Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Bali yang Hibridis

Kompas Minggu, 15 September 2002


Gigir Manuk: Multicultural Art Camp

Memetik Bali yang Hibridis

Oleh I Wayan Artika


PESISIR Bali Utara, mengutip pendapat antropolog Bawa Atmaja dan Ian Caldwell (sosiolog Australia ketika menulis Pandji Tisna selaku novelis Indonesia dan Raja Bali yang menjadi Kristiani), sudah sejak lama sangat kosmopolistis. Sebutan kuno pada masa lalu untuk Kabupaten Buleleng, Den Bukit, pada dasarnya diciptakan oleh orang-orang di Bali Selatan. Peta politik Bali pada masa lampau telah menetapkan batas Utara Bali bukan pada lautnya, dari Gilimanuk di Barat hingga perbatasan Karangasem di Timur, tetapi hanya pada pegunungan yang secara geografis dan nyaris simetris membagi pulau ini menjadi dua, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan (Geertz, 2000). Di samping hal itu, ada pula desain religius untuk Pulau Bali, yang lahir dari interpretasi atas pendirian pura-pura utama (Sad Khayangan) yang mengikuti pola mata angin, yaitu Bali sebagai sekuntum bunga teratai. Di pusat bunga itu, Siwa ditempatkan.

Penetapan batas itu, dari sudut politik dan kebudayaan, menjadikan Bali Utara sebagai tanah tidak bertuan. Di pesisir ini identitas kebudayaan dan politik Bali boleh dikatakan tidak ada. Secara ekstrem, Bali Utara memperoleh eksistensinya hanya lewat pengertian-pengertian geografi fisik dan bukan lewat konsep-konsep geografi sosial, geografi kebudayaan. Kebijakan-kebijakan politik yang berpengaruh terhadap kebijakan kebudayaan Bali klasik tidak pernah sampai di wilayah Bali Utara. Keadaan itu menjadikan Bali Utara sebagai wilayah yang tumbuh tanpa tata ruang politik dan budaya, tanpa blue print yang didesain oleh kekuasaan di atasnya. Keindependenan tersebut menjadikan Bali Utara sebagai wilayah yang terbuka dan klaim-klaim untuk sebuah keharusan monoidentitas hampir tidak ada. Dalam kondisi ini Bali Utara tumbuh dari bawah dan tanpa desain-desain eksplisit yang terarah. Hasil proses itu adalah kosmopolitanisme (dilihat dari heterogenitas etniknya) yang kini lebih dikenal dengan istilah multikultur, yang tumbuh dari kebutuhan dalam rangka memfasilitasi (secara swadesi) pluralitas dalam batas-batas dan pengertian-pengertian relatif.

Indonesianisasi pascakolonialisme di Indonesia adalah sebuah antitesis politik yang diobsesikan menjadi antitesis kebudayaan. Sehubungan dengan hal itu, bhinneka tunggal ika dikutip dan dikultuskan dalam jargon-jargon persatuan dan kesatuan, yang lebih didominasi penyeragaman. Sejak saat itu multikultur atau pluralisme telah menjadi tabu baru di Indonesia karena berasosiasi kepada kolonialisasi dan kekalahan Nusantara oleh negara kecil dari Eropa, Belanda, yang menerapkan politik pecah belah-adu domba.

Indonesianisasi dijalankan dengan politik sentralisasi dan hal itu harus dicatat sebagai salah satu prestasi Orba. Selama itu, multikultur adalah wacana subversif. Sejak tahun-tahun terakhir dekade 1990-an, multikulturisme atau pluralisme itu telah menjadi antitesis terhadap politik indonesianisasi. Realitas politik Indonesia menunjukkan bahwa otonomi menjadi istilah yang sangt teknis pada konteks pluralisme tersebut. Dalam rangka otonomi (dari berbagai perspektif dan kebutuhan), sub-subkomunitas lokal tengah menata kembali batas-batas identitas mereka di atas peta kebudayaannya. Di dalamnya spesifikasi identitas mencuat dan hal itu memang tujuannya.

Bali dalam pengertian kebudayaan didominasi oleh pengertian-pengertian wilayah di Selatan, tempat ekonomi pariwisata mengambil tempat. Selatan adalah acuan dan di Bali hal itu merupakan kebudayaan besarnya. Karena persoalan-persoalan historis dan sikap Selatan terhadap Utara, Buleleng atau Bali Utara adalah wilayah yang paling tidak Bali. Sepanjang garis pantainya, terutama dari arah Barat, masjid-masjid dibangun dan hal itu menjadi penghancur Hindu dan pura sebagai identitas Bali. Di Bali Utara, bahasa Bali harus disederhanakan dan hal itu didesain oleh pertimbangan-pertimbangan komunikasi praktis. Di sini bahasa Bali tidak menjadi cerminan gengsi kelompok atau kelas kasta pemakainya, sehingga kata-kata sapaan sehari-hari juga menggunakan kata-kata non-Bali (ana, ente), di samping menggunakan cicing (anjing) dan frase umpatan, ndas keleng, sebagai sapaan. Pada konteks itu, penyederhanaan bahasa Bali hanya dalam rangka sebagai alat. Dan, dengan cara-cara semacam itulah komunikasi-komunikasi multikultur termediasi.

Bali selatan, jika harus dioposisikan terhadap Bali Utara (bukan oposisi geografis, tetapi oposisi kultur), maka Bali Selatan tampak terlampau eksklusif dan sebaliknya Bali Utara, inklusif. Kondisi itu, sejak dekade 1970-an dan di sini pariwisata harus disebut, lebih menguntungkan bagi Bali Selatan karena nilai jualnya yang tinggi. Itulah Bali sebagai komoditas pariwisata. Pariwisata Bali hanya ingin Bali yang eksklusif, bukan Bali yang multikultur atau Bali pascakolonial, yang tidak tampak sebagai Bali.

Di tengah kebudayaan yang antieksklusivitas dan penolakan-penolakan terhadap kanon-kanon kebudayaan yang diacu selama ini dan dimuliakan, wilayah-wilayah budaya yang menyisakan jejak-jejak multikultur tiba-tiba menjadi sesuatu yang harus dicari. Dalam rangka itulah Buleleng atau Bali Utara, setidaknya pada konteks Bali, menjadi sangat penting dan bergengsi. Bali Utara, sebagai bagian wilayah dari pulau yang menyerupai burung (Agastia menyebutnya dengan angsa) atau manuk ini, mendapatkan penegasan-penegasan baru melalui seperangkat wacana proyek multikultur. Proyek-proyek multikultur tersebut diarahkan untuk memaknai prestasi Bali Utara sebagai wilayah dan sejarah yang memukau dan maju. Proyek-proyek tersebut tampaknya akan sampai kepada satu vonis kebudayaan bahwa Bali Utara yang multikultur akan menyudahi Bali Selatan yang monokultur. Dengan kata lain, Bali hari ini dan kemudian adalah Bali yang inklusif, ketika misalnya, para penyakap Jawa mulai menggantikan kehadiran para petani lokal di subak-subak, banten atau hanya sekadar canang sari diproduksi dan dijajakan juga oleh etnis non-Bali (Jawa), komunitas banjar yang bercampur, ketika bade dan sanggah-sanggah model Kapal diproduksi oleh tukang-tukang dari Jawa, dan lain-lain.

Sehubungan dengan monokultur Bali Selatan, orang-orang khawatir terhadap perubahannya. Walaupun demikian, ia sama sekali bukan sebagai wilayah yang terembargo atau isolatif, setidaknya secara fisik. Secara mental, monokultur Bali Selatan tetap isolatif dan terembargo. Hal itu ditunjukkan oleh kenyataan bahwa kebudayaan Bali di selatan tetap lestari (jalan di tempat atau selesai) dan komunikasi-komunikasi kultur (adaptasi atau percampuran-percampuran) tidak pernah menghasilkan hibridasi budaya atau tradisi.

Hibriditas itu ternyata lahir di Bali Utara dan bukan sesuatu yang baru. Salah satu ciri hibriditas di Bali Utara dan hal itu tampaknya yang paling kentara adalah tidak kentalnya identitas Bali Selatan. Sistem kasta, misalnya, di sini tidak cukup penting. Demikian juga mengenai tingkat tutur bahasa Bali atau tata rumah tradisional. Pada konteks Hindu, misalnya, hanya Buleleng yang berani meniru pengumandangan adzan, yaitu menjadi pengumandangan trisandya (tiga kali sehari) dari pura-pura pentingnya.

Kini, melalui peristiwa kemah seni, Gigir Manuk: Multicultural Art Camp, sesuai dengan tempat pelaksanaannya, di Kubutambahan, ada tendensi untuk sebuah penunjukan bahwa titik-titik multikultur Bali ada di tempat ini. Kubutambahan, jika dilihat dari udara, merupakan bagian garis pantai Bali Utara, terletak tepat pada puncak lengkung punggung burung (manuk) dan itulah awal nama gigir manuk.

Gigir Manuk: Multicultural Art Camp, pada konteks Bali yang eksklusif, isolatif, dan mengembargo, barangkali lahir dari sentimen positif dalam rangka mencari Bali yang lain, Bali yang multikultur, Bali yang hibridis; pasca-Bali Selatan yang monokultur.*



* I Wayan Artika Pengajar di IKIP Negeri Singaraja

Tidak ada komentar: