Who am I

Who am I

Rabu, 09 April 2008

Meredam Kekerasan Manusia Bali

Kompas, Sabtu, 08 November 2003

Meredam Kekerasan di Bali Sebaiknya Libatkan

ADA kecemasan yang sangat mengental, Bali akan kembali terjebak dalam kekerasan menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan berlangsung 5 April 2004. Kecemasan seperti itu bukan tanpa alasan. Lihat saja. Pemilu masih harus ditunggu sekitar enam bulan lagi, tetapi khalayak pendukung PDI Perjuangan dan Partai Golongan Karya di Buleleng ujung Oktober lalu sudah bentrok. Malah berdarah-darah karena menelan dua korban jiwa: Putu Negara dan adiknya, Ketut Agustana.
M>small 2small 0< ke belakang, tergambar bahwa gesekan antara massa berkostum merah (PDI-P) dan massa berkostum kuning (Golkar) bukan kali ini terjadi. Antara Desember 1998 dan Mei 1999, juga di Buleleng, setidaknya terjadi dua bentrokan berdarah. Bentrokan saat itu terjadi di Desa Cempaga dan Desa Banjar, menelan sembilan korban tewas. Rinciannya enam korban tewas akibat bentrokan di Desa Cempaga, salah satu adalah Kepala Desa Cempaga, I Putu Artha. Bupati Buleleng (saat itu) Wiratha Sindhu sampai mengeluarkan instruksi khusus berupa larangan berpolitik bagi warga empat desa bertetangga: Cempaga, Banjar, Sidatapa, dan Pedawa (Kompas, 12/12/1998). Bentrokan susulan terjadi di Desa Banjar, Senin (10/5/1999), menewaskan tiga orang, 11 rumah rusak, dan tujuh kendaraan bermotor dibakar massa.
Ada lagi contoh dari tahun 1971. Juga di Buleleng! Dilaporkan aksi pembakaran meluas menimpa banyak rumah penduduk. Dugaan kuat, aksi kekerasan itu ditimpakan terhadap mereka yang tidak bersedia bergabung dengan Golkar saat itu. Masih banyak catatan kekerasan di antara sesama orang Bali, bahkan sejak Bali kuno.
Kembali ke suasana Bali menyongsong Pemilu 2004. Setidaknya sejak Juli lalu, dua partai besar, PDI-P dan Partai Golkar, jorjoran memasang atribut masing-masing di Bali. Mulai dari gang-gang, ke jalan pendukung, hingga jalan utama. Tak sedikit tiang atau dinding bangunan umum dan pohon-pohon penghijauan di tepi jalan harus dilukai guna memaku tiang bendera parpol. Saat yang sama, Bali riuh dan ingar oleh "perlombaan" pengerahan massa untuk mendukung acara partai.
Memang di tataran permukaan, Bali hari-hari ini teduh. Keriuhan yang terdengar hanya dari kesibukan rutin kota. Bendera-bendera partai dan atribut lainnya sudah amat jarang ditemui. Yang masih tersisa, tiang-tiang bendera partai yang tetap dibiarkan menjulang tinggi.
Perubahan suasana ini setidaknya terjadi setelah kerusuhan Buleleng, Minggu 26 Oktober lalu. Dua hari setelah kejadian itu diadakan pertemuan khusus Gubernur Bali Dewa Beratha dengan unsur-unsur pemimpin daerah (Muspida), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan para petinggi parpol tingkat provinsi di Denpasar. Pertemuan itu sendiri secara khusus mencari solusi bersama guna meredam kemungkinan meluasnya kerusuhan Buleleng, serta merumuskan langkah bersama menyongsong Pemilu 2004, terutama menjelang dan selama masa kampanye.
Pertemuan itu melihat pemasangan berbagai atribut di Bali, terutama bendera dan posko-posko parpol, dilakukan secara tak terkendali, terutama oleh kelompok parpol besar. Jika tidak segera ditertibkan, kegiatan politik seperti itu akan memicu gesekan-gesekan yang tak perlu. Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi Bali bersama jajaran terkait diminta sejak dini tegas menertibkannya sebelum keadaan meruwet dan merunyam.
TERKAIT dengan tema meredam kemungkinan terjadinya bentrokan massa menyongsong Pemilu 2004, Kompas Biro Bali-Nusa Tenggara menghimpun kalangan intelektual Bali dalam diskusi terbatas di Denpasar, Senin 4 November. Yang dilibatkan adalah Ketut Sumarta (budayawan muda, sehari-hari pemimpin redaksi majalah budaya Sarad), I Nyoman Wijaya (sejarawan, penulis), AAG Oka Wisnumurti (dosen Sospol Universitas Warma Dewa, Denpasar, Ketua KPU Bali), dan I Wayan Juniartha (cendekiawan, wartawan senior Bali).
Berbeda dengan pendapat khalayak yang berkembang, kalangan intelektual ini sebagaimana terungkap dalam diskusi secara tegas justru meyakinkan kerusuhan Buleleng-termasuk yang terakhir ini-bukan konflik politik. Yang terjadi, politik hanya dipakai sebagai salah satu kendaraan atau media melampiaskan dendam bawaan masa lalu.
Dengan asumsi seperti ini, peserta diskusi melihat langkah antisipasi meredam kemungkinan terulangnya konflik pada pemilu mendatang tidak cukup mengandalkan imbauan bernada lembut dari tokoh pemerintah. Imbauan juga tidak cukup hanya dari polisi atau instansi terkait. Karena berbagai kerusuhan yang mencuat selalu bersentuhan dengan unsur-unsur budaya, diskusi menyarankan agar jangan lupa melibatkan bendesa, kepala desa adat di Bali.
Di Bali bendesa diakui sebagai tokoh sentral di lingkungan masyarakat adat wilayahnya. Setidaknya di lingkungannya, ia sangat didengar oleh komunitasnya. Meski belakangan sering disalahgunakan, sesungguhnya hanya bendesa yang berhak membunyikan kulkul (kentungan) untuk mengerahkan massa: entah kulkul terkait dengan urusan adat atau kulkul dibunyikan lantaran desa sedang terancam. Jika simbol adat berupa kulkul digunakan sebagaimana mestinya, maka bendesa menjadi salah satu titik paling menentukan atas kemungkinan terjadinya bentrokan yang melibatkan massa.
Seorang peserta diskusi mengungkapkan catatan tambahan. Katanya, kiprah bendesa sebagai penentu di tingkat masyarakat adat hanya mungkin terwujud bila sang bendesa sungguh-sungguh netral. Sebagai pribadi, ia berhak menentukan pilihan politiknya. Namun, sebagai bendesa, ia harus menunjukkan sikap yang tidak berpihak pada partai tertentu.
Selain itu, desa adat selayaknya mulai membangun mekanisme sanksi atas penyalahgunaan kulkul. Sejauh ini tanpa sepengetahuan bendesa, kulkul tidak jarang digunakan oleh orang per orang hanya karena persoalan pribadinya dengan maksud membalas dendam. Karena bunyi kulkul berkait dengan pengerahan massa, kerusuhan massa dari keinginan orang per orangan ini tak dapat dihindarkan. Sayangnya, desa adat di Bali hingga sekarang belum menetapkan sanksi terhadap mereka yang menyalahgunakan simbol adat kulkul.
Dalam spektrum lebih luas, peserta diskusi terbatas itu menyoroti Bali yang mayoritas penduduknya memeluk Hindu saat ini tidak memiliki tokoh sentral, setidaknya untuk panggung Bali. Kata mereka, ini berbeda dengan lingkungan komunitas Islam, Protestan, atau Katolik. "Di Bali tidak ada elite sentral," kata seorang peserta. "Orang Bali terfragmentasi pada elite-elite lokal yang belum tentu diakui di tempat lain di Bali."
Karena keberadaan tokoh-tokoh lokal diketahui tanpa lembaga pengintegrasi sebagai payungnya, Bali tidak jarang terjebak dalam konflik lintas banjar, lintas desa, bahkan lintas kabupaten.
Terkait dengan kulturnya, di Bali sebenarnya terdapat sejumlah tokoh sentral meski wibawanya bersifat lokal. Mereka adalah tokoh banjar, bendesa di tingkat desa adat, dan tokoh puri. Selain berharap kepada para bendesa, peserta diskusi mengharapkan tokoh lain bersikap netral terutama menyongsong Pemilu 2004.
AAG Oka Wisnumurti dari KPU Bali dalam diskusi itu menggambarkan apa yang sedang dan akan dilakukan menyongsong Pemilu 2004. Katanya, kini saat mengubah citra politik sebagai sesuatu yang kotor dan selalu diwarnai kekerasan. "Paradigma seperti itu harus diubah," katanya. "Kesadaran politik masyarakat harus dibangkitkan bahwa politik itu adalah suatu keharusan bagi setiap warga negara, namun tanpa nuansa kekerasan, ketakutan, atau kotor." Rupanya kata paradigma yang diperkenalkan ilmuwan Thomas Kuhn dari Massachusetts Institute of Technology itu sangat laku di kalangan politikus Indonesia (Jangan lupa Golkar dengan paradigma barunya).
Seperti tergambar dalam diskusi, KPU bersama pihak terkait di Bali bakal mempertontonkan suasana lain menyongsong pemilu mendatang. Pertama, ada dorongan sangat kuat agar aparat bersikap tegas terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi. Sikap tegas diharapkan tidak kendur lantaran rasa sungkan terhadap partai politik tertentu.
Ada lagi gagasan menarik. Di bawah koordinasi KPU, segenap jajaran pemimpin parpol peserta pemilu akan diajak bersama merumuskan bentuk kegiatan hari pertama kampanye dalam Januari 2004. Sesuai dengan konteks Bali, yang terbayang adalah model kampanye mirip karnaval kesenian bersuasana politik.
Mungkin STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bali akan dilibatkan sebagai penyelenggara festival ini. Juga dirancang agar jajaran pemimpin parpol bisa naik dokar bersama atau tampil bareng dalam media lain yang bersuasana seni. Di sana mereka mengumumkan kesepakatan-kesepakatan agar Pemilu 2004 di Bali berlangsung tanpa kekerasan tanpa gesekan.
Gagasan ini adalah bagian dari upaya mengubah anggapan bahwa politik selalu diwarnai kekerasan, bahwa politik itu kotor. Politik itu sebaliknya direkayasa tidak menakutkan sehingga ia memantulkan indahnya demokrasi.
Peserta diskusi mendambakan suasana menjelang pemilu nanti jauh dari pelampiasan dendam. Bali yang utuh dan damai seutuh dan sedamai laut dan pasirnya di pantai. "Kembalikan Baliku padaku," kata Guruh Soekarnoputra yang di darahnya mengalir hemoglobin Bali. (ANS)

Tidak ada komentar: