. Studi ini juga menghadirkan cerita-cerita pedih mereka sebagai pelajaran bagaimana kekuatan suara subaltern[20] untuk membongkar kekuasaan.

1.2 Rumusan Masalah

Mengapa manusia Bali bisa saling bunuh antar sesama saudaranya? Apakah memang karena perbedaan ideologi? Apa yang mereka pahami tentang ideologi komunis dan nasionalis? Adakah persoalan lain yang mempengaruhinya? Kasta, tanah, persaingan adat dan ritual, sentimen pribadi, atau yang lainnya? Bagaimana pertarungan politik perang dingin (kapitalisme versus komunis), atau ketegangan elite politik bisa berpengaruh terhadap rakyat kecil yang menjadi korbannya? Di mana keganasan pembantaian terasa begitu menyakitkan. Lalu bagaimana ingatan sosial kekerasan 1965-1966 itu terbungkus dalam hubungan harmonis ideologi pembangunan pariwisata budaya di Bali? Bagaimana peranan kekuasaan negara melalui subyektifitas agen-agen manusia “orde baru” yang menekankan stabilitas, keamanan dan menutup rapat borok lama kepedihan manusia Bali yang kehilangan sanak saudaranya tanpa ditemukan mayatnya hingga kini?[21] Lalu bagaimana luka dan kepedihan itu bisa disembuhkan dan diganti hanya dengan rehabilitasi nama baik dan kompensasi kerugian? Cita-cita rekonsiliasi masih menyisakan perdebatan bagaimana memaafkan jika kepedihan kekerasan itu tak bisa dibohongi, apalagi melihat kebanggaan dan kesombongan para pelaku/pembunuh yang menjadi pejabat pemerintah dan angkuh serta antipati setiap membicarakan Peristiwa 1965. Seolah mereka kebakaran jenggot dan menutup rapat-rapat pembicaraan tragedi kekerasan paling menyesakkan dalam perjalanan negeri ini.

Serangkaian pertanyaan itu adalah sedikit tanda tanya besar dalam studi tentang 1965 yang harus terus digali. Seperti juga yang terjadi di Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana Bali. Banyak versi sejarah yang hadir. Selama ini yang digunakan dan menjadi rujukan adalah apa yang “diwajibkan” oleh negara dan kekuasaan. Ini terbukti dari catatan-catatan sejarah, dokumen-dokumen, dan juga saksi sejarah dari mereka yang “menang” dalam pertarungan kekuasaan 1965. Ini sangat mungkin terjadi karena hampir sebagian besar mereka yang “kalah”, dilenyapkan, dibunuh. Sedangkan yang menjadi tahanan politik, akan menjadi warga negara kelas dua dan terdiskriminasi serta kehilangan hak-hak politik dan warga negeranya.[22]

Lalu dimana sisi “kebenaran” yang harus diungkap? Seperti judul studi ini, “Bertutur Di Balik Senyap” akan mencoba memberikan ruang bertutur pada suara-suara senyap yang mulai berani membagi cerita dan pengalamannya. Tutur mereka semua—para survivor, pelaku, dan saksi sejarah—akan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi pada peristiwa pasca 30 September 1965 yang tidak pernah sama sekali dipelajari generasi orde baru yang lahir pasca 1965. Sebuah “perang saudara”, pembantaian “manusia-manusia merah”[23] hampir di semua daerah di republik ini, tidak terkecuali di Bali.

Jika suara-suara para survivor kini mulai mendapatkan ruang untuk bertutur—

seperti juga yang dilakukan pada studi ini—bagaimana dengan suara para “jago”, tameng, yang melakukan pembunuhan pada pembantaian massal tersebut? Studi tentang para prepetators ini jarang dilakukan, khususnya dalam kasus Peristiwa 1965. Ada yang menyebutkan, untuk apa lagi wawancara dengan pembunuh? Semuanya sudah jelas apa yang terjadi. Dengan menghadirkan narasi perjuangan dari para survivor adalah sikap studi kekerasan untuk berpihak pada yang “dipinggirkan”[24] Suara dari “pelaku” hanya akan menghadirkan bias dan pembenaran-pembenaran kekerasan yang dilakukannya.[25] Perdebatan tentang “pelaku” juga menjadi poin tersendiri. Para eksekutor-eksekutor lapangan yang hanya “menjalankan perintah” juga adalah “korban” dari “pelaku” yang lebih tinggi, begitu seterusnya. Lalu bagaimana mengatakan bahwa siapa “pelaku” yang mendesain pembantaian massal tersebut? Paling tidak hingga kini terjelaskan bahwa para jagal-jagal yang melakukan pembantaian di tingkat akar rumput hanya “menerima daftar” atau jatah menurut istilah di Bali, dari pimpinan di atasnya. Tapi tidak ada yang menampik bahwa mereka telah melakukan pembunuhan. Studi ini ingin menelisik penuturan “pelaku-pelaku” akar rumput yang melakukan atau mendesain pembantaian tersebut.

Perdebatan “pelaku” dan “korban” memang tidak ada habis-habisnya dalam studi tentang kekerasan, khususnya Peristiwa 1965. Kekerasan horizontal yang terjadi dalam pembantaian massal melibatkan para milisi-milisi sipil dan sangat pasti tangan-tangan tentara, dalam hal ini RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpin oleh Sarwo Edhi Wibowo[26] yang turun melakukan pembersihan sisa-sisa PKI di Jawa dan Bali. Pembantaian massal yang terjadi memang tidak terkendali dan dilakukan sesama warga akibat “di-PKI-kan” dalam konflik-konflik lokal dan sentimen-sentimen pribadi yang mengatasnamakan “ganyang komunis”. Situasi kalang kabut ini dijadikan alasan oleh RPKAD untuk turun menertibkan pembersihan komunis sampai ke akar-akarnya, termasuk di Bali.[27]

Para “pelaku” yang melakukan pembunuhan juga menganggap dirinya sebagai “korban” dari atasannya, begitu seterusnya. Tapi Asvi Warman Adam, sejarahwan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengungkapkan dalam peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dan kejahatan yang dilakukan oleh negara.[28] Konflik antar masyarakat memang sulit untuk meminta pertanggungjawaban “pelaku”. Tapi mungkin bisa diselesaikan dalam bingkai rekonsiliasi akar rumput antar para “pelaku” dan “korban”. Tapi kejahatan, pembantaian dilakukan oleh negara, lewat intervensi RPKAD dalam pembersihan komunis. Dan yang harus diingat adalah peran negara dalam mengirimkan sekitar 10.000 tahanan politik (Tapol) ke Tempat Pemanfaatan Buru (Tefaat Buru) dari tahun 1969 hingga 1979. Di sini pelakunya jelas adalah negara yang melakukan penahan tanpa pengadilan yang kemudian dilakukan dengan diskriminasi politik terhadap para Tapol dan keluarganya oleh negara.

1.3 Manfaat dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Manfaat Penelitian

1. Membuka studi awal tentang antropologi kekerasan, khususnya pembantaian massal 1965-1966 di Bali.

2. Memberikan pemahaman baru tentang hubungan studi antropologi dan sejarah, khususnya sejarah lisan (oral history) melalui serangkaian wawancara dan catatan lapangan (etnografi) dengan para pelaku, survivor, dan saksi sejarah pembantaian massal 1965-1966 di Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana .

3. Dengan kekuatan catatan lapangan dan narasi dari subyek penelitian, setidaknya studi ini akan bermanfaat untuk menambah catatan sejarah dan politik kebudayaan Bali alternatif. Ini untuk memahami pergulatan manusia Bali melalui kesaksian-kesaksian mereka dalam pentas pertarungan sejarah paling memilukan dan menyesakkan di tahun-tahun yang hilang dalam pembicaraan kita, tahun 1965.

1.3.2 Tujuan Penelitian

1. Memberikan ruang-ruang bertutur bagi suara-suara senyap para survivor dan saksi sejarah pembantaian massal 1965-1966 khususnya di Kabupaten Jembrana, Bali. Seperti judul studi ini, Bertutur Di Balik Senyap, bertujuan menelisik bahasa-bahasa, cerita, dan pergulatan manusia dalam kekerasan yang menyentuh ruang emosi dari ingatan mereka hingga kini.

2. Menggali “kebenaran-kebenaran” baru sejarah dan kebudayaan yang selama ini selalu didominasi argumentasi eksotik dan harmoni Bali melalui pariwisata budaya. Sisi kelam pergulatan sejarah dan kebudayaan manusia Bali adalah cermin untuk belajar lebih jujur dan terbuka melihat diri sendiri untuk tidak melenyapkannya sebagai bukan budaya Bali.

3. Mencoba melakukan studi awal tentang pergulatan bahasa-bahasa dan cerita “pelaku” pembantaian massal 1965-1966 di Bali, yang tidak lain adalah manusia-manusia Bali sendiri yang menjadi agen-agen dari “kekuasaan negara”, bahkan menjadi “negara” dalam masyarakat yang berprilaku sebagai jagal/milisi sipil dibawah komando RPKAD.

1.4 Kerangka Teoritis dan Konseptual

Studi antropologi kekerasan pada dasarnya adalah komitmen dan pemihakan pada suara-suara yang dibungkam oleh kekuasaan. Suara tersebut hadir dalam keseharian masyarakat, yang kadang menyembunyikan suara atau penuturan mereka karena satu sebab. Akhirnya suara mereka tersimpan rapi dalam ingatan-ingatan, kesenyapan-kesenyapan, atau bahasa-bahasa mereka.

Kesenyapan, diamnya kelompok masyarakat yang terbungkam adalah sebuah bahasa penolakan, perlawanan, bahkan gugatan mereka atas kekuasaan yang beroperasi. Tapi tutur mereka dalam kesenyapan juga mengandung pergulatan, bagaimana mereka mengingat dan melupkan sebuah pengalaman menyakitkan. Urvashi Butalia memberikan pernyataan yang membuat kita menelaah kembali segudang Tanya dan bahasa yang terdapat dibalik cara orang mengingat dan melupakan tragedi kekerasan yang berlangsung:

“…Jika sesuatu tersembunyikan dalam kebisuan, maka wicara pastilah bagus, pastilah membebaskan. Tidak banyak keraguan bahwa dalam sejarah Pemisahan, kisah-kisah perempuan, anak-anak, kasta-kasta terdaftar dan banyak yang lain telah disenyapkan baik di tingkat negara maupun di tingkat penulisan sejarah. Akan tetapi tidak ada cara sederhana bagi seseorang untuk langsung menderap masuk dan berusaha memecah kesenyapan itu, secara tidak bertanggung jawab dan bebas masalah…”[29]

“…Persoalan yang terutama berkait dengan kerja mengingat-ngingat. Menagapa mengorek-ngorek lagi segalanya ini? Jika orang sudah hidup dengan pengalaman mereka, dalam beberapa hal sudah berdamai dengan pengalaman-pengalaman itu, apa yang ingin didapat dengan mendorong mereka mengingat, menggeledahi kenangan tak mengenakkan dan tak menyenangkan yang mereka mungkin lebih suka membuangnya jauh-jauh? Tidak ada jawab yang memuaskan untuk pertanyaan ini. Dilemanya masih tetap: mana yang lebih baik membisu atau berbicara? Atau, untuk penelitinya, mana yang lebih baik: “memperbolehkan “ kesenyapan, kebisuan, atau “memaksakan” wicara?…”[30]

Dua pertanyaan Urvashi yang menjadi pergulatan bagi mereka yang bekerja bagaimana ingatan (kekerasan) harus dimaknai. Studi antropologi kekerasan mencoba memahami subyektifitas manusia yang bergulat dalam kekerasan tersebut. Kekerasan sebagai sebuah teori yang menghubungkan struktur dan fungsi akan terjelaskan dengan detail dan tajam dengan serangkaian penuturan, narasi, dan kesaksian-kesaksian dari mereka yang mengalami bagaimana pedih dan sakitnya tragedi kekerasan tersebut menimpa mereka. Antropologi kekerasan memeriksa bagaimana operasi kekerasan itu bekerja melalui tangan-tangan subyektif manusia-manusianya dengan berbagai latar belakang dan kepentingan.

Pembantaian massal 1965-1966 adalah sebuah tragedi yang dalam kekuasaan rezim otoritarian orde baru “dihilangkan”, seolah tidak terjadi apapun kecuali kudeta yang dilakukan PKI terhadap pemerintahan yang sah pada 30 September 1965 dengan membunuh tujuh jendral. Karena itulah Soeharto dan orde baru selalu menyebutnya dengan G30S/PKI.

Geoffry Robinson adalah seorang sarjana asing yang menghasilkan sebuah studi yang mengesankan tentang pembantaian 1965-1966 di Bali. Studinya dengan focus kekerasan politik di Bali berargumentasi pembantaian massal itu sulit dijelaskan hanya dengan memakai tesis keanehan etnis atau keunikan sebuah budaya. Dia memperhatikan faktor sejarah dalam konflik kronis yang telah berkembang dalam masyarakat Bali dengan memakai paradigma mobilitas afiliasi massa yang terkait dengan sistem kepartaian yang ada di masa itu. Dia melihat tumbuhnya nilai modernitas dan kesadaran kelas yang membuat polarisasi dalam masyarakat semakin menajam. Serta friksi yang semakin berseberangan di antara kelompok feodal dalam mempertahankan status quo dan hak-hak khusus dengan massa buruh tani yang menuntut politik land reform. Menurut Robinson, pendekatan sejarah 1965 yang terlalu menekankan estetika kekuasaan, seperti kemegahan dan mobilisasi massa dalam upacara, tidak hanya seduktif (baca merayu) tapi juga menerlantarkan struktur pendistribusian resources yang timpang dan eksploitatif. Operasi kekuasaan ini sering diabaikan oleh para "kulturalis" yang lebih menekankan pada pemaknaan daripada mesin mekanika politik sejarah.[31]

Tapi Degung Santikarma menuliskan:

Namun, kelemahan analisa kelas dalam melihat tragedi 1965 juga ada. Dengan memakai analisa kelas ada resiko akan mereduksi kekerasan tersebut menjadi sesuatu yang bisa dirasionalkan, yang bisa dijelaskan secara logika. Pendekatan kelas tidak bisa menerangkan perjuangan para korban dan para pembunuh untuk mencari bahasa yang bisa mengungkapkan pengalaman dan penyesalan mereka. Dan pendekatan kelas tidak bisa menjelaskan kengerian peristiwa tersebut dan kekuatan emosi ingatan masyarakat yang masih hidup.

Bagi banyak korban 1965 di Bali, peristiwa itu adalah sebuah kegilaan yang menyeruak dalam hidup secara tiba-tiba, memporak-porandakan jagat kesadaran mereka. Banyak orang merasakan kekerasaan ini sebagai mimpi buruk di siang bolong, ia terlibat di dalamnya tapi tidak berdaya untuk menghentikannya. Mereka mengaku terjebak dalam kesurupan. Baik keluarga yang terbunuh maupun yang membunuh merasa terperangkap dalam suasana yang sama. [32]

Karena itulah, studi ini ingin kembali memeriksa ulang argumentasi-argumentasi Geoffry Robinson tentang struktur politik masyarakat dalam kasta, persaingan politik yang menjadi sebab pembantaian massal. Analisis kelas social dan politik yang dipergunakan Geoffry adalah sebuah perspektif tajam untuk melihat ketegangan dan konflik yang terjadi di tingkatan elite dan konteks politik. Tapi bagaimana dengan pergulatan para tameng dan korban serta cerita-cerita subyektif dan kecil yang berada di sekitar pembunuhan tersebut? Bagaimana cerita-cerita tersebut timbul tanpa faham persaingan politik yang terjadi, sementara ia menjadi korbannya?

Karena itulah, studi antropologi kekerasan merekam dan memberikan suara-suara kerumitan pembantaian massal terjadi, yang tidak hanya bisa dijelaskan dengan pertentangan kasta, persaingan politik, tapi juga lebih rumit pada subyektifitas manusia Bali itu sendiri melalui serangkaian bahasa dan cerita-cerita pergulatan mereka tentang pengalaman, kepedihan, kehilangan, dan penyesalan atas tragedi yang terjadi.

Studi antropologi kekerasan ingin against dari sebuah “kebenaran” tunggal yang direproduksi oleh kekuasaan dalam catatan-catatan dokumen peristiwa sejarah. Dokumen itu tentu tidak menyentuh cerita-cerita kepedihan manusia-manusia yang “dikalahkan” dalam pertarungan sejarah dan kebudayaan. Yang tercatat adalah dokumen sang pemenang yang kemudian membuat sejarah menjadi permanen tanpa gugatan.

Antropologi kekerasan membongkar praktek “kebenaran” sejarah dan otoritas kebudayaan. Suara yang dibungkam, dihilangkan demi “kebenaran” dan “kemenangan” sang kuasa. Di sini adalah bagaimana fakta/kebenaran orde baru membenamkan fakta dari para survivor dan saksi sejarah yang “kalah” dalam Tragedi ’65. Tapi, studi ini tidak hanya bergulat pada keberbedaan dan pertentangan fakta dan “kebenaran” itu, tapi juga bagaimana latar di balik fakta dan kebenaran itu, yang berada pada ingatan dan penuturan para survivor dan saksi Tragedi ’65 di Bali, khususnya di Jembrana.

Urvashi Butalia dengan mengutip James Young mengatakan,

“…Kenangan-kenangan dan kesaksian tentang holocoust (kematian massal manusia karena dibakar, dalam masa kekuasaan Hitler), memampangkan pertanyaan ini: bagaimana kita dapat mengetahui holocoust kecuali dari berbagai cara penyampaian orang kepada kita? Dia menjawabnya dengan menyatakan bahwa seperti halnya dengan melalui ‘sejarah’-nya, kita dapat memetik pengetahuan yang sama banyaknya tentang holocoust dari representasi literer, fiksional, histories, dan melalui representasi kesaksian pribadi pribadi, karena yang penting bukan hanya ‘fakta’ kejadian melainkan juga—yang sama pentingnya—cara orang mengingat dan merepresentasikan fakta itu…”[33]

Tragedi ’65—dalam masa pemerintahan otoritarian orde baru—adalah pentas bagaimana cara mengingat peristiwa terkeji dalam sejarah bumi manusia ini mencoba diseragamkan oleh negara. Cara mengingat orang coba dibombardir dengan visual film Pengkhianatan G30S/PKI serta penyeragaman pelajaran sejarah. Cara orang mengingat dan merepresentasikan ingatan tentang Tragedi ’65 telah direbut oleh negara dalam ruang-ruang paling privat dalam hidup manusia: ingatannya. Tapi, di tengah proyek distorsi dan mesin propaganda sejarah itu, pasti ada saja gugatan-gugatan ingatan yang hadir di ruang-ruang kecil dan intim dari individu, yang memberikan perspektif lain dari kuasa representasi negara dalam mempengaruhi cara mengingat manusia terhadap sebuah tragedi.

Saat rezim otoritarian orde baru, segala suara kritis “kekiri-kirian” disumbat dengan stigma “PKI”. Sebagian masyarakat masih saja traumatik dengan “kekejaman” PKI membunuh para jendaral. Seolah tiada maaf bagi PKI dan harus dilenyapkan. Anak-anak muda yang “kekiri-kirian” ini dicap “PKI” dan semua masyarakat menyalahkannya. “Kenapa ikut-ikutan membangkang. Mau berkhianat seperti PKI?”[34] adalah keluh kesah masyarakat umum yang masih tertanam ingatan kejamnya partai pimpinan DN Aidit ini.

Tapi, selama rezim otoritarian orde baru, tidak ada satupun yang membincangkan bagaimana cerita “pembasmian” ke akar-akarnya pada PKI itu berlangsung? Pemusnahan komunis adalah harga yang pantas diterima sekelompok pengkhianat. Tidak ada gugatan terhadap arus balik reaksi G30S ini, yang mungkin lebih kejam jauh dari penggambaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Semua bilik-bilik ingatan pelaku dan saksi sejarah senyap dan bungkam oleh mahluk bernama “Rencana-rencana Pembangunan” dan bergiat diri mewujudkan ”Manusia Berbudaya” dalam konteks Bali.

Semua catatan sejarah itu kita ketahui dari pewarisan sebuah ingatan, sebuah wasiat yang akan terus turun-temurun pada generasi sebelumnya. Begitulah sejarah yang bisa liar berada di sekitar kita tidak hanya melalui teks-teks buku sejarah, tapi juga pada penuturan, kesaksian, memoar, ingatan kolektif yang coba dibungkam, cerita-cerita rakyat yang penuh ketegangan, bahkan cara manusia membungkam dan mengingat ingatannya. Semuanya adalah bentuk representasi dari ingatan, yang bukan hanya sekadar fakta, tapi juga “ada apa di balik fakta itu?”

Di balik ingatan ada sebuah misteri, ingatan baru dan makna. Ingatan dibalik ingatan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ingatan memiliki segudang makna. Pembungkaman ingatan selama rezim otoritarian orde baru adalah salah satu contoh bagaimana sisi dibalik ingatan para survior atau saksi sejarah Tragedi ’65. Kebungkaman, keengganan orang melihat adalah satu nilai penting untuk membongkar bagaimana cara orang mengingat dan melupakan tragedi itu. Semuanya bisa tersemai tidak hanya pada teks-teks dan buku-buku sejarah resmi yang telah diterbitkan oleh negara, tapi pada penuturan masyarakat kecil dalam pergulatannya menghadapi sejarah, pada para survivor, istri Tapol, anak, dan keluarga mereka.

Genealogi politik kekerasan sejatinya ada seiring peradaban manusia Bali zaman dulu kala yang terkenal barbar. Sejarah pelenyapan anak manusia menjadi catatan sejarah dari pulau yang dulunya menjadi sumber budak belian. Bahkan Bali mempunyai ritual untuk bunuh diri saat berperang melawan penjajah Belanda. Itu terjadi tahun 1906, dimana sebagian daerah Bali Selatan diduduki penjajah Belanda. Laporan-laporan resmi mengatakan 400 jumlah korban nyawa. Malah, para korban dinyatakan bertanggung jawab sendiri karena konon mereka ikut berpartisipasi dalam apa yang disebut “upacara bunuh diri”, yang dinamakan puputan atau pengakhiran. Bisa jadi jumlah korban 1100 lebih dan bukan 400 jiwa, yang mana sebagian besar mereka dibunuh oleh peluru penjajah.[35]

Wajah beringas manusia Bali saat membunuh saudaranya sendiri menyisakan kepedihan, tangis, kehilangan, dendam, dan ingatan yang tak terlupakan. Sejarah kelam manusia Bali itu hadir dalam bilik-bilik ingatan para saksi sejarah yang puluhan tahun terbungkam. Suara-suara senyap mereka adalah harta berharga untuk membongkar konstruksi politik kebudayaan Bali yang hingga kini terwarisi.

Kejamnya manusia Bali saat hari-hari pembantaian 1965-1966 adalah cermin perilaku politik mereka sebenarnya. Konflik, persaingan, ketegangan politik, agama, pribadi akhirnya melahirkan sebuah penghilangan nyawa manusia terkeji dalam sejarah peradaban manusia Bali dan Indonesia. Beragam analisa mencoba menjawab akar masalah manusia Bali saling bantai tahun 1965-1966. Pertanyaannya tentu saja, bagaimana operasi dan stimulasi konflik, persaingan politik, kasta, ritual, sentimen pribadi itu bekerja sampai membuat orang saling membunuh? Dan bagaimana kekuatan “negara”, lewat propaganda partai politik, militer, birokrasi sampai mempengaruhi orang untuk saling membunuh? Atau kedua pemilahan itu sudah kabur dan keduanya saling berelasi untuk membuat manusia Bali saling membunuh? Atau bahkan cara berpikir seperti “negara” dengan kewaspadaan dan ajakan “mengganyang komunis sampai ke akar-akarnya” telah diserap dan diterapkan manusia Bali untuk membunuh saudaranya. Tidak dapat dibedakan mana “rekayasa politik negara”, konspirasi, pertarungan politik atau yang lainnya, karena semua pemilahan-pemilahan, kategori itu telah melebur menjadi satu dalam amuk massa penyembelihan manusia.

Dalam situasi seperti ini, manusia Bali adalah satu kontestan terpenting. Ingatan kekerasan dari para survivor dan saksi sejarah dalam buku ini menunjukkan bagaimana beringasnya manusia Bali untuk menghilangkan saudaranya sendiri atas nama politik, persaingan, atau apapun namanya. Kenapa manusia Bali bisa melakukan itu semua? Konspirasi besar ketegangan politik kelas tinggi, pertarungan ideologi politik dan lainnya, mungkin jauh dari bayangan para ninja temeng yang melakukan pembantaian. Politik kelas tinggi itu bukan penyebab yang kuat untuk berlangsungnya pembantaian. Politik “besar” itu diturunkan menjadi politik-politik lokal, subyektifitas local manusia Bali serta sejarah-sejarah konflik lokal.

Kiprah manusia Bali dalam jejak sejarah pembantaian 1965-1966 adalah pertarungan memperebutkan klaim otoritas dalam sejarah, konflik dan kuasa lokal. Berbagai ketegangan politik “besar”, sejarah “negara” bertransformasi dalam beragam pertarungan-pertarungan lokal, sejarah dan konflik antara manusia Bali. Pertarungan sejarah lokal ini berelasi kuat pada perilaku dan otak manusia Bali yang telah berwajah “negara”. Akhirnya, ketegangan politik termanifestasi dalam dua wajah perilaku politik manusia Bali, pertama menyerap perilaku serta ideologi negara, dan kedua menjadi salah satu kontestan dalam pertarungan konflik lokal. Keduanya saling mengalami gugatan, berelasi dalam ajang konstestasi yang disebut Soe Hok Gie sebagai penyembelihan manusia Bali besar-besaran yang dilakukan oleh (ninja?) setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu (tahun 1965-1966).[36]

Dalam gugatan dan kontestasi inilah manusia Bali dengan sejarah dan konflik lokalnya mempunyai subyektifitas lokal yang begitu lentur dan bisa tertarik-tarik. Subyektifitas itulah yang mendasari setiap gugatan dan perilaku manusia Bali dalam politik. Tapi subyektifitas lokal manusia Bali juga sangat mudah terseret menjadi wajah obyektifitas “negara” yang menjadikan manusia Bali sebagai agen-agennya. Kontestasi subyektiftas lokal dalam pembentukan sejarah harus bertarung dengan operasi “negara” yang sangat kuat membentuk karakter manusia Bali, dan keduanya saling berelasi dan berubah wujud.

Pembantaian manusia Bali 1965-1966 adalah salah satu relasi, pertarungan, dan gugatan dari “subyektifitas lokal” dengan “operasi politik negara”. Subyektifitas lokal ditunjukkan dengan ketegangan politik, sosial, ekonomi, ritual, sentimen pribadi dan konflik internal manusia Bali sesamanya, dan ini telah lama ada. Sedangkan politik negara beroperasi dalam pertarungan ideologi partai politik dan perebutan kekuasaan. Konflik ini bertemu dan kemudian melahirkan kebrutalan.

Manusia Bali adalah bagian konflik dan kebrutalan itu. Saat pembantaian terjadi, banyak yang menyebutkan semuanya adalah buah dari pertarungan ideologi politik antara PKI yang komunis dengan PNI yang nasionalis. Dalam kasus Bali, pembantaian “manusia merah” itu sering disebutkan karena konflik kasta antara desa A yang waysia dan sudra, dan karena itu disebut PKI dengan desa B yang brahmana dan ksatria dan karena itu ia adalah PNI. Dengan mengkonstruksi konflik seperti itu, seolah-olah subyektifitas manusia Bali dalam konfliknya menjadi hilang. Segala macam kerumitan dan diskursifnya konflik, yang bisa menyebar dalam berbagai macam bentuk dan pertarungan, menjadi hilang tersapu jargon dan konstruksi besar konflik kasta atau mengkastakan konflik. Justru konstruksi inilah yang akan berakibat pada penyederhanaan kerumitan yang menyertai perilaku beringas manusia Bali tahun 1965-1966.[37]

Beragam analisa dan argumentasi muncul, tapi belum ada yang memuaskan untuk menjelaskan kenapa manusia Bali bisa saling bunuh sesama saudaranya di tahun 1965-1966? Mungkin saja, salah satu penyebabnya adalah beragam analisa itu terperangkap untuk membingkai kejinya manusia Bali dengan jargon-jargon yang besar dan membuat konflik kekerasan sungguh rasional hanya karena berbeda ideologi dan kepentingan politik. Konflik dikesankan canggih dan pelakunya terlibat secara rasional. Pokoknya harus berbeda, mepapas, adalah jargon dangkal untuk membungkus subyektifitas manusia Bali yang penuh dengan pertarungan, kepentingan dan relasi-relasi politik. Kecanggihan konflik kadang menenggelamkan narasi-narasi kecil, pergolakan manusia dengan hidupnya.

Degung Santikarma, antropolog Bali, dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan dengan jargon-jargon besar itu, konflik dan kekerasan terkesan canggih dan anggota banjar (desa adat/pakarman) yang terlibat terkesan semuanya rasional. Dengan membungkus konflik dengan jargon-jargon seperti mengkastakan konflik dan kekerasan akan mendepersonalisasikan konflik. Subyektifitas dan kerumitan internal menjadi lenyap.[38]

Manusia Bali dalam “tahun-tahun yang hilang” dalam sejarah peradabannya, tahun 1965-1966, adalah pergulatan penuh dengan kepentingan, konflik dan sejarah lokal dengan subyektifitas internal para manusianya. Semuanya termanifestasi dalam segala macam pertarungan politik lokal, ritual, kelas/kasta, tanah, sentimen pribadi, dan segala macam kerumitan manusia Bali. Peristiwa ’65 menjadi titik kulminasi, sebuah pentas untuk bertemunya segala macam konflik dan kepentingan lokal manusia Bali, yang telah lama tumbuh dan tersemai dalam beragam peristiwa kekerasan dengan penetrasi politik negara bahkan internasional dalam pertarungan politik antara komunisme dengan kapitalisme.

Antropologi kekerasan ingin memahami kerumitan subyektifitas manusia-manusia dalam perilaku kekerasannya. Dalam subyektifitas manusia terdapat beragam wajah yang terbentuk hasil relasi antara manusia dan kekuasaan. Rezim kekerasan tercipta hasil dari kolaborasi manusia-manusia yang bersatu dan menciptakan sebuah tragedi kekerasan.

Studi antropologi kekerasan pembantaian massal 1965-1966, khususnya yang terjadi di Bali ingin membongkar mitos tentang kekerasan yang selama ini terjadi di Bali sebagai proses alamiah dan memang budaya kekerasan telah ada di Bali, argumentasi keseimbangan alam, atau mitologi letusan gunung agung sebagai pertanda pulau Bali memerlukan korban. Alasan ini biasanya diperkuat dengan ritual-ritual keagamaan mengiringi pasca peristiwa kekerasan, khususnya pembantaian massal 1965-1966 di Bali, seperti ritual Eka Dasa Rudra 1979 dan Atma Papa 2005.[39]

Di sini menjadi penting untuk membaca bagaimana operasi negera bekerja dalam ritual-ritual keagamaan. Seperti juga negara beroperasi untuk menciptakan sebuah kebenaran sejarah dan menciptakan rezim ketakutan. Henk Schulte Nordholt menulis seiring pembunuhan massal 1965-1966, tercipta sebuah rezim ketakutan baru bernama orde baru yang mengintervensi seluruh kehidupan masyarakat.[40]

1.5 Metode Penelitian

Clifford Geertz mengungkapkan bahwa kerja antropologi adalah “berada di sana”,[41] yang berarti ada di lapangan, melakukan kerja catatan lapangan (fieldwork), kerja etnografi untuk mendeskripsikan wilayah dan subyek penelitian untuk mendapatkan kesan-kesan dan data di lapangan. Etnografi merupakan pekerjaan untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan dari perspektif subyek penelitian.[42]

Berkaitan dengan Geertz, penelitian lapangan bertujuan untuk menemukan data-data yang nantinya dianalisis untuk menjadi teori. Teori yang didapatkan dari hasil penelitian lapangan adalah teori yang grounded. Anselm Strauss dan Juliet Corbin menuliskan:

“…Teori yang grounded adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Karenanya, teori ini ditemukan, disusun, dan dibuktikan untuk sementara melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu…”[43]

Karena itulah dalam studi ini digunakan metodologi grounded research yang dipadukan dengan etnografi fieldwork dan dasar dari semuanya adalah wawancara mendalam. Karena studi ini berhubungan dengan sejarah, metodologi oral history yang berkaitan erat dengan etnografi dan grounded research sangat pas untuk dipadukan menjadi metodologi penelitian studi ini.

Oral History berkembang untuk mengkritik studi sejarah positivistic dengan doktrin, No Document, No History (Tidak ada dokumen, tidak ada sejarah). Studi antropologi kekerasan yang memberikan suara pada kelompok-kelompok terkalahkan oleh struktur kekuasaan dipadukan dengan metode oral history dengan komitmen yang sama, memberikan suara pada mereka-mereka yang ditindas.[44]

Pembantaian massal 1965-1966 di Bali adalah sebuah studi sejarah dan politik kebudayaan. Karena itulah metode penelitian studi ini ingin menggabungkan beragam metode penelitian yang ada dalam antropologi, politik, dan sejarah. Namun fokus dari studi ini adalah pada pergulatan dan bahasa manusia-manusia Bali dalam pentas kekerasan yang terjadi.

Penulisan skripsi ini menggunakan gaya bertutur, dekriptif analisis untuk mendekatkan studi ini pada kehidupan keseharian masyarakat Bali yang mengakrabi kekerasan dalam berbagai momen kehidupannya.

Studi ini jelas sangat subyektif, karena itulah saya sadar studi antropologi kekerasan ini menjadi sangat personal karena menghadirkan sejarah manusia-manusia Bali dalam pentas kekerasan pembantaian massal 1965-1966. Tapi, justru antropologi kekerasan memulainya dari kisah dan penuturan personal manusianya. Urvashi Butalia meyakinkan saya:

“…Satu di antara hal-hal yang sangat menyusahkan aku pada saat memulainya (penulisan tentang Pemisahan ini) adalah justru kurangnya apa yang dikenal sebagai ‘objektif’ itu dalam karyaku ini. Sama sekali tidak ada jalan bagiku untuk menyangkal keterlibatan pribadi; tidak mungkin aku dapat berpretensi bahwa di sini tidak ada sangkut-paut emosial yang emosial yang menjeratku; mustahil kuhapus dan kuhilangkan keterlibatan politisku. Jika paparan ini dianggap sebagai sejarah, sangat mungkin ia akan dibuang ke luar jendala. Maka, barangkali cara terbaik untuk membacanya ialah dengan menambahkan kata ‘pribadi’ atau ‘personal’ pada sejarah yang kuupayakan dalam buku ini. Dan mencampakkan, sekaligus dan untuk selamanya, segala gagasan tentang objektifitas atau jarak. Ini adalah sejarah pribadi yang tidak berpretensi menjadi objektif…”[45]

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman, 2004, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Ombak.

Butalia, Urvashi, 2002, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Violence, Yogyakarta, Indonesia Tera.

Budiawan, 2004, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Cribb, Robert (editor), 2003, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Geertz, Clifford, 2002, Hayat dan Karya, Antropologi sebagai Penulis dan Pengarang, Yogyakarta, LKiS.

Gie, Soe Hok, 1995, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Huskeen, Huub de Jonge (ed), 2003, Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, Penerbit LKiS.

Hutabarat, Roberto, 1998, Di Bawah Panji-Panji Narasi: Sebuah Studi Politik Kebudayaan Pasca Kolonial Tentang Wacana Kekuasaan dan Kekeramatan di Puri Agung Pemecutan, skripsi sarja di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali.

ISAI,Tim, 1996, Bayang-Bayang PKI, Jakarta ISAI (Institu Studi Arus Informasi)

Loomba, Ania, 2003, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Nordholt, Henk Schulte, 2002, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, Kwa Chong Guan (Editor), 2000, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara Teori dan Metode, Jakarta, LP3ES

Putri, Agung, 2000, Mengungkapkan Kebenaran dan Mengadili Masa Lalu, Pengalaman rakyat Negeri Tertindas, Paper Policy Paper Series Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi No. 1, Elsam.

Robinson, Geoffery, 1995, The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor), 2004, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia

Santikarma, Degung, 2000, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, dalam Kompas 1 September 2000.

------------, 2003, Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal, dalam Kompas 1 Agustus 2003.

Spradley, James P, 1997, Metode Etnografi, Yogyakarta, Tiara Wacana.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisi Data, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Sulistyo, Hermawan, 2000, Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Jakarta, Gramedia.

Suryawan, Ngurah, 2005, BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

JURNAL/MAJALAH

WACANA, Kekerasan dalam Masyarakat Transisi edisi IX/2002.

SEJARAH 9, Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, Masyarakat Sejarawan Indonesia.

DRIYARKARA, Th. XXIII No. 4

PRISMA, Di Atas Panggung Sejarah, Dari Sultan ke Ali Moertopo, Edisi khusus 20 Tahun Prisma.



[1] Penelitian awal lapangan saya yang tak terduga tahun 2001, tapi sangat mengesankan tentang cerita seorang kakek pada sebuah zaman tahun 1960-an. Dari cerita itulah saya mulai mengumpulkan cerita-cerita lainnya tentang tahun 1965-1966 hingga kini. Cerita tersebut menjadi inspirasi dan awal dari ketertarikan saya menekuni studi tentang kekerasan dan pembantaian massal sesama anak manusia, sebuah cerita yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah SMU, maupun saat menginjakkan kaki di perguruan tinggi.

[2] Lebih lengkap lihat Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia 1942-1984), Balai Pustaka, 1992.

[3] Ritual lain yang tak terlupakan adalah upacara bendera memperingati kesaktian Pancasila 1 Oktober dan dilanjutkan dengan rombongan sekolah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di gedung-gedung bioskop. Wacana “hantu komunis” terus tercipta pada rezim orde baru dan dijadikan senjata untuk menghabisi gerakan-gerakan kritis. Pewarisan ingatan akan bahaya laten komunis ditanamkan sejak dini dalam pendidikan nasional melalui pelajaran sejarah, PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Lebih detail lihat studi pewarisan ingatan anti-komunis dalam Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2004.

[4] Film kolosal produksi pemerintah orde baru dengan sutradara Arifin C Noer. Dalam film propaganda negara ini terlihat pengheroan, penokohan dan mempahlawankan Soeharto sebagai panglima Kostrad yang mengambil alih keamanan dan melakukan pembersihan terhadap partai komunis di Indonesia, termasuk dengan membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Setiap tanggal 30 September malam seluruh stasiun TV menanyangkan film berdurasi hampir empat jam ini.

[5] Lihat Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Bentang 1995. Satu essaynya menjelaskan jumlah manusia Bali yang tewas dalam “penyembelihan” massal itu adalah, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali (161-169), juga Lihat Robert Cribb (ed) The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Mata Bangsa hal. 425-436. Karya yang lebih rinci tentang politik kekerasan di Bali adalah buku terkenal dari Geoffrey Robinson, The Dark Side of Paradis, Political Violence in Bali, Cornell University Press, 1995. Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Sisi Kelam Pulau Dewata, Politik Kekerasan di Bali, LKiS, 2005.

[6] Banyak versi yang menyebut jumlah korban pembantaian massal di Bali. Diantaranya adalah versi dari Soe Hok Gie menyebutkan jumlah 80.000, ABRI menyebutkan 40.000, para pemimpin Bali dan

The New York Time menyebut angka 100.000. Lebih lengkap lihat Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), hal. 14-16, KPG, 2000.

[7] Sebuah buku yang sangat inspiratif dan menggugah tentang penuturan survivor Peristiwa 1965-1966. John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (editor), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65 (Essay-essay Sejarah Lisan), Tim Relawan Kemanusiaan dan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2004. Sebelumnya terbit kumpulan essay sejarah lisan, Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965, Amanah Lontar dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia Amsterdam, 2003. Terdapat satu essay penuturan tahanan politik dari Bali. Slamet Trisila, Dewa Ngurah Djenawi : Pendidikan dan Pelajaran, Hal. 26-54.

[8] Pertemuan saya pertama dengan Mangku Tila di rumahnya yang sederhana, didepan kamar sucinya untuk mengobati tamu sebagai pemangku (dukun) 28 Februari 2004. Selanjutnya sebulan lagi, 14 Maret 2004 saya berkunjung lagi untuk mendengar ceritanya.

[9] Wawancara Mangku Nata, ibid.

[10] Hasil catatan lapangan dan wawancara di Kabupaten Jembrana, Februari-April 2005. Persoalan land reform memang menjadi isu yang menyulut ketegangan antara PKI dan PNI dalam memperebutkan simpati massa. Lebih detail tentang ketegangan terdapat dalam Aksi Kekerasan di Desa-desa di Bali (Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada) yang merupakan laporan-laporan dari berita di sebuah surat kabar yang terbit di Denpasar yaitu Suara Indonesia (sekarang Bali Post) Lihat Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Mata Bangsa, 2003. Sebagai perbandingan terdapat skripsi dari Ida Bagus Gde Putra, Pelaksanaan Land Reform dan Keresahan Masyarakat di Kabupaten Karangasem (1960-1965), Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1986.

[11] Catatan lapangan dan wawancara di Kabupaten Jembrana, ibid.

[12] Pertemuan pertama dengan I Ketut Nirartha akrab dipanggil Pak Munir di rumahnya di Negara 13 Januari 2005. Pak Munir kini mengelola sebuah koperasi untuk nelayan pesisir pantai di kabupaten Negara disamping menjadi koordinator Pecalang (satuan pengamanan adat di Bali). Tumpukan tulisan-tulisan ayahnya (Wayan Reken), telah ia salin dari kertas-kertas yang mulai lusuh. Khusus untuk peristiwa pembantaian PKI di Negara, Pak Munir baru menyalin dua naskah dari ayahnya. Salah satunya yang menjadi acuan dari penelitian saya adalah, Operasi Front Pancasila, Mengikis Habis Gerakan PKI 30 September 1965 sampai dengan Mei 1966.

[13] Catatan ini diambil dari tulisan I Wayan Reken tentang Operasi Front Pancasila, Mengikis Habis Gerakan PKI 30 September 1965 sampai dengan Mei 1966, Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah. Tulisan Reken ini kurang lebih dari ingatan Mangku Tila dibenarkan bahwa ia melihat penduduk tumpah ruah keluar rumah menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan di Pura Pande Tegalbadeng. Kronologi awal peristiwa ini yang belum terlacak dengan pasti dan mendapatkan perbandingan selain catatan dari

I Wayan Reken.

[14] Wawancara dengan Ketut Redden, (12 Januari 2005), warga Negara, saudara I Wayan Reken yang masih hidup dan menjadi saksi mata dari pembantaian PKI di Negara, khususnya di Toko Wong. Catatan dari I Wayan Reken juga menyebutkan tanggal 30 Novembr 1965 tersebar isu akan terjadi konsentrasi massa PKI di toko Wong dan satuan pengamanan Front-Front Pancasila (temeng, PNI, tentara, polisi, masyarakat) mulai bergerak ke Toko Wong dan daerah utara dan timur kota Negara untuk melakukan penumpasan terhadap perlawanan PKI itu.

[15] Saya mengunjungi Toko Wong dan Kota Negara dari mulai tanggal 11-18 Januari 2005. Wawancara dengan Nanoq da Kansas, wartawan dan seniman di kota Negara. Pernah menulis buku tentang profil Gde Winasa, bupati Jembrana kini. Buku ini menuai kontroversi karena pengakuan Winasa dalam buku profilnya bahwa di desanya dulu di Tegalcangkring, hanya orang tuanyalah satu-satunya PNI, selainnya adalah PKI. Warga Tegalcangkring marah dan protes pada Winasa. Hal ini sebenarnya menunjukkan dua hal yang bertentangan. Pertama, semakin menegaskan bahwa Negara adalah basis anggota PKI dan masih takutnya masyarakat akan stigma tentang komunis, pengkhianat bangsa dan stigma lainnya yang berhasil di propagandakan orde baru untuk menghancurkan PKI.

[16] Wawancara dengan Anak Agung Beny Sutedja (15 Maret 2004, 25 April 2004 dan 12 Januari 2005), pewaris tahta Puri Agung Negara anak dari Anak Agung Bagus Suteja, gubernur Bali pertama yang hilang setelah purinya dihancurkan oleh massa.

[17] Soe Hok Gie, Op.cit. Hal. 166.

[18] Awalnya saya membaca sebuah artikel di tabloid lokal di Kabupaten Jembrana yaitu Ge-M Independen berjudul Lubang Buaya di Melaya Sumur Pembantaian Saat Gestapu yang dimuat di edisi 03 Tahun III 5-11 April 2004.

[19] Saya mengunjungi pantai Candikusuma tanggal 14 Januri 2005 dan membuat dokumentasinya.

[20] Subaltern merupakan istilah yang digunakan oleh kelompok intelektual India paskalonial untuk menyebut diri mereka sebagai kelompok Subaltern Studies, kelompok intelektual kritis yang mencoba membongkar relasi kekuasaan imperialisme dan kolonialisme yang diterapkan penjajah terhadap negeri jajahan, bahkan telah melahirkan produk kekuasaan baru dalam bentuk politik, budaya, pendidikan, gender, dan lainnya. Subaltern adalah orang-orang yang kehilangan hak-haknya untuk bersuara/bertutur/berbicara. Kemudian dipopulerkan oleh Gayatri Spivak dalam essaynya berjudul, Can Subaltern Speak dalam kritiknya terhadap representasi budaya terhadap wacana gender dan patriarki. Lebih lengkap lihat Leela Gandhi, Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Qalam, 2001. Ania Lomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Bentang, 2000 dan Mudji Sutrisno, Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Kanisius, 2004.

[21] Untuk memberikan gambaran dan deskripsi tentang pernyataan ini lihat sebuah essay yang tajam dan menggugah, Degung Santikarma, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Bentara Kompas, 1 September 2000.

[22] Kita bisa belajar dari memor para tahanan politik dari Peristiwa 1965. Terutama adalah karya-karya dari Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dua jilid, Lentera 1995-1997. Juga seorang Bali, Putu Oka Sukanta, sastrawan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Bali menuliskan memoarnya berjudul, Merajut Harkat, Pustaka Pelajar dan Jendela Budaya, 1999. Sebagian diantaranya adalah Hersri Setiawan, Aku Eks Tapol, Galang Press, 2003 dan Kamus Gestok, Galang Press, 2003. Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang: Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Utan Kayu, 2003, Adam Soepardjan, Mendobrak Penjara Rezim Soeharto, 2004 adalah diantaranya. Ada juga kumpulan essay dari anak korban Peristiwa 1965, Usaha untuk Tetap Mengenang, Kisah-kisah Anak-anak Korban Peristiwa 1965,Yappika, Jendela Budaya, dan Hidup Baru, 2003.

[23] “Manusia-manusia merah” saya pergunakan untuk menunjukkan para korban pembantaian massal 1965-1966 yang “di-PKI-kan”. Menjadi judul buku saya, I Ngurah Suryawan, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Elsam dan Buku Baik, 2005. Bab IV Jejak-jejak Manusia Merah Bali dalam buku tersebut berisi tentang catatan lapangan saya saat mengunjungi lokasi kuburan-kuburan massal di Kabupaten Jembrana, Bali.

[24] Komunikasi pribadi dengan Degung Santikarma via emai l April –September 2005, antropolog yang menekuni studi tentang kekerasan 1965 di Bali Pernyataan ini adalah sikapnya dalam melakukan studi dampak Peristiwa 1965 pada kehidupan politik kebudayaan Bali setelahnya. Sedang menyelesaikan bukunya tentang dampak kekerasan 1965 di Bali bersama Laslie Dwyer.

[25] Kutipan sebuah artikelnya yang melukiskan bagaimana sikap para “pelaku” yang masih bangga dan merasa tidak bersalah dengan tindakannya menjadi tukang jagal dalam pembantaian 1965-1966 di sebuah desa. “…Yang saya lakukan pada waktu ‘Gestok’ itu tidak banyak, hanya membantu aparat untuk membawa mereka yang dianggap partisan partai yang bergambar “palu arit,” Pak Wayan mengatakan. “Daftar nama mereka yang dianggap terlibat sudah ada pada map yang dibawa oleh oknum berseragam. Jadi, saya hanya menunjukkan rumah pribadi para simpatisan. Ini enteng karena mereka kebetulan para tetangga dan teman sepermainan. Begitu saya temukan, saya antar langsung ke kantor camat, hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Pak Wayan bicara dengan tegas, tetapi badannya seperti mengkhianati apa yang terucap. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat dan betisnya, tanpa sadar, menabrak kaki meja sampai cangkir kopi tertumpah…” Lebih lengkap lihat Degung Santikarma, Kehilangan Rekonsiliasi, Kompas 28 September 2003.

[26] Sebuah artikel menarik tentang kiprah Sarwo Edhi Wibowo dalam penghancuran PKI. Lihat Peter Kasenda, Sarwo Edhi Wibowo dan Operasi Militer, Penghancuran Gestapu/PKI dan Pendobrak Orde Lama (159- 176) dalam Prisma, Di Atas Panggung Sejarah, Dari Sultan ke Ali Moertopo, edisi khusus 20 tahun Prisma 1971-1991.

[27] “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh” Pernyataan pers Sarwho Edhi Wibowo saat datang pada akhir Desember 1965 di Bali untuk menertibkan pembantaian. John Hughes, Indonesian Upheaval (New York: Mckay, 1967) via Robert Cribb (ed), The Indonesia Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, 2003, hal. 411.

[28] Asvi Warman Adam, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak, 2004, hal.29-51.

[29] Diambil dari sebuah buku yang inspiratif, jujur dan tajam tentang pergulatan seorang perempuan India yang melakukan studi tentang cerita-cerita kelompok-kelompok masyarakat terpinggir yang harus menerima kepedihan akibat Tragedi Pemisahan India dan Pakistan 1947. Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence, Indonesia Tera, 2002, hal. 445.

[30] Urvashi Butalia, op.cit, hal. 450-451.

[31] Seperti diungkapkan Degung Santikarma, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Kompas, 1 September 2000.

[32] Degung Santikarma, op.cit.

[33] Urvashi Butalia, op.cit, hal. 11.

[34] Adalah ungkapan yang pertama saya dengar saat awal-awal demonstrasi mahasiswa 1997-1998, saat saya menginjakkan kaki di bangku perguruan tinggi. Pernyataan ini diucapan seorang ibu yang heran melihat anaknya ikut demontrasi “Aksi Keprihatian Rakyat dan Mahasiswa ” di kampus Universitas Udayana, Bali akhir 1997.

[35]Henk Schulte Nordholt, Speel Of Power, 1996 via Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, 2002 hal. 6

[36] Catatan Soe Hok Gie tentang pembantaian besar-besaran di Bali, lihat Zaman Peralihan, Bentang, Februari 1995. Satu essaynya menjelaskan itu semua, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali (161-169).

[37] Komunikasi pribadi via email dengan Degung Santikarma, Mei 2005.

[38] Komunikasi pribadi, Juni 2005.

[39] Lebih lengkap tentang deskripsi politiik ritual kekerasan di Bali lihat I Ngurah Suryawan, BALI, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Ombak, 2005.

[40] Rezim ketakutan diungkapkan Henk Schulte Nordholt, Asal-Usul Kekerasan, Jurnal Wacana, edisi IX/2002. Juga terdapat satu essay penting dalam jurnal ini dari Roy Tjiong, Budaya Kekerasan vs Harmoni, Studi Kasus Pembantaian Pasca GESTAPU di Bali.

[41] Clifford Geertz, Hayat dan Karya, Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang, LKiS, 2002.

[42] Lebih lengkap lihat James P. Spradley, Metode Etnografi, TiaraWacana, 1997.

[43] Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatit, Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Puskala Pelajar, 2003.

[44] P. Lim Pui Huen dkk, Sejarah Lisan di Asia Tenggara, Teori dan Metode, LP3ES, 2000.

[45] Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence, Indonesia Tera, Agustus 2002. hal. 26

Tidak ada komentar: