Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Di Tepi Gemerlap Dewata

Di Tepi Gemerlap Dewata

(Sweeping Penduduk Pendatang Pasca Bom Bali 2002 dan 2005)

I Ngurah Suryawan

Program Kajian Budaya, Universitas Udayana, bali

ngurahsuryawan@gmail.com

ABSTRAK

Pasca Bom Bali 2002, banyak pergolakan dan reaksi-reaksi yang berkembang di Bali. Guncangan Bom di Jalan Legian Kuta itu meluluhlantakkan pondasi pariwisata dan keamanan di pulau sorga ini. Tidak hanya ratusan nyawa yang melayang—yang kemudian dibuatkan monumen peringatan—juga ribuan masyarakat Bali yang bekerja di sektor pariwisata harus kehilangan pekerjaannya. Hotel-hotel tutup dan industri pariwisata macet total.

Pariwisata dan kebudayaan yang menjadi urat nadi dan jantung ekonomi mengalami ancaman keamanan. Pelakunya adalah para “teroris” yang ingin merusak sorga Bali yang dibangun dengan jerih payah. Setelah itu, muncullah para pelaku teroris di media massa, yang kemudian bagi orang Bali disebut dengan nak jawa (untuk mengeneralisai para pendatang semua berasal dari daerah Jawa).Sontak masyarakat Bali tersadar, mengkonsolidasikan diri, menyatukan persepsi dan tekad untuk melakukan penertiban penduduk, sweeping kepada para pendatang.

Pasca Bom Bali 2005 yang merobohkan semangat untuk bangkit dari keterpurukan, tim penertiban makin solid dan gencar terbentuk dalam satuan Tim Penertiban Pendudukan Pendatang di setiap Desa Pakraman (desa) dengan melibatkan satuan pengamanan tradisonal pecalang. Maka saban malam Tim Penertiban ini melakukan aksi sweeping ke daerah-daerah yang mereka curigai sebagai sarannya para penduduk pendatang.

Tim Penertiban ini akan memberlakukan kartu identitas penduduk sementara dan sudah tentu membayar iuran administrasi yang tidak murah. Hasil dari uang penertiban itu akan dibagi-bagikan kepada para lembaga-lembaga adat, organisasi perempuan dan karang taruna. Sebagian dipergunakan untuk membiayai ritual, kegiatan rutin desa dan rencana pembangunan balai desa.

Teror (bom) yang menimpa Bali dibalas dengan reaksi melakukan sweeping, razia kepada penduduk pendatang. Masyarakat Bali seolah menunjukkan dirinya “cinta damai” dengan melakukan perang puputan (sampai titik darah penghabisan) dan nindihin (membela hingga mati) Bali. Tapi dibalik itu semua, perang melawan teroris tersebut menghilangkan sisi kelam Bali ketika sesama saudara saling bunuh di tahun 1965.

Paper ini berusaha untuk menuturkan kisah-kisah sweeping penduduk pendatang, terutama di daerah jantung pariwisata, Kuta. Dan bagaimana juga pengelolaan, terutama keuangan dan ledakan penduduk yang dilakukan oleh Desa Adat di Bali.

Tidak ada komentar: