Who am I

Who am I

Minggu, 23 Maret 2008

Jejak Pergolakan Pers Mahasiswa

Patah Tumbuh Hilang Berganti
Sepenggal Catatan Pergolakan Pers Mahasiswa

Agus Purnomo dan I Ngurah Suryawan
Pers Kampus Akademika Universitas Udayana


“…Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya…”
(Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, 2000)


I
Pertanyaan sangat-sangat gampang, asalan, tapi mendasar untuk mengetahui posisi dan peran mahasiswa di lingkungannya. Apakah mahasiswa masih punya orientasi untuk berdinamika dengan jamannya sekarang ini di Indonesia? Pertanyaan ini mendapat jawaban jika mahasiswa menyadari kekuatannya—yang membawa lingkungannya sangat berharap akan kiprahnya. Salah satunya adalah pers dan gerakan mahasiswa.
Apakah kita beromantis ria jika mengingat bagaimana jayanya persma dulu? Kami rasa tidak berlebihan jika harus kami katakan bahwa melihat sepenggal pergolakan pers dan gerakan mahasiswa akan membawa kita bercermin. Mitos dan panggung kekuatan gerakan dan pers mahasiswa setidak-tidaknya pernah menjadi gerakan sosial yang kuat untuk menumbangkan rezim kekuasaan. Dan itu tidak terbantahkan.
Bukannya meromantisisasi, untuk menegok kembali pergolakan sejarah pada zaman itu, tapi setidaknya memberi kita inspirasi. Misalkan nama Soekarno dan Mohamad Hatta, dua bapak bangsa yang menerbitkan Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia dan Fikiran Ra’jat di kampus mereka. Pada masa itu, media mahasiswa sangat jelas berorientasi untuk perjuangan melawan kolonialisme imperialisme dan memberikan penyadaran “bahwa dijajah” kepada rakyat Indonesia.
Eksistensi pers mahasiswa di Indonesia telah banyak memberikan kontribusi menggairahkan dalam pergolakan bangsa ini. Dalam setiap peralihan rezim, dia selalu menjadi pioner perubahan bersama-sama dengan gerakan mahasiswa. Perselingkuhan antara pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa adalah kekuatan massa yang bisa menumbangkan kekuasaan rezim. Mulai dari masa Orde Lama Soekarno dengan gerakan 66’, peristiwa Malari 1974 dan yang paling fenomenal adalah peristiwa Mei 1998. Penumbangan rezim otoritarianisme Orde Baru dan turunnya Soeharto seolah menjadi ‘kemenangan abadi’ aktivis mahasiswa yang dimitoskan hingga hari ini. Saat itu, pers mahasiswa berperan besar dalam menyampaikan informasi yang mengakomodasi kepentingan rakyat yang terkungkung akibat represivitas militer ala Orde Baru.

II
Tidak terlalu jelas memang kapan pertama kali pers mahasiswa pertama kali muncul di Indonesia. Tapi satu hal yang pasti terbukti, dia hampir selalu ada di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Demikian pula tidak ada catatan resmi berapa jumlah pers mahasiswa yang tetap eksis hingga kini. Namun, bisa diduga, jumlah pers mahasiswa hampir sebanding dengan jumlah perguruan tinggi ditambah jumlah fakultas di masing-masing perguruan tinggi tersebut. Bisa dibayangkan, betapa besarnya kekuatan pers mahasiswa jika memang kenyataan itu benar adanya.
Amir Effendi Siregar membagi sejarah pers mahasiswa dalam dua periode yaitu masa pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Dua periode ini kemudian dibagi lagi menjadi enam zaman. Masa prakemerdekaan dibagi menjadi masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Sedangkan masa paska kemerdekaan dibagi menjadi zaman Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru. Masa Orde Baru ini dibagi lagi menjadi dua periode yaitu periode 1965/1966-1971/1974 dan 1971/1974-1980 (Amir Effendi Siregar, 1983).

1. Zaman Kolonial Belanda
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan, pers mahasiswa dianggap telah mencatatkan diri sebagai counter attack terhadap media penjajah dan alat propaganda untuk merebut perjuangan nasional (Agung Sedayu, 2005) Tercatat Hindia Poetra, Oesaha Pemoeda, Jong Java, Soeara Indonesia Moeda pada medio 1920-an mewarnai coretan sejarah bangsa. Sesuai dengan nilai-nilai yang dikandungnya, tidak aneh jika pers mahasiswa dipengaruhi oleh gerakan-gerakan kemahasiswaan dan gerakan perjuangan lainnya. Pers mahasiswa lahir seirama dengan kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda, pelajar dan mahasiswa. Pers mahasiswa kala itu menjadi alat penyebaran ide tentang hakekat pembaharuan dan perjuangan dasar akan pentingnya kemerdekaan. Nugroho Notosusanto, sebagaimana dikutip Amir Effendi Siregar (1983:38) mengatakan, pers mahasiswa sudah mulai timbul pada masa penjajahan Belanda. Hanya saja baru sedikit yang bisa dikatakan profesional.
Jadi pada masa ini, pers mahasiswa lebih banyak menuangkan ide mereka dalam media tercetak. Hal ini mengingat jumlah kaum terpelajar masa itu masih sedikit sehingga mereka memerlukan sarana komunikasi massa untuk menyebarluaskan pemikiran mereka. Konsekuensinya, teknik jurnalistik menjadi permasalahan kedua.

2. Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa ini pers mahasiswa tidak mencatat kemajuan berarti. Revolusi fisik dalam mencapai kemerdekaan menjadikan kehidupan politik menjadi tidak stabil. Isu kemerdekaan dan kebangsaan yang selama ini menjadi spirit utama pers mahasiswa pada masa kolonial Belanda diambil alih propaganda Jepang. Hanya ada brosur stensilan yang umumnya dikeluarkan oleh pemuda. Pada periode ini sulit membedakan antara penerbitan yang dikeluarkan mahasiswa dengan penerbitan yang dikeluarkan oleh pemuda.

3. Zaman Demokrasi Liberal
Tahun 1945 sampai dengan 1948 belum banyak pers mahasiswa yang lahir secara terbuka. Hal ini disebabkan eksistensi Republik Indonesia belum diakui oleh dunia internasonal sehingga pemudan dan mahasiswa terlibat secara fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. Setelah tahun 150 barulah pers mahasiswa tumbuh satu persatu. Puncaknya, tahun 1955 komunitas pers mahasiswa mulai menapaki masa kejayaan. Tercatat pada masa ini diwarnai dengan lahirnya berbagai komunitas pers mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia.
Meningkatnya kuantias pers mahasiswa menyebabkan keinginan pengelola untuk meningkatkan mutu pers mahasiswa baik dari segi redaksional maupun isinya. Atas inisiatif Majalah GAMA di Yogyakarta maka diselenggarakanlah Konferensi pada bulan Agustus 1955. Konferensi dihadiri oleh GAMA, Gajah Mada, Criterium, Media, Vivat, Ta Hsueh Ta Chih, Mahasiswa, Intelegensia, Duta Mahasiswa dan Fiducia. Kuatnya pengaruh media umum sehingga konferensi ini melahirkan dua organisasi yaitu Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dengan ketua Teuku Jacob dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dengan ketua Nugroho Notosusanto. Konferensi ini juga berhasil melahirkan anggaran dasar serta Code Jurnalistik Mahasiswa.
Pada bulan Februari 1975 SPMI dan IMWI mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila dengan mengirimkan Nugroho Notosusanto dan Kusnadi Hardjasoemantri sebagai anggota delegasi. Konferensi ini diikuti oleh sepulu negara yaitu Australia, Ceylon, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Malaya, New Zealand, Pakistan dan Filipina.
Pada masa ini pers mahasiswa mencapai puncak perkembangannya. Kebebasan yang diberikan untuk beraktivitas memunculkan peluang bagi seluruh personel pers mahasiswa memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini terlihat dari keterlibatanj IMWI dan SPSI dalam aktivitas pers internasional. SPSI dan IMWI dianggap represantatif karena didukung oleh banyak pers mahasiswa tanah air.
Warna intelektualisme begitu kuat dalam pers mahasiswa era 1950-an. Dalam menyikapi setia persoalan, pers mahasiswa selalu menggunakan pendekatan secara ilmiah. Paling tidak pers mahasiswa bertindak secara obyektif dan kritis. Obyektif maksudnya pendapat yang diajukan bisa diuji oleh siapapun juga sedangkan kritis berarti menuntut wartawan untuk meneliti, memperdalam masalah tanpa mudah dihalangi oleh prasangka.

4. Zaman Demokrasi Terpimpin
Dengan sistem politik ini, pemerintah melakukan kontrol yang tegas terhadap penerbitan media. Pers diharuskan untuk menyuarakan kepentingan golongan dan partai politik tertentu. Pers bebas yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu tidak diperkenankan berkembang. IPMI yang bebas dan tidak terikat dengan kepentingan politik tertentu menjadi sulit berkembang. Terjadi diskurus internal antara keinginan untuk berafiliasi dengan partai politik dan mempertahankan independensi IPMI dan anggotanya.
Dalam kondisi seperti ini, pers mahasiswa banyak mengalami kemunduran dan bahkan mati secara perlahan-lahan. Gajah Mada dan GAMA di Yogyakarta tidak mampu bertahan hidup. Di Jakarta, Majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Akhir periode ini muncul tekanan terhadap organisasi IPMI dengan tuduhan dari massa kiri yang menyatakan IPMI adalah anak dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. IPMI tidak mencantumkan MANIPOL-USDEK dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, sesuatu yang diwajibkan Soekarno kala itu.

5. Zaman Demokrasi Orde Baru (1965/1966-1971/1974)
Setelah kegagalan peristiwa Gerakan 30 September, terlihat suatu usaha untuk melenyapkan sistem politik demokrasi terpimpin. IPMI sebagai organisasi pers mahasiswa terlibat secara penuh dalam proses pelenyapan itu. Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret menyebabkan kekuasaan Soekarno harus berakhir serta kekuatan politik yang mendukungnya. Bersamaan dengan itu lahir surat kabar dan majalah mahasiswa yang keseluruhannya adalah anggota IPMI atau menyatakan diri sebagai anggota IPMI.
Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Mimbar Demokrasi adalah surat kabat terkemuka yang dikelola oleh pengurus IPMI. Pada awal periode ini, pers mahasiswa dengan IPMI sebagai induk kembali mencapai puncaknya. Tetapi terdapat perbedaan yang cukup besar antara pers mahasiswa masa 1950-an dengan awal masa Orde baru. Awal dari periode ini, tampak jelas terlihat bahwa pemberitaan yang dimuat media mengandung tendensi untuk menjatuhkan kejelekan sistem demokrasi terpimpin. Pertarungan IPMI dikancah politik membuat dia diakui oleh Menteri Penerangan, sejajar dengan organisasi pers lainnya.
Namun pengakuan dari Menteri Penerangan ini justru pers mahasiswa dalam posisi dilematis. Apakah akan tetap amatir atau bergerak ke arah profesional? Ketua IPMI, Nono Anwar Makarim dlam konggres IPMI II di Kaliurang pada 28-30 Juli 1969 menyetakan pers mahasiswa telah menjadi profesional secara penuh. Maka pers mahasiswa telah masuk dalam kancah persaingan bebas dengan pers umum secara terbuka dan pers mahasiswa telah membuktikan bahwa bisa bertahan dan tidak jarang menang dengan gemilang (Amir Effendi Siregar, 1983: 49).
Pengganyangan terhadap Soekarno baru terhenti ketika Orde Baru menata kembali perekonomian yang porak poranda. Pada titik inilah pers mahasiswa ikut mencari, merumuskan, dan menegakkan ideologi pembangunan. Kesimpulan yang diambil Raillon (1986:332) ketika melakukan penelitian terhadap Mahasiswa Indonesia adalah Mahasiswa Indonesia juga telah menjalankan fungsi lainnya yang boleh jadi lebih penting, yaitu berupa sumbangan bagi tegaknya sebuah ideologi Orde Baru. Selama hampir delapan tahu—pada hampir 400 penerbitan—Mahasiswa Indonesia secara teratur mengemukakan gagasan yang intinya berupa keinginan mereka terhadap modernisasi dan pembangunan Indonesia. (Didik Suproyanto, 1998).

6. Zaman Demokrasi Orde Baru (1971/1974-1980)
Kehidupan politik yang dikatakan liberal untuk sementara waktu ternyata kembali bergeser ke arah otoritarian. Elit politik berupaya menyusun format politik sebagai penegas kekuasaan politik yang baru saja didapatnya. Sedangkan untuk dunia kemahasiswaan dikeluarkan konsep back to campus. IPMI dan pers mahasiswa yang berada di luar kampus mau tidak mau ikut terbawa arus politik saat itu. Pada konggresnya yang ke III di Jakarta, setelah melalui perdebatan sengit, IPMI menerima konsep back to campus ini.
Tahun 1971-1974 bisa dikatakan sebagai masa kemunduran era keemasan pers mahasiswa. Titik kulminasinya pada peristiwa 15 Januari 1974. Bulan madu antara mahasiswa dengan rezim Orde Baru berakhir antiklimaks. Mereka yang mencoba menjadi oposisi harus siap ditindak tegas. Pemimpin-pemimpin mahasiswa diadili, Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI dilarang terbit bersamaan dengan pembredelan mingguan Nusantara dan Ekspres, surat kabar Indonesia Raya, Abadi, Pedoman dan Jakarta Times.
Pembredelan terhadap beberapa pers mahasiswa tidak serta merta membuat mereka dilarang terbit secara umum. Pers mahasiswa didalam kampus tetap diberi angin segar sebab pers mahasiswa berada dalam struktur konsolidasi format baru sistem politik Indonesia. Lahirlah Surat Kabar Kampus UI ‘Salemba’, Surat Kabar Mahasiswa UGM ‘Gelora Mahasiswa’, ‘Atmajaya’ Unika Atmajaya, ‘Derap Mahasiswa’ IKIP Yogyakarta, ‘Arena’ IAIN Yogyakarta dan Surat Kabar Mahasiswa ‘Airlangga’ Unair. Pers mahasiswa yang sesuai dengan struktur konsolidasi pemerintah dibiarkan berkembang. Bahkan seluruh penerbitannya diberi subsidi oleh pemerintah melalui birokrat kampus sehingga ketergantungan pers mahasiswa terhadap pemerintah menjadi begitu tinggi.
Pada Konggres IV IPMI belum juga bisa memecahkan konflik internal untuk mencari jalan keluar apakah akan eksis di luar kampus atau justru di dalam kampus. Tetapi meskipun secara kelembagaan ada di dalam kampus, beberapa pers mahasiswa juga tetap menyoroti kebijakan yang berkembang di masyarakat sebagai kontrol sosial. Meskipun pers umum juga melakukan pemberitaan serupa tapi bisa dipastikan tidak ada yang seberani dan seradikal pers mahasiswa.
Awal 1978, beberapa harian umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pelita dibredel. Kekosongan ini dimanfaatkan oleh pers mahasiswa untuk unjuk gigi. Mereka datang dengan pemberitaan yang keras. Orientasi politik pers mahasiswa menjelang Pemilu 1977 (Daniel Dhakidae, 1977) terus menguat bahkan cenderung memanas mendekati Sidang Umum MPR 1978. Oplah surat kabar mahasiswa pun mencapai puncaknya. Gerakan yang dikoordinasi oleh Dewan Mahasiswa terus meluas ke berbagai daerah dan warna politiknya kian terasa ketika menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sikap anti Soeharto tercermin dari headline yang dibuat pers mahasiswa kala itu. Salemba menulis Mahasiswa Menginginkan Soeharto Tidak Jadi Presiden Lagi. Sedangkan Kampus menulis: Aksi Mahasiswa Bandung Menggugat 27 Desember 1977, Gelombang Pertama Menolak Dukungan Terhadap Pencalonan Suharto.
Kebijakan NKK/BKK oleh Daoed Joesoef segera mendatangkan kritik pedas dari mahasiswa. Mahasiswa beranggapan kebijakan NKK/NKK hanya bertujuan untuk membunuh hak-hak politik mahasiswa dengan pembubaran Dewan Mahasiswa. Pembubaran Dewan Mahasiswa sedikit banyak mempengaruhi kualitas protes mahasiswa karena perlawanan yang dilakukan tidak sesolid semangat sebelumnya. Bahkan banyak pengamat menilai protes ini sama sekali tidak idealis karena hanya memprioritaskan kepentingan mahasiswa sendiri. Gerakan perlawanan yang dilakukan tidak mengandung esensi politik.
Konsekuensi logis dari penerapan NKK/BKK adalah semua kegiatan mahasiswa berada dalam pengawasan BKK. Jika pada masa sebelumnya, manajemen organisasi pers mahasiswa berada dalam garis dan struktur Dewan Mahasiswa maka pada masa paska NKK/BKK struktur pers mahasiswa diharuskan masuk pada struktur BKK. Namun tidak semua pers mahasiswa bersedia masuk dalam struktur BKK. Di beberapa universitas aktivis pers mahasiswa menolak karena bersikeras untuk mempertahankan independensinya. Salemba dan Gelora Mahasiswa contohnya karena didukung oleh rektir yang aspiratif (Tempo:17/5/1980).
Rektor UI, Prof. Dr. Mahar Mardjono menempatkan Salemba langsung di bawah perlindungan dan tanggung jawabnya. Dia memberi kebebasan penuh kepada pengurus Salemba untuk menentukan kebijakan redaksional. Sikap serupa juga diperlihatkan Prof. Dr. Soekadji Ranuwihardjo, Rektor UGM terhadap Gelora Mahasiswa. Di ITB, Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana secara terang-terangan menolak pemberlakuan NKK/BKK dan memberi keleluasaan penuh kepada Kampus sebagai badan independen.
Ada dua permasalahan yang menjadi dominasi pemberitaan ketiga media di atas. Pertama, pengadilan terhadap mereka yang menamakan diri sebagai Gerakan Anti Soeharto dan kedua protes terhadap kebijakan NKK/BKK. Perlawanan yang diserukan bahkan tidak hanya ditujuan kepada kebijakan yang sifanya politis tapi juga kepada pribadi Daoed Joesoef sendiri. Hal ini bisa dilihat dari headline Salemba edisi 5 Januari 1980 dengan berjudul NKK/BKK Otoriter dan Daoed Joesof Tak Konsisten (Siregar, 1983:103)
Sikap keras pers mahasiswa terhadap pengadilan mahasiswa dan kebijakan NKK/BKK menghadapkan pers mahasiswa pada hantu lama bernama pembredelan. Belum satu tahun Gelora Mahasiswa diberi nafas kehidupan, mereka kembali dilarang terbit. Selanjutnya, Departemen Penerangan mencabut izin koran Alma Mater IPB, Media ITS, Airlangga Unair. Sedangkan pers mahasiswa lain yang dilarang terbit adalah Kampus ITB pada April 1980 dan terakhir Salemba UI pada Mei 1980 (Tempo:17/5/1980).
Namun sebagaimana yang dikatakan Atmakusumah (1981:54-56), pers mahasiswa dalam usianya yang relatif pendek, pers mahasiswa mampu mengobarkan semangat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah lewat pilihan berita, artikel, maupun editorialnya. Pilihan kata dan bahasa yang lugas dan apa adanya menjadikan pers mahasiswa benar-benar menjadi pers alternatif di tengah tekanan keras pemerintah Orde Baru.




III
Daoed Joesof sejatinya berhasil menerapkan konsep NKK/BKK pada masa kepemimpinannya. Sayang, keberhasilan itu tidak diikuti dengan pengangkatan dirinya lagi sebagai Menteri Pendidikan. Dia akhirnya digantikan oleh Nugroho Notosusanto. Menteri Nugroho Notosusanto sebenarnya memberi ruang gerak lebih kepada lembaga kemahasiswaan. Dia melakukan pengendoran terhadap kebijakan NKK/BKK. Pimpinan universitas diberikan keleluasaan untuk memodifikasi NKK/BKK sesuai dengan kebutuhan kampusnya. Tetapi, banyak rektor yang tidak memanfaat celah ini karena ketakutan terhadap protes mahasiswa. Birokrat kampus seolah enggan melepaskan kekuasaannya terhadap mahasiswa yang terlanjur hegemonik. Mahasiswa masih saja dibatasi ruang geraknya.
Meninggalnya Nugroho Notosusanto mengantarkan Prof. Dr. Fuad Hassan, Guru Besar Fakultas Psikologi UI menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Gaya rileks Fuad Hassan diharapkan memecahkan kebekuan dunia kemahasiswaan yang beku akibat kebijakan NKK/BKK. Selanjutnya Fuad membentuk tim yang diketuai Suripto untuk meneliti keadaan dunia kemahasiswaan. Dari hasil pertemuan Suripto dengan mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang diketahui bahwa 99,5% mahasiswa hanya study oriented. Jumlah ini nyaris seluruhnya cuek, apatis, dan acuh tak acuh terhadap NKK/BKK. Hanya 0,5% yang peduli dan dibagi menjadi dua jenis. Yaitu yang berpandangan kritis idealistis dan radikal. Yang radikal inilah yang dengan harga mati mempersoalkan Dewan Mahasiswa (Editor:2/12/1989).
Kebangkitan pers mahasiswa sejatinya sudah dilakukan sejak lama oleh mahasiswa terutama untuk menghidupkan kembali Salemba dan Gelora Mahasiswa. Namun usaha ini selalu gagal akibat efek traumatis yang menganggap pers mahasiswa hanya menggangu ketenangan kampus. Pihak rektorat bersedia menerbitkan pers mahasiswa dengan syarat pejabat kampus akan mengontrol isi pemberitaannya. Efek ini membawa penerbitan kampus yang dikelola bersama antara mahasiswa dengan dosen. Misalnya, Universitas USU, Warta UI, Manunggal Undip, Gema Almamater Unpad, Mimbar Unibraw, Identitas Universitas Ujung Pandang (sebelum menjadi Unhas) dan Inovasi Universitas Sam Ratulangi. Penerbitan ini tidak ubahnya sebagai Biro Hubungan Masyarakat. Abdulhamid Dipopramono menulis, suatu media yang hanya difungsikan sebagai corong universitas (Abdulhamid Dipopramono, 1998)
Kebangkitan kembali pers mahasiswa ditandai dengan lahirnya Majalah Balairung pada 8 Januari 1986. Majalah ini berembrio dari penerbitan tingkat fakultas dan jurusan. Berdasarkan hasil Seminar Pers Mahasiswa se-UGM pada 29 Oktober 1985 yang diselenggarakan majalah Teknik Sipil Fakultas Teknik Clapeyron. Balairung lahir dengan motto Nafas Intelektualitas Mahasiswa dan memiliki orientasi yang kuat. Hal ini diyakini menjadikan eksistensi Balairung dalam dunia pers mahasiswa Indonesia tidak diragukan lagi. Disamping itu, dukungan Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, mantan aktivis pers mahasiswa, menjadikan ruang gerak Balairung semakin leluasa.
Sementara di Jakarta, atas prakarsa majalah Fisip Universitas Nasional (Unas) pada Oktober 1986 lahir lembaga pers mahasiswa Solidaritas. Solidaritas dipimpin oleh Amin Husin Daulay, mantan Pemimpin Umum Politika. Tetapi patut dicatat, Solidaritas tidak masuk struktur BKK meskipun BKK di Unas masih aktif. Perjalanan Solidaritas juga sempat diwarnai dengan pemanggilan kepada Pemimpin Umumnya oleh Laksusda Jaya. Dihadapan petugas Laksusda, Amir Husin dipaksa untuk menandatangai surat pernyataan untuk tidak menerbitkan koran Solidaritas lagi. Pengurus Solidaritas tidak kehilangan akal terhadap larangan ini. Setahun kemudian, Ade Fachrul ditunjuk menjadi Pemimpin Umum/Redaksi yang membidani penerbitan majalah. Sebab, dalam perjanjian dengan Laksusda hanya melarang penerbitan koran Solidaritas. Jika melahirkan penerbitan lain tentu tidak melanggar perjanjian.
April 1988 LPM Unas menerbitkan majalah Mimbar Mahasiswa dengan visi yang tidak jauh beda dengan koran Solidaritas. Sayang, pada penerbitan pertama, Amir Husin dipanggil kembali oleh Laksusda dan dipaksa kembali untuk menandatangani perjanjian yang menyatakan LPM Unas tidak akan melakukan penerbitan apapun. Sejak itu, kantor LPM Unas disegel dan terjadi pembekuan terhadap seluruh kegiatan. Namun penyegelan tidak serta merta menghentikan aktivitas pengurus Solidaritas. Mereka meniru gaya Balairung dengan mengadakan pelatihan, seminar dan diskusi dengan menhadirkan mahasiswa sebagai pembicara yang duduk sejajar dengan pakar.
Solidaritas bahkan bisa membaca ketidakpuasan mahasiswa Jakarta dengan kondisi kampusnya. Pada Juli 1987 Amir Husin membentuk Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum (DKJ Jakarta Forum) sebagai lembaga yang mengakomodasi aspirasi aktivis pers mahasiswa Jakarta. Eksistensi DKJ Jakarta Forum terbukti dari pameran keliling Lukisan yang diselenggarakan di Jakarta, Bandung, Salatiga dan Yogyakarta. Bahkan keberadaan forum ini semakin penting menyusul pembekuan yang dilakukan Rektor Unas terhadap LPM Solidaritas. Pembekuan ini diawali Aksi Gugat Takdir yang dimotori oleh Nurdin Fadli, Imran Zein Rolas dan Petrus Barus. Aksi ini kemudian diikuti oleh ratusan mahasiswa Unas menuntut rektor Sultan Takdir Alisyahbana untuk mundur dari jabatannya. Imbas dari aksi ini, LPM dibekukan, tiga mahasiswa di atas diskors oleh Dekan Fisip dan Amir Husin dipecat dari Unas. Pembekuan ini memberi dampak positif bagi Jakarta Forum karena menjadi sentral informasi bagi aksi-aksi mahasiswa Jakarta.

IV
Setidaknya kita mesti sepakat bahwa selain pers dan gerak langkah perjuangan mahasiswa, ada satu kekuatan paling mendasar yang sebenarnya dimiliki oleh mahasiswa Indonesia dan dunia, yaitu komitmen moral dan keberpihakan pada rakyat yang tertindas dan dikalahkan oleh kekuasaan. Masyarakat secara latah sering menyebutkan mahasiswa sebagai calon intelektual bangsa. Nah, sebenarnya bagaimana seharusnya intelektual ini berkiprah dalam masyarakatnya. Saya pesimis, konstruksi dan pola pikir calon intelektual telah ditafsirkan sebagai pelayan dan budak dari kekuasaan, sebagaimana begitu banyak intelektual di republik ini yang menjatuhkan pilihan seperti itu.
Antonio Gramsci, wartawan, aktivis dan pemikir cemerlang Italia sedikit menyindir dengan pernyataaan tajamnya, Orang dapat mengatakan: semua manusia adalah intelektual, tapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Selanjutnya apakah semua mahasiswa yang mengatakan atau dikatakan sebagai intelektual memiliki fungsi sebagai intelektual? Kekuatan mahasiswa sejatinya sebenarnya terletak dalam pemahaman terhadap gerak dan prinsip mahasiswa dan intelektual ini, yang tentunya nanti akan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk gerakan kritis dan perlawanan lainnya.
Lalu bagaimana posisi kekuatan mahasiswa pascakejatuhan Soeharto? Perdebatan panjang ini akhirnya memang mengarah pada bagaimana seharusnya perjuangan mahasiswa, masuk atau tetap setia berada di luar kekuasaan. Mahasiswa sering dikatakan hanya memberikan cek kosong untuk kemudian diisi semaunya oleh kekuasaan. Lalu, apakah mahasiswa sah atau tidak masuk dalam jerat kekuasaan demi memperjuangkan keyakinannya? Disinilah dilemanya.
Setidaknya sejarah telah membuktikan bagaimana mahasiswa yang terjerat masuk ke lingkaran kekuasaan berubah dari demonstran sangar menjadi anak manis yang manut-manut saja. Soe Hok Gie, salah satu tokoh kunci gerakan mahasiswa 1966 mengatakan kawan-kawannya itu sebagai pencoleng-pencoleng politik dan telah menggadaikan idealisme mahasiswa dan keintelektualannya. Memang harus ditegaskan bagaimana seharusnya posisi mahasiswa dalam kerangka kekuasaan ini. Ini penting untuk menguatkan idealisme dan jati diri kemahasiswaan dan keintelektualannya. Disnilah kekuatan mahasiswa sejatinya.
Mahasiswa Indonesia pascakejatuhan Soeharto 1998 lekat dengan predikat pemberi cek kosong tadi. Setelah itu, dalam perjuangan reformasi, mahasiswa telah ditinggalkan atau lebih tepatnya direbut perannya oleh pelacur-pelacur politik yang enteng mengatakan dirinya intelektual atau politisi. Mahasiswa sebagai penjaga moral reformasi telah kehilangan pengaruhnya, ditelan pertikaian dan rebutan kekuasaan. Sementara politisi dan intelektual gadungan ini berebutan kekuasaan, mahasiswa dengan predikat intelektualnya kehilangan orientasi dengan perjuangannya. Meminjam istilah Michael Foucault, filsuf Prancis tentang intelektual, bahwa intelektual universal telah kehilangan tempatnya diambil oleh intelektual spesifik yang bekerja dengan keilmuannya dan mampu menerapkan keahliannya. Foucault setidaknya mengingatkan bahwa intelektual haruslah bersikap terhadap gejala universal yang terjadi di lingkungannya, bukan berkutat sendiri dengan keilmuan dan keahliannya, tanpa bersentuhan dengan realitas sosial yang terjadi.
Simpang jalan kekuatan mahasiswa juga adalah dilema yang harus dihadapinya. Pada momen-momen tertentu, kekuatan mahasiswa bisa menjadi begitu besar dan menjadi salah satu pilar (tambahan) penting dari demokrasi selain kebebasan pers. Ini terbukti benar ketika bagaimana begitu menyeruaknya peranan kekuatan mahasiswa dalam penjatuhan rejim otoriter Soeharto 1998. Saat ini kekuatan gerakan mahasiswa adalah sebuah idaman yang tinggi—dan juga menjadi incaran dari kekuatan politik negara pada saat itu (tentara, politisi, dan birokrasi).
Sejarah juga membuktikan bagaimana peranan kekuatan mahasiswa– dengan pilar komite aksi demonstrasi, kelompok studi diskusi, lembaga kemahasiswaan dan pers mahasiswa—mampu menekan kekuatan negara otoriter dan korup. Kasus perjuangan pemuda melawan kolonialisasi merebut kemerdekaan, protes mahasiswa tahun 1966, tahun 1970-an, dan 1980-an membuktikan semua itu.Tapi di sisi lain, mahasiswa justru menjadi pintu pembuka untuk terciptanya kembali rejim otoriter, ditinggalkan oleh para politisi. Dalam istilahnya memberikan cek kosong pada negara dan meninggalkan akarnya, perjuangan untuk kepentingan rakyat.
Kekuatan mahasiswa begitu berjaya untuk melakukan kritik dan menggulingkan rejim otoriter yang korup. Tapi dilema pada dirinya adalah ketika berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan sipil setelah penjatuhan rejim yang otoriter tersebut. Kasus gerakan mahasiswa 1998 menggambarkan semua itu. Mahasiswa bersama elemen-elemen rakyat begitu heroik dan bersatunya ketika menemukan musuh bersama Soeharto dan kekuasaan. Lewat aksi massa yang terus-menerus, dibumbui dengan bentrok-bentrok dengan tentara, penculikan aktivis, Soeharto dan rejimnya akhirnya bisa dijatuhkan. Tentu bukan hanya dari kekuatan gerakan mahasiswa, tekanan dunia internasional dan masalah kompleks lainnya juga menjadi penekan yang kuat ”Jenderal Besar” dan ”Bapak Pembangunan” itu meletakkan jabatan presiden yang sudah dikuasainya selama 32 tahun.
Musuh bersama sudah jatuh tapi bukan berarti rejim, mental, dan jaringan sistem (Orde Baru) yang dibentuk Soeharto dan orang-orangnya. Tapi mahasiswa berpesta, gembira ria dengan tawa dan tangis telah berhasil menjadi ”Pahlawan Reformasi”, memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka (para mahasiswa ini) menampilkan dirinya menjadi kekuatan dengan dukungan rakyat yang ”baru ” dikenalinya, bersama-sama dalam aksi, berkenalan saat-saat advokasi. Rakyat yang baru dikenali ini tentu tidak seimbang dengan pembentukan karakter sistem, pencucian otak generasi muda dalam birokrasi selama 32 tahun pemerintahan orde baru. Soeharto sebagai sebuah simbol memang boleh jatuh, tapi sistem, karakter, kekuatan rejim, dan kader-kadernya masih mengusasi birokrasi dan mesin-mesin politik kekuasaan lain yang dimilikinya—tentara, organisasi massa, organisasi pemuda, pengusaha dan lainnya.
Kekuatan mahasiswa dengan ”kenalan barunya ” bernama rakyat akhirnya bertarung dengan sisa-sisa kekuatan lama rejim otoriter dengan segala macam bentuk, relasi, dan organisasinya, termasuk di dalamnya adalah mental ”orde baru” yang sering dituduhkan para aktivis mahasiswa. Proses inilah kemudian yang disebutkan konsolidasi demokrasi. Bukan hanya kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dan demokrasi yang melakukan konsolidasi, kekuatan-kekuatan lama dari rejim otoriter Soeharto juga melakukan konsolidasi. Inilah yang dilawan oleh gerakan pro demokrasi di Indonesia sampai saat ini. Dan mahasiswa bersama rakyat menjadi salah satu elemennya yang melakukan konsolidasi dalam mewujudkan demokrasi di tanah air ini.
Sampai saat ini, konsolidasi demokrasi berlangsung kadang riuh rendah penuh gelora dan semangat, tapi kadang juga adem ayem, layu tanpa semangat. Berbagai kasus represi dan kekerasan menyulut gelombang aksi gerakan prodemokrasi yang bergelombang. Tapi secara sporadis gerakan itu juga begitu kencang tapi redupnya pun berlangsung cepat. Hangat-hangat tahi ayam. Konsolidasi ini berlangsung ”terpatah-patah” seperti goyangan dangdut, tapi bisa juga sporadis menggelora dengan stamina yang cepat habis. Meskipun ada lembaga-lembaga, individu dan gerakan-gerakan yang konsisten memperjuangkan ini, tentu jauh untuk mengalahkan bagaimana konsolidasi yang militan, tangguh dan cerdas yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi yang sedemikian canggihnya. Ditambah dengan politik opurtunis, bunglon, dan daya tarik kekuatan lama—kekuasaan, uang—yang mampu untuk merayu dan menyeret orang-orang di kekuatan demokrasi untuk bergabung dengan kekuatan otoriter dan antidemokrasi. Kasus-kasus masuknya aktivis mahasiswa menjadi caleg (calon anggota legislatif) atau masuk menjadi think-thank organisasi massa dan mesin politik kekerasan lama adalah sedikit contohnya.
Di sinilah simpang jalan kekuatan mahasiswa yang harus dihadapi, diterima, dan juga diatasi dengan optimisme untuk terus bergerak konsisten dalam perjuangan gerakan demokrasi di Indonesia. Jaringan dan simpul-simpul gerakan Prodem memang banyak tersebar di Indonesia, tapi tidak sedikit juga yang telah masuk dalam lingkaran kekuasaan dalam kontestasi dan polarisasi politik yang melibatkan kekuatan gerakan mahasiswa, tentara, negara dan birokrasi. Gerakan prodemokrasi sedari dulu menghadapi dilema untuk melanjutkan gerak langkahnya, menjaga konsistensi gerakan tanpa terjebak dalam lingkaran kekuasaan. Dalam dilema-dilema dan simpang jalan mau kemana inilah, gerakan prodemokrasi terus mencari bentuk, menguatkan dirinya, meluaskan jaringan gerakan, dan yang terpenting memang menjaga konsistensinya.

V
Aktivis pers mahasiswa meyakini bahwa pers mahasiswa adalah pers yang bersandar pada idealisme, pers yang kritis, sehingga punya potensi besar untuk melakukan perubahan (Didik Supriyanto, 1998: 113). Setiap generasi dalam setiap era, aktivis pers mahasiswa selalu mencatat keberhasilan seniornya yang dikristalkan menjadi sebuah mitos. Mitos yang punya kesamaan karakter dengan gerakan mahasiswa ini kemudian diwariskan kepada juniornya. Sehingga tidak jarang perjalanan pers mahasiswa di satu masa masih terhegemoni oleh keberhasilan generasi sebelumnya. Hal yang terjadi paska gerakan 1998.
Karakter khas mahasiswa adalah kaya dengan gagasan fundamental. Sayang, hanya sedikit dari mereka yang memberikan gagasan bagaimana mewujudkan ide fundamentalis. Tidak hanya teoritis tapi juga praktek. Gagasan dari gerakan mahasiswa, termasuk pers mahasiswa di dalamnya, seringkali terhenti pada tataran wacana. Tanpa ada penyikapan bagaimana wacana itu direalisasikan menjadi aksi konkret.
Hal ini diyakini juga menjadi salah satu penyebab gagalnya reformasi yang dicita-citakan mahasiswa. Grand design mahasiswa kala itu: turunkan Soeharto dan antek-anteknya. Tapi jarang ada yang berpikir, apa yang harus dilakukan setelah Soeharto jatuh. Mahasiswa tidak menyiapkan sebuah sistem baru untuk mengantikan kemapanan sistem militeristik ala Orde Baru. Bagaimana cara menghapus supremasi militer atas sipil sama sekali tidak terpikirkan. Bisa ditebak, hampir satu dekade reformasi bergulir supremasi sipil atas militer sebagaimana kondisi ideal yang diinginkan mahasiswa belum menjadi kenyataan.
Dalam konteks pers mahasiswa, ketika semua media informasi harus melewati kantor Menteri Penerangan, pers mahasiswa menjadi pers alternatif dengan berita-berita yang tajam dan lugas. Lihat bagaimana nasib Tempo, Detik dan Editor yang mengalamai nasib pembredelan. Bredel seolah-oleh menjadi hantu bagi independensi media dalam menghadirkan berita. Tugas pers mahasiswa kala itu tidak hanya bersifat informatif tapi juga sebagai media penanaman ideologi. Dia menjadi jembatan antara gerakan mahasiswa dengan realita politik serta kepentingan birokrat kampus. Pers mahasiswa terbentuk menjadi pers alternatif ketika pers mainstream dibungkam oleh Soeharto.
Ketika kran reformasi dibukan sebesar-besarnya, media massa diberi ruang gerak yang luas, mahasiswa dihadapkan pada pertanyaan: kemana kita harus melangkah? Pers mahasiswa, dengan karakter kuat mahasiswa di dalamnya, acapkali kebingungan menentukan langkah ketika diberi kebebasan untuk memilih. Kultur ketertindasan yang lekat selama ini menjadikan mahasiswa susah untuk menentukan gerak langkah. Kebebasan yang didapat tidak menjadikan pers mahasiswa berteriak girang namun lebih pada kebingungan pada penentuan sikap.
Kenyataan yang terjadi belakangan ini, pers mahasiswa nyaris kehilangan popularitasnya. Tidak banyak mahasiswa yang mengetahui eksistensi pers mahasiswa kecuali pengurus itu sendiri. Paling banter hanya dikenal sesama kalangan aktivis, baik di lingkungan kampus maupun kampus lainnya. Ibaratnya, hidup segan mati tak mau (Yanto, 2004). Itu baru satu persoalan diantara sekian persoalan yang dihadapi pers mahasiswa. belum lagi perpecahan ideologi di antara sesama penggiat pers mahasiswa itu sendiri yang tercermin dari pecahnya PPMI (Lukman Hakim Ariffin, 2000)
Menjawab tantangan di atas maka idealisme pers mahasiswa adalah kata kunci untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang harsu dilakukan pers mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari manusia berpendidikan (educated people) harus bisa menjalankan perannya sebagai elemen berperilaku jujur, tegas, lugas dan apa adanya. Pers mahasiswa bisa menjadi saluran untuk mengasah kepekaan sosial, berpikir secara obyektif kritis karena tidak terikat pemilik modal dan pemasang iklan. Prinsip jurnalisme pers mahasiswa menjadi acuan mahasiswa dalam menelaah dan menganalisi berbagai persoalan dari beragam perspektif. Publik bisa melihat, mempelajari dan menilai bagaimana berbagai nilai sosial yang disebut tadi seperti kejujuran, keksatriaan, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban diterapkan oleh pers mahasiswa bersama khalayaknya. Pada gilirannya nanti, para pelaku pers mahasiswa berikut audiensnya akan menjadi elemen masyarakat itu sendiri (Zulkarimein Nasution, 2007).
Dalam era keterbukaan ini, pers mahasiswa mesti mengawal kebebasan dalam praktek kebertanggungjawaban. Pers mahasiswa dilatih untuk memposisikan diri secara obyektif, menegakkan akurasi, menerapkan prinsip balance dalam pemberitaan dan tulisan serta menjauhi kabar bohong atau fitnah. Artinya, pers mahasiswa bisa menjadi lahan kondusif untuk menjiwai spirit pers sesungguhnya.
Untuk bisa menjadi saluran kritis pertama, pers mahasiswa harus back to campus dan menegaskan posisinya di lingkungan kampus. Dia tidak lagi menjaga jarak dengan mahasiswa sebagai basis. Pers mahasiswa bisa mengakomodasi kepentingan mahasiswa dengan menjadi oposisi terhadap kebijakan kaum elit kampus. Sebagai resistensi terhadap kebijakan kampus yang merugikan kepentingan mahasiswa, pers mahasiswa bisa membangun posisi tawar baik di kalangan mahasiswa maupun elit kampus itu sendiri. Kenaikan SPP, komersialisasi pendidikan, pemilihan rektor dan sistem pendidikan yang makin kapitalistik adalah isu strategis yang bisa diangkat. Dalam penyampaian pemberitaan pers mahasiswa mesti menyelipkan ideologi mahasiswa. Mahasiswa harus diprovokasi agar tidak menjadi robot atau budak dan perguruan tinggi tidak menjadi pabrik yang hanya menghasilkan manusia-manusia mekanik atau pekerja.
Kedua, setelah fungsi kontrol terhadap pemerintah diambil alih oleh pers mainstream, gaya pemberitaan pers mahasiswa bisa lebih bernuansa akademik. Pers mainstream umumnya lebih pragmatis sedangkan pers mahasiswa lebih idealis (Teddy Syah, dan M. Mulyana, 2004). Nilai-nilai inilah yang harus senantiasa dijaga oleh aktivis pers mahasiswa. Bagaimana menghadirkan pemberitaan dengan gaya akademis idealis adalah satu pertanyaan yang harus dijawab pers mahasiswa. Namun mesti diingat, meskipun datang dengan kemasan akademik, pers mahasiswa agar tidak melupakan semangat yang dibawanya yaitu spirit perlawanan. Pers mahasiswa bisa menjadi semacam pendidikan ideologis dengan analisis kritis yang sistematis. Keakuratan dalam pemberitaan menjadi syarat mutlak untuk bisa mengembalikan posisi pers mahasiswa. Pers mahasiswa bisa menjadi semacam lembaga investigatif untuk mengumpulkan segala informasi yang ada hubungannya dengan mahasiswa. Namun, pers mahasiswa harus berjalan di koridor independensinya sehingga tidak tidak terkooptasi oleh nilai-nilai di luar idealisme jurnalistik.
Ketiga, persoalan lain pers mahasiswa adalah periode terbit yang terlalu lama. Menjaga persoalan keberlanjutan terbit di tengah himpitan tugas kuliah adalah persoalan besar. Di sini dibutuhkan kebersediaan (willingness) mahasiswa untuk menunjukkan dedikasi dan loyalitas serta apresiasi terhadap aktivitas pers mahasiswa. Tanpa itu pers mahasiswa tidak akan bisa menentukan gerak langkah. Menjawab masalah ini, untuk mengkaver isu-isu monumental, pers mahasiswa bisa menghadirkan buletin bulanan. Media yang terbit secara konsisten akan memberi refleksi kepada mahasiswa terhadap kehidupan kampus. Kehadiran secara rutin bisa menjadi jam pengingat bagi mahasiswa akan kondisi kampus. Penting juga dicatat, kecenderungan mayoritas mahasiswa sekarang adalah semakin apatis dan apolitis. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pers mahasiswa untuk menghadirkan media dengan bahasa yang santai dan ngepop tapi tidak kehilangan esensi sebagai pers mahasiswa.
Keempat, tantangan terbesar pers mahasiswa sekarang adalah susahnya mencari kader yang militan dan loyalis. Pada awal perekrutan biasanya mahasiswa yang mendaftar kuantitasnya sangat banyak. Terlalu banyak malah. Tapi, seiring berjalannya waktu, satu persatu kadeer-kader ini menghilang ditelan hingar bingar kehidupan kampus dan kewajiban akademik. Menjadi kewajiban aktivis pers mahasiswa untuk menanamkan ideologi pers mahasiswa. Bagaimana mendoktrinasi para kader muda untuk bisa tetap eksis. Pelatihan jurnalistik yang dilakukan tidak hanya bersifat pengenalan teknik jurnalisti. Tapi lebih penting mengajarkan esensi peran dan fungsi pers mahasiswa.
Kelima, untuk melepaskan diri dari jeratan rektorat sebagai penyuplai dana, pers mahasiswa bisa memaksimalkan tim marketing yang dimiliki. Tentunya, kepercayaan pihak pengiklan harus dibayar dengan rutinitas dan kontinuitas terbit. Paling tidak hal ini akan meminimalisir ketergantungan pers mahasiswa terhadap rektorat.
Terakhir, tidak ada alasannya bagi pers mahasiswa untuk mati. Ada beragam isu yang bisa dikelola oleh pers mahasiswa. Pengelola pers mahasiswa untuk bisa melihat persoalan dari beragam perspektif. Sense of crisis ini yang telah hilang dari pers mahasiswa sehingga seolah-olah mereka kehabisan isu. Pers mahasiswa tidak harus terhegemoni dengan kebesaran pendahulunya. Pers mahasiswa harus berani memainkan isu kampus maupun isu lokal. Jika isu-isu strategis isu dimanajemen dengan baik niscaya posisi pers mahasiswa akan tetap diperhitungkan. Jangan sampai muncul idiom di aktivis pers mahasiswa ‘patah tidak tumbuh hilang tidak berganti’. Di samping mencari bentuk ideal, tugas pers mahasiswa adalah berjalan mengikuti keinginan mahasiswa itu sendiri. Entah nanti pers mahasiswa bisa dikelola secara profesional atau tidak adalah persoalan lain. Profesionalisme ini akan hadir seiring manajemen redaksi yang baik atau politik redaksi yang tegas. Persoalannya, beranikah pers mahasiswa bersikap?




Daftar Pustaka

Siregar, Amir Effendi, 1983, Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta, PT Karya Unipress.

Sedayu, Agung, 2005, Advokasi Oleh dan Untuk Pers Mahasiswa (Mempertegas Sikap dan Peran Pers Mahasiswa). Makalah disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Lanjut Nasional oleh LPM Jumpa Bandung 17-21 April 2005.

Supriyanto, Didik, 1998, Perlawanan Pers Mahasiswa. Protes Sepanjang NKK/BKK, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Dhakidae, Daniel, 1977, “Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers”. Prisma 10, Oktober 1977

Abdulhamid Dipopramono. “Konsistensi Konseptual Gerakan Mahasiswa dan Posisi Kelompok Studi” Kompas 26 April 1989.

Yanto. “Nasib Tragis Pers Mahasiswa”. Mahasiswa FE Universitas Muhamadiyah Malang. Artikel Pendidikan Network. 13 Oktober 2004

Lukman Hakim Arifin. “Cerita Panjang dari Lombok”. Balairung Edisi 32/Th.XV/2000.

Zulkarimein Nasution. Aktualisasi dan Peran Pers Mahasiswa dalam Era Kebebasan Pers. Makalah disampaikan pada Forum Fasilitasi Peningkatan Pers Mahasiswa di Semarang, 6 April 2007.

Teddy Syah, dan M. Mulyana, Ketua Unit Pers Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPM-UPI). Lihat Pers Kampus Harus Reposisi. Mengubah Paradigma, dari Radikal Menjadi Akademis. Pikiran Rakyat edisi Jumat 7 Mei 2004.

Gie Soe Hok, 1997, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

-----------, Soe Hok, 1995, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

-----------, Soe Hok, 1995, Catatan Harian Seorang Demonstran, Jakarta, LP3ES.

Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, 1996, Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Jakarta, Mizan.

Haryanto, Ariel, 2000, Media, Nasion, dan Sejarah dalam Dedy N. Hidayat, Effendi Gazali, Harsono Suwardi, Ashadi SK (ed), Pers dalam “Revolusi Medi”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Penerbit Gramedia.

Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi, Ashadi SK (ed), 2000, Pers dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Penerbit Gramedia.


Biodata

Agus Purnomo, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Menjadi Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana periode 2006-2007 dan 2007 -2008.

I Ngurah Suryawan, Mahasiswa S2 Kajian Budaya Universitas Udayana. Menjadi Pemimpin Redaksi Pers Kampus Akademika Universitas Udayana periode 1998-1999 dan 1999-2000.

Tidak ada komentar: