Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Pecalang Politik dan Jagoan Lokal

Wajah Kekerasan dan Siaga Budaya di Bali



Berlangsungnya Kongres ke II PDIP (Partai Demokrasi Indoensia Perjuangan) di Bali, 29 Maret-3 April 2005 lalu tidak sampai dilewatkan oleh Putu Sujana, pekerja bengkel yang dikenal fanatik sebagai pendukung setia partai moncong putih ini. Informasi mengenai PDIP menjelang kongres tidak dilewatkannya. Sebagai salah satu pendukung kelompok status quo, Putu sangat sinis memandang gerakan pembaharuan di tubuh PDIP. “Nike (Itu) barisan sakit hati saja,” ungkapnya enteng.[1]
Kepada saya dengan bangga dia menunjukkan ID Card menjadi satuan pecalang yang bertugas di ring satu tempat kongres di sebuah hotel mewah di daerah Sanur Bali. “Tiang bertugas di terminal mengatur kedatangan pengembira dan langsung ke ring satu kongres,” katanya sembari melihat-lihat lagi ID Cardnya.[2] Putu sangat semangat menjadi pecalang, satuan pengaman adat di Bali. Bukan hanya pada kongres kali ini, tapi kongres sebelumnya ia bertugas di lapangan tempat apel akbar massa banteng merah ini untuk mendengar pidato politik Megawati Soekarnoputri tahun 1999. Putu tidak hanya menjadi satuan pecalang PDIP. Di banjarnya (desanya), Putu adalah anggota pecalang desa adat dan tim pendataan penduduk pendatang. Tugasnya setiap minggu adalah merazia penduduk liar dan memungut iuran bagi pendatang.
Putu adalah potret sebagian besar anak muda Bali ketika kepincut untuk menjadi gagah dengan berpakaian pecalang dan satuan sweeping bagi penduduk pendatang. Saya masih ingat saat semua anak muda Bali bergairah menjadi Satuan Tugas (Satgas) dan satuan pecalangnya PDIP saat kongres PDIP I di Sanur 1999.[3] Bahkan sampai ke banjar-banjar, seruan dan ajakan menjadi pecalang, disambut hangat anak muda Bali waktu itu. Dalam bayangan mereka, pecalang PDIP keren dan nampak gagah mengatur orang menyamai tugas polisi. Kata seorang teman berseloroh, saat itu pecalang PDIP adalah “polisi bayangan” atau bahkan melebihi kekuasaan polisi saat itu dan mungkin sampai saat ini.
Unjuk kekuatan pecalang dalam mengamankan kongres nyata saya lihat saat Jumat sore, 18 Maret 2005 lalu saya melihat apel akbar satuan pengamanan tradisonal ini untuk mengamankan kongres. Para calon pecalang (politik) kongres II PDIP melakukan unjuk kekuatan dengan gladi kotor pengamanan kongres nanti. Kurang lebih 700 pecalang akan dilibatkan dalam pengamanan di ring satu areal Grand Bali Beach, tempat berlangsungnya kongres nanti. Dalam rencananya, para pecalang akan berdandan layaknya para pecalang yang mengamankan pelaksanaan Melasti (ritual para Dewa memohon tirta suci ke pantai) dan Nyepi Maret 2005 lalu.
Saat menyaksikan kongres PDIP baru-baru ini, saya sungguh nyata melihat bagaimana wibawa pecalang berbaju merah berlambang PDIP, dilengkapi dengan kain merah hitam berlogo PDIP, keris dipunggung dan handy talkie (HT) jelas menampakkan kegagahannya. Mereka bergerombol diperempatan jalan menuju kongres, mengatur massa dan meneriaki massa yang bandel. Sementara polisi berada dibelakang mereka.Perintah pecalanglah yang didengar oleh massa, sementara polisi selalu menerima cibiran. Saat bentrok antar massa Megawati dengan pembaharuan di tubuh PDIP, semua kelompok menurunkan satgas dan pecalangnya masing-masing.
Pasca kongres yang kembali mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum PDIP, semakin mengentalkan bahwa Bali adalah basis massa kuat PDIP. Bukan hanya kesuksesan PDIP yang kemudian memborong semua jabatan penting di kabupaten (Bupati) dan Walikota di Bali—disamping mayoritas anggota DPRD Bali, kabupaten dan kota dari kader PDIP—,tapi naik daunnya pecalang membawa wacana penting dalam politik kebudayaan Bali. Pecalang menjadi kata sakti dan jaminan keamanan Bali. Serta merta setelah melihat keberhasilan pecalang dalam mengamankan kongres PDIP I dan kembali diulangi pada kongres ke-II, desa-desa adat seluruh Bali seperti keranjingan membuat satuan-satuan pecalang. Lebih daripada itu, pecalang bahkan dibuatkan posko, dibelikan peralatan lengkap dalam tugas, bahkan disediakan mobil patroli oleh desa adat. Pecalang juga bertugas melakukan patroli keamanan desa. Dalam wilayah kekuasaan desa adat, toko-toko diwajibkan menyumbang untuk dana jaga baya (uang keamanan) untuk operasi satuan pengamanan tradisional ini. Pecalangpun menjadi tenaga keamanan dalam razia penduduk pendatang, sweeping, bahkan untuk menjaga pesta perkawinan dan konser-konser musik.
Awal munculnya pecalang untuk kepentingan (politik) pengamanan kongres ternyata berbuah manis. Pecalang menjadi berkembang tugasnya dalam banyak sisi. Lalu bagaimana tugas pecalang secara adat? Para penekun adat pernah menyatakan bahwa tugas pecalang adalah untuk mengamankan pelaksanaan upacara adat didesanya. Selain pecalang, dulu ada istilah sikep, dolap untuk pengamanan adat ini. Tapi kini, maraknya pecalang melakukan razia juga mendapat pembenar; pecalang bertugas untuk menjaga adat dan budaya Bali dari pengaruh luar. Pecalang adat dan politik akhirnya bergulat dalam kepentingan yang sama, bagaimana mempertahankan dan menjaga kebudayaan Bali dari pengaruh luar. Dengan kehadiran pecalang dalam wacana Ajeg Bali, adalah sebagai sistem pengamanan penting untuk menguatkan, mengokohkan dan yang terpenting menjaga kebudayaan Bali tetap lestari, indah dan damai.
Satuan pengamanan, berikade, milisi dalam setiap partai adalah perangkat yang tidak bisa dilepaskan. Kehadiran pecalang menjadi menarik karena masuknya simbol adat dan kebudayaan (Hindu-Bali) yang diperankan oleh pecalang. Busana pecalang mencerminkan bagaimana simbol adat, kebudayan dan politik menjadi relasi yang sangat kuat. Pecalang bukan Satgas (Satuan Tugas) partai dengan pakaian kebesaran layaknya milisi tempur. Tapi pecalang adalah pengamanan tradisional dengan busana adat dan budaya Bali yang diperanakan seperti berikade, milisi untuk mengamankan acara partai.
Pecalang dalam Kongres PDIP menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan akan Bali. Pecalang menjadi wacana menarik karena kemudian dalam konteks politik keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan dalam partai atau pertarungan geng dan preman. Pecalang menjadi satuan petarung pengamanan yang pasti ada dalam setiap areal konflik dan sengketa di Bali.

Pecalang, Milisi dan Jagoan Lokal
Di sebuah pasar tradisional terbesar di Denpasar, pasca terjadinya perusakan kantor kepala pasar oleh sekelompok (preman) orang tidak dikenal, dibentuklah satuan pengamanan untuk pasar tersebut. Sahabat saya seorang pedagang di pasar tersebut bercerita dengan polos. “Saya lihat rompinya bisa dibolak-balik. Kadang bertuliskan “Satgas Pasar” dan jika dibalik bertuliskan “Pecalang Pasar”.” ujarnya. Orangnya sebenarnya sama saja, Cuma berubah rompi dan sudah pasti berubah busana.
Pecalang sering dikritik berlaku arogan dan seenaknya untuk menutup jalan. Pecalang juga sering memantik konflik dengan peringai mereka yang kasar dan sok kuasa. Ini dirasakan sekali saat pecalang melakukan pengamanan untuk upacara adat. Bukannya untuk mengamankan, bahkan menimbulkan masalah untuk diamankan. Pecalang sebagai satuan pengamanan tradisional memang tidak siap dan memang tidak dilatih untuk melakukan pengamanan yang biasa dilakukan oleh polisi. Kesan pecalang sebagai penjual jasa keamanan terlihat jelas dari kepentingan desa adat untuk memungut biaya penduduk dinas (pendatang). Ini juga dilema yang dihadapi desa adat. Mereka jelas berorientasi untuk materi untuk menghidupi kegiatan-kegiatan adat dan budaya di desa. Sementara mereka juga harus berlaku keras dengan merazia penduduk yang membludak dating ke daerah mereka. Pecalang menjadi senjata utama untuk melakukan razia tersebut dibantu oleh Tim Pendataan Penduduk di masing-masing desa. Aksi mereka inilah yang banyak dikeluhkan oleh penduduk pendatang. Saat malam-malam, mengedor rumah untuk memeriksa KTP dan sikap keras dan arogannya.
Pecalang juga kata sakti untuk melakukan pengamanan di daerah-daerah “basah”, rawan konflik dan pertarungan preman. Daerah-daerah seperti pasar, terminal, kafe-kafe juga telah mempekerjakan pecalang disamping Satpam (Satuan Pengamanan). Saya melihat dengan jelas di sebuah rumah makan siap saji di Denpasar, pecalang bersanding dengan Satpam untuk mengatur kendaraan yang parkir penuh di rumah makan tersebut.Begitu juga dengan pasar dan terminal. Para preman biasanya dengan mudah mengubah dirinya menjadi pecalang dengan simbol adat untuk menguasai daerah kekuasaan mereka dari preman lainnya.
Peran hampir mirip dilakoni oleh para milisi, organisasi massa yang kadang juga menjadi pecalang di desanya. Tempat-tempat strategis dan potensial untuk perebutan sumber ekonomi ini bisa di terminal, tempat-tempat keramaian dan hiburan seperti kafe-kafe, diskotik menjadi sasaran dari para milisi dan organisasi massa ini. Bisa juga pasar tradisional bahkan yang lumrah terjadi pengerahan kelompok/organisasi kekuatan massa untuk kepentingan politik saat pesta demokrasi pemilu, kampanye dan Satuan Tugas (Satgas) partai politik. Para kelompok massa—yang biasanya dikomandoi oleh orang kuat lokal dengan sejarah perkelahian dan kekuasaannya—biasanya memilih untuk menjadi tenaga pengaman dalam sebuah aktivitas partai politik. Kampanye Pemilu 2004 lalu di Bali memberikan gambaran bagaimana pertarungan jasa pengamanan dari kelompok organisasi massa ini. Bukan hanya pertarungan elite politik saja yang mendapat tempat, tapi juga tenaga pengaman, satuan jagoan, para milisi yang ditugaskan untuk menjaga para elite partai dan mensukseskan kegiatan partai politik tersebut. Jadi bukan hanya jasa dari pecalang saja, tapi jasa para milisi dan organisasi massa juga berperan sangat penting.
Beberapa kelompok massa dengan kekuatan dan jasa pengamanan itu di Denpasar misalnya sangat jelas terpetakan. Laskar Bali, sebuah organisasi massa di Denpasar memilih untuk menjadi tenaga pengamanan dalam kampanye-kampanye PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) pimpinan putri Soeharto, Mbak Tutut dan pensiunan Jendral R. Hartono. Kiblat organisasi massa ini mengarah ke PKPB tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya Laskar Bali dan kedekatan dengan keluarga Cendana. Dalam setiap kampanye, pasukan Laskar Bali biasa mengenakan seragam kaos berwarna coklat tua mirip kaos tentara bertuliskan “Laskar Bali Peduli Bangsa”. Badan para pengawalnya kekar-kekar hasil latihan dari banyaknya fitnes centre dan body building yang tersebar sampai ke pelosok desa-desa di Bali. Politik kejantanan dan kekarnya tubuh menjadi image yang sangat berharga bagi para satuan pengamanan ini. Dengan badan yang kekar, istilahnya terus “terkunci” menjadi modal untuk membuat seram, gawat dan berwibawanya satuan pengamanan ini.
Sejarah perkelahian dan kebrutalan dari Laskar Bali ini terlihat jelas dari daerah kekuasaan para tenaga keamananan ini untuk menguasai tempat-tempat hiburan malam (kafe dan diskotik) di daerah Denpasar. Asumsi ini mendapatkan bukti ketika kerjadi penusukan dalam sebuah keributan di sebuah diskotik di bilangan Denpasar. Dari keributan itu, seorang tentara tewas tertebas pedang dari anggota Laskar Bali. Usaha memperebutkan lahan basah sumber penghasilan ekonomi memicu terjadi pertarungan dan tragedi kekerasan di depan mata. Kekerasan itu sangat brutal ditunjukkan di depan mata masyarakat.
Masih di kota Denpasar, terdapat juga sebuah organisasi massa yang “semi legal” bernama FPD (Forum Peduli Denpasar). Deklarasi forum pada 20 November 2002 mendapatkan liputan media yang besar. Sebuah media berpengaruh di Bali bahkan melakukan wawancara mendalam dengan ketua FPD, Sutama Minggik sepanjang satu halaman. Dalam pendeklarasian forum ini turut hadir Walikota Denpasar,AA Pusapayoga, kalangan pemerintah, elite politik, intelektual dan tokoh masyarakat. Dalam susunan pengurusnya yang dimuat di koran tersebut tertulis bahwa pelindung organisasi ini adalah Walikota Denpasar. Sedangkan penasehatnya adalah kalangan intelektual di Bali. Kiprah organisasi ini kemudian memilih untuk bergabung ke PDI Perjuangan dalam Pemilu 2004 dan tetap menguasai lahan-lahan “basah” di kota Denpasar.
Fenomena terbentuknya organisasi ini sangat menarik karena mendapatkan restu dan perlindungan dari pemerintah dan birokrasi. Dalam setiap pertarungan dan kontestasi politik, para pejabat dan elite politik merasa belum percaya diri sebelum didekkingi (dilindungi, mendapatkan pengawalan dan jasa pengamanan) dari para jagoan, milisi atau “memelihara” preman. Bahkan gejala untuk “memelihara” para jagoan-jagoan lokal ini menjadi bukti bagaimana saling menguntungkannya hubungan antara para jagoan dengan elite politik, pemerintahan dan birokrasi. Kehadiran para jagoan ini sebagai berikade dari tokoh politik atau masayrakat jika diserang oleh lawan politiknya dengan kelompok jagoan dan massa yang lain. Satuan tempur adalah salah satu sebutan dari kelompok para jagoan ini. Atau dalam spesifik sering disebut, “anggota FPD, barisan Laskar Bali atau orangnya Winasa (Bupati Jembrana)”[4]
Para milisi dan preman menjadi sebuah kekuatan yang bisa tumbuh sumbur dan disemai benihnya oleh kekuatan-kekuatan negara untuk kemudian dijadikan kepentingan politik kekuasaan. Contoh-contoh dari pecalang yang dilatih oleh polisi serta kekuatan-kekuatan tentara dalam satuan dan jasa pengamanan sudah menjadi rahasia umum. Kasus para militia saat pembantaian massal PKI di Bali menunjukkan itu semua. Para tameng--barisan pemuda dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang dilatih tentara untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI—dijadikan bemper untuk mengadu domba rakyat, sementara tentara menyaksikan bagaimana brutalnya pembantaian dilakukan tanpa kejelasan dan alasan yang tepat. Sentimen, masalah pribadi, masuk menjadi benang kusut yang kemudian menjadi antitesis pembantaian ’65 bukanlah sebuah genocide yang terencana tapi juga hasil sebuah pertarungan, kontestasi, politik kepentingan ritual, status, tanah dan segala macam konflik yang lama terpendam. Setelah tameng melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI, selanjutnya para tameng ini yang dibunuh oleh tentara karena mereka juga menjadi daftar hitam serta untuk melenyapkan jejak-jejak kesaksian mereka.
Sejarah tameng kemudian diikuti oleh terbentuknya milisi-milisi yang secara sumir sebenarnya menyiratkan semua itu. Tidak hanya di Denpasar tapi di seluruh kota-kota kabupaten di Bali kini telah tumbuh subur barisan-barisan para jagoan yang berkiprah dalam kepentingan politik ataupun hanya sekadar menjual jasa pengamanan untuk ekonomi dan politik. Terbentuknya organisasi ini salah satunya disebabkan karena sejarah perkelahian dan ketokohan dari ikon preman dan jagoan di tempat tersebut. Gambaran itu jelas terjadi saat pembentukan Garda Buleleng[5] di kabupaten utara pulau Bali, Buleleng. Terbentuknya barisan yang diisi oleh para bebotoh (penjudi), sekaa tajen (kelompok sabung ayam) menggambarkan bagaimana komposisi kelompok dan anggotanya. Cikal bakalnya adalah dari massa si ketua organisasi yang sebelumnya adalah tokoh dalam perjudian dan sabung ayam.
Trio kuat motor dan jiwa kelompok ini terkenal dengan sebutan KoKaR (Koyan, Kajar, Rama), tiga nama yang bersatu dan membentuk sebuah organisasi massa yang sangat disegani di Buleleng. Bahkan dalam pendeklarasian organisasi ini, Bupati Buleleng, Putu Bagiada hadir dan ditampuk sebagai pelindung organisasi ini. Garda Buleleng dalam Pemilu 2004 bernaung dibawah partai PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) dan karena sudah uzur, trio KoKaR kemudian menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putra-putra mereka yang kini ada yang menghuni anggota DPRD Buleleng. Daerah lainnya ada DPM (Dewan Perwakilan Massa) di Kabupaten Karangasem. Motornya adalah anggota DPRD Kabupaten Karangasem dari PDIP, Kari Subali. Anggota massa DPM ini sering melakukan tekanan kepada instansi pemerintahan dalam menyelesaikan sebuah kasus.
Berperannya para jagoan, milisi dengan gaya teror dan kekerasan didepan mata diakomodasi oleh negara untuk melakukan tekanan kepada masyarakatnya. Negara menjadi bagian yang sangat diuntungkan dalam konteks seperti ini. Negara akan dengan senang hati menaungi para kelompok jagoan ini untuk kemudian melakukan pelenyapan terhadap gerakan kritis lainnya. Politik adu domba dan menghorizontalkan konflik adalah gaya pemerintah untuk menyaksikan dengan gembira bagaimana konflik dan kekerasan terjadi di antara kelompok preman dan masyarakat. Padahal negara menjadi sebuah kontestan yang penting sebagai dalang dari sebuah skenario tadi. Tapi, memang tidak mudah untuk menjelaskan teori kuasa negara yang begitu konspiratif dan “besar”. Ada baiknya untuk mengurai dan mendetailkan kembali bagaimana operasi bekerjanya para jagoan, milisi dan preman tadi dalam kontestasi politik yang ada dalam konteks lokal. Operasi mereka tentu menyentuh pada kepentingan politik dan ekonomi yang menaungi mereka (peliharaan bupati, elite politik dan lainnya). Saya sangat yakin operasi dan jaring kerja mereka akan kelihatan ketika momen Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) terjadi di tanah air ini. Sejarah pelenyapan dan pemujaan adalah kata yang tepat untuk mengilustrasikan hubungan antara kekuasaan dengan para jagoan-jagoan lokal ini. Kontestasi politik menyebabkan hubungan mereka terus bergeser dalam hitungan-hitungan kepentingan yang mereka ukur sendiri.

Siaga Budaya dan Politik Kewaspadaan
Sebuah banjar di pusat kota Denpasar mendadak menjadi terkenal awal tahun 2005 lalu. Bukan terkenal karena memenangkan Pecantokan Desa Pakraman, lomba desa yang digelar pemerintah daerah untuk menunjukkan potensi desa tersebut untuk mempertahankan adat, budaya dan agama. Ini kabar yang menyakitkan, desa mereka identik dengan tempat prostitusi dan transit para pengedar untuk transaksi narkotika. Belum lagi image yang sangat kental, sarangnya preman bertarung mencari penghidupan dan lahan kekuasaan. Krama (warga) desa gerah, mereka sepakat melalui paruman (rapat) desa akan melakukan razia, sweeping karena situasi gawat yang mengancam, merusak dan mencemarkan citra daerah mereka. Menyebut daerah mereka adalah citra sarangnya pelacuran. Maka kinilah saatnya masyarakat adat seluruhnya tanpa kecuali memberantasnya.
Saya yang berada dalam rombongan tersebut melihat bagaimana sigap dan ganasnya para pecalang bersama Hansip (Pertahanan Sipil) serta puluhan krama adat lainnya merazia tempat yang mereka curigai melakukan praktek prostitusi. Dan memang benar, dalam semak-semak pohon, berhamburanlah perempuan dan laki-laki. Mereka panik dihardik para pecalang dan krama adat yang melakukan razia menggunakan pakaian adat Bali. Selanjutnya saya mendengar cerita, bukan hari itu saja, tapi tiga hari berturut-turut razia itu itu dilakukan. Dan kini meluas sampai merazia rumah-rumah penduduk disekitarnya. Memeriksa identitas diri dan menanyakan pekerjaan. Jika tidak bisa menunjukkan identitas, “penduduk liar” ini akan dibawa ke banjar, disuruh membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk), membayar iuran surat tinggal sementara dan kembali dibebaskan.
Cerita-cerita razia, penggerebekan seperti itu—dan mungkin banyak peristiwa lain lagi di seluruh pelosok Bali—sering kita dengar dan baca di media-media lokal di Bali pasca Bom Bali Oktober 2002. Selama hampir 2 tahun lebih, aksi yang diistilahkan oleh pemerintah daerah di Bali ini adalah “penertiban penduduk” dirasa penting untuk memulihkan keamanan di Bali. Pasca Bom Bali, masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (warga tamu). Akses dan perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia dan penggerebekan tadi. Politik kecurigaan dan siaganya masyarakat Bali terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil diseluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas” Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.
Bali menyisakan lubang menganga bagaimana politik kewaspadaan dan kecurigaan itu tumbuh sumbur di Pulau Seribu Pura Sejuta Ruko ini. Benar ada yang mengatakan bahwa Bali tercipta dari pengingkaran sejarah masa lalu, bagaimana kebudayaan Bali tercipta kini tidak terlepas dari pengaruh, jejak-jejak sejarah sebelumnya. Bali paling cepat untuk bereaksi dan menghakimi orang yang dituduh komunis misalnya di tahun-tahun mencekam 1965-1969. Hingga pembantaian, penyembelihan terhadap nyama (saudara) sendiri terjadi di Bali. Penyembelihan dengan cara sederhana, dengan keringat dan alat seadanya, menewaskan kurang lebih 80.000 orang Bali adalah harga mahal yang harus dibayar atas nama kewaspadaan.[6] Semuanya atas nama kewaspadaan, kecurigaan dan kesiagaan akan bahaya dan hantu-hantu komunisme yang tak pernah terbukti. Berikutnya, reproduksi politik kewaspadaan dan kecurigaan itu terus tumbuh subur saat negara bertambah kuat saat orde baru berkuasa pasca 1965. Stigma sampah masyarakat bagi mantan aktivis komunis terus dipelihara dan politik kewaspadaan muncul dalam jargon Awas Bahaya Laten Komunis dan cap-cap komunis bagi anak muda yang coba kritis terhadap kekuasaan. Dan akhirnya, orang Bali melupakan dan kembali menerapkan kewaspadaan baru; perusak kebudayaan Bali.
Politik kewaspadaan baru ini terbilang mempan untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. [7] Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga ditengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman didalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali?
Disinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakn jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya[8]. Negara secara terus-menerus mensubversi dengan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali tadi menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bagunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).[9]
Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya.
Ajeg Bali dan politik kewaspadaan dan curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, sasaran-sasaran.[10]


Yogyakarta, Kamis 14 April 2005


[1] Wawancara saya dengan Putu Sujana, 23 April 2005.
[2] Satuan pecalang memiliki ID Card khusus yang menarik dengan latar belakang merah dan lambang PDIP. Juga dilengkapi dengan foto dan tandatangan dari bagian keamanan panitia Kongres II PDIP di Bali.
[3] Saya masih ingat, ajakan menjadi pecalang dalam Kongres I PDIP sampai pada rapat-rapat desa dan sudah pasti dalam rapat-rapat sekaa teruna (organisasi pemuda desa) untuk merekrut pecalang ini.
[4] Bagian dari tulisan ini banyak dieksplrasi dari catatan lapangan riset kecil saya Broker Kekerasan: Pecalang, Satgas dan Preman di Bali. Naskah belum dipublikasikan.
[5] Catatan tentang Garda Buleleng dari hasil catatan lapangan dan wawancara di Kabupaten Buleleng, Oktober 2004.
[6] Pembantaian massal yang dituduh anggota dan simpatisan PKI 1965—1966 sebenarnya bisa menguraikan bagaimana setting Bali dulu dan kini. Tragedi kekerasan yang masif saat itu sungguh luar biasa terjadi. Selanjutnya entah hilang kemana dengungan bayangan kekerasan itu ditelan glamournya rayuan Golkar dan manisnya kue pembangunan saat orde baru 1966. Sungguh sejarah yang hilang dan terpotong. Khusus untuk Bali, rekaman sejarah itu setidaknya bisa dipakai sebagai titik tolak untuk membongkar setting Bali kini yang dibentuk oleh orde baru dengan stabilitas dan normalisasinya. Lebih lengkap studi tentang pembantaian PKI di Indonesia (Bali) diantaranya lihat Soe Hok Gie, artikel dalam Zaman Peralihan, Bentang 1995. Geoffery Robinson, The Dark Side Of Paradise, Ithaca and London: Cornell University Press 1955, Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Gramedia 2000.
[7] Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.
[8] Jargon dan proyek paling berhasil dari rezim pembangunan orde baru untuk menciptakan Bali sebagai laboratorium bagaimana pembangunan bisa diselaraskan dengan pariwisata dan budaya. Dan juga negara menjadi pengatur utama gerak langkah pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya di Bali.
[9] Diskusi lewat surat elektronik dengan Degung Santikarma, Juli hingga September 2004. Dikutip dari tulisan Budaya, Kuasa dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan.
[10] Haryatmoko dalam Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Tidak ada komentar: