Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Jerat-jerat Stigma

Makalah KRAMA (Keluarga Mahasiswa Antropologi) Universitas Udayana pada Sarasehan JKAI (Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia), Universitas Sumatera Utara (USU), Medan 20-25 Februari 2006.

Jera-jerat Stigma: Politik "Di-komunis-kan", Terorisme Budaya, dan Fundamentalisme Hindu Bali[1]

I Ngurah Suryawan[2]

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan.

Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”

…..

“Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas,

tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda.”

(Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 2000)

Pendahuluan

Landasan politik kebudayaan Bali dibangun di atas landasan dasar yang keropos. Di balik manisnya senyum manusia Bali menyambut turis asing, tersimpan sebuah ingatan sejarah dan sebuah peristiwa kelam pembantaian sesama saudara di Bali. Tapi semua cerita tersebut tertutup rapat oleh kemegahan ritual, glamournya industri pariwisata, dan yang terpenting adalah terbangunnya citra eksotik dan "berbudaya" dari manusia Bali.

Awal dari landasan yang keropos itu adalah ketegangan politik tahun 1950-an hingga 1960-an, menempatkan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam petarungan dan ketegangan politik yang sengit. Konflik, perebutan kekuasaan dan pengaruh membuat Bali semakin memanas menjelang 1965.[3] Saat meletusnya G30S dan diikuti dengan pembantaian besar-besaran “manusia merah” di Bali—orang yang dituduh simpastisan dan anggota PKI—Bali menjadi salah satu daerah dengan penyembelihan terganas. Jejak-jejak pembantaian dan kuburan massal hampir ada di setiap jengkal desa-desa di Bali. Soe Hok Gie dalam sebuah essaynya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali saat hari-hari mencekam 1965-1969 di Bali;

Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali.Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu.[4]

Kenangan, ingatan, jejak-jejak masa kelam pembantaian sesama saudara di Bali itu disimpan rapi dalam selimut tebal bernama politik “Pariwisata Budaya”, sebuah ideologi yang mengawali ideologi pembangunan dan stabilitas keamanan ala orde baru. Tahun 1966 di mulai dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. Komunisme, PKI menjadi barang terlarang dan haram untuk dibicarakan. Suara-suara kritis serta kehidupan politik menjauh dari citra Bali. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat menginjak bangku sekolah menengah.

Secepat kilat pariwisata mempengaruhi seluruh denyut nadi dan hembusan nafas serta kehidupan manusia Bali. Daerah-daerah yang tadinya kerong kerontang, tidak terjamah manusia, secepat kilat menjadi tempat yang digunakan untuk penginapan, kedai minuman ataupun toko-toko penjual souvenir. Manusia Bali yang miskin karena tanahnya kering kerontang menjadi terkejut saat pengusaha kaya dari Jakarta ataupun wisatawan, para turis, ingin membeli tanahnya. Pariwisata tumbuh menjadi roh, ideologi, dan solusi dari pengembangan pariwisata Bali.[5]

Oleh rezim otoritarian orde baru, "keamanan" dan "ketertiban" masyarakat adalah segala-galanya. Jika tidak, pendekatan "keamanan" dan kekerasan adalah senjata untuk kelompok masyarakat yang mengkritik rezim Orde Baru dan mesin kekuasaannya (tentara, birokrasi, dan agency masyarakat). Mereka yang tidak tunduk terhadap kekuasaan akan diberikan stigma, "Dasar PKI, Pengkhianat" atau dituduh sebagai "Bahaya Laten Komunis". Politik teror dan stigma komunis terbukti ampuh untuk menyumbat setiap gerakan kritis. Para survivor Tragedi 1965 hanya bisa bungkam dan memendam ingatan mereka atas rekayasa sejarah yang dilakukan Soeharto. Stigma komunis yang "berkhianat" dan melakukan kudeta seolah pantas untuk dibasmi. Bagaimana dengan arus balik pembersihan dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI pasca G30S 1965? Yang dilakukan oleh tangan-tangan Soeharto dan pembentuk rezim Orde Baru (tentara, birokrat opurtunis, politisi, dan masyarakat). Tidak ada yang menggugat dan menyuarakannya ketika itu.

Akhirnya semuanya berjalan “harmonis” selama 30 tahun lebih oleh kendali kekuasaan Orde Baru. Bali direproduksi menjadi pulau tempat destinasi pariwisata dan daerah “olah budaya” di negeri ini. Sampai terjadi ledakan dahsyat Bom Bali 12 Oktober 2002. Pasca Bom Bali 12 Oktober 2002 dan dilanjutkan dengan Bom Bali 1 Oktober 2005, banyak terjadi keresahan akan kehancuran dan keterpurukan Bali. Terutama kekhawatiran masyarakat Hindu Bali akan keutuhan kebudayaan mereka setelah dua kali bom mengguncang pulau mereka.

Maka untuk menjaga kebudayaan mereka dari pengaruh yang buruk yang merusak Bali, salah satu caranya adalah dengan melakukan razia/sweeping penduduk pendatang yang masuk ke Bali. Setiap Desa Pakraman (organisasi desa adat di Bali) membentuk Satgas (Satuan tugas) “Penertiban Penduduk Pendatang” yang terdiri dari pemuka desa, barisan pecalangan (satuan pengamanan/milisi adat), sekaa teruna (organisasi pemuda) dan satuan Hansip (pertahanan keamanan).[6]

Persepsi sebagian besar masyarakat Hindu Bali, penduduk pendatanglah yang menjadi sebab yang membuat Bali hancur. Nak Jawa atau Nyama Dauh Tukad (istilah untuk menyebut pendatang dari luar Bali)[7] ini dikuatkan dengan tertangkapnya Amrozy, Imam Samudra, dan tokoh teroris lainnya yang terlihat di televisi menjadi otak dari peledakan Bom Bali. Mereka semuanya berasal dari luar Bali, dan alasan ini semakin menguatkan pandangan masyarakat Bali bahwa nak jawalah yang merusak Bali dengan meledakkan dua kali bom di Legian Kuta dan Jimbaran.

Situasi panik seperti ini seolah membuat masyarakat Bali terkejut. Tidak biasanya Bali menerima teror dan ketegangan seperti ini. Dahulu, saat orde baru, ideology keamanan, kedisiplinan, dan ketertiban begitu mendarah daging. Jangan salahkan jika rezim pemikiran orde baru masih melekat kuat bagi sebagaian masyarakat, tidak terkecuali di Bali. Lihat saja misalnya kerinduan banyak masyarakat akan rezim keteraturan dan ketertiban orde baru.

Pak Arsana dalam dialog interaktif sebuah stasiun radio di Bali mengungkapkan:

Tidak selamanya pemerintahan HM Soeharto itu jelek. Ada strategi Orde Baru yang perlu ditiru oleh pemerintahan sekarang. Misalnya, perlu dihidupkan kembali Petrus, penembak misterius, dan sapu jagat. Karena Petrus dan Sapu jagat ini terbukti pada zaman orba bisa membuat para penjahat dan sejenisnya bertekuk lutut dan ketakutan. Akhirnya perampok dan penjahat tidak berani beraksi lagi di masyarakat.[8]

Keinginan melakukan pendekatan keamanan masih tertanam kuat di masyarakat. Ini tidak terlepas dari bayangan harmoni “keamanan” dan “diamankan”, ciri khas pendekatan rezim Orde Baru, sementara masyarakatnya dibuat apolitis dan bungkam. Depolitisasi menyeruak ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara dan kekuasaan telah menyebar dalam bentuk operasinya yang massif, efektif, dan produktif dalam bentuk bahasa, institusi, kebijakan, bahkan orde baru dan kuasanya telah masuk pada keakraban bahasa-bahasa kita sehari-hari.

Kehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik.[9]

Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dolar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan pariwisata dan kebudayaan memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.

Di balik semua itu, cita-cita utopis politik kebudayaan Bali ketika itu memang diarahkan untuk menggerakkan bidang yang potensial bernama kebudayan untuk mendukung pariwisata. Seperti diungkapkan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, peletak dasar ideologi pariwisata budaya, yang menyatakan modal dasar kebudayaan Bali berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normative peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan. Secara operasional, kebudayaan juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberikan petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan bagi pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Dan kebudayaan di sini bukan hanya berfungsi untuk dinikmati, tetapi juga sebagai media untuk membawa saling pengertian dan hormat-menghormati.[10]

Perspektif utopis dan “harmonisasi” dalam melihat relasi pariwisata, budaya, pembangunan, dan kekuasaan itulah yang melandasi politik kebudayaan Bali 30 tahun lebih lamanya. Tidak terhindarkan memang, yang terjadi kemudian adalah menyebarnya operasi kekuasaan dari jejaring budaya, pembangunan, dan negara (baca: kekuasaan) tersebut dengan alamiah, seolah tanpa sadar, dan terkelabui oleh cita-cita luhur untuk membangun pariwisata budaya di Bali yang berkelanjutan. Operasi kekuasaan yang produktif itulah yang menghasilkan pembudayaan wacana “Pariwisata Budaya” menjadi kitab dalam politik kebudayaan Bali pasca 1965. Depolitisasi berlangsung hampir menyentuh seluruh kehidupan masyarakat. Maka yang terlahir kemudian adalah generasi apolitis, pragmatis, bermental kerja dan penurut.

Awal dari institusionalisasi kekuasaan melalui pariwisata budaya itu adalah ditetapkannya Peraturan Daerah, Perda 3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda 3/1991 tentang “Pariwisata Budaya”. Legitimasi ini sebenarnya hanya stempel saja. Sebelumnya penyebaran “ideologi” pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang-ruang privat kehidupan masyarakat.

Bagaimana misalnya sibuknya perempuan Bali yang mempercantik dirinya untuk tampak manis di hadapan Tim Penilai Lomba Desa Adat. Gengsi dan glamour ritual itu seolah menunjukkan bagaimana telah terlaksananya pemberdayaan adat untuk mendukung pariwisata Bali. Padahal di balik semua itu terdapat landasan yang rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali.

Begitulah pentas politik kebudayaan Bali diciptakan oleh rezim kekuasaan. Depolitisasi, harmonisasi, dan penyeragaman dilakukan untuk membentuk “manusia Indonesia seutuhnya“ dan manusia Bali berguna dan berdaya untuk pariwisata. Harmonisasi dan keamanan adalah persyaratan mutlak bagi daerah destinasi pariwisata seperti Bali. Karena Bali harus aman, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan. Dari itulah lahirnya manusia-manusia “orde baru” yang etno-nasionalis, konservative, fundamentalis, dan yang terpenting apolitis. Hal ini diwujudkan dengan semakin menguatnya politik etnis seiring berjalannya pariwisata. Wacana kapitalistik dan industrial seperti pariwisata melahirkan wacana hak milik kebudayaan bagi masyarakat Bali.

Politik identitas “pariwisata budaya Bali”, yang diikuti dengan penguatan identitas etnis, menyertai perkembangan pariwisata. Pariwisata, kebudayaan, dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Karena hanya itulah yang menjadi senjata sakti dan “jualan” dari “pariwisata budaya” di Bali. Ini diwujudkan dengan klaim dan citra, “budaya Balilah yang eksotik dan asli”[11] Selain pariwisata, kata “memberdayakan adat” juga menjadi kata sakti untuk memelihara kebudayaan pada kekuasaan.Yang menjadi pemegang otoritas dan kekuasaalah yang bisa menterjemahkan program pelestarian adat tersebut, untuk kemudian semakin meneguhkan citra Bali yang eksotik, kokoh, dan lestari.

Stigma “Manusia Merah” Bali

Genealogi politik kekerasan sejatinya ada seiring peradaban manusia Bali zaman dulu kala yang terkenal barbar. Sejarah pelenyapan anak manusia menjadi catatan sejarah dari pulau yang dulunya menjadi sumber budak belian. Bahkan Bali mempunyai ritual untuk bunuh diri saat berperang melawan penjajah Belanda. Itu terjadi tahun 1906, dimana sebagian daerah Bali Selatan diduduki penjajah Belanda. Laporan-laporan resmi mengatakan 400 jumlah korban nyawa. Malah, para korban dinyatakan bertanggung jawab sendiri karena konon mereka ikut berpartisipasi dalam apa yang disebut “upacara bunuh diri”, yang dinamakan puputan atau pengakhiran. Bisa jadi jumlah korban 1100 lebih dan bukan 400 jiwa, yang mana sebagian besar mereka dibunuh oleh peluru penjajah.[12]

Wajah beringas manusia Bali saat membunuh saudaranya sendiri menyisakan kepedihan, tangis, kehilangan, dendam, dan ingatan yang tak terlupakan. Sejarah kelam manusia Bali itu hadir dalam bilik-bilik ingatan para saksi sejarah yang puluhan tahun terbungkam. Suara-suara senyap mereka adalah harta berharga untuk membongkar konstruksi politik kebudayaan Bali yang hingga kini terwarisi.

Kejamnya manusia Bali saat hari-hari pembantaian 1965-1966 adalah cermin perilaku politk mereka sebenarnya. Konflik, persaingan, ketegangan politik, agama, pribadi akhirnya melahirkan sebuah penghilangan nyawa manusia terkeji dalam sejarah peradaban manusia Bali dan Indonesia. Beragam analisa mencoba menjawab akar masalah manusia Bali saling bantai tahun 1965-1966. Pertanyaannya tentu saja, bagaimana operasi dan stimulasi konflik, persaingan politik, kasta, ritual, sentimen pribadi itu bekerja sampai membuat orang saling membunuh? Dan bagaimana kekuatan “negara”, lewat propaganda partai politik, militer, birokrasi sampai mempengaruhi orang untuk saling membunuh? Atau kedua pemilahan itu sudah kabur dan keduanya saling berelasi untuk membuat manusia Bali saling membunuh? Atau bahkan cara berpikir seperti “negara” dengan kewaspadaan dan ajakan “mengganyang komunis sampai ke akar-akarnya” telah diserap dan diterapkan manusia Bali untuk membunuh saudaranya. Tidak dapat dibedakan mana “rekayasa politik negara”, konspirasi, pertarungan politik atau yang lainnya, karena semua pemilahan-pemilahan, kategori itu telah melebur menjadi satu dalam amuk massa penyembelihan manusia.

Dalam situasi seperti ini, manusia Bali adalah satu kontestan terpenting. Ingatan kekerasan dari para survivor dan saksi sejarah dalam buku ini menunjukkan bagaimana beringasnya manusia Bali untuk menghilangkan saudaranya sendiri atas nama politik, persaingan, atau apapun namanya. Kenapa manusia Bali bisa melakukan itu semua? Konspirasi besar ketegangan politik kelas tinggi, pertarungan ideologi politik dan lainnya, mungkin jauh dari bayangan para ninja temeng yang melakukan pembantaian. Politik kelas tinggi itu bukan penyebab yang kuat untuk berlangsungnya pembantaian. Politik “besar” itu diturunkan menjadi politik-politik lokal, subyektifitas local manusia Bali serta sejarah-sejarah konflik lokal.

Kiprah manusia Bali dalam jejak sejarah pembantaian 1965-1966 adalah pertarungan memperebutkan klaim otoritas dalam sejarah, konflik dan kuasa lokal. Berbagai ketegangan politik “besar”, sejarah “negara” bertransformasi dalam beragam pertarungan-pertarungan lokal, sejarah dan konflik antara manusia Bali. Pertarungan sejarah lokal ini berelasi kuat pada perilaku dan otak manusia Bali yang telah berwajah “negara”. Akhirnya, ketegangan politik termanifestasi dalam dua wajah perilaku politik manusia Bali, pertama menyerap perilaku serta ideologi negara, dan kedua menjadi salah satu kontestan dalam pertarungan konflik lokal. Keduanya saling mengalami gugatan, berelasi dalam ajang konstestasi yang disebut Soe Hok Gie sebagai penyembelihan manusia Bali besar-besaran yang dilakukan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu (tahun 1965-1966).[13]

Dalam gugatan dan kontestasi inilah manusia Bali dengan sejarah dan konflik lokalnya mempunyai subyektifitas lokal yang begitu lentur dan bisa tertarik-tarik. Subyektifitas itulah yang mendasari setiap gugatan dan perilaku manusia Bali dalam politik. Tapi subyektifitas lokal manusia Bali juga sangat mudah terseret menjadi wajah obyektifitas “negara” yang menjadikan manusia Bali sebagai agen-agennya. Kontestasi subyektiftas lokal dalam pembentukan sejarah harus bertarung dengan operasi “negara” yang sangat kuat membentuk karakter manusia Bali, dan keduanya saling berelasi dan berubah wujud.

Pembantaian manusia Bali 1965-1966 adalah salah satu relasi, pertarungan, dan gugatan dari “subyektifitas lokal” dengan “operasi politik negara”. Subyektifitas lokal ditunjukkan dengan ketegangan politik, sosial, ekonomi, ritual, sentimen pribadi dan konflik internal manusia Bali sesamanya, dan ini telah lama ada. Sedangkan politik negara beroperasi dalam pertarungan ideologi partai politik dan perebutan kekuasaan. Konflik ini bertemu dan kemudian melahirkan kebrutalan.

Manusia Bali adalah bagian konflik dan kebrutalan itu. Saat pembantaian terjadi, banyak yang menyebutkan semuanya adalah buah dari pertarungan ideologi politik antara PKI yang komunis dengan PNI yang nasionalis. Dalam kasus Bali, pembantaian “manusia merah” itu sering disebutkan karena konflik kasta antara desa A yang waysia dan sudra, dan karena itu disebut PKI dengan desa B yang brahmana dan ksatria dan karena itu ia adalah PNI. Dengan mengkonstruksi konflik seperti itu, seolah-olah subyektifitas manusia Bali dalam konfliknya menjadi hilang. Segala macam kerumitan dan diskursifnya konflik, yang bisa menyebar dalam berbagai macam bentuk dan pertarungan, menjadi hilang tersapu jargon dan konstruksi besar konflik kasta atau mengkastakan konflik. Justru konstruksi inilah yang akan berakibat pada penyederhanaan kerumitan yang menyertai perilaku beringas manusia Bali tahun 1965-1966.[14]

Beragam analisa dan argumentasi muncul, tapi belum ada yang memuaskan untuk menjelaskan kenapa manusia Bali bisa saling bunuh sesama saudaranya di tahun 1965-1966? Mungkin saja, salah satu penyebabnya adalah beragam analisa itu terperangkap untuk membingkai kejinya manusia Bali dengan jargon-jargon yang besar dan membuat konflik kekerasan sungguh rasional hanya karena berbeda ideologi dan kepentingan politik. Konflik dikesankan canggih dan pelakunya terlibat secara rasional. Pokoknya harus berbeda, mepapas, adalah jargon dangkal untuk membungkus subyektifitas manusia Bali yang penuh dengan pertarungan, kepentingan dan relasi-relasi politik. Kecanggihan konflik kadang menenggelamkan narasi-narasi kecil, pergolakan manusia dengan hidupnya.

Degung Santikarma, antropolog Bali, dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan dengan jargon-jargon besar itu, konflik dan kekerasan terkesan canggih dan anggota banjar (desa adat/pakarman) yang terlibat terkesan semuanya rasional. Dengan membungkus konflik dengan jargon-jargon seperti mengkastakan konflik dan kekerasan akan mendepersonalisasikan konflik. Subyektifitas dan kerumitan internal menjadi lenyap.[15]

Manusia Bali dalam “tahun-tahun yang hilang” dalam sejarah peradabannya, tahun 1965-1966, adalah pergulatan penuh dengan kepentingan, konflik dan sejarah lokal dengan subyektifitas internal para manusianya. Semuanya termanifestasi dalam segala macam pertarungan politik lokal, ritual, kelas/kasta, tanah, sentimen pribadi, dan segala macam kerumitan manusia Bali. Peristiwa ’65 menjadi titik kulminasi, sebuah pentas untuk bertemunya segala macam konflik dan kepentingan lokal manusia Bali, yang telah lama tumbuh dan tersemai dalam beragam peristiwa kekerasan dengan penetrasi politik negara bahkan internasional dalam pertarungan politik antara komunisme dengan kapitalisme.

Pertarungan dan pentas sejarah kekerasan 1965-1966 memakan korban saudara sendiri, sesama manusia Bali. Kurang lebih 80.000 “manusia merah” di Bali terkubur dalam ladang-ladang pembantaian, di tanah pesisir pantai yang kini telah berubah menjadi hotel berbintang dan diskotik tempat wisatawan berjingkrak-jingkak ditemani pelayan berpakaian adat serta memakai ketu batik. Kenangan, ingatan, jejak-jejak masa kelam pembantaian sesama saudara di Bali itu disimpan rapi dalam selimut tebal bernama politik “Pariwisata Budaya”, sebuah ideologi yang mengawali ideologi pembangunan dan stabilitas politik dan keamanan ala rezim otoritarian orde baru.

Tahun 1969 dan menginjak awal tahun 1970-an, setelah pembantaian praktis terhenti, mulailah proyek mengubur kenangan kelam masa lalu dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. “Komunisme, PKI, pengkhianat bangsa” menjadi senjata untuk menyumbat suara kritis manusia Bali yang mencoba tidak seragam dengan keinginan negara. Gerakan rakyat, apalagi komunisme, adalah barang terlarang untuk dibicarakan. Suara-suara kritis dalam kehidupan politik hanyalah akan merusak citra Bali sebagai pulau sorga yang aman dan damai. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat menginjak bangku sekolah menengah atas

Antropologi Kekerasan: Bertutur Di Balik Senyap

Jerat-jerat stigma tertuduh komunis dan pengkhianat bangsa terang sangat menyakitkan bagi sebagian besar masyarakat Bali yang tersangkut Peristiwa 1965. Tapi, ada usaha yang bisa dilakukan. Sebuah buku yang mengesankan, karya Urvashi Butalia berjudul Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence memberikan banyak inspirasi. Sebuah karya “subyektif” yang jujur, dan sudah pasti terdapat keberpihakan penulisnya dalam menuturkan ingatan kepedihan, kegetiran dan pergulatan manusia dalam tragedi Pemisahan India dan Pakistan.[16]

Urvashi memberikan kita cermin bagaimana ketajaman, sensitifitas dan keberpihakan seorang peneliti dan penulis untuk melihat dan menggali suara-suara terbungkam, kisah pedih manusia dalam sebuah pentas sosial politik bernama pemisahan sebuah bangsa. Di dalamnya terdapat segudang narasi bagaimana penuturan ingatan manusia, sebuah kisah yang “kecil” yang diberikan ruang untuk bertutur dan berbagi. Urvashi dengan tegas dan jujur menyatakan dirinya tidak bisa bernaung dibawah jargon karya “objektif” dalam pakem akademik yang kaku. Urvashi tidak memilih untuk berkutat dalam bahasa-bahasa “tinggi” konflik politik pemisahan. Ia lebih tertarik untuk menggambarkan semuanya tidak dengan bahasa-bahasa sulit yang sering digunakan kalangan akademik, ataupun kerangka teoritik yang rumit tapi tidak menjejakkan kakinya. Ia menuliskan dengan detail bagaimana cerita-cerita rakyat biasa yang menjadi korban dari peristiwa Pemisahan itu. Ia meminjam suara lirih dan pedih rakyat kecil untuk menjelaskan bagaimana konflik Pemisahan bisa berakibat pada perubahan kehidupan, rasa kehilangan dan kepedihan rakyat biasa.

Sebuah sikap yang mengagumkan adalah argumentasinya untuk berpihak pada “suara-suara yang lama dicampakkan”. Suara pedih itu mungkin tidak akan dihiraukan oleh kalangan elite, dianggap sebagai cerita biasa, yang kalah dari cerita elite politik dan masyarakat. Suara-suara dan penuturan rakyat yang “dikalahkan” inilah yang menjadi kekuatan dan fokus penulisan Urvashi. Dari penuturan kisah-kisah itu, semua data dan catatan lapangan yang diperolehnya tentu sangat subyektif. Ia mengakui itu semuanya dan mencoba lepas dari hantu bernama objektifitas.

Ingatan yang terpelihara di masyarakat terhadap suatu peristiwa akan diturunkan terus-menerus pada generasi berikutnya. Karena itulah, menelisik ingatan-ingatan itu, sampai pada keengganan manusia mengingatnya, sampai pada kesenyapan dibalik ingatan manusia, menggugah para peneliti, akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk bersama-sama belajar menyentuh alas dan dasar setiap persoalan sosial kemanusiaan yang terjadi. Bagi saya, semuanya didapat bukan dengan kerumitan bahasa akademisi yang melangit dan melakukan penelitian dibelakang meja, tapi dengan mendengar penuturan dan membuat rakyat kecil “bersuara” dengan penulisan hasil penelitian yang telah dilakukan. Memang tugas terberat intelektual dan akademisi adalah bagaimana suaranya bisa dimengerti rakyat kecil. Mungkin kata “merubah” terlalu utopis, tapi sangat mungkin terjadi jika para intelektual dan akademisi ini bisa menjejakkan kakinya bersama rakyat, membuat apa yang disampaikannya dimengerti rakyat kecil, berempati, dan bersikap membela rakyat yang “dikalahkan”.

Tapi sebagian besar intelektual dan akademisi, khususnya para antropolog yang fokus kajiannya pada pergulatan manusia dan kebudayaannya, seakan lepas dari “bumi” yang menjadi pijakannya—kisah-kisah manusia dengan problematikanya. Bahkan sangat banyak para antropolog yang menjadi tim ahli pemerintah daerah untuk membangun hotel megah di tengah perkampungan kumuh. Karena itu, rakyat kecil harus digusur dan mengalah pada gerakan pembangunan infrastruktur pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Di Bali, para antropolog dan intelektual beramai-ramai berebut proyek pemerintah untuk “memberdayakan rakyat” dengan program-programnya. Wacana pemberdayakan rakyat itu terbangun dalam sebuah ideologi pembangunan, yang menggunakan tenaga-tenaga para antropolog dalam pelaksanaannya. Tahun 1980-an, saat pariwisata di Bali menemukan kemapanannya, studi antropologi pembangunan dan pariwisata begitu trendy. Perguruan tinggi memberikan porsi besar pada fokus studi ini. Antropologi pada akhirnya berelasi kuat dengan kekuasaan, ketika pariwisata dan pembangunan menjadi urat nadi kajian para antropolog. Yang menjadi “jualan” mereka adalah sebuah hak milik bernama “kebudayaan” (Bali). Maka terciptalah sebuah kurikulum pendidikan dan paradigma antropologi, dengan bagaimana mencari-cari “nilai-nilai luhur kebudayaan” yang bisa disumbangkan untuk pembangunan dan pariwisata.[17]

Lapisan elite para antropolog ini mengais rezeki dari proyek-proyek penelitian pembangunan dan pariwisata, dimana mereka bertugas melakukan survei kelayakan masyarakat menerima produk-produk industri, atau dibangunnya sebuah pabrik dan hotel. Akar ilmu antropologi kembali pada awal perkembangannya, saat kolonisasi antar bangsa berlangsung. Antropologi menjadi panopticon dan sekaligus mengkonstruksi karakter masyarakat yang dikoloni. Hal yang sama dilakukan sebagian besar para antropolog kini di Bali dan juga di Indonesia dengan mendikte” masyarakat yang sedang ditelitinya, dijadikan sebagai sebuah “harta sosial dan budaya” untuk mendukung pembangunan pariwisata, khususnya di Bali.

Tidak jarang para antropolog yang hingga kini berkubang dalam “proyek-proyek pelacuran” ini. Mereka turun ke lapangan, sementara kepala mereka telah terkonstruksi bagaimana “memanfaatkan” masyarakat, kalau perlu “diberdayakan” dengan digusur, disediakan RSS (Rumah Sangat Sederhana), sementara di tanah mereka berdiri menjulang tinggi mall atau kompleks pertokoan dan perumahan. Atau para antropolog di Bali, tahun 1980-1990-an yang keranjingan mendapatkan proyek respon masyarakat Bali terhadap pembangunan pariwisata budaya. Isi kajian tersebut adalah puja-puji keberhasilan pembangunan pariwisata meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali. Dan terakhir, saat para “antropolog 2 P” (Pariwisata dan Pembangunan) ini mengikuti survei respon dampak bom Bali Oktober 2002 pada kehidupan masyarakat kecil di Bali. Hasil akhirnya sudah pasti recovery pembangunan pariwisata yang “memberdayakan” masyarakat kecil. Disinilah pengkhianatan antropologi pembangunan dan pariwisata terjadi, bukan menggunakan suara rakyat, tapi memanipulasinya.[18]

Semuanya menunjukkan bagaimana relasi kuasa antropologi dan pembangunan bekerja, khususnya pariwisata di Bali. Saya masih curiga, hingga kini sisa-sisa peninggalan antropologi kolonial itu masih terasa kuat dan bahkan dijadikan acuan pokok dalam setiap perkuliahan di universitas yang membuka jurusan antropologi. Khususnya di Bali, akademisi Universitas Udayana masih menjadi think-thank staf ahli pembangunan “berwawasan budaya” di kota Denpasar. Dalam sejarahnya, para antropolog dan akademisi dari kampus inilah yang melakukan studi-studi kelayakan pembangunan di Bali, penelitian berlangsungnya industri pariwisata pasca 1966 saat orde baru berkuasa. Tapi sebelumnya kampus ini juga memberlakukan screening “Tidak Terlibat G30S/PKI” bagi tenaga dosen dan pegawai. Institusi pendidikan dan ilmu menunjukkan relasinya dengan kekuasaan, rezim pariwisata budaya yang terjadi di Bali.

Paradigma antropolgi yang “elite” dan berjarak adalah warisan dari perspektif antropologi kolonial. Sementara massa rakyat yang “dikorbankan” dari pembangunan dan pariwisata, sebuah sebuah kuasa struktur sosial terabaikan. Inilah cermin pergulatan antropologi orde baru, di tengah para antropolog sibuk dengan proyek-proyek konsultan-konsultan pembangunan.

Saya lebih sepakat—dan ini terus menjadi perdebatan para antropolog—, bahwa antropologi bukanlah ajang pemetaan teoritik yang melambung tinggi, pergulatan wacana otonomi daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan manusia dengan grafik dan hitungan keberhasilan. Yang diperlukan antropologi dan para antropolog adalah sikap berpihak pada rakyat yang “dikorbankan” oleh struktur kekuasaan. Karena itulah, sensitifitas dan kepekaan untuk menangkap suara-suara senyap dan bungkam ini menjadi kekuatan bertutur serta sekaligus empati bagi para antropolog. Tentu ini dengan sebuah kesadaran bahwa suara-suara yang terpinggirkan dari rakyat kecil juga mempunyai hirarkhi dan struktur kuasa sendiri. Justru operasi kuasa inilah yang ingin dibongkar ole antropolog, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah karya yang menggugah dan inspiratif. Paling tidak ini bisa menjadi alternatif untuk menjawab bagaimana antropologi menjelaskan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

Dan juga sebuah etika bahwa antropologi adalah ruang bertutur bagi rakyat kecil. Karena itulah dengan empati dan etika, para antropolog tidak akan terbuai dengan kontes-kontes konferensi yang megah dan produksi publikasi serta ketenaran dengan melupakan rakyat kecil yang ditelitinya. Dengan tindakan etis dan humanis, selayaknya antropologi menjadi sebuah ruang kesaksian dan bertutur bagi rakyat kecil, yang tidak kemudian dilupakan, tapi dijadikan ruang dan relasi pemihakan bagi para antropolog. Karena dengan menentukan sikap akan menunjukkan pemihakan atau pengkhianatan antropologi di Indonesia.

Antropologi bekerja pada sisi senyap ingatan manusia. Beberapa bagian dalam buku ini adalah hasil dari catatan lapangan, sebuah lukisan, deskripsi dari kuburan massal dan ingatan sosial yang ditinggalkan para survivor dan saksi sejarah yang tersingkir dari sejarah kekuasaan. Dengan melakukan catatan etnografi, kita berusaha untuk menghadirkan catatan-catatan detail dari sebuah sejarah kekerasan yang berlangsung di negeri ini, khususnya di sebuah pulau bernama Bali. Karena itulah antropologi berhutang pada suara-suara kaum papa korban dari kekuasaan dan kekerasan structural yang terjadi.

Paradigma antropologi dan fieldwork itu bertemu dengan metode oral history, sejarah lisan, yang menjadi ganre baru sejarah. Metode ini lahir dari kritik terhadap metode sejarah positivistik, no document no history, yang hingga kini masih kuat pengaruhnya di Indonesia. Dengan sejarah lisan, hadir penuturan-penuturan dari “arus bawah”, masyarakat biasa yang yang menjadi pemenang dan korban pertarungan sejarah dan kekuasaan.

Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.[19]

Terorisme Budaya dan Benih Fundamentalisme Hindu Bali

Belum sempat penuturan manusia-manusia tersisih—para survivor dan keluarga yang tersangkut Peristiwa 1965—dalam kebudayaan Bali ini bercerita secara tuntas dan utuh, khususnya di Bali. Walaupun zaman reformasi dan kebebasan berbicara dijunjung tinggi, manusia Bali masih takut untuk bertutur. Kini, bukan rezim otoritarian orde baru dengan segala perangkat kekuasaannya yang ditakutkan, tapi saudara-saudara sesama manusia Bali yang ‘berwajah Orde Baru’, yang berlindung di bawah jargon adat dan kebudayaan Bali.

Dan setelah Bom Bali Oktober 2002 dan 2005 meledak, semakin meluaslah sebuah gerakan dan semangat untuk menjaga, mengokohkan, dan melestarikan kebudayaan Bali dari pengaruh-pengaruh luar yang negatif. Ini dengan asumsi, dengan kebudayaanlah Bali hidup dari pariwisata. Ya, karena budaya menghidupi pariwisata, dan sebaliknya, pariwisata menghidupi budaya. Maka, apaoun caranya, keaslian, keunikan dan keotentikan budaya Bali harus dijaga. Maka, haruslah diwaspadai perusak-perusak kebudayaan Bali, yang hadir lewat ‘teroris’ yang dua kali mengebom Bali, juga ‘orang-orang luar’.Persepsi seperti itu kental sekali terjadi pasca Bom Bali 2002 dan juga 2005. Dengan politik kewaspadaan terhadap ‘perusak-perusak’ kebudayaan itu terbilang ampuh untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis dari kelompok-kelompok subaltern di Bali, termasuk dari para survivor dan keluarga yang terangkut Peristiwa 1965.

Semua masyarakat Bali terbius dalam semangat dalam gerakan Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut.[20] Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang harus Ajeg Bali. Saya jadi ingat, bukankah hal ini diterapkan oleh orde baru untuk membentuk ‘manusia-manusia orde baru’ yang penurut dan apolitis?

Di sinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Dan negara dalam bayangan kita tidak jauh-jauh, tapi saudara, teman-teman kita yang menjadi agency-agency dari manusia orde baru. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakn jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya[21]. Negara secara terus-menerus melaksanakan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun. Di lain kepentingan, masyarakat Bali yang patuh, apolitis, dan pragmatis membayangkan gemerincing dolar akan membangunkan mereka dari tidur panjang untuk menjadi orang kaya baru setelah sekian lama melarat.

Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).[22]

Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya dalam keseharian masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya.

Ajeg Bali dan politik kewaspadaan serta curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai manusia penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, sasaran-sasaran.[23]

Jargon Ajeg Bali sebenarnya dimulai dari propaganda emperium Bali Post, sebuah media terbesar di Bali yang kemudian diikuti oleh promosi ke berbagai kabupaten di Bali. Pertengahan Juli 2004, dilakukan roadshow ke seluruh kabupaten di Bali untuk penandatanganan prasasti Ajeg Bali oleh bupati se-Bali.[24] Dimulai dari Walikota Denpasar, kemudian dilanjutkan dengan Bupati Karangasem, Bupati Buleleng, Ketua DPRD Bali, dan Bupati Badung, Cok Ratmadi. Bupati yang disebut terakhir inilah yang kemudian diberi julukan pahlawan Ajeg Bali, karena jiwa besarnya untuk mundur dari pencalonan Gubernur Bali padahal didukung massa PDI Perjuangan di Bali.[25] Namanya bersama Agus Suradnyana ternyata tidak disetujui Megawati Soekarnoputri. Nama yang kemudian muncul dari Megawati dan paket calon Gebernur dan Wakil Gubernur Bali adalah Dewa Made Beratha (Gubernur Bali sekarang) dan Alit Kelakan (kader PDI-Perjuangan). Terakhir, tiga tokoh elite politik di Bali bergandeng tangan berikrar untuk meng-ajeg-kan Bali. Dua tokoh, AA Pusapayoga dan AA Oka Ratmadi adalah Walikota Denpasar dan Bupati Badung dari puri (pusat pemrintahan kerajaan zaman penjajahan kolonial di Bali) Satria di Denpasar. Satu tokoh lagi adalah Dewa Made Beratha, Gubernur Bali sekarang.

Mulai saat itulah, jargon Ajeg Bali menjadi sebuah kata angker dan ditakuti saat ini di Bali. Keberadaannya kini lebih daripada sekadar pejabat yang membawahi beberapa anak buahnya. Bahkan dalam penyampaian visi dan misi Gubernur Bali, para calon gubernur disumpah apabila menjabat nanti siap dan siaga dalam meng-ajeg-kan Bali. Lalu apa dibenak mereka bentuk dari meng-ajeg-kan Bali ini? Merunut dari paparan singkat di atas, ada beberapa diskursus penting yang sebenarnya ingin diajukan bagi pendukung mahzab Ajeg Bali ini. Dan itu semuanya berkaitan dengan situasi terkini Bali yang sedang terpuruk dan kemudian berusaha untuk memperbaiki keadaan.

Yang paling sederhana untuk dilihat adalah sebagai sebuah usaha untuk pemurnian identitas ke-Bali-an. Selama beberapa dekade, identitas ke-Bali-an (garis hubungan darah, geneologis) adalah sebuah ilusi yang terpelihara kuat dalam pikiran orang Bali. Di saat sedang terpuruknya semua kondisi kehidupan, satu cara defensif yang paling mungkin dilakukan adalah memelihara kebersamaan (identitas). Cara ini secara nyata dipraktikkan orang Bali ketika menghadapi desakan dari hotel tutup, pekerjaan tidak ada, dan satu-satunya lowongan yang ada hanyalah menjadi pengangguran ataupun pecalang serta preman. Kondisi ini, semakin diperkuat oleh semakin terdesaknya orang Bali dalam perebutan sumber dan akses-akses untuk politik, hukum, ekonomi, dan tentu saja budaya. Suasana penat dan “kekalahan” dalam pertarungan kehidupan sementara dilupakan oleh orang Bali. Yang kemudian dilakukan adalah menghimpun diri untuk membentuk identitas soroh (garis hubungan darah), dan kemudian saling unjuk kekuatan. Akhirnya, lahirnya banyak perhimpunan soroh-soroh di Bali. Maha Semaya Warga Pande (untuk soroh pande) atau Mahagotra Sanak Pasek Sapta Rsi (soroh pasek) untuk menyebut beberapa contoh. Ini adalah pertahanan terakhir orang Bali, jika berbicara Ajeg Bali.[26]

Dalam perspektif berpikir beberapa orang Bali, Ajeg Bali adalah pemurnian Bali dalam hal pemurnian ras, idenitas, dan soroh. Ini sebenarnya potensi konflik dan kekerasan secara horizontal. Karena, jika merunut sejarah, Bali adalah hasil dari pertarungan, pembantaian dan pembersihan soroh-soroh. Dan sampai saat ini kelompok-kelompok ini memendam identitas dalam identitas ke-Bali-an, yang juga sebenarnya menyimpan konflik dan kekerasan yang terpendam. Tentu saja pemicunya adalah persaingan antar puri (tempat raja di Bali yang sekarang masih ada) ataupun pendobrakan kelas-kelas sudra (pasek, pande, dll.) terhadap kelas tri wangsa (brahamana, ksatria, dan waisya) dalam teori kelas dan kasta di Bali. Di tengah kebingungan inilah, muncul penyejuk dan pemersatu umat, juga sebagai jago kebudayaan Ajeg Bali. Bali sangat merindukan seorang pendeta sebagai pencerah kehidupan agama Hindu Bali. Maka munculnya Ida Pedanda Made Gunung yang melayani semua pertanyaan, kecemasan, dan pencarian identitas dan esensi ke-Bali-an. Dengan masalah-masalah upakara (sesajen untuk upacara-upacara), pernyataan akan “kebenaran” tingkah laku dan sikap beragama. Yang paling penting tentunya–dari kiprah Ida Pedanda Made Gunung—adalah mengidentitaskan, menanamkan dewa-dewa yang dipuja orang Hindu Bali. Inilah bentuk kerinduan-kerinduan orang Hindu Bali yang kemudian bisa dipenuhi oleh Ida Pedanda Made Gunung. Kerinduan untuk mencari asal-usul, jati diri, hubungan darah, dan keturunan. Dalam istilah Balinya, kedewan-dewan (hidupnya selalu memikirkan dewa, Tuhannya). Dalam titik inilah, orang Bali seakan mendapat pencerahan, dan mulai mendapatkan pembenaran secara alamiah—melalui sastra agama dan tentunya keyakinan yang disampaikan Ida Pedanda Made Gunung. Kiprah pendeta ini dicuatkan oleh media televisi lokal, grup media terbesar di Bali (baca: Bali Post), lewat program Dharma Wacana (pencerahan keagamaan) setiap sore hari.[27]

Yang paling kontemporer tentunya adalah soal Ajeg dalam kartu identitas kependudukan dan polemik penduduk asli dan tidak asli Denpasar ataupun asli dan bukan asli Bali. Dalam terminologi ini, politik KTP (Kartu Tanpa Penduduk) jelas terlihat. Institusi tradisi oligarkhi seperti desa adat/pakraman dengan perangkat pecalang, sekaa teruna (organisasi pemudanya) menjadi semacam pemegang komando dalam penertiban ini. Politik kependudukan yang terlihat diskriminatif. Ini adalah bentuk defensif dan proteksi yang luar bisa dari orang Bali. Sehingga ekspresinya diwujudkan dalam politik KTP pada orang dura negara (orang luar negeri) atau nyama dauh tukad (saudara seberang kali/orang luar Bali) yang datang ke Bali. Tentu ini tidak bermaksud menyederhanakan, tapi jika lebih diskursif melihatnya, tentu masalahnya jauh lebih kompleks. Dimana politik KTP ini juga berelasi dengan kepentingan politik institusi adat untuk menunjukkan eksistensi dan identitas asli Bali. Juga dalam relasi ekonomi dimana desa adat dan juga orang Bali merasa terdesak atas pengaruh dan datangnya orang luar Bali yang merebut lahan-lahan perkerjaan mereka. Sungguh ini begitu sederhana, tapi pencarian eksistensi dan identitas ke-Bali-an jelas menumpang pada wacana politik KTP ini.[28]

Dari berbagai diskursus tentang Ajeg Bali itu terlihatlah jelas terjadi semacam pergeseran politik definisi budaya. Kalau di bawah Orde Baru kebudayaan berkisar pada masalah seni, tari-tarian, musik, pakaian pengantin, masakan khas, dan warisan peninggalan. Dalam budaya Ajeg Bali tidak lagi diterjemahkan sebagai puncak kreatifitas dan mentalitas sebuah kelompok, tetapi sebagai hak milik yang membendakan budaya.[29]

Ajeg Bali juga mengandung gerak “pemurnian budaya”, yang ingin memilah antara yang “asli” dan yang “luar”. Ini tidak hanya karena benda yang “asli” punya nilai komersil yang tinggi, seperti barang antik di artshop, tetapi juga karena manusia yang “asli” bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali.[30]

Salah bentuk penerjemahan yang asli dan luar itu adalah sentimen kepada pendatang, nak jawa, yang mengadu nasib ke Bali. Karena ancaman dari nak jawa itulah, gerakan penguatan identitas dan sentimen ke-Bali-an dari masyarakat Hindu Bali semakin terlihat dengan jelas. Gerakan ini mengatasnamakan agama Hindu Bali untuk membentengi kebudayaan Bali dari pengaruh luar yang berpotensi untuk menghancurkan kebudayaan Bali. Gerakan ini bernama Ajeg Bali dan Ajeg Hindu, yang berarti gerakan untuk menguatkan, mengokohkan, dan membentengi kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu dari ancaman pengaruh luar yang dibawa oleh pendatang. Gerakan penguatan kebudayaan ini diluncurkan pertama kali oleh pimpinan sebuah industri media terbesar dan berpengaruh yaitu Kelompok Media Bali Post. Anak Bagus Gede Satria Naradha adalah pimpinan kelompok media ini yang menguasai hampir semua segmen masyarakat Bali dengan media yang dibuatnya, dan juga stasiun televisi bernama Bali TV. Di Harian Bali Post dan Bali TV, program Ajeg Bali dan Ajeg Hindu terus mendapatkan porsi dengan berbagai respon terhadap persoalan-persoalan yang melanda Bali.

Salah satu tujuan gerakan ini penguatan ekonomi masyarakat Hindu Bali yang selama ini terasa terpuruk dan kalah bersaing dengan para pendatang. Maka lahirlah program “Koperasi Krama Bali” (KKB) dari Kelompok media Bali Post untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat Hindu Bali untuk berusaha membuka warung dan bersaing dengan pedagang-pedagang yang mayoritas berada dari luar Bali. KKB selain memberikan pinjaman modal juga melakukan pelatihan-pelatihan membuat soto, sate, dan bakso Ajeg Bali yang khas KKB untuk dapat bersaing dengan pedagang dari luar Bali. Mereka yang bergabung dalam KKB di setiap usahanya akan diberikan spanduk bertuliskan, “Binaan Koperasi Krama Bali”. Dan jika beruntung akan dimuat sebagai promosi di Harian Bali Post. Dalam iklannya di Bali TV, KKB lewat bakso, sate, dan soto Ajeg Bali adalah sukla (suci), bersih, dan asli Bali.[31]

Selain ekonomi, gerakan penguatan kebudayaan Bali juga memunculkan kelompok-kelompok pemuda dan mahasiswa Hindu yang tergabung dalam KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) dan FPMHD (Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma) Universitas Udayana, Bali. Kedua massa ini ditambah dengan anggota sekaa teruna (kelompok pemuda) desa-desa di Bali melakukan demonstrasi untuk secepatnya mengeksekusi mati tokoh teroris Amrozy, Imam Samudra, dan lainnya. Mereka mengatasnamakan GAT (Gerakan Anti Teroris). Dalam dua kali aksi demonstrasi September-Oktober 2005, kelompok massa Hindu ini berbusana adat Bali dan melakukan persembahyangan saat demo berlangsung. Mereka mengecam teroris yang menghancurkan Bali. Mereka siap berperang sampai puputan (titik darah penghabisan) melawan teroris.[32]

Beberapa hari sebelum aksi itu berlangsung, Bali sempat dipanaskan dengan munculnya selebaran berjudul “Bali dalam Genggaman” yang tersebar di desa-desa di Bali. Isi selebaran itu adalah memojokkan masyarakat Hindu Bali yang telah terpinggirkan karena pengaruh para pendatang yang menguasai hampir semua lahan kehidupan ekonomi di Bali. Karena itu, Pulau Bali telah dikuasai oleh Nak Jawa (pendatang) dengan perbandingan penduduk pendatang dan asli 60% berbanding 40%.

Kelompok lainnya adalah FIMHD (Forum Intelektual Muda Hindu Dharma) pimpinan Aya Wedakarna yang sering melakukan protes terhadap simbol-simbol dan cerita Hindu seperti protes sampul kaset “Manusia Setengah Dewa” Iwan Fals, Sampul buku “Afkar” Dewi Lestari, dan terakhir protes film “Sinta Obong” karya Garin Nugroho.

Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu.[33] Keinginanan untuk melawan terorisme, nak jawa (pendatang) dari masyarakat Hindu Bali diekspresikan melalui aksi terorisme gaya baru dengan sweeping penduduk, konservasi dan mengokohkan kebudayaan Bali.

Eksotisme Bali dengan penduduk yang sopan santun dan rasa toleransi yang tinggi mulai dipertanyakan. Pasca otonomi daerah dan bom meledak dua kali di Bali, bayangan eksotisme sopan santun dan toleransinya manusia Bali ternyata terbukti menjadi discourse yang dipergunakan rezim pembangunan Orde Baru melalui program “Pariwisata Budaya” untuk mendatangkan dollar dari industri pariwisata. Kebudayaan dipelihara untuk pariwisata, dan masyarakat Hindu Bali hanya menjadi manusia-manusia eksotik yang dimuseumkan.

Masyarakat Hindu Bali mulai menaruh curiga. Sopan santun dan toleransi yang berlebihan terhadap Nak Jawa, pendatang, kini dipergunakan untuk menghancurkan masyarakat Hindu Bali sendiri. Pernyataan dua tokoh berpengaruh di Bali, Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Bali Irjen Polisi Made Mangku Pastika—kini telah diganti—dan rohaniawan Ida Pedanda Made Gunung meyakinkan masyarakat Hindu Bali. Made Mangku Pastika mengungkapkan, “Orang Hindu Bali kini seperti memberikan senjata kepada orang luar untuk membunuh orang Hindu Bali sendiri.” Sedangkan Ida Pedanda Made Gunung memprovokasi masyarakat Hindu Bali dengan pernyataan, “Orang Bali jual tanah untuk beli bakso, sedangkan orang luar jual bakso untuk beli tanah di Bali.”

Ubung, Denpasar Bali, 18 Februari 2006

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman, 2004, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Ombak.

Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah, 2004, Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.

Bali Post, 2004, Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.

Cribb, Robert (editor), 2003, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Darma Putra, Nyoman, 1997, Pariwsata Budaya, antara Polusi dan Solusi: Pengalaman Bali, paper dalam Lokakarya Internasional Penyelamatan Warisan Budaya.

Geertz, Clifford, 2000, Negara Teater, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Gie, Soe Hok, 1995, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Huskeen, Huub de Jonge (eds), 2003, Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, Penerbit LKiS.

Nordholt, Henk Schulte, 2002, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus, 1996, Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Dharma Sastra.

P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, Kwa Chong Guan (Editor), 2000, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara Teori dan Metode, Jakarta, LP3ES

Putri, Agung, 2000, Mengungkapkan Kebenaran dan Mengadili Masa Lalu, Pengalaman rakyat Negeri Tertindas, Paper Policy Paper Series Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi No. 1, Elsam.

Robinson, Geoffery, 1995, The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

------------------------, 2006, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.

Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor), 2004, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia

Santikarma, Degung, 2002, Budaya Siaga dan Siaga Budaya, Kompas Minggu 6 November 2002.

------------, tanpa tahun, Budaya, Kuasa, dan Pariwisata, makalah terbatas.

------------, 2000, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Kompas 1 September 2000.

------------, 2003, Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger,Kompas 7 Desember 2003.

------------, 2004, Pentas Antropologi di Indonesia, Kompas, 7 Juli 2004

Suryawan, I Ngurah, 2002, Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.

-----------2005, Pecalang” Politik dan Para Milisi, dalam Kompas 17 April 2005.

-----------,2004, Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan, dalam Kompas, 7 Januari 2004

-----------2005, BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

-----------2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.

Widyarsono, A, 2000, Hubungan Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, dalam Jurnal Driyarkara Tahun XXIII No. 4.

Koran, Jurnal, dan Majalah

Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002

Basis, No. 09, 10 September-Oktober 2002.

Bali Post, 28 September 2003.

Driyarkara Jurnal No. XXIII No. 4

Media Hindu, Majalah, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya dan Tanah Bali, Edisi 21 November 2005.

Sarad, Majalah Gumi Bali, Pecalang Pulanglah, No. 31 Oktober 2002.

Sarad, Majalah Gumi Bali, Sudahi Kelahi Sesami Bali, No. 44 Desember 2003.

Sarad, Majalah Gumi Bali, Titah Latah Ajeg Bali, No. 43 November 2003.

.



[1] Makalah wakil dari KRAMA (Kerabat Mahasiswa Antropologi) Universitas Udayana, Bali pada Sarasehan Jaringan Kekerabatan Mahasiswa Antropologi Indonesia (JKAI), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Februari 2006.

[2] Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Bali. Menekuni penelitian tentang politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Menulis buku, Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali) dan Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005. Bisa dihubungi di email: ngurahsuryawan@gmail.com

[3] Banyak studi tentang kekerasan politik 1965-6 di Bali. Yang sering dijadikan rujukan adalah Geoffry Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, (Cornell: Cornell University Press, 1995), telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2006) dan Robert Crib (ed), The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, (Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat, 2003).

[4] Lihat Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, (Yogyakarta: Bentang, 1995), Di Sekitar Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali, hlm. 161-169.

[5] Istilah Marie-Francoise Lanfant yang menyebutkan, dalam dilema pariwisata—tanpa pariwisata Bali terkutuk, dengan pariwisata Bali akan hancur—Bali menemukan solusi berupa doktrin “pariwisata budaya”. Dikutip dari Nyoman Darma Putra, Pariwsata Budaya, antara Polusi dan Solusi: Pengalaman Bali, paper dalam Lokakarya Internasional Penyelamatan Warisan Budaya, 1997.

[6] Situasi panik dan munculnya ide penertiban penduduk pendatang mulai hadir pada November- Desember 2002 pasca peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002 di Lagian, Kuta. Sejak itulah hampir seluruh desa di Bali melakukan aksi penertiban penduduk pendatang, terutama di pintu-pintu masuk ke Bali. Catatan lapangan, Desember 2002.

[7] Catatan lapangan dan wawancara penduduk Hindu Bali, November- Desember 2002 dan Maret-April 2003. Istilah Nak Jawa hanya untuk mempermudah sebutan untuk para pendatang dari daerah mana saja, termasuk dari Pulau Jawa. Istilah ini untuk membedakan antara masyarakat Hindu Bali dengan orang luar Bali yang tidak beragama Hindu. Nyama dauh tukad menunjukkan penduduk pendatang yang datang dari seberang sungai/lautan.

[8] Dari Warung Global Interaktif “Bali Post”, Perlu Dihidupkan Petrus dan Sapu Jagat, Bali Post, 28 September 2003.

[9] Degung Santikarma, Budaya, Kuasa, dan Pariwisata. Makalah tidak dipublikasikan.

[10] Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Landasan Kebudayaan Bali, hal. 35 (Denpasar: Dharma Sastra, 1996)

[11] Komunikasi pribadi dengan Degung Santikarma via email, Januari-Maret 2005. Seperti juga ditulis dalam Budaya, Kuasa, dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan.

[12]Henk Schulte Nordholt, Speel Of Power, 1996 via Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002) hlm. 6.

[13] Catatan Soe Hok Gie, op.cit, tentang pembantaian besar-besaran di Bali dalam essaynya, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali (161-169).

[14] Komunikasi pribadi via email dengan Degung Santikarma, Mei 2005.

[15] Ibid.

[16] Lihat Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence, (Yogyakarta: IndonesiaTera, 2002).

[17] Degung Santikarma melukiskan dengan tajam bahwa antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa berfungsi sebagai juragannya. Lebih lengkap lihat, Pentas Antropologi di Indonesia, Kompas, 7 Juli 2004.

[18] Relasi antropologi dengan kekuasaan (pariwisata budaya) terlihat jelas saat booming industri ini di Bali tahun 1980-an. Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Udayana menjadi sumber dari lahirnya para “antropolog-antropolog pariwisata ini”. Mereka biasanya sibuk dengan proyek-proyek penelitian dari pemerintah dengan dampak pariwisata terhadap kehidupan masyarakat Bali.

[19] John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Parid, Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial, Pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, (Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004) hlm 2.

[20] Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.

[21] Jargon dan proyek paling berhasil dari rezim pembangunan orde baru untuk menciptakan Bali sebagai laboratorium bagaimana pembangunan bisa diselaraskan dengan pariwisata dan budaya. Dan juga negara menjadi pengatur utama gerak langkah pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya di Bali.

[22] Diskusi lewat surat elektronik dengan Degung Santikarma, Juli hingga September 2004. Dikutip dari tulisan Budaya, Kuasa dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan. Sebagian pemahaman dari tulisan kolaborasi bersama saya tentang Politik Ritual dan Budaya Kekerasan di Bali, essay belum dipublikasikan.

[23] Haryatmoko dalam Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

[24] Catatan lapangan, Agustus-September 2004. Versi lainnya diambil dari artikel saya, Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-jago Kebudayaan, Kompas 7 Januari 2004. Bagian lengkap tentang Ajeg Bali dan politik kebudayaaan lihat I Ngurah Suryawan, Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), (Yogyakarta: Ombak, 2005).

[25] Media Bali Post menjuluki Cok Ratmadi sebagai pahlawan Ajeg Bali.

[26] Lebih lengkap lihat I Ngurah Suryawan, Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-jago Kebudayaan, Kompas 7 Januari 2004.

[27] Catatan lapangan Oktober-November 2004.

[28] I Ngurah Suryawan, op.cit.

[29] Degung Santikarma, Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger, Kompas7 Desember 2003.

[30] Ibid.

[31] Catatan lapangan Desember 2005-Januari 2006.

[32] Catatan lapangan September-Oktober 2005. Dalam selebaran aksi demonstrasi 17 Oktober 2005, GAT menuliskan, “Hanya bangsa dan kaum itu sendiri yang bisa mengubah nasibnya, bukan pihak lain! Jangan biarkan Bali ini digenggam oleh pewaris yang tidak sah dan tidak paham kesakralan tanah leluhur penganut Dharma.”

[33] Lebih lengkap lihat majalah Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, edisi 21 November 2005. Satu artikel dalam majalah tersebut, Ngakan Made Madrasuta, Merumuskan Ajeg Bali, hlm.34-36. dalam artikel tersebut secara gamblang bahwa “…Sumber utama dari budaya Bali adalah agama Hindu. Bila Hindu tidaka ada, budaya Bali seperti sekarang ini tidak akan pernah ada. Maka untuk mewujudkan “Ajeg Bali” terlebih dahulu yang harus diwujudkan adalah “Ajeg Hindu” di Bali.

Tidak ada komentar: