Who am I

Who am I

Rabu, 09 April 2008

Kerusuhan Buleleng 1

Kompas, Sabtu 08 November 2003

Kerusuhan BulelengPolitik Hanya Salah Satu Kendaraan Konflik

HARI Minggu (26/10) merupakan "Minggu Berdarah" bagi orang Bali. Ini terkait dengan kerusuhan yang meledak di Kabupaten Buleleng, 120 kilometer utara Kota Denpasar, Bali, sekitar tiga pekan lalu itu. Fakta lapangan menggambarkan konflik hingga menelan dua korban tewas-Putu Negara dan adiknya, Ketut Agustana-adalah kerusuhan antara massa berkostum merah (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P) dan massa berkostum kuning (Partai Golkar). Diikuti pemberitaan meluas oleh berbagai media, opini terbentuk lalu menyebutnya sebagai kerusuhan politik.
AKAN tetapi, peserta diskusi justru tidak senada dengan opini publik yang menyebutkan Minggu Berdarah (Buleleng) sebagai sungguh-sungguh konflik politik. Mereka bahkan dengan tegas menyebutkan bahwa konflik di tiga titik di Buleleng itu bukanlah konflik politik. Yang terjadi, politik dipakai sebagai sekadar kendaraan atau media melampiaskan benih konflik atau dendam bawaan masa lalu!
Seperti tergambar dalam diskusi, politik atau partai politik (parpol) sesungguhnya hanya salah satu kendaraan yang digunakan orang Bali untuk membalas dendam masa lalu. Kebetulan saat ini politik pada posisi mirip sebuah muara yang mampu mengintegrasikan berbagai potensi massa yang ada. Karena itu, posisinya itu sangat potensial menjadi pemicu terjadinya konflik. Tapi, di Bali, konflik berdarah bisa bahkan juga sering terjadi melalui media atau kendaraan lain. Selain melalui parpol, konflik itu bisa terjadi lintas banjar, antardesa, bahkan tidak jarang hanya karena persoalan sepele.
Bercermat dari sisi kultural, terungkapnya potensi konflik di lingkungan orang Bali sebenarnya sudah terlihat sejak zaman Bali Kuno. Berbagai kekerasan dapat dilacak, antara lain melalui sejumlah prasasti tuanya. Prasasti Tumbu (1826) dan sejumlah prasasti lainnya, misalnya, isinya mencatat konflik masa silam itu.
Sumber prasasti tua itu juga menggambarkan konflik internal Bali akarnya bersumber dari rasa tidak puas serta ketidakcocokan, apakah di antara sesama mereka atau antara desa satu dan desa lainnya. Kalau masyarakat terjebak dalam konflik seperti ini, solusi yang dibangun adalah dengan pemekaran desa atau diberikan hak teritorial. Dari gambaran ini jelas bahwa solusi yang dibangun justru tidak menyelesaikan persoalan. Benih konflik justru dipendam dan tetap dibawa.
Namun, catatan lain menyebutkan bahwa orang Bali di waktu lampau memiliki kelebihan. Mereka ternyata cukup antisipatif. Yang dilakukan adalah dengan membangun sejenis lembaga pengintegrasi yang dipastikan sebagai tempat bertemunya berbagai komponen masyarakat. Lembaga seperti itu adalah tempat-tempat suci, pengaliran air dan lainnya, yang selanjutnya bermuara dalam satu kesatuan Desa Pakraman.
Begitu efektifnya berbagai lembaga pengintegrasi tersebut menyebabkan Bali dapat mencapai keutuhan ketika Kerajaan Gelgel berkuasa pada abad ke-17. Wilayah kekuasaan kerajaan ini tidak hanya sebatas Pulau Dewata, tetapi hingga Mataram (Nusa Tenggara Barat/NTB). Selain kiprah sejumlah lembaga pengintegrasi, Gelgel pun berhasil melakukan ekspansi ke luar. Di sana terinternalisasi sebuah agenda bersama perjuangan yang mempersatukan orang Bali.
Namun, keutuhan Bali akhirnya rontok juga. Itu terjadi menyusul kudeta internal yang dilakukan Pati Agung Maruti (1641). Memang Pati Agung kemudian berhasil mengendalikan kerajaan. Namun, ia tidak mendapat legitimasi yang cukup kuat dan solid dari para penggawanya hingga akhirnya Kerajaan Gelgel jatuh dan Bali terpecah menjadi delapan kerajaan kecil. Dengan demikian pula mereka kehilangan agenda perjuangan bersama, dan orang Bali pun kembali saling cakar ke dalam.
DALAM perjalanan selanjutnya, Bali seakan tidak pernah lelah mencuatkan benih kekerasan. Kendaraan yang menjadi sumbu pemicunya bermacam-macam. Selain melalui momentum politik, juga bisa terjadi karena perebutan air, di warung, di jalanan, senggol-senggolan, atau media lainnya. Terungkap antara tahun 1995 dan 2003, setidaknya ada 25 titik pemicu konflik di Bali.
Salah satu contoh adalah dari bersepeda motor di jalan. Seseorang menyalip pengendara sepeda motor di depannya. Setelah mendahului, penyalip lalu menoleh. Sementara yang disalip menjadi marah dan terjadilah aksi kekerasan fisik. Celakanya, kekerasan antarperorangan ini kemudian berkembang menjadi kerusuhan massa setelah diikuti penggunaan simbol adat, seperti pemukulan kulkul (kentungan).
Menurut tradisi adat Bali, yang boleh memukul kulkul hanya kepala desa adat yang disebut bendesa. Yang lain boleh melakukannya asalkan seizin bendesa. Namun, tidak jarang terjadi, pemukulan kulkul oleh sembarang orang yang merasa sedang dalam keadaan terancam atau hanya karena mau membalas dendam. Karena bunyi kulkul berkonteks pengerahan massa, kekerasan massa pun menjadi tidak terhindarkan. Sementara lembaga adat sendiri tidak memiliki sanksi hukuman terhadap mereka yang menyalahgunakan kulkul itu.
Peserta diskusi juga melihat kasus tanah adalah pemicu konflik paling dominan dari sejumlah konflik yang terjadi. Karena tanah, lingkungan keluarga bentrok. Sumber yang sama juga memicu bentrokan antardesa. Di kalangan orang Bali, teritorial itu menjadi persoalan serius hanya karena perebutan tanah.
Seperti telah digambarkan, titik rawan lainnya adalah politik. Lalu titik rawan baru yang bakal muncul adalah terkait dengan persoalan ekonomi. Potensi konflik terakhir ini dengan kajian sendiri.
Selama lebih dari 20 tahun orang Bali sungguh terbuai oleh keberhasilan industri pariwisata. Ribuan wisatawan bersama gelimang dollar terus mengalir ke Pulau Bali. Namun, dalam perjalanannya, pariwisata ternyata tidak cukup tangguh bahkan sangat rentan terhadap kekerasan, penyakit, dan isu global lainnya. Terutama menyusul bom Bali 12 Oktober 2002, pariwisata Bali langsung goyah dan hampir seluruh warga Pulau Dewata menjerit bahkan mengerang.
Diakui, pariwisata Bali belakangan kembali mulai berdenyut, tetapi belum sepenuhnya normal. Sementara peserta diskusi mencatat ketika pariwisata goyah, tidak sedikit pengusaha jasa terkait sektor ini terpaksa mengambil kredit dari bank guna melanjutkan usahanya. Ternyata usahanya tidak kunjung sehat, hingga mereka pun terjebak dalam kesulitan tidak bisa mengembalikan kredit pinjamannya.
"Saya justru sangat mencemaskan akan terjadi gejolak baru ketika pariwisata Bali benar-benar pulih. Sumbernya adalah kelompok pengusaha ini karena hartanya telah menjadi sitaan bank yang memberikan pinjaman kredit," ungkap seorang peserta.
Masih dari sektor ekonomi, orang Bali amat jarang menyentuh usaha informal strata bawah. Penjual nasi jinggo, penjual bakso, penjual rokok keliling, atau penjual buah-buahan dapat dipastikan bukan orang Bali. Sementara orang Bali yang berusaha di strata atas jumlahnya juga sangat terbatas. Orang Bali pada saatnya secara ekonomi akan terdesak. Persoalan ini menyimpan potensi konflik tersendiri.
KARENA Minggu Berdarah (Buleleng) mencuat dari kendaraan politik, tetap relevan untuk menelusuri sejarah kiprah politik orang Bali. Ambil contoh pada tahun-tahun menjelang pemilihan umum (pemilu) 1955. Yang sungguh mencuat ketika itu-sebagaimana terungkap dalam diskusi-adalah politik mepapas, perilaku politik yang hanya suka berseberangan tanpa pertimbangan rasional. Atau pilihan bergabung dengan parpol tertentu bukan karena tertarik pada ideologinya, tetapi sekadar memanfaatkan parpol untuk membalas dendam terhadap kubu yang bergabung di parpol lainnya.
Saat itu, di Bali, antara lain hadir tiga partai besar: Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Juga ada Gerim (Gerakan Indonesia Merdeka) yang kemudian berubah menjadi Pemerintahan Darurat Indonesia.
Awalnya, di antara ketiga partai ini tak ada gejolak berarti. Konflik baru muncul menjelang pemilu tahun 1955. Tradisi memapas muncul lagi. Partai dipakai hanya sebagai media pelampiasan dendam. Sebagai contoh, jika kubu kontra di PNI, maka kubu pro memilih bergabung dengan partai lainnya asal berseberangan.
Konflik makin tajam terutama ketika Pasukan Gerakan Seluruh Indonesia (PGSI) muncul. Tujuan utamanya adalah melakukan balas dendam terhadap mereka yang disebut sebagai "Nica gandek", sebutan untuk mereka yang diketahui tetap membela atau menjadi kurir pemerintahan kolonial Belanda. Maka, terutama antara tahun 1951 dan 1954, Bali terus diwarnai peristiwa pembunuhan.
PGSI pada akhirnya memang dibubarkan, tetapi aksi pembunuhan terhadap Nica gandek terus saja berlangsung.
Bahkan menjelang Pemilu 1955, muncul lagi sebuah organisasi kekerasan bernama Logis (Lanjutan Organisasi Gerilya Indonesia Seluruhnya) dengan tujuan utama melanjutkan pengejaran dan pembunuhan terhadap kelompok Nica gandek. Catatan yang didapat mengungkapkan, tahun 1952 misalnya setidaknya terjadi 47 kasus pembunuhan. Tahun berikutnya (1953), menjadi 66 kasus, dan tahun 1954 melonjak menjadi 97 kasus pembunuhan.
Aksi pembunuhan terjadi lagi ketika Bali menjadi provinsi definitif atau lepas dari Nusa Tenggara tahun 1959. Mereka yang terjebak dalam kerusuhan berdarah itu adalah antara kubu yang berkeinginan Bali dengan otonomi khusus tetapi berpusat di provinsi. Kubu lainnya beraspirasi otonomi khusus yang berpusat di kabupaten.
Konflik berdarah lalu berlanjut ketika terjadi gejolak pemilihan gubernur. I Nyoman Mantik yang didukung PNI dan kelompoknya dinyatakan menang dalam pemilihan gubernur saat itu. Ia mengalahkan pesaingnya, Anak Agung Suteja. Namun, Jakarta justru merestui Suteja sehingga bentrokan berdarah di Bali semakin memanas.
Kerusuhan serupa masih berlanjut misalnya pada tahun 1971. Di Buleleng terjadi aksi pembakaran besar-besaran yang menimpa mereka yang tak bersedia bergabung dengan Golkar. Masih di Buleleng, kekerasan bahkan hingga menyebabkan korban jiwa terjadi lagi tahun 1988, 1999, hingga terakhir, Minggu (26/10) lalu.
Di balik semua aksi kekerasan fisik ini, peserta diskusi sepakat bahwa semuanya karena orang Bali terlalu lama tidak dicerdaskan. Bali sebenarnya mewarisi teks-teks kuno dengan konsep-konsep sastra bernilai universal tentang kesemestaan atau kesejagatan. Namun, Bali kini justru sedang dalam kesenjangan teks dan konteks. Orang Bali dilukiskan sebagai tidak lagi memiliki akses yang terbuka guna membaca dan memahami teks-teks primer itu.
Kalau hingga beberapa tahun lalu akses membaca teks masih dapat dimediasi oleh para seniman sebagai gurunya, belakangan kelompok seniman ini sudah tersisih. Sekolah- sekolah pun tidak serius mempelajarinya. Contoh paling sederhana, bahasa Bali dipelajari di sekolah-sekolah tetapi tanpa ujian seperti pelajaran lainnya.
Setidaknya bagi peserta diskusi ini, Bali kini membutuhkan pendidikan yang mencerahkan di hulunya. Sementara di hilirnya dibutuhkan kepemimpinan serta lembaga sebagai pengintegrasinya, semisal pelaksanaan otonomi khusus yang dipusatkan di provinsi. (FRANS SARONG)

Tidak ada komentar: