Who am I

Who am I

Minggu, 18 Mei 2008

Wajah Beringas Manusia Bali


Atas Nama Adat dan Kebudayaan
(Wajah Beringas Manusia Bali)


“…Bisa dibayangkan bagaimana Bali jadinya. Di satu sisi kita terus berseru, pelihara Bali, ajag kesucian Bali, dan slogan lain. Tapi di lain pihak watak kita tetap tidak berubah. Apakah ungkapan-ungkapan jaga Bali hanya sebagai pemanis bibir?

(Surat Pembaca NL Sridewi di Kabupaten Karangasem Bali, dimuat di Majalah Sarad No. 60 April 2005. Surat pembaca ini mengomentari kerusuhan saat Nyepi Maret 2005)

Yang di maksud Sridewi dalam surat pembacanya itu adalah adalah kerusuhan yang terjadi di lingkungan Banjar (komunitas adat terkecil) Batuparas, Padangsambian Kaja, Kota Denpasar. Saat hari raya Nyepi 10-11 Maret 2005, daerah yang tidak jauh dari kota Denpasar ini justru tidak sepi, tapi terjadi hujan batu. Sekelompok warga menghujani rumah warga Dadia (garis keturunan darah) Alas Arum yang terdiri dari 31 KK, yang kemudian disebut “kelompok 13”.
Batu dan benda keras sambung menyambung mendera atap rumah. Tak pelak, tujuh unit bangunan rumah jadi korban, dua diantaranya rusak berat. Genteng dan kaca pecah, berantakan. “Kejadian muncul spontan, malam hari, karena dipicu sengketa adat berupa pembagian setra (kuburan),” ungkap I Made Loteng, Klian Banjar Pakraman Batuparas.[1] Kemarahan massa Banjar Batuparas berawal dari keluarnya “Kelompok 13” dari keanggotaan banjar, sehingga tidak berhak atas kuburan desa. Tapi saat “Kelompok 13” ingin kembali masuk menjadi warga adat, dengan mudah bisa diterima.
Bukan hanya kasus Batuparas saja, sebelumnya juga terjadi keberingasan manusia Bali yang justru terjadi saat mereka merayakan hari sucinya. Saat perayaan Galungan dan Kuningan, hari perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adhrama (kejahatan), ditandai dengan sederetan peristiwa konflik dan keberingasan manusia Bali. Tidak hanya disebabkan kasus adat, tapi juga dari bentrok anak muda yang kemudian berujung pertempuran antar banjar. Itu terjadi pada 13 Maret 2005, dua hari setelah Nyepi di Kabupaten Klungkung. Massa Banjar Manggis nyaris bentrok melawan massa Kampung Gelgel. Pemicunya adalah perselisihan anak muda yang kemudian dilanjutkan dengan memukul kulkul bulus (ketongan bertalu-talu) tanda bahaya. Warga kedua banjar keluar berhamburan dengan senjata terhunus.
Saat April 2005, ketegangan juga menyeruak antara warga Desa Pakraman Ulakan dengan Angantelu. Batas tapal batas menjadi pemicu timbulnya perselisihan antar Desa Pakraman. Satu desa dengan desa yang lainnya saling klaim nilai itu menjadi milik desa tertentu.[2]
Kasus lainnya yang membuat kita tidak habis pikir kenapa terjadi adalah konflik yang terjadi pada 12 April 2005. Suasana memanas terjadi di Dusun Kejula, Yeh Embang, Jembrana. Sekitar 12 rumah warga dari kelompok Munduk Paras dan kelompok Jati terkena lemparan batu. Kejadian berawal saat penjor (bambu yang dihias) seorang warga kelompok minoritas tersenggol oleh iring-iringan upacara ngaben (pembakaran mayat) pun berakhir dengan keberingasan massa yang melempari rumah warga lain dengan batu dan benda keras lainnya.
Kasus di Yeh Embang ini ternyata tidak selesai, masih tersisa kelanjutan kasus tersebut yang berakhir dengan perusakan rumah-rumah warga. Awal pemicu kasus itu adalah laporan Ketut Westun, Ketut Gariawan, dan Kariawan ke Polsek Mendoyo. Ketiganya tokoh dari kelompok minoritas yang tidak mau bergabung ke Desa Adat Yeh Embang Kauh. Mereka keberatan atas dirobohnya penjor saat Hari Raya Galungan 9 April lalu. Dalam laporannya mereka menyebut penjor ditabrak dengan pepaga (kelengkapan ngaben) berangkat ke setra (kuburan). "Siangnya memang keluarga Ketut Wesen yang masuk kelompok mayoritas (pendukung pemekaran), melaksanakan pengabenan. Ketika pepaga diarak ke setra beberapa penjor warga minoritas roboh kesenggol," ujar salah seorang warga.
Gelagat tidak beres sebenarnya sudah kecium oleh Bendesa (ketua) Adat Yeh Embang Kauh, Dewa Putu Sedana. Sebelum perusakan terjadi, beberapa jaam sebelumnya, yakni pukul 19.00, Dewa Sedana melihat warga bergerombol di dua titik. Ketika itu dia menemui warga dan memerintahkan untuk membubarkan diri. Kades (Kepala Desa) Yeh Embang Kauh, I Wayan Silayasa, juga sempat menemui massa dan meminta mereka bubar. Mendengar permintaan Kades tersebut mereka bersedia bubar asalkan ketiga orang yang melapor tersebut diamankan di Mapolsek. Permintaan itu maunya dituruti Kades, namun ketika dicari ke rumahnya mereka tidak ada. "Akibatnya massa menjadi marah. Namun setelah diberi pengarahan mereka mau bubar. Mereka bukan bubar pulang, namun bergerak ke rumah warga monoritas.”
Potret beringas manusia Bali begitu vulgar ditunjukkan dengan perusakan dan penyerangan-penyerangan terhadap sesamanya. Seperti kasus Yeh Embang yang ternyata berpangkal antara pro dan kontra pemekaran desa, dan kemudian warga terpilah menjadi yang pro dan kontra pemekaran. Akar masalah itu diperuncing dengan momen menjatuhkan penjor yang memicu penyerangan dan perusakan.[3]
Ratusan warga pro pemekaran desa mengamuk dengan merusak belasan rumah di tempek (bagian) Jati dan Munduk Paras, Dusun Sekar Kejula Kauh. Rumah yang dirusak ini ternyata milik warga minoritas atau penentang bergabung ke Yeh Embang Kauh. Perusakan terjadi Selasa malam, 12 April 2005. Ratusan warga melempari belasan rumah dengan batu kali dan potongan bata merah. Akibat aksi membabibuta di malam hari itu, sedikitnya 12 rumah rusak dan satu balai tempek roboh.
Sebelum warga menyerang ke Dusun Sekar Kejakula, mereka berkumpul di pertigaan dan perempatan jalan desa tersebut. Setelah semuanya siap, sekitar pukul 21.00 mereka bergerak menuju rumah warga penentang pemekaran dengan mengendarai sepeda motor. Sebagian di antara mereka mengenakan cadar. Sasaran pertama menyerang rumah Dewa Tamanbali. Begitu sampai di tempat tujuan, sejumlah warga ini berteriak minta pemilik rumah keluar. Setelah penghuni berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri tanpa dikomando mereka langsung melempari rumah itu dengan batu dan potongan bata merah yang mereka ambil di jalan.
Bukan itu saja. Balai tempek di sebelah timur rumah Tamanbali juga dirobohkan. Puas melempari rumah Tamanbali, mereka kemudian menuju rumah Dewa Putu Tama. Aksi sama juga dilakukan warga pro pemekaran terhadap rumah Dewa Putu Tama. Rumah berdinding gedek dihancurkan dengan cara melempari dengan batu bata. Serangan warga ini tak berhenti sampai di rumah Dewa Tama. Kerumunan massa melanjutkan serangannya ke rumah Kariawan. Sejumlah dari gerombolan massa ini sempat bertanya kepada Kariawan soal laporan ke Polsek Mendoyo. Karyawan dibilang memberikan laporan berlebihan. "Saya tidak ada melebih-lebihkan laporan. Ini saksinya istri saya," ujarnya. Mendengar jawaban tersebut massa bertambah emosi. Mereka langsung menghujani rumah Kariawan dengan batu dan benda-benda yang mereka dapatkan di jalan.[4]
Tentu akar masalahnya bukan hanya sekadar tersenggol, tapal batas, perkelahian anak muda bahkan kasus adat yang seperti benang kusut. Saya meyakini pasti ada masalah lain yang lebih besar yang menyebabkan orang Bali begitu beringas dan sensitif. Bahkan tidak tanggung-tanggung untuk merusak dan menyerang orang dengan benda-benda tajam. Lalu di mana potret manusia Bali yang manis dan tersenyum ramah dalam postcrd-poscrd pariwisata itu? Di mana?
Kasus-kasus kekerasan dan konflik desa adat hanyalah satu dari sekian banyak “masalah” manusia Bali yang seperti api dalam sekam dan menunggu ledakan dahsyatnya. Kini yang terjadi hanyalah letupan-letupan kecil reaksi dari keterhimpitan orang Bali di daerah kelahirannya sendiri. Setiap jengkal tanah kini sangat berharga. Invasi ekonomi dan giuran tanahnya laku terjual membuat manusia Bali saling klaim tanah dengan saudaranya, dan tidak jarang melahirkan perseteruan dan kekerasan, seperti kasus perebutan tapal batas tadi.
Kasus-kasus kekerasan terjadi dengan sangat mudah menjadi “diadatkan” seperti pada contoh-contoh di atas. Karena “diadatkan”, maka persoalan akan berhenti dalam kesepakatan di sesama desa adat/pakraman. Maka dimulailah proyek-proyek untuk melokalitasnya kekuasaan jengka-jengkal tanah di Bali yang dikuasai oleh desa adat/pakraman. Konflik dan kekerasan yang terjadi ditanggulangi dengan menjelaskan daerah dan wewenang kekuasaan masing-masing desa. Akhirnya kasus-kasus kekerasan dan potret beringas manusia Bali tidak dilihat sebagai persoalan konstruksi benih dari politik, kuasa dan pembangunan pariwisata, tapi sebagai masalah bersama bagi Bali untuk menguatkan identitas ke-Balian, menjaga Bali dari pengaruh luar. Ia menjadi semacam gerakan politik identitas etnis. Persoalan saling “cakar-mencakar” sesama manusia Bali harus dicarikan musuh bersama yang bisa menyatukan manusia Bali untuk tetap bertahan dan kokoh dengan budayanya.
“Diadatkan” dan “dibuadayakannya”nya semua konflik dan kekerasan di Bali juga untuk mensterilkan bahwa Bali lepas dari gerahnya wacana politik yang terjadi di nasional. Kasus-kasus yang terjadi di Bali adalah kasus-kasus kebudayaan yang bisa diredam dengan pendekatan “keamanan” dan demi berlangsungnya “pariwisata budaya”. Justru pada perspektif inilah bisa dibongkar mengapa manusia Bali begitu beringas? Pada dekonstruksi politik kebudayaan Bali.
Pariwsata, kuasa dan pembangunan membuat manusia Bali lama terbungkam dan menjadi sapi perahan dari pariwisata. Tapi setelah semua bulan madu pariwisata budaya habis tertelam bom, manusia Bali kebingungan dan frustasi dengan situasi yang terjadi. Bayangan dan mimpi mereka untuk hidup mewah dari gemerincing dollar pariwisat punah sudah. Sementara itu, mereka (manusia Bali), telah banyak berkorban untuk pariwisata. Di samping itu, mereka melihat situasi sudah semakin kompetitif dengan banyaknya masuk penduduk pendatang.
Degung Santikarma mempunyai ilustrasi bahwa di Bali, bulan madu pariwista (baca: pembangunan) dengan kebudayaan melahirkan “pariwisata budaya”. Di sini kebudayaan dilihat sebagai hak milik, possession dan modal (baca: kapital). Hal ini menyebabkan klaim “kebudayaan Bali hanya milik orang Bali”. Klaim ini oleh sang kuasa dianggap sah. Karena itulah menjadi penting untuk selalu mencitrakan dan meyakinkan orang Bali bahwa “hanya kebudayaan Balilah yang unik”. Klaim dan siasat inilah yang digunakan oleh duet sang wisata dan sang kuasa. Dengan pernyataan “jagalah kebudayaan Bali yang indah itu”. Untuk menjaga modal (baca: kebudayaan) tersebut, Bali harus aman, diamankan dengan pendekatan keamanan.[5]
Adat dan kebudayaan adalah dua “hak milik” tersisa yang dimiliki manusia Bali. Kebudayaan dan tradisi dalam perspektif manusia Bali telah menjadi hak milik, dank arena itulah harus dilestarikan, dijaga dan disterilisasi dari pengaruh luar. Maka segala macam potret beringas manusia Bali kembali diselesaikan dengan wacana mulat sarira, “introspeksi diri“ dan ajakan untuk bersama-sama segalak-seguluk selulunglung sebayantaka (bersama-sama sehidup semati) untuk menghadapi masalah ini. Caranya dengan menjaga “hak milik” terakhir –adat dan kebudayaan—dan sudah pasti menancapkan politik identitas etnis untuk membendung pengaruh orang luar.
Wacana Mulat Sarira juga tidak lebih sekadar wacana perekat untuk kembali Nyegjegan Desa Pakraman (mengokohkan Desa Pakraman). Yang dijadikan argumentasi tentunya Desa Pakraman adalah benteng terakhir yang dimiliki manusia Bali. Karena itu pula, ia harus dilestarikan untuk menjadi “material kebudayaan” yang dimuseumkan, dijadikan hak milik, anti perubahan, dan sudah pasti menjualnya untuk “kebudayaan yang berpariwisata”.
Suara nyaring itu terdengar saat saya menghadiri Temu Wirasa Mulat Sarira (temu keakraban untuk mengkoreksi diri) untuk refleksi akhir tahun 2003. Tema Temu Wirasa ini adalah Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali (mendoakan keselamatan, kedamaian bumi Bali).[6] Banyak tokoh penting yang hadir, diantaranya adalah Kapolda Bali, Mangku Pastika dan rohaniawan yang terkenal namanya karena publikasi televisi lokal lewat acara Dharma Wacana (penyuluhan agama), Ida Pedanda Made Gunung.
Hampir seluruh tokoh lembaga adat diundang dalam acara tersebut. Seluruh Desa Adat, kini menjadi Desa Pakraman, setiap daerah di Bali diwakili oleh tokohnya dari Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga untuk memayungi banyaknya desa adat di Bali itu. Pertemuan itu menyepakati perlunya suara bersama untuk mengatasi konflik dan keberingasan antar sesama manusia Bali dalam Desa Pakraman. Karena Desa Pakraman adalah “benteng terakhir pertahanan manusia Bali”, maka perlu dilakukan agenda penyelamatan dengan menyatukan kekuatan manusia Bali, bukan memecah-belahnya.
Salah satu tawaran yang diajukan adalah dengan menghimpun kekuatan manusia Bali itu dalam gerakan Bali Mawacara (Bali berbicara/bersikap), bukan lagi terbelah dalam sikap-sikap Desa Mawacara (setiap desa berbicara/bersikap) yang hingga kini masih berjalan. Saat Desa Pakraman mulai bersatu, mulailah kata “keamanan” menjadi standar baku dalam menjaga Bali. Pendekatan keamanan adalah prioritas utama untuk membuat Bali aman dan stabil, tidak ada gejolak, seolah terlihat damai-damai saja. Pendekatan keamanan ini sangat cerdik diterapkan rezim otoriter orde baru yang menempatkan Bali menjadi “daerah budaya” yang tidak terjamah politik. Tapi pendekatan keamanan ini runtuh dengan menyeruak dan beringasnya manusia Bali keluar dari tekanan dan pembungkaman itu. Potret dan wajah-wajah kekerasan yang terjadi dalam kasus-kasus dalam uraian di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang bisa diungkapkan. Semuanya telah menjadi bukti bagaimana pendekatan orde baru itu menuai kritik tajam oleh orang Bali dan menutup rapi persoalan yang terjadi, letupan yang menunggu ledakan dahsyatnya, atau bahkan telah meledak perlahan tapi kontinyu dalam serangkaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi.
Tapi dengan Temu Wirasa itu, bukan operasi kekuasaan dan pendekatan keamanan itu yang dibongkar, tapi membentuk cara pengamanan baru, meniru gaya negara dalam melakukan pengamanan pada rakyatnya. Tapi kini yang menjalankan sendiri adalah masyarakat itu sendiri di setiap Desa Pakraman yang ada di Bali. Tentu yang menjadi supporting institutionnya adalah “aparat berwenang”, bisa kepolisian dan birokrasi.
“Pendekatan keamanan” inilah yang masih digunakan oleh negara melalui aparat-aparatnya dalam “mengawasi dan melindungi” Desa Pakraman. Institusi sipil ini menjadi bemper yang kuat untuk menjalankan pengawasan terhadap sesama masyarakat. Tentu cara ini sangat didukung oleh aparat keamanan dan negara dengan dalih “pemberdayaan masyarakat untuk keamanan lingkungannya”.
Kapolda Bali, Mangku Pastika, yang diacungi jempol berhasil menangkap teroris itu, mengemukakan gagasannya tentang “Manajemen Keamanan Terpadu”. Menajemen pendekatan keamanan ini, kata Kapolda, diwujudkan dan dipelihara dengan kondisi dinamis yang terjadi di masyarakat. Untuk itulah ia mengajak bersama-sama dengan Desa Pakraman untuk menciptakan keamanan. Keamanan, kata Kapolda, terdiri dari securuty, rasa aman itu sendiri, keselamatan, kepastian, dan kedamaian.
Mangku Pastika juga menekankan, “Dengan adat, budaya, dan agama yang satu, yaitu agama Hindu, adalah modal dasar untuk mewujudkan keamanan berlandaskan adat, budaya, agama. Semuanya itu ada di Desa Adat/Pakraman,” ujarnya. Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali, (Mendoakan Kedamaian Bumi Bali), ajaknya untuk bersama-sama Kepolisian dan Desa Pakraman menjaga Bali.
Maka dimulailah ajakan untuk mengajegkan budaya Bali dengan serangkaian program-program bernuasa adat dan budaya Bali. Media massa terbesar di Bali mempromosikan jargon ini dengan simultan hingga ke desa-desa. Dengan kuasa media yang dimilikinya, menterjemahan Ajeg Bali dan praksis nyata di masyarakat menjadi lebih kongkrit. Ajakan “Waspada Terhadap Orang Luar” misalnya, membuat manusia Bali menjadi siaga dan waspada dengan sesamanya. Logika “kita” dan “mereka” menjadi sangat kental di Bali.
Ajakan mengajegkan Bali ini terasa memilukan di tengah begitu terbuka dan plurarisnya kini penduduk Bali. Politik harmoni ini lahir di tengah begitu beringasnya manusia Bali dalam banyak banyak kasus-kasus adat. Yang menjadi korbannya adalah nak jawa (orang di luar Bali yang datang ke Bali) dan orang Bali sendiri. Lokalitas kekuasaan kini bukan terletak sentralistik, dimana negara menjadi otoritas tunggal. Tapi kini, kekuasaan menyebar dalam lokalitas-lokalitas kekuasaan, perilaku manusia Bali terhadap sesamanya, keberingasan untuk merusak dan menyerang. Praksis politik kekerasan menjadi nyata diakrabi manusia Bali sehari-hari. Kenyataan ini sudah terjadi jauh berpuluh-puluh tahun lalu saat Bali kolonial, di mana kekerasan, pelenyapan menjadi cerita sehari-hari dan catatan sejarah manusia Bali. Saat keberingasan itu ditekan oleh orde baru untuk menciptakan manusia-manusia Bali yang “murah senyum”, kini semuanya meledak menjadi keberingasan yang sebenarnya menjadi karakter kuat manusia Bali.
Salah satu yang merasakan—atau lebih tepatnya korban— dari pergulatan, kecemasan dan ironisnya manusia Bali di tanahnya sendiri adalah nak jawa (pendatang) yang mengadu nasib di Bali. Menjadi saksi dan korban karena merekalah –pendatang—sering dijadikan “musuh bersama” untuk menguatkan politik identitas etnis manusia Bali. Kristalisasi dari gerakan fundamentalisme Hindu Bali ini terlihat dengan praksis pelaksanaan jargon Ajeg Bali yang membius wacana kebudayaan Bali empat tahun terakhir. Jargon ini menawarkan jalan baru untuk membayangkan keutuhan dan kesolidan Bali menghadapi perubahan zaman. Ironisnya, bukan melakukan dekonstruksi politik kebudayaan Bali dan melihat discourse politik ekonomi yang mengkonstruksi Bali dari dulu hingga kini, tapi mencoba menghimpun kekuatan “generasi yang Ajeg Bali” untuk membangun “Bali yang baru”, Bali kuat dan kokoh dengan adat dan kebudayaannya.
Salah satu agenda dari Ajeg Bali itu adalah sweeping penduduk pendatang. Politik kependudukan ini jelas terlihat saat pasca Bom Bali untuk membendung nak jawa yang datang ke Bali. Politik identitas etnis menguat saat penduduk pendatang yang dicap teroris berasal dari luar Bali. Salah satu alasan untuk membendung penduduk pendatang ini adalah untuk menjaga kelestarian budaya Bali yang lama-kelamaan mulai pudar dengan pengaruh luar. Politik kependudukan dengan sweeping ini sangat ironis, karena salah satu mata pencaharian manusia Bali adalah rumah kos-kosan yang sangat mengharapkan penduduk pendatang. Sweeping menjadi isu yang meresahkan pasca Bom Bali. Tapi hingga kini razia penduduk masih tetap berlangsung. Nak jawa yang menjadi korban akhirnya menjadi komoditas, saat resahnya manusia Bali ia dikorbankan dan saat dibutuhkan menjadi rebutan. Proses perebutan kekuasaan saat Pemilu 2004 dan Pilkada 2005 menjadi contoh kuat bagaimana politik manusia Bali terhadap nak jawa ini.

Politik Manusia Bali dan Nak Jawa
Bangunan “kumuh” itu terletak jauh menjorok dari jalan utama kota Denpasar. Letak bangunan kumuh itu di pusat kota Denpasar membuatnya menjadi pusat perhatian penduduk sekitarnya. Meskipun masuk kedalam gang dan terpencil, tapi deretan bangunan kumuh dekat sungai itu sudah dikenal oleh masyarakat sekitarnya Berderet-deret bangunan semi permanen, kurang lebih 10 rumah bedeng dari bambu dan triplek seadanya. Bangunan darurat dan semi permanen itu dihuni oleh puluhan orang yang bersesak-sesakan dalam rumah tersebut. Saat malam hari, suasana di deret rumah itu menyerupai pasar malam dengan alunan musik dangdut tanpa henti.Yang memiliki rumah kos-kosan tersebut adalah penduduk asli kota Denpasar yang memanfaatkan tanah kosongnya yang menjorok menuju sungai. Tanah yang sempit itu ternyata bisa dimanfaatkan untuk kos-kosan dengan harga murah meriah.
Yang kos di tempat itu adalah serombongan orang Sunda dari Bandung dengan pekerjaan menjadi tukang sol sepatu. Dari mulut ke mulut mereka mengetahui ada tempat kos yang murah, cukup dengan kantong mereka. Awalnya hanya 3 keluarga yang menghuni tempat kos tersebut, tapi lambat laun berdatanganlah tujuh keluarga lagi. Pemilik kos tidak kalah cekatan, ia langsung membangun rumah-rumah bedeng lagi untuk menampung puluhan keluarga yang baru datang untuk mengadu nasib di Bali. Si pemilik kos faham betul, mereka semua adalah sumber penghasilan tambahan ditengah mulai seretnya pemasukan warung.
Maka mulailah rombongan Bandung ini membentuk komunitas sesama tukang sol. Setiap hari, dengan menggunakan sepeda mereka keliling menawarkan jasa sol sepatu dan sandal. Keterikatan kelompok mereka jalin dengan melakukan arisan bersama. Solidaritas di kos-kosan Bandung itu terpupuk dan terjalin rapi hingga pada suatu ketika terjadi Pemilu 2004 putaran pertama dengan agenda memilih anggota legislatif.
Seluruh anggota kos-kosan Bandung didata menjadi peserta pemilih yang akan melakukan pencoblosan. Kurang lebih jumlah keseluruhan yang akan mempunyai hak pilih nanti adalah 35-40 orang. Maka mulailah bapak kos bergerilya dengan berkampanye untuk memilih Caleg yang didukungnya. Si bapak kos menyebarkan kartu-kartu gambar si caleg untuk dipilih oleh rombongan kos-kosan Bandung. Ancamannya sederhana, “Kalau tidak mau memilih bapak saya ini, silahkan pilih kos yang lain, “ ancam bapak kos setengah bercanda sambil menunjuk fhoto di kartu kampanye yang selalu dibawanya kemana-mana. Tapi, ancaman itu direspon serius oleh seluruh warga Bandung di kos dan akhirnya dibentuk kebulatan tekad untuk memilih calon si bapak kos untuk dimenangkan dalam Pemilu 2004 legislatif di kota Denpasar yang lalu.
Dan kembali saat Pilkadal 2005, si bapak kos kembali berkampanye dan menyebarkan kartu-kartu nama berisi calon walikota yang menjadi jagoannya. Tanpa ragu ia menyerahkan ratusan kartu nama kampanye itu kepada seluruh massa di kosnya bahkan disebarkan kepada seluruh warga Bandung yang ada di Denpasar. Sampai saat ini cara itu berhasil untuk mempengaruhi warga kos untuk melihat calon walikota yang masih asing dalam bayangan para “pendatang” ini. Dengan fhoto-fhoto yang terdapat dalam kartu nama kampanye, bapak kos mengingatkan agar menusuk fhoto dalam kartu nama yang diberikannya dan sudah tentu dengan embel-embel partai politik terkenal dan paling dominan di Bali. Jaminan untuk mengingat itu penting, karena penduduk pendatang seperti warga Bandung yang mengadu nasib di Bali ini tidak tahu akan memilih siapa dalam Pilkadal 2005 di kota Denpasar. Si bapak kos merasa tenang dengan jaminan memberikan fhoto calon walikota jagoannya sudah familiar di warga kosnya. Tanpa penolakan dan rintangan berarti, bapak kos berhasil menghimpun suara dari “penduduk pendatang” yang tinggal di tempatnya. “Penduduk pendatang” menjadi komoditas yang selalu diperbincangan setiap momen perebutan kekuasaan seperti Pemilu 2004 dan Pilkadal 2005 yang berlangsung di kota Denpasar, Badung, Karangasem, Tabanan, dan Bangli.
Nak Jawa menjadi istilah yang sering terdengar ketika sering terjadi pencurian-pencurian di rumah penduduk di kota dan desa di Bali tahun 1980-an. Pemulung yang dicurigai berasal dari Jawa tersebut menjadi tertuduh utama dalam pencurian-pencurian di rumah penduduk, pretima (simbol dewa dalam Hindu Bali) di pura-pura di Bali. Maka setelah itu muncullah plang-plang pengumuman, “Masuk Wilayah Ini, Pemulung Dilarang Masuk” sebagai bentuk antisipasi kepada para pemulung yang diduga berasal dari Jawa, nak Jawa (orang Jawa).
Sampai disini, image penduduk pendatang, nak Jawa sebagai pencuri tambah melekat pada diri orang Bali. Ditambah lagi dengan berita-berita kriminal di media massa dan televisi yang menyebutkan pelakunya adalah orang luar Bali memompa kebencian dan sentimen pada penduduk pendatang. Sampai akhirnya saat Bom Bali, kecurigaan dan amarah pada penduduk pendatang semakin memuncak. Amrozi sebagai simbol pelaku bom Bali menjadi sasaran caci maki bagaimana nak Jawa telah menghancurkan Bali. Banyak karena ulah Amrozi, ribuan anak muda Bali menjadi pengangguran karena hotel-hotel sepi wisatawan. Dan karena Amrozi jugalah penduduk Bali menjadi melarat, karena pariwisata yang menjadi jantung kehidupan kini telah luka parah bahkan lumpuh total.
Perbincangan di warung kopi di desa-desa di Bali menunjukkan kebencian yang amat sangat kepada Amrozi beserta antek-antek pelaku bom Bali. “Rage keweh ulian I Amrozi. Mula kala jelme totonan” (Kita susah karena Amrozi. Orang itu—Amrozi memang kala (jahat), menjadi pendapat umum bagaimana kebencian pada penduduk pendatang yang ternyata membawa bom ke Bali. Para komentator di warung-warung desa sering menyebutkan bahawa Bali telah dibohongi oleh seorang teroris yang pantas untuk dihukum mati.
Pasca Bom Bali, bentuk kebencian dan frustasi orang Bali menghadapi pendatang diwujudkan dengan melakukan sweeping penduduk pendatang yang selama ini tinggal di Bali dan menghisap keberuntungan dari Bali. Penduduk pendatang yang telah dicap sebagai “perusak” dan sarang teroris menjadi alasan umum reaksi spontan untuk melakukan penertiban ini. Diseluruh desa-desa di Bali melakukan penertiban ini dengan membentuk Tim Pendataan Penduduk, satuan pecalang untuk pengamanan dan meminta bantuan Tramntib (Ketentraman dan Ketertiban) kabupaten dan kota di Bali.
Sarang-sarang penduduk pendatang seperti kos-kosan warga Bandung di kota Denpasar itu adalah sasaran pertama untuk ditertibkan. Akan diperiksa KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang harus asli kabupaten dan kota. Jika tidak punya, akan digiring untuk dikembalikan ke daerah asal atau dibuatkan KIPPS (Kartu Indentitas Penduduk Pendatang Sementara) yang berlaku selama 6 bulan dan bisa diperpanjang lagi.
Setelah banyak mengalami citra buruk dan selalu menjadi korban dari kecurigaan bahkan faham fasisme masyarakat adat, kini penduduk pendatang, nak jawa, menjadi primadona yang harus “digarap” oleh tim sukses Pemilu 2004 dan Pilkadal Juni 2005. Tentu saja ini karena potensi suara mereka dalam pemilihan nanti sangat besar.Berbagai cara terus dilakukan untuk mendekati para pendatang dan meraup dukungan darinya, termasuk cara praktis yang dilakukan bapak kos warga Bandung diatas.
Disinilah terbetik dilema dan kontradiksi dalam masyarakat Bali. Penduduk pendatang menjadi sasaran dan kambing hitam pada momen-momen tertentu (pencurian, Bom Bali dll) . Posisi mereka tersudut, menjadi sasaran amarah dan razia penduduk. Pokok kecurigaan selalu penduduk pendatang dengan rumah-rumah kumuh yang berderet di daerah-daerah terpelosok. Kontradiksi itu adalah saat warga adat Bali mempunyai rumah kos yang diperuntukkan pada penduduk pendatang. Krama sebenarnya membutuhkan warga pendatang untuk menempati usaha kos-kosan yang telah dibuat oleh warga asli. Tapi saat-saat tertentu mereka mengingkari, atau lebih tepatnya munafik demi sebuah kepentingan bernama Ajeg Bali. Kontradiksi itu tercermin dari tempat kos-kosan tadi. Si bapak kos yang notabene penduduk asli menyediakan tempat kos untuk ditempati penduduk pendatang, sementara desanya melaklukan sweeping di tempat kos tersebut, karena penduduk pendatang yang liar tanpa identitas kerap berlindung di tempat kos-kosan yang kumuh.Disinilah terjadi politik kepentingan dan dilematis dari Ajeg Bali, membersihkan penduduk Bali dari pendatang liar yang justru ditampung oleh kos-kosan penduduk yang dimiliki dan dikelola oleh penduduk asli Bali yang hidup dari bayaran kos-kosan.
Dalam Pilkada nanti, nak Jawa justru akan menjadi rebutan dan sumber pertarungan para tim sukses calon bupati dan walikota. Berbagai bujuk rayu dan jani-janji ditebarkan bagi pera pendatang ini. Selain itu, kontestasi uang sebagai penaklukan menjadi hal yang penting dicermati. Gerilya para tim sukses sangat potensial untuk mempergunakan uang untuk jual beli suara. Disamping itu, politik dukungan dengan organisasi massa muslim juga menjadi cara lain untuk mencari pengaruh. Pertemuan-pertemuan para calon bupati dan walikota dengan tokoh-tokoh muslim, atau kehadiran mereka dalam acara-acara agama lain perlu dicermati dalam rangka meraup dukungan suara tersebut. Selain itu, dukungan dalam organisasi massa muslim, para jagoan dan kelompok-kelompok massa dengan relasi pada kelompok-kelompok penduduk pendatang adalah jal;an lain untuk merangkul suara para pendatang.
Akhirnya, suara nak Jawa akan mudah dimainkan kartunya dengan kekuatan-kekuatan, relasi-relasi seperti diungkapkan diatas. Operasi para tim sukses para calon dalam menjalankan jurus-jurusnya sangat mempengaruhi kemana larinya suara nak Jawa nanti dalam Pilkada. Setelah lepas sementara dari tudingan teroris, pengganggu Ajeg Bali dan “perusak kebudayan” Bali, kini mereka—nak Jawa—dijadikan rebutan untuk proses politik yang notabene katanya untuk meng-Ajegkan Bali, seperti salah satu materi kampanye calon walikota dan Bupati. Sungguh ironis memang.

Di Sebuah Panti: Hancurnya Kebudayaan Bali
Suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah tempat aneh. Belum ada papan yang menunjukkan apa sebenarnya tempat itu. Berderet kamar-kamar kecil layaknya sebuah hotel. Tempatnyapun jauh melewati jalan bay pas di sebuah daerah Kota Denpasar. Saya tidak menyangka tempat yang saya kunjungi adalah sebuah tempat penampungan, tepatnya sebuah panti jompo Tempat yang awalnya sangat asing bagi saya. Belum sekalipun saya mengunjungi sebuah panti tempat para manula menghabiskan hari-harinya.
Saya berkeliling, belum satupun saya menemui para manula. Halaman lapangan itu saya kelilingi dan saya melihat para perempuan-perempuan tua dengan mengenakan baju kebaya yang lusuh duduk berkumpul. Ternyata mereka sedang mejajahitan (membuat upakara ritual Hindu). Sedangkan yang pria tidak jauh dari tempat itu sedang asyik memotong bamboo juga untuk dibuat perlengkapan upakara.
Saya bahagia bertemu dengan mereka. Saya hampiri dan disapanya saya dengan senyum, “Mriki Gus, wenten napi?” (Kesini nak, ada apa?) Sejuk dan hangat kata itu menyapa saya. Saya menghampiri mereka dan mereka menyambutnya dengan hangat. Mereka melewati hari-hari dengan aktivitas, tidak melayun, dengan kerjakeras tidak dengan bermals-malasan.
Lalu, mengapa mereka ada di panti jompo? Saya lama memikirkan kenapa mereka sampai tidak diterima di keluarganya? Apakah mereka ada kesalahan atau telah membuat kesalahan sehingga anak mereka menitipkan mereka di panti jompo? Saya lama merenungkan. Sama sekali tidak tampak dalam wajah mereka sifat jahat dan menjadi musuh di keluarga dan masyarakat. Saya tidak tahu awalnya mengapa mereka sampai dip anti jompo?
Pertanyaan itu saya simpan. Saya berusaha untuk membuat perempuan-perempuan ini bersuara. Tapi mereka bungkam. Mereka hanya senang dan gembira bercerita tentang aktivitas mereka kini. Mereka sangat senang bisa membuat perlengkapan upakara ritual untuk dijual dan akhirnya mereka bisa mendapatkan uang saku seadanya.
Dalam kamar-kamar sederhana di panti itu, dalam satu kamar mereka tidur berdua. Sehari-hari mereka disibukkan dengan kegiatan olah raga, kegiatan agama dan membuat perlengkapan upakara ritual. Ada juga diberikan pelatihan untuk keahlian lainnya untuk para manula ini. Saya tertegun melihat bagaimana semangat mereka menjalani hidup. Entah apa yang salah pada mereka, saya juga tidak mengerti. Saya hanya membayangkan kakek dan nenek saya dirumah jika harus ditempatkan di panti ini.Saya tidak akan tega.
Mereka, khususnya perempuan adalah perempuan tegar. Saya mendengar cerita beberapa diantara mereka disingkirkan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap gila. Tapi beberapa diantaranya dimasukkan ke panti jompo karena dituduh bisa ngeleak (ilmu hitam). Masyarakat terpaksa membuang mereka agar tidak menjadi penggangu dan merusak ketentraman masyarakat. Banyak juga diantaranya yang terpaksa dititipkan oleh keluarganya karena berselisih faham di keluarga. Beberapa cerita adalah ketidakcocokan dengan menantu sehingga sang anak mengalah dengan menitipkan ibunya ke panti jompo.
Mendengar cerita itu terpuruk dan tercoreng rasanya kebudayaan Bali yang adiluhung, ramah, sopan dan toleran. Tapi justru dengan warganya sendiri mereka (masyarakat) Bali menyingkirkan anggotanya. Kebudayaan Bali yang ditata saat ini, bisa hancur berantakan mendengar penuturan dan narasi yang diungkapkan para perempuan-perempuan tegar di panti jompo itu.
Saya kembali mengulangi pikiran saya tentang “hancurnya kebudayaan Bali”. Saya ingat bagaimana konstruksi tentang toleransi dan saling menolongnya manusia Bali. Tapi kini, saya curiga bahkan tidak lagi percaya akan toleransi dan saling menolongnya manusia Bali. Saya kini yakin, manusia Bali sungguh tega untuk menyingkirkan warganya sendiri dan dititipkan dip anti jompo, disisihkan dari masyarakat.
Perempuan-perempuan tua di panti itulah bagi saya seorang Kartini sesungguhnya. Kartini yang bukan saja melakukan protes dari kondisi tertindas dan mengikat, tapi perempuan tua di panti jompo harus lepas dengan kehidupan mereka sehari-hari. Mereka berpisah dengan anak, cucu dan keluarga hanya karena alas an menggangu masyarakat atau ketidakcocokan dalam rumah tangga. Jadi kenapa harus ada panti jompo.
Saya bingung dengan kata emansipasi kini dalam perempuan. Bagi saya perempuan selayaknya bercermin bagaimana kerasnya hidup dan pengalaman dari para perempuan tua ini menghadapi “nilai kebudayaan Bali” yang harus membuatnya tersingkir. Emansipasi dalam pengertian sederhana saya adalah ikut serta, disejajarkan dengan laki-laki posisinya, tapi secara nyata perempuan kini mesti belajar dari generasi mereka sebelumnya yang harus gigih bertarung dengan hidup dan kehidupan yang harus menyingkirkan mereka.
Panti jompo itu menyisakan tanya bagi saya, apa yang harus dimaknai oleh perempuan kini terhadap situasi ini? Saya sudah bosan mendengar perempuan yang berteriak kencang menuntut hak tanpa belajar dari generasi mereka sebelumnya yang tersisishkan. Layaknya mereka menurunkan tujuan dan kini mulai belajar mencari inspirasi para survivor yang hidup dari pengalaman yang getir.
Sesungguhnya, wajah Kartini saya temukan pada para perempuan-perempuan manula yang berdiri berderet yang menyapa saya dengan senyum ramah. Seolah mereka tidak menemuka lagi siapa anak dan cucu yang harus diajak untuk bicara, bertutur dan mendengarkan keluh kesah mereka. Saya kadang-kadang miris melihat para aktivis perempuan yang berteriak-teriak pada kekuasaan. Sekali-kali mereka juga harus diajak bicara dengan perempuan tua pemnghuni panti jompo ini.
Mereka, para perempuan tua tegar ini, tidak mengenal yang namanya feminisme itu, tapi mereka melakukan gerakan feminisme senyatanya melebihi para aktivis perempuan yang terus berkoar-koar tentang gerakan sensitif gender dan feminisme. Mereka mungkin tidak tahu apa itu undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tapi mereka sudah lebih dulu mengalami bagaimana diperlakukan kasar oleh kaum laki-laki. Mereka tidak melawan, mereka bisu dan perlu tempat bertutur.
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika saya bisa bertutur lama dengan perempuan perkasa itu. Saya akan sangat senang mendengar cerita mereka, keluh kesah mereka dan kenapa mereka disingkirkan oleh keluarga dan masyarakat. Dan sudah pasti mereka akan menceritakannya dengan tangis. Tangis itu adalah kejujuran bagaimana mereka sangat rindu dengan keluarga mereka. Tapi mereka harus menghadapi getirnya hidup. Mereka disingkirkan. Saya tidak dapat membayangkan lagi kenapa manusia Bali seperti itu. Kenapa…?
Kartini adalah mereka, bahkan kenapa harus Kartini dari golongan bangsawan, kenapa tidak perempuan manula yang survive untuk menghadapi hidup dengan tekanan dan penyingkiran terhadap mereka oleh masyarakatnya sendiri. Saya juga tidak mengerti apa yang membuat masyarakat Bali kini begitu sadis untuk membiarkan para ibu, ayah, kakek dan nenek mereka menghuni panti jompo. Manusia Bali yang ramah, santun, suka menolong kini telah ambruk. Yang menghancurkannya adalah sederetan perempuan manula yang selalu tersenyum melihat anak muda. :”Tiang jadi ingat cucu tiang,” ujarnya sangat jelas saya menyayat hati saya.
Ahh…Saya tidak kuasa menahan tangis lagi…


[1] Majalah Sarad, Ricuh Bali di Hari Suci, No. 60 April 2005.
[2] Majalah Sarad, No. 61 Mei 2005.
[3] Semua data dalam Kasus Yeh Embang diambil dari Radar Bali, Kamis 14 April 2005.
[4] Radar Bali, 14 April 2005.
[5] Semua bagian ini diambil dari Degung Santikarma, Budaya, Kuasa dan Pariwisata, essay belum dipublikasikan.
[6] Temu Wirasa itu dilaksanakan di Pura Samuan Tiga, sebuah pura di Kabupaten Gianyar pada 20 Desember 2003.

Manusia Bali Berwajah Pecalang


Manusia Bali Berwajah Pecalang


“…Tiang bertugas di terminal mengatur kedatangan pengembira dan langsung ke ring satu kongres,” katanya sembari melihat-lihat lagi ID Cardnya…”[1]

(Putu Sujana, Wawancara 23 April 2003 saat ditanya tugasnya menjadi pecalang saat Kongres II PDIP Maret-April 2005 di Bali)


Berlangsungnya Kongres ke II PDIP (Partai Demokrasi Indoensia Perjuangan) di Bali, 29 Maret-3 April 2005 lalu tidak sampai dilewatkan oleh Putu Sujana, pekerja bengkel yang dikenal fanatik sebagai pendukung setia partai moncong putih ini. Informasi mengenai PDIP menjelang kongres tidak dilewatkannya. Sebagai salah satu pendukung kelompok status quo, Putu sangat sinis memandang gerakan pembaharuan di tubuh PDIP. “Nike (Itu) barisan sakit hati saja,” ungkapnya enteng.[2]
Kepada saya dengan bangga dia menunjukkan ID Card menjadi satuan pecalang (milisi adat) yang bertugas di ring satu tempat kongres di sebuah hotel mewah di daerah Sanur Bali. Putu sangat semangat menjadi pecalang, satuan pengaman adat di Bali. Bukan hanya pada kongres kali ini, tapi kongres sebelumnya ia bertugas di lapangan tempat apel akbar massa banteng merah ini untuk mendengar pidato politik Megawati Soekarnoputri tahun 1999. Putu tidak hanya menjadi satuan pecalang PDIP. Di banjarnya (desanya), Putu adalah anggota pecalang desa adat dan tim pendataan penduduk pendatang. Tugasnya setiap minggu adalah merazia penduduk liar dan memungut iuran bagi pendatang.
Putu adalah potret sebagian besar anak muda Bali ketika kepincut untuk menjadi gagah dengan berpakaian pecalang dan satuan sweeping bagi penduduk pendatang. Saya masih ingat saat semua anak muda Bali bergairah menjadi Satuan Tugas (Satgas) dan satuan pecalangnya PDIP saat kongres PDIP I di Sanur 1999.[3] Bahkan sampai ke banjar-banjar, seruan dan ajakan menjadi pecalang disambut hangat anak muda Bali waktu itu. Dalam bayangan mereka, pecalang PDIP keren dan nampak gagah mengatur orang menyamai tugas polisi. Kata seorang teman berseloroh, saat itu pecalang PDIP adalah “polisi bayangan” atau bahkan melebihi kekuasaan polisi saat itu dan mungkin sampai saat ini.
Unjuk kekuatan pecalang dalam mengamankan kongres nyata saya lihat saat melakukan apel akbar satuan pengamanan tradisonal ini untuk mengamankan kongres.[4] Para calon pecalang (politik) kongres II PDIP melakukan unjuk kekuatan dengan gladi kotor pengamanan kongres. Kurang lebih 700 pecalang akan dilibatkan dalam pengamanan di ring satu areal Grand Bali Beach, tempat berlangsungnya kongres nanti. Dalam rencananya, para pecalang akan berdandan layaknya para pecalang yang mengamankan pelaksanaan Melasti (ritual para Dewa memohon tirta suci ke pantai) dan Nyepi Maret 2005.
Saat menyaksikan kongres PDIP 2005, saya sungguh nyata melihat bagaimana wibawa pecalang berbaju merah berlambang PDIP, dilengkapi dengan kain merah hitam berlogo PDIP, keris di punggung dan handy talkie (HT) jelas menampakkan kegagahannya. Mereka bergerombol di perempatan jalan menuju kongres, mengatur massa dan meneriaki massa yang bandel. Sementara polisi berada di belakang mereka. Perintah pecalanglah yang didengar oleh massa, sementara polisi selalu menerima cibiran. Saat bentrok antar massa Megawati dengan pembaharuan di tubuh PDIP, semua kelompok menurunkan satgas dan pecalangnya masing-masing.
Pasca kongres yang kembali mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum PDIP, semakin mengentalkan bahwa Bali adalah basis massa kuat PDIP. Bukan hanya kesuksesan PDIP yang kemudian memborong semua jabatan penting di kabupaten (Bupati) dan Walikota di Bali—disamping mayoritas anggota DPRD Bali, kabupaten dan kota dari kader PDIP—tapi naik daunnya pecalang membawa wacana penting dalam politik kebudayaan Bali. Pecalang menjadi kata sakti dan jaminan keamanan Bali. Serta merta setelah melihat keberhasilan pecalang dalam mengamankan kongres PDIP I dan kembali diulangi pada kongres ke-II, desa-desa adat seluruh Bali seperti keranjingan membuat satuan-satuan pecalang. Lebih daripada itu, pecalang bahkan dibuatkan posko, dibelikan peralatan lengkap dalam tugas, bahkan disediakan mobil patroli oleh desa adat. Pecalang juga bertugas melakukan patroli keamanan desa. Dalam wilayah kekuasaan desa adat, toko-toko diwajibkan menyumbang untuk dana jaga baya (uang keamanan) untuk operasi satuan pengamanan tradisional ini. Pecalangpun menjadi tenaga keamanan dalam razia penduduk pendatang, sweeping, bahkan untuk menjaga pesta perkawinan dan konser-konser musik.
Awal munculnya pecalang untuk kepentingan (politik) pengamanan kongres ternyata berbuah manis. Pecalang menjadi berkembang tugasnya dalam banyak sisi. Lalu bagaimana tugas pecalang secara adat? Para penekun adat pernah menyatakan bahwa tugas pecalang adalah untuk mengamankan pelaksanaan upacara adat di desanya. Selain pecalang, dulu ada istilah sikep, dolap untuk pengamanan adat ini. Tapi kini, maraknya pecalang melakukan razia juga mendapat pembenar; pecalang bertugas untuk menjaga adat dan budaya Bali dari pengaruh luar. Pecalang adat dan politik akhirnya bergulat dalam kepentingan yang sama, bagaimana mempertahankan dan menjaga kebudayaan Bali dari pengaruh luar. Dengan kehadiran pecalang dalam wacana Ajeg Bali, adalah sebagai sistem pengamanan penting untuk menguatkan, mengokohkan dan yang terpenting menjaga kebudayaan Bali tetap lestari, indah dan damai.
Satuan pengamanan, berikade, milisi dalam setiap partai adalah perangkat yang tidak bisa dilepaskan. Kehadiran pecalang menjadi menarik karena masuknya simbol adat dan kebudayaan (Hindu-Bali) yang diperankan oleh pecalang. Busana pecalang mencerminkan bagaimana simbol adat, kebudayan dan politik menjadi relasi yang sangat kuat. Pecalang bukan Satgas (Satuan Tugas) partai dengan pakaian kebesaran layaknya milisi tempur. Tapi pecalang adalah pengamanan tradisional dengan busana adat dan budaya Bali yang mencoba memerankan diri seperti berikade, milisi untuk mengamankan acara partai.
Pecalang dalam Kongres PDIP menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan akan Bali. Pecalang menjadi wacana menarik anatara relasi politik dan kebudayaan. Ini karena kemudian dalam konteks politik, keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan dalam partai atau pertarungan geng dan preman. Pecalang akhirnya menjadi satuan petarung pengamanan yang pasti ada dalam setiap areal konflik dan sengketa di Bali.

Pecalang, Milisi dan Jagoan Lokal [5]
Di sebuah pasar tradisional terbesar di Denpasar, pasca terjadinya perusakan kantor kepala pasar oleh sekelompok (preman) orang tidak dikenal, dibentuklah satuan pengamanan untuk pasar tersebut. Sahabat saya seorang pedagang di pasar tersebut bercerita dengan polos. “Saya lihat rompinya bisa dibolak-balik. Kadang bertuliskan “Satgas Pasar” dan jika dibalik bertuliskan “Pecalang Pasar”.” [6] ujarnya. Orangnya sebenarnya sama saja, Cuma berubah rompi dan sudah pasti berubah busana.
Pecalang sering dikritik berlaku arogan dan seenaknya untuk menutup jalan. Pecalang juga sering memantik konflik dengan peringai mereka yang kasar dan sok kuasa. Ini dirasakan sekali saat pecalang melakukan pengamanan untuk upacara adat. Bukannya untuk mengamankan, bahkan menimbulkan masalah baru untuk diamankan. Pecalang sebagai satuan pengamanan tradisional memang tidak siap dan tidak dilatih untuk melakukan pengamanan yang biasa dilakukan oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Kesan pecalang sebagai penjual jasa keamanan terlihat jelas dari kepentingan desa adat untuk memungut biaya penduduk dinas (pendatang). Ini juga dilema yang dihadapi desa adat. Mereka jelas berorientasi untuk materi untuk menghidupi kegiatan-kegiatan adat dan budaya di desa. Sementara mereka juga harus berlaku keras dengan merazia penduduk yang membludak datang ke daerah mereka. Pecalang menjadi senjata utama untuk melakukan razia tersebut dibantu oleh Tim Pendataan Penduduk di masing-masing Desa Pakraman di Bali. Aksi mereka inilah yang banyak dikeluhkan oleh penduduk pendatang. Saat malam-malam, mengedor rumah untuk memeriksa KTP dengan sikap keras, kasar dan arogannya.
Pecalang juga kata sakti untuk melakukan pengamanan di daerah-daerah “basah”, rawan konflik dan pertarungan preman. Daerah-daerah seperti pasar, terminal, kafe-kafe juga telah mempekerjakan pecalang di samping Satpam (Satuan Pengamanan). Saya melihat dengan jelas di sebuah rumah makan siap saji di Denpasar, pecalang bersanding dengan Satpam untuk mengatur kendaraan yang parkir penuh di rumah makan tersebut. Begitu juga dengan pasar dan terminal. Para preman biasanya dengan mudah mengubah dirinya menjadi pecalang dengan simbol adat untuk menguasai daerah kekuasaan mereka dari preman lainnya.
Peran hampir mirip dilakoni oleh para milisi, organisasi massa yang para anggotanya kadang juga menjadi pecalang di desanya. Tempat-tempat strategis dan potensial untuk perebutan sumber ekonomi ini bisa di terminal, tempat-tempat keramaian dan hiburan seperti kafe-kafe, diskotik menjadi sasaran dari para milisi dan organisasi massa ini. Bisa juga pasar tradisional bahkan yang lumrah terjadi adalah pengerahan kelompok/organisasi massa dengan kekuatan yang besar untuk kepentingan politik saat pesta demokrasi pemilu, kampanye dan Satuan Tugas (Satgas) partai politik. Para kelompok massa—yang biasanya dikomandoi oleh orang kuat lokal dengan perjalanan sejarah perkelahian dan kekuasaannya—biasanya memilih untuk menjadi tenaga pengaman dalam sebuah aktivitas partai politik. Kampanye Pemilu 2004 lalu di Bali memberikan gambaran bagaimana pertarungan jasa pengamanan dari kelompok organisasi massa ini. Bukan hanya pertarungan elite politik saja yang mendapat tempat, tapi juga tenaga pengaman, satuan jagoan, para milisi yang ditugaskan untuk menjaga para elite partai dan mensukseskan kegiatan partai politik tersebut. Jadi bukan hanya jasa dari pecalang saja, tapi jasa para milisi dan organisasi massa juga berperan sangat penting. Akhirnya, pecalang dan milisi menjadi kabur. Sama-sama “saling menjadi” diantara keduanya.
Beberapa kelompok massa dengan kekuatan dan jasa pengamanan itu di Denpasar misalnya, sangat jelas terpetakan. Laskar Bali, sebuah organisasi massa di Denpasar memilih untuk menjadi tenaga pengamanan dalam kampanye-kampanye PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) pimpinan putri Soeharto, Mbak Tutut dan pensiunan Jendral R. Hartono pada Pemilu 2004. Kiblat organisasi massa ini mengarah ke PKPB tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya Laskar Bali dan kedekatan dengan keluarga Cendana. Dalam setiap kampanye, pasukan Laskar Bali biasa mengenakan seragam kaos berwarna coklat tua mirip kaos tentara bertuliskan “Laskar Bali Peduli Bangsa”. Badan para pengawalnya kekar-kekar hasil latihan dari banyaknya fitnes centre dan body building yang tersebar sampai ke pelosok desa-desa di Bali. Politik kejantanan dan kekarnya tubuh menjadi image yang sangat berharga bagi para satuan pengamanan ini. Dengan badan yang kekar, istilahnya terus “terkunci” menjadi modal untuk membuat seram, gawat dan berwibawanya satuan pengamanan ini.
Sejarah perkelahian dan kebrutalan dari Laskar Bali ini terlihat jelas dari daerah kekuasaan para tenaga keamananan ini untuk menguasai tempat-tempat hiburan malam (kafe dan diskotik) di daerah Denpasar. Asumsi ini mendapatkan bukti ketika kerjadi penusukan dalam sebuah keributan di sebuah diskotik di bilangan Denpasar. Dari keributan itu, seorang tentara tewas tertebas pedang dari anggota Laskar Bali. Usaha memperebutkan lahan basah sumber penghasilan ekonomi memicu terjadi pertarungan dan tragedi kekerasan di depan mata. Kekerasan itu sangat brutal ditunjukkan di depan mata masyarakat.
Masih di kota Denpasar, terdapat juga sebuah organisasi massa yang “semi legal” bernama FPD (Forum Peduli Denpasar). Deklarasi forum pada 20 November 2002 mendapatkan liputan media yang besar. Sebuah media berpengaruh di Bali bahkan melakukan wawancara mendalam dengan ketua FPD, Sutama Minggik, sepanjang satu halaman. Dalam pendeklarasian forum ini turut hadir Walikota Denpasar, AA Pusapayoga, kalangan pemerintah, elite politik, mahasiswa, intelektual, dan tokoh masyarakat. Dalam susunan pengurusnya yang dimuat di koran tersebut tertulis bahwa pelindung organisasi ini adalah Walikota Denpasar. Sedangkan penasehatnya adalah kalangan intelektual di Bali. Kiprah organisasi ini kemudian memilih untuk bergabung ke PDI Perjuangan dalam Pemilu 2004 dan tetap menguasai lahan-lahan “basah” di kota Denpasar seperti terminal dan pasar-pasar.
Fenomena terbentuknya organisasi ini sangat menarik karena mendapatkan restu dan perlindungan dari pemerintah dan birokrasi. Dalam setiap pertarungan dan kontestasi politik, para pejabat dan elite politik merasa belum percaya diri sebelum didekkingi (dilindungi, mendapatkan pengawalan dan jasa pengamanan) dari para jagoan, milisi atau “memelihara” preman. Bahkan gejala untuk “memelihara” para jagoan-jagoan lokal ini menjadi bukti bagaimana saling menguntungkannya hubungan antara para jagoan dengan elite politik, pemerintahan dan birokrasi. Kehadiran para jagoan ini sebagai berikade dari tokoh politik atau masayrakat jika diserang oleh lawan politiknya dengan kelompok jagoan dan massa yang lain. Satuan tempur adalah salah satu sebutan dari kelompok para jagoan ini. Atau yang lebih spesifik sering disebut, “anggota FPD, barisan Laskar Bali atau orangnya Winasa (Bupati Jembrana)”[7]
Para milisi dan preman menjadi sebuah kekuatan yang bisa tumbuh sumbur dan disemai benihnya oleh kekuatan-kekuatan negara untuk kemudian dijadikan kepentingan politik kekuasaan. Contoh-contoh dari pecalang yang dilatih oleh polisi serta kekuatan-kekuatan tentara dalam satuan dan jasa pengamanan sudah menjadi rahasia umum. Kasus para militia saat pembantaian massal PKI di Bali menunjukkan itu semua. Para tameng--barisan pemuda dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang dilatih tentara untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI—dijadikan bemper untuk mengadu domba rakyat, sementara tentara menyaksikan bagaimana brutalnya pembantaian dilakukan tanpa kejelasan dan alasan yang tepat. Sentimen, masalah pribadi, masuk menjadi benang kusut yang kemudian menjadi antitesis pembantaian ’65 bukanlah sebuah genocide yang terencana tapi juga hasil sebuah pertarungan, kontestasi, politik kepentingan ritual, status, tanah dan segala macam konflik yang lama terpendam. Setelah tameng melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI, selanjutnya para tameng ini yang dibunuh oleh tentara karena mereka juga menjadi daftar hitam serta untuk melenyapkan jejak-jejak kesaksian mereka.
Sejarah tameng kemudian diikuti oleh terbentuknya milisi-milisi yang secara sumir sebenarnya menyiratkan semua itu. Tidak hanya di Denpasar tapi di seluruh kota-kota kabupaten di Bali kini telah tumbuh subur barisan-barisan para jagoan yang berkiprah dalam kepentingan politik ataupun hanya sekadar menjual jasa pengamanan untuk ekonomi dan politik. Terbentuknya organisasi ini salah satunya disebabkan karena sejarah perkelahian dan ketokohan dari ikon preman dan jagoan di tempat tersebut. Gambaran itu jelas terjadi saat pembentukan Garda Buleleng[8] di kabupaten utara pulau Bali, Buleleng. Terbentuknya barisan yang diisi oleh para bebotoh (penjudi), sekaa tajen (kelompok sabung ayam) menggambarkan bagaimana komposisi kelompok dan anggotanya. Cikal bakalnya adalah dari massa si ketua organisasi yang sebelumnya adalah tokoh dalam perjudian dan sabung ayam.
Trio kuat motor dan jiwa kelompok ini terkenal dengan sebutan KoKaR (Koyan, Kajar, Rama), tiga nama yang bersatu dan membentuk sebuah organisasi massa yang sangat disegani di Buleleng. Bahkan dalam pendeklarasian organisasi ini, Bupati Buleleng, Putu Bagiada hadir dan ditampuk sebagai pelindung organisasi ini. Garda Buleleng dalam Pemilu 2004 bernaung dibawah partai PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) dan karena sudah uzur, trio KoKaR kemudian menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putra-putra mereka yang kini ada yang menghuni anggota DPRD Buleleng. Daerah lainnya ada DPM (Dewan Perwakilan Massa) di Kabupaten Karangasem. Motornya adalah anggota DPRD Kabupaten Karangasem dari PDIP, Kari Subali. Anggota massa DPM ini sering melakukan tekanan kepada instansi pemerintahan dalam menyelesaikan sebuah kasus.
Berperannya para jagoan, milisi dengan gaya teror dan kekerasan didepan mata diakomodasi oleh negara untuk melakukan tekanan kepada masyarakatnya. Negara menjadi bagian yang sangat diuntungkan dalam konteks seperti ini. Negara akan dengan senang hati menaungi para kelompok jagoan ini untuk kemudian melakukan pelenyapan terhadap gerakan kritis lainnya. Politik adu domba dan menghorizontalkan konflik adalah gaya pemerintah untuk menyaksikan dengan gembira bagaimana konflik dan kekerasan terjadi di antara kelompok preman dan masyarakat. Padahal negara menjadi sebuah kontestan yang penting sebagai dalang dari sebuah skenario tadi. Tapi, memang tidak mudah untuk menjelaskan teori kuasa negara yang begitu konspiratif dan “besar”. Ada baiknya untuk mengurai dan mendetailkan kembali bagaimana operasi bekerjanya para jagoan, milisi dan preman tadi dalam kontestasi politik yang ada dalam konteks lokal. Operasi mereka tentu menyentuh pada kepentingan politik dan ekonomi yang menaungi mereka (peliharaan bupati, elite politik dan lainnya). Saya sangat yakin operasi dan jaring kerja mereka akan kelihatan ketika momen Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) terjadi di tanah air tahun 2005. Sejarah pelenyapan dan pemujaan adalah kata yang tepat untuk mengilustrasikan hubungan antara kekuasaan dengan para jagoan-jagoan lokal ini. Kontestasi politik menyebabkan hubungan mereka terus bergeser dalam hitungan-hitungan kepentingan yang mereka ukur sendiri.

Manusia Bali: Dalam Siaga dan Waspada[9]
Diselimuti gelap malam dan dingin menyengat, puluhan orang masih tetap berkumpul setia, berjongkok-jongkok, bergerombol dan menunggu. Pakaian mereka rapi, menggunakan kamen (kain) dan udeng (ikat kepala). Mereka berkumpul di banjar (balai desa) menjelang tengah malam, jam 22.00 Wita. Bukan untuk menggelar pesangkepan (rapat desa) seperti biasanya, tapi mereka kini bersiaga penuh. Mereka akan melakukan razia, sweeping karena ada situasi gawat yang mengancam dan merusak citra daerah mereka. Para krama (warga) masyarakat adat di Bali itu gerah. Daerah tempat kelahiran mereka sangat identik dengan tempat pelacuran, lokalisasi. Menyebut daerah mereka adalah citra sarangnya pelacuran. Maka kinilah saatnya masyarakat adat seluruhnya tanpa kecuali memberantasnya. Dan ternyata mereka menunggu instruksi dari pimpinan adat malam itu untuk melakukan razia ke tempat-tempat pelacuran.
Saya yang berada dalam rombongan tersebut melihat bagaimana sigap dan ganasnya para pecalang (satuan pengamanan tradisional Bali) bersama Hansip (Pertahanan Sipil) serta puluhan krama adat lainnya merazia tempat yang mereka curigai melakukan praktek prostitusi. Dan memang benar, dalam semak-semak pohon, berhamburanlah perempuan dan laki-laki. Mereka panik dihardik para pecalang dan krama adat yang melakukan razia dengan menggunakan pakaian adat Bali. Selanjutnya saya mendengar cerita, bukan hari itu saja, tapi tiga hari berturut-turut sweeping itu terus dilakukan. Dan kini meluas sampai merazia rumah-rumah penduduk disekitarnya. Memeriksa identitas diri dan menanyakan pekerjaan. Jika tidak bisa menunjukkan identitas, “penduduk liar” ini akan dibawa ke banjar, disuruh membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk), membayar iuran surat tinggal sementara dan kembali dibebaskan.
Cerita-cerita razia, penggerebekan seperti itu—dan mungkin banyak peristiwa lain lagi di seluruh pelosok Bali—sering kita dengar dan baca di media-media lokal di Bali pasca Bom Bali Oktober 2002. Selama hampir 2 tahun lebih, aksi yang diistilahkan oleh pemerintah daerah di Bali ini adalah “Penertiban Penduduk” dirasa penting untuk memulihkan keamanan di Bali. Pasca Bom Bali, masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu).[10] Akses dan perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia dan penggerebekan tadi.
Tapi sebelumnya, politik kewaspadaan dan kesiagaan ini telah lama tumbuh subur di Bali. Pemicunya tidak lebih dari politik curiga dan adu domba antara kelompok dan kepentingan. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali. Pura-pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan logam emas simbol pretima (Dewa Hindu) yang berada di dalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik. Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? Setelah itulah muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan dan kewaspadaan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil di seluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas” Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.
Kini, yang lebih menyedihkan, di awal tahun 2005, bukan pencurian pretima dan emas yang terjadi, tapi perusakan terhadap pura, mengacak-ngacak dan merusak patung-patung di Pura. Beruntun terjadi dalam tiga malam, 5 pura dirusak entah oleh siapa.[11] Yang mengejutkan, kejadian itu menimpa daerah etalase dunia, jantung pariwisata Bali, tempat bom meledak dan mengejutkan dunia; daerah sekitar Kuta dan Legian. Masyarakat Bali panik. Siaga satu pun diberlakukan. Masyarakat Hindu di Kuta diwajibkan untuk mekemit (jaga malam) dan hingga kini masyarakat Bali masih bertanya-tanya siapa yang melakukan perusakan tersebut. Masyarakat Bali sedang siaga, meningkatkan kewaspadaan dan sudah pasti menaruh curiga didalamnya pada orang-orang tertentu. Entah siapa dia. Politik kecurigaan dan kewaspadaan telah terpelihara dengan kuat dalam ajang-ajang yang berlainan dan dalam konteks politik yang berbeda-beda pula.
Bali menyisakan lubang menganga bagaimana politik kewaspadaan dan kecurigaan itu tumbuh sumbur di Pulau Seribu Pura Sejuta Ruko ini. Memang benar ada yang mengatakan bahwa Bali tercipta dari pengingkaran sejarah masa lalu. Bagaimana kebudayaan Bali tercipta kini tidak terlepas dari pengaruh, jejak-jejak sejarah penundukan dari kolonialisme sebelumnya. Bali paling cepat untuk bereaksi dan menghakimi orang yang dituduh komunis misalnya di tahun-tahun mencekam 1965-1969. Hingga pembantaian, penyembelihan terhadap nyama (saudara) sendiri terjadi di Bali. Penyembelihan dengan cara sederhana, dengan keringat dan alat seadanya, menewaskan kurang lebih 80.000 orang Bali adalah harga mahal yang harus dibayar atas nama kewaspadaan.[12] Semuanya atas nama kewaspadaan, kecurigaan dan kesiagaan akan bahaya dan hantu-hantu komunisme yang tak pernah terbukti. Berikutnya, reproduksi politik kewaspadaan dan kecurigaan itu terus tumbuh subur saat negara bertambah kuat saat orde baru berkuasa pasca 1965. Stigma sampah masyarakat bagi mantan aktivis komunis terus dipelihara dan politik kewaspadaan muncul dalam jargon Awas Bahaya Laten Komunis dan cap-cap komunis bagi anak muda yang coba kritis terhadap kekuasaan. Dan akhirnya, orang Bali melupakan dan kembali menerapkan kewaspadaan baru; perusak kebudayaan Bali.
Politik kewaspadaan baru ini terbilang mempan untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. [13] Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga ditengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman didalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank dari kelompok Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana inilah kemudian melahirkan politik kewaspadaan baru. Pertanyaannya kemudian, siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali?
Disinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali dan menular pada masyarakatnya—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakan jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya[14]. Negara secara terus-menerus mensubversi dengan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali tadi menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bagunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).[15]
Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya.
Ajeg Bali dan politik kewaspadaan dan curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, sasaran-sasaran.[16]

[1] Satuan pecalang memiliki ID Card khusus yang menarik dengan latar belakang merah dan lambang PDIP. Juga dilengkapi dengan foto dan tandatangan dari bagian keamanan panitia Kongres II PDIP di Bali.
[2] Wawancara saya dengan Putu Sujana, 23 April 2005.
[3] Saya masih ingat, ajakan menjadi pecalang dalam Kongres I PDIP sampai pada rapat-rapat desa dan sudah pasti dalam rapat-rapat sekaa teruna (organisasi pemuda desa) untuk merekrut pecalang ini.
[4] Apel Akbar unjuk kekuatan satuan pengamanan polisi dan pecalang menjelang Kongres II PDIP di Bali berlangsung Jumat sore, 18 Maret 2005
[5] Sebagian besar bagian ini diambil dari I Ngurah Suryawan, “Pecalang” Politik dan Para Milisi, Kompas 17 April 2005.
[6] Catatan lapangan dan wawancara di Pasar Tradisonal di pusat kota Denpasar, Oktober 2004.
[7] Catatan untuk studi awal tentang para jagoan dan milisi di Kabupaten Jembrana Bali, Maret- April 2005.
[8] Catatan tentang Garda Buleleng dari hasil catatan lapangan dan wawancara di Kabupaten Buleleng, Oktober 2004.
[9] Sebagian besar bagian ini diambil dari I Ngurah Suryawan, Politik Kewaspadaan dan Siaga Budaya, Pengantar Koratorial pameran “Waspada” lima seniman muda Bali di CCF Jakarta, Februari 2005.

[10] Krama Tamiu adalah istilah dan konsep dalam kebudayaan Bali untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat asli Bali. Konsep masyarakat asli dan pendatang telah lama ada dalam pikiran masyarakat Bali. Dalam komunitas adat di Bali, pembedaan ini jelas terlihat dari pemisahan krama ( warga) adat dan krama dinas, para pendatang.
[11] Perusakan ini menurut catatan media-media lokal di Bali berlangsung pertengahan Januari 2005. Pertama terjadi di wilayah Kuta, Kedonganan dan Legian. Kejadiannya beruntun tiga malam. Pada Senen (17/1) menimpa Pura Dalem Kahyangan Legian. Keesokan harinya, Selasa (18/1) perusakan terjadi di Pura Dalem Penataran Kedonganan, Pura Kati Gajah dan Pura Pasimpangan Ida Ratu Dalem Ped, keduanya di wilayah Kelan. Pada Rabu (19/1) perusakan terjadi di Pura Pangorengan dan Pura Lobong, Temacun, Kuta. Lebih lengkap lihat liputan media-media lokal di Bali, Bali Post, Nusa, Radar Bali dan Warta Bali dari Selasa, 18 Januari hingga 22 Januari 2005. Review singkat ini dikutip dari Majalah Sarad No. 58 Februari 2005.
[12] Pembantaian massal yang dituduh anggota dan simpatisan PKI 1965—1966 sebenarnya bisa menguraikan bagaimana setting Bali dulu dan kini. Tragedi kekerasan yang masif saat itu sungguh luar biasa terjadi. Selanjutnya entah hilang kemana dengungan bayangan kekerasan itu ditelan glamournya rayuan Golkar dan manisnya kue pembangunan saat orde baru 1966. Sungguh sejarah yang hilang dan terpotong. Khusus untuk Bali, rekaman sejarah itu setidaknya bisa dipakai sebagai titik tolak untuk membongkar setting Bali kini yang dibentuk oleh orde baru dengan stabilitas dan normalisasinya. Lebih lengkap studi tentang pembantaian PKI di Indonesia (Bali) diantaranya lihat Soe Hok Gie, artikel dalam Zaman Peralihan, Bentang 1995. Geoffery Robinson, The Dark Side Of Paradise (Political Violence in Bali), Ithaca and London: Cornell University Press 1955, Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Gramedia 2000.
[13] Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.
[14] Jargon dan proyek paling berhasil dari rezim pembangunan orde baru untuk menciptakan Bali sebagai laboratorium bagaimana pembangunan bisa diselaraskan dengan pariwisata dan budaya. Dan juga negara menjadi pengatur utama gerak langkah pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya di Bali.
[15] Diskusi lewat surat elektronik dengan Degung Santikarma, Juli hingga September 2004. Dikutip dari tulisan Budaya, Kuasa dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan. Sebagian pemahaman dari tulisan kolaborasi bersama saya tentang Politik Ritual dan Budaya Kekerasan di Bali, dalam I Ngurah Suryawan, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), 2005.
[16] Haryatmoko dalam Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Manusia Bali dalam Politik




Manusia Bali dalam Politik
(Kontestasi dan Kuasa)

I Ngurah Suryawan





“…Urusan politik seperti demo, munas partai, Inpres dan Keppres, ganti-mengganti presiden, dan mutasi menteri menjadi urusan orang gede di pusat kekuasaan yang tidak berhubungan dengan Bali sebagai “daerah olah budaya”…”

(Degung Santikarma, Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal, Politik Representasi Kekerasan di Bali, Kompas, 1 Agustus 2003)[1]


Coba isenglah bertanya pada kawan anda bagaimana ia memandang Bali. Pastilah jawaban yang akan muncul adalah daerah pariwisata dengan keindahan alamnya yang mengagumkan, masyarakatnya yang “berbudaya” dengan adat istiadat dan tradisi yang terus bertahan dan kokoh. Dan jawaban terakhir yang kadang memilukan sekaligus menggelikan, manusia Bali adalah mahluk yang sopan santun, ramah tamah dan bersahabat.
Tapi saat bom di Legian Kuta meledak Oktober 2002, mendadak semua orang bertanya, kenapa bisa Bali yang dijadikan sasaran? Pertanyaan kenapa bisa Bali adalah pertanyaan yang sarat dengan konstruksi imaji dan citra akan Bali. Saat berkembangnya Bali sebagai destinasi bisnis jasa bernama pariwisata, seolah hidup dan kehidupan manusia Bali adalah untuk pariwisata. Semua barisan dan elemen masyarakat mencurahkan dirinya sepenuhnya pada industri jasa ini. Infrastruktur dibangun dengan simultan untuk mendukung program Bali Sebagai Tujuan Wisata Dunia. [2]
Image Bali adalah daerah pariwasata, tempat nyaman berlibur itulah yang berada dalam konstruksi orang kebanyakan, mungkin juga termasuk bagi rekan atau sahabat anda. Sehingga ketika bom meledak tidak ada yang mayangka kenapa Bali yang menjadi sasaran, daerah wisata milik kita semua? Daerah yang luput dari segala macam hiruk pikuk urusan terorisme, politik nasional bahkan internasional. Sekali lagi seluruh dunia terheran, kenapa Bali?
Geneologi Politik “Pembudayaan”
Konstruksi pandangan dunia dan juga masyarakat Indonesia kebanyakan memang menempatkan Bali menjadi bagian yang “tidak terjamah” urusan-urusan politik kelas tinggi, konflik atau ketegangan-ketegangan yang berujung pada kekerasan massa. Saat masyarakat dunia disibukkan dengan urusan politik, perang, bisnis, kolonisasi baru, maka Bali menjadi tempat tujuan utama untuk berwisata, menenangkan diri dan menghimpun tenaga untuk suasana yang lebih baru. Seluruh masyarakat dunia sangat mengenal Bali lebih dari manapun. Bahkan, orang Bali sangat bangga mengatakan bahwa Bali lebih terkenal daripada Indonesia. Pernyataan yang sering mereka ucapkan, “Indonesia itu dimananya Bali ya?” [3]
Lalu, darimana semua image Bali sebagai daerah wisata itu? Catatan-catatan sejarah menyebutkan, sebelum masa emas Bali menjadi tujuan daerah wisata, Bali terkenal sebagai pengekspor budak belian, daerah yang sangat barbar dengan peperangan dan pembantaian antar sesama. Tapi semua image buruk itu seketika berubah. Eksotisme manusia Bali—dengan perempuannya yang bertelanjang dada, pemandangan alam, seni dan adat tradisinya—membuat para pelancong, pedagang dan sarjana-sarjana yang berlibur di Bali membuat catatan perjalanan, membuat brosur-brosur promosi untuk sebuah pulau tropis di Asia yang sangat mempesona. Promosi yang paling ampuh mengenalkan Bali adalah melalui informasi dari mulut- kemulut yang terus disebarkan para pelancong, pedagang dan para antropolog kolonial itu.
Maka mulailah mengalir tour-tour para pelancong yang berdatangan terus menerus ke Bali. Kegagapan manusia Bali menerima durian runtuh itu mengharuskan mereka untuk mempersiapakan diri dengan berbagai cara. Seluruh kehidupan manusia Bali berubah. Tahun 1930-an , faham baru bernama modernitas berkembang dibawa oleh para pelancong-pelancong, pedagang, seniman, pelukis dan sarjana-sarjana asing. Sesaat berkembangnya modernisme di Bali melalui pariwisata sempat terhenti saat zaman revolusi kemerdekaan.
Sesudah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Bali beriringan kembali berjalan dengan pembangunan wisata yang tersendat-sendat karena ideology politik sebagai panglima. Presiden Soekarno menekankan pembentukan karakter bangsa melalui nasionalisme dan berdiri di atas kaki sendiri, Kencangkan Ikat Pinggang. Berkecamuknya kehidupan politik di Indonesia secara keseluruhan membuat Bali mau tidak mau terseret di dalamnya. Ketegangan politik tahun 1950-an hingga 1960-an, terjadi di Bali, menempatkan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam petarungan dan ketegangan politik yang sengit. Konflik, perebutan kekuasaan dan pengaruh membuat Bali semakin memanas menjelang 1965. Saat meletusnya G30S dan diikuti dengan pembantaian besar-besaran “manusia merah” di Bali orang yang dituduh simpastisan dan anggota PKI, Bali menjadi salah satu daerah dengan penyembelihan terganas, dengan jejak darah pembantaian dan kuburan massal yang hampir ada di setiap jengkal desa-desa di Bali.[4] Soe Hok Gie dalam sebuah essaynya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali saat hari-hari mencekam 1965-1969 di Bali;

“…Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali.Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu…”[5]


Kenangan, ingatan, jejak-jejak masa kelam pembantaian sesama saudara di Bali[6] itu disimpan rapi dalam selimut tebal bernama politik “Pariwisata Budaya”[7], sebuah ideology yang mengawali ideology pembangunan dan stabilitas keamanan ala orde baru. Tahun 1966 di mulai dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. Komunisme, PKI menjadi barang terlarang dibicarakan. Suara-suara kritis dan kehidupan politik menjauh dari citra Bali. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat saya menginjak bangku sekolah menengah.
Secepat kilat pariwisata mempengaruhi seluruh denyut nadi dan hembusan nafas serta kehidupan manusia Bali. Daerah-daerah yang tadinya kerong kerontang, tidak terjamah manusia secepat kilat menjadi tempat yang digunakan untuk penginapan, kedai minuman ataupun toko-toko penjual souvenir. Manusia Bali yang miskin karena tanahnya kering kerontang menjadi terkejut saat pengusaha kaya dari Jakarta ataupun wisatawan, para turis, ingin membeli tanahnya.
Nak Buta Tumben Kedat,[8] seperti orang buta yang diberikan kesempatan melihat, begitu istilah manusia Bali memberikan joke pada saudaranya yang menjadi OKB (Orang Kaya Baru) karena tanahnya berhektar-hektar laku terjual. Tanah-tanah manusia Bali pun laris manis terjual, bahkan sampai ke tebing-tebing curam juga laku keras. Perlahan tapi pasti, pembangunan infrastuktur pariwisata menunjukkan dirinya. Hotel-hotel, café, diskotik bermunculan. Belum lagi bisnis prostitusi, narkoba sampai pada rantai pengikut kriminalitas lainnya sebagai dampak dari gemuruhnya dunia pariwisata di Bali.
Seni dan seniman juga salah satu kelompok yang mengambil keuntungan dari bisnis pariwisata ini. Kelompok-kelompok kesenian tradisional Bali mendapat hujan bookingan tampil di hotel-hotel berbintang. Bali Hotel, nama sebuah hotel di pusat kota Denpasar, adalah tonggak dari bagaimana seni dan pariwisata menunjukkan relasinya. Bali Hotel di pusat kota Denpasar, di Monumen Catur Muka, menjadi tempat pertunjukan-pertunjukan seni “khas” Bali untuk para wisatawan. Di tempat-tempat lainnya, khususnya wilayah Ubud dan sekitar Kabupaten Gianyar yang terkenal dengan daerah seninya, bermunculan Sekaa-Sekaa[9] (kelompok-kelompok kesenian tradisional) yang menikmati buah manis dari pariwisata. Dengan diangkut truk-truk, mereka pentas di hotel-hotel berbintang. Selain mereka, menjamur juga pentas-pentas Barong Dance sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Desa Adat, kini diganti menjadi Desa Pakraman berlomba-lomba memacu dirinya untuk mengabdi dalam pembangunan pariwisata. Maka berbondong-bondonglah masyarakat Bali melamar kerja di hotel, menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah pariwisata dan siap untuk bekerja menjadi bagian dari elemen pariwisata.

Suryak Siyu [10]Politik Manusia Bali
Kehidupan politik manusia Bali pasca kolonial ditandai dengan politik suryak siyu (bersorak dan mendukung yang dominan) untuk kemenangan Golkar kurang 30 tahun pemerintahan rezim otoriter orde baru. Semua gejolak dihadapi dengan penangkapan dan pembungkaman suara-suara kritis. Jika ada yang mengkritik dan melawan pemerintah dianggap menjadi musuh pembangunan, anti pembangunan, atau stigma-stigma manusia kiri yang sangat mematikan. Golkar menguasai kehidupan perpolitikan di Bali dan hampir seluruh wilayah di Indonesia. Budaya, politik dan (kuasa) pariwisata menjadi kata sakti untuk menaklukkan manusia Bali yang mencoba kritis dan keluar jalur. Politik dan pariwisata menyatu dalam proses pembudayaan yang dengan mudah dilakukan di Bali. Adat, tradisi dan agama menjadi subyek-subyek dari pembudayaan tersebut. Ditambah di dalamnya kolaborasi yang manis antara industri global yang menaungi Bali bernama pariwisata dengan negara, birokrasi dan kekuasaannya pada masyarakat.
Apatisme dan apolitisnya manusia Bali adalah harga yang harus dibayar pasca 1965. Semuanya itu memang sesuai dengan keinginan negara, rezim orde baru untuk menstabili kehidupan politik demi keamanan dan ketertiban di Bali. Ingatan lama dan bayangan kelam masa lalu—saat pembantaian PKI di Bali 1965-1969—menjadi salah alasan yang kuat untuk bungkam dan penurutnya manusia Bali dalam politik. Alasan yang sangat traumatik itu memang tidak kuat, tapi stigma komunisme, pengkhianat menjadi bencana besar bagi manusia Bali saat orde baru. Wacana ketakutan ini dimainkan dengan sangat baik oleh pemerintah. Keseragaman dan ketaatan menjadi harga mati. Ingatan kelam masa lalu tersimpan dalam selimut-selimut pariwisata dan ajakan untuk membuat Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah).[11]
Zaman-zaman kejayaan Golkar membuat saya teringat saat baru bergabung dalam organisasi sekaa teruna (organisasi pemuda) di banjar (komunitas terkecil masyarakat Bali). Saat itu saya menjadi salah seorang pemilih dari sekian ratus pemilih yang terdaftar di banjar saya. Saya sebenarnya malas memilih ketika malam hari sebelum pencoblosan, ayah meminta dengan sangat untuk memilih gambar pohon beringin, Golkar. Ayah setengah memaksa karena sebelumnya ia diminta oleh kawannya mencari 50 suara di keluarga besar saya. Begitu juga seluruh krama (warga) di banjar saya. “Malu kalau tidak pilih Golkar,” alasan Ayah saya yang tidak bisa saya bantah ketika itu.
Golkar juga merebut simpati masyarakat dengan acara gebyar Golkar di banjar-banjar di Bali. Semarak gebyar Golkar ini didasari atas kepentingan untuk suara dan sumbangan untuk pembangunan. Saat itu, seluruh krama banjar “diwajibkan” untuk datang mendukung suksesnya acara tersebut. Biasanya sejauh ingatan saya, ibu-ibu PKK (Penggerak Kesejahteraan Keluarga) akan menyanyikan koor, lagu-lagu pemenangan Golkar. Sayup-sayup biasanya saya dengar pidato tentang program dan janji-janji Golkar untuk pengaspalan jalan, membelikan gamelan atau membangun banjar. Setelahnya gemuruh tepuk tangan saya dengar tanpa henti. Saya masih ingat dengan persis peristiwa itu. Klimaksnya adalah pidato politik calon anggota legislative Golkar dari daerah tersebut. Dimulailah dengan janji-janji komitmennya pada rakyat, permintaannya untuk didukung oleh masyarakat di daerahnya dan ujung-ujungnya adalah sumbangan apa yang bisa diberikan pada banjar. Setelah janji diucapkan dengan sumpah, krama banjar biasanya akan medewa saksi (bersaksi kepada Dewa) untuk mencoblos Golkar dalam Pemilu nanti. Acara ini dilengkapi dengan ritual agama yang dipandang sakral, tapi anehnya untuk memenangkan satu partai politik. Setelah itu ditunjukkanlah atraksi cara pencoblosan pohon beringin berukuran raksasa oleh tokoh Golkar diiringi tepuk tangan dan gamelan memecah yang memecah telinga.
Euphoria masyarakat Bali Bali sontak berubah menjadi kebencian pada Golkar. Tahun 1998 ketika Soeharto menjadi presiden kesekian kalinya berhasil didongkel dari tampuk kekuasaannya. Krisis ekonomi, gerakan mahasiswa dan rakyat mendorong Jendral Besar Soeharto untuk turun tahta. Senyuma Jendral tokoh kunci Peristiwa ’65 itu harus terhenti Militer dan Golkar yang sering disebut sebagai mesin politik orde barupun merayap. Posisinya hanya menjadi hujatan oleh orang yang menyebutnya dirinya kaum “reformis”. Khusus untuk Golkar, citranya sebagai partai pembaharu merosot tajam, posisinya terancam oleh PDI yang ketika itu menjadi “partai oposisi”.
Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) menjadi momentum simpati masyarakat kepada PDI yang terus menjadi partai yang ditindas oleh penguasa, dan Megawati menjadi ikon ketertindasan itu. Ditambah lagi dengan posisi yang terpinggir dari Bung Karno oleh cerita kepahlawanan Soeharto menjadi momentum penting naiknya Megawati dalam tampuk kekuasaan dan meraih simpati masyarakat. Dan benar saja, akhirnya Megawatipun—meskipun melalui “kudeta merangkak” terhadap Gus Dur dan serangkaian kerusuhan di seluruh Indonesia—akhirnya menjadi presiden RI.
Pada Maret 2005, kongres kedua partai moncong putih ini kembali diadakan di Bali. Setelah sebelumnya sukses dalam kongres pertama 1999 yang didukung penuh oleh masyarakat dan pemerintah daerah Bali. PDIP dengan kekuatan yang compang-camping dan terpecah belah melakukan kongres keduanya, masih dengan melibatkan pengaman tradisonal Bali, pecalang, yang begitu harum namanya saat kongres pertama dilakukan.
“Mari Bersama-Sama Buat Bali Aman”, “Ini Bali Bung, Basisnya Megawati” adalah teks dari beberapa spanduk di tempat strategis di Denpasar menjelang Kongres II PDIP di wilayah Sanur.[12] Banteng moncong putih memang mendapat perhatian tersendiri dari masyarakat Bali. Di samping karena sejarah “ketertindasannya” saat rezim otoriter orde baru, jargonnya sebagai partai wong cilik sangat tepat saat Soeharto masih memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Di samping itu sejarah politik patron klien memang sangat kental di Bali. Soekarno adalah anak seorang perempuan Bali dan Megawati dengan begitu adalah keturunan orang Bali. Emosi keBalian ini mengakar kuat pada diri manusia Bali. Dan saat itu posisi Megawati memang terpinggirkan dalam politik nasional orde baru.
Disamping PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang kemudian berubah nama menjadi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dengan Megawati sebagai ikonnya, Partai Golkar adalah partai lain yang sempat mendapat tempat dalam massa keemasannya sebelum PDIP merebutnya. Sejarah Golkar (Golongan Karya) yang kemudian berubah menjadi Partai Golkar merebut hati masyarakat Bali berawal dari politik stabilitas dan keamanan dari mulainya rezim orde baru 1966 pasca peristiwa pembumihangusan dan pembantaian massal massa dan simpatisan PKI di Bali. Golkar menjadi pilihan yang “aman” dengan janji-janji pembangunan pura, pengaspalan jalan. Golkar menjadi harga mati dalam berpolitik bagi manusia Bali. Golkar menjadi pemenang mayoritas dalam setiap pemilu di Indonesia dan Bali selama kurang lebih 33 tahun.
Megawati dengan gerbong PDIP akhirnya menjadi partai penguasa, bukan lagi partai wong cilik seperti awal partai ini lahir dari ketertindasan. Rayuaan kekuasaan dan partai menjadi magnit dari beberapa orang yang berasal dari militer dan Golkar—yang sebenarnya lawan PDIP sebelumnya—untuk masuk menjadi anggota dan diakomodasi kepentingannya oleh Megawati. Saat posisi inilah partai menjadi kuda tunggangan beberapa kelompok kepentingan dalam tubuh PDIP. Hal ini terlihat jelas dari jalannya pemerintahan dimana PDIP berkuasa dan Megawati sebagai presiden. Politik kepentingan tidak dapat dihindarkan, sehingga yang terjadi kemudian adalah akomodasi berbagai kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Periode Megawati menjadi presiden akhirnya dianggap sebagai kelanjutan dari orde baru jilid II. Partai Wong Cilik telah menjadi penguasa dan terbius didalamnya. Akhirnya popularitas Megawati dan PDIP redup.
Tidak demikian halnya dengan Golkar. Partai yang dianggap “paling cerdas” diantara sekian banyak partai peserta Pemilu.[13] Akbar Tanjung, professor politik partai ini, telah bisa mengubah Golkar dari keterpurukan dihantam gelombang reformasi untuk bangkit dan kembali bertarung dalam pentas kekuasaan. Pemilu 2004 menjadi bukti bagaimana konsolidasi yang solid dari Golkar dengan “Paradigma Barunya” berhasil merebut suara mengungguli PDIP. Citra partai orde baru berhasil disulap menjadi partai dengan paradigma baru, pembaharuan dan perubahan.
Demikian juga halnya dengan PDIP. Tuntutan untuk perubahan dan pembaharuan terus kencang terdengar. Pra Kongres II di Bali, wacana pembaharuan, penolakan formatur tunggal dan hak prerogatif pada Megawati selalu digugat. Ternyata PDIP ingin meniru partai Golkar untuk menggerakkan wacana pembaharuan dalam tubuh partai. Dalam tubuh partai moncong putih ini telah terjadi friksi antara pendukung Megawati dan kelompok pembaharuan.
Gejala dan gairah pembaharuan ini sebelumnya juga dirasakan partai Golkar yang saat itu terpuruk menjadi cacian pendukung pro reformasi. Mereka kemudian bersuara bulat bersama untuk mengusung Golkar dengan paradigma baru dan terbukti mampu mengkonsilidasikan kemenangan pada Pemilu 2004. Iklim pembaharuan dan kecerdasan politik menuntut Golkar untuk berkompromi dan merangkul kekuatan-kekuatan reformis yang ada dalam tubuh PDIP. Dan benar, Golkar berhasil merangkul PDIP yang sebelumnya adalah musuh politiknya. Kenyataan itulah yang sulit diterima massa akar rumput yang telah terlanjur menganggap Golkar adalah partai orde baru dan mesin politik Soeharto. Tapi, Golkar kini kan sudah “berparadigma baru?”
Politik “paradigma baru” dan “pembaharuan” yang dimainkan oleh partai Golkar dan PDIP menjadi ajang kontestasi, perebutan image akan citra partai ini. Golkar lumayan berhasil menyepakati paradigma baru sebagai “jualan” dalam Pemilu 2004 dan harus diterima sangat sukses dalam menjaring dukungan. PDIP yang terpuruk dalam Pemilu 2004 mencoba untuk melakukan langkah perubahan dengan politik “pembaharuannya”. Apakah ini bisa berhasil menjadi wacana gerakan partai atau hanya menjadi riak-riak kecil yang bisa disumbat dengan ketokohan Megawati? Seruan untuk pembaharuan dalam menolak formatur tunggal, regenerasi dan ujunganya menggugat otoritarianisme Megawati dalam partai akan terbentur dinding kokoh “kultus” Megawati dan keputusan politiknya. Kompromi dan mbalelonya Megawati sering membuat massa akar rumput kecewa. Kasus pemilihan gubernur dan bupati walikota menjadi contoh bagaimana partai moncong putih ini telah mulai terseret dan mengakomodasi pada kekuasaan yang dulu menghantamnya. Jargon “Sudah Terbukti dan Teruji” menghadapi tantangan dan ujian yang deras.
Lalu, bagaimana politisi manusia Bali menghadapi konstelasi politik yang semakin rumit seperti benang kusut ini? Apakah darah “pembaharuan” dalam berpolitik ikut masuk dalam urat nadi manusia Bali. Berbeda adalah hal yang lumrah terjadi di Bali. Begitu juga dalam tubuh PDIP Bali. Ada riak-riak protes mengapa begitu patuh dan tunduknya PDIP Bali terhadap Megawati? Apakah karena ia keturunan orang Bali? Atau terbius nama besar Bung Karno? Politisi gaek Bali ternyata masih satya (setia) dengan perjuangan awal PDIP saat tertindas pada rezim orde baru. Ketokohan dan ketahanan dalam masa represif menjadi harga mati bagi para politisi PDIP.
Patron politik pada Megawati terasa begitu kuat terjadi di Bali. Baik Pemilu 2004 legislatife dan pemilihan presiden, kader-kader PDIP dan Megawati selalu unggul.[14] Darah manusia Bali sudah mengakar untuk janji setia pada Megawati dan PDIP. Tapi, tunggu dulu? Sejarah politik manusia Bali sangat mudah untuk berubah arus, saling papas (berpapasan/berbeda) hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi, tapi juga terkait dengan setting masyarakat Bali dalam pertarungan ekonomi, politik dan sosial. Salah satu pertarungan politik manusia Bali itu terlihat dari peran-perannya dalam kontestasi politik ekonomi. Dan geneologi politik itu lahir dengan afiliasi dan keberpihakannya. Salah satu yang masih terasa saat ini adalah peran lembaga feodal oligarkhi seperti puri dengan tokoh-tokoh politiknya. Meskipun gugatan-gugatan manusia Bali terus mengalir untuk feodalisme, tapi kekuatan ini masih ampuh dalam memetakan kekuataan poltik dan melacak jejak kontestasi ekonomi politik manusia Bali.

“Memainkan” Feodalisme: Puri, Politik dan Perebutan Kekuasaan
Dalam sebuah momen upacara ritual, seorang pemuda dengan serius terlibat pembicaraan dengan tiga orang kawannya. Tanpa sadar, dengan berdiri melingkar, telah berkumpul lebih banyak orang lagi untuk mendengarkan ceritanya. Telah berkumpul 6 orang yang dengan serius mendengarkan ceritanya. Padahal di dalam pura, masih berlangsung prosesi ritual yang bahkan mencapai tengah malam. Tanpa peduli suara gamelan yang terus menghidupi malam, si pemuda ini dengan menggebu-gebu bercerita dengan tanpa henti pada kawan-kawannya. Ternyata, bukan membicarakan tafsir mimpi untuk nomor togel atau membicarakan masalah desa adat, tapi mereka membicarakan bagaimana saling dukung mendukung dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) Juni 2005. Tentunya dengan jago-jago mereka sendiri.
Mendadak, dari saku kemeja safari putih yang diperguanakan si pemuda, keluar tumpukan kartu nama. Tanpa ragu ia membagi-bagikan kartu nama itu pada kelima kawannya. Ternyata bukan kartu namanya, tapi kartu berisi dua foto pria berdasi dan kalimat yang berbunyi; Di Puri kami dilahirkan, Di Masyarakat kami dibesarkan, Memimpin Denpasar sebagai panggilan pengabdian, Mensejahterakan Masyarakat adalah tujuan kami. Kemudian berisi dua nama pria tersebut dan dibawahnya bertuliskan Calon Walikota dan Wakil Walikota Denpasar. Menjadi latar belakang dari kartu itu adalah warna kuning dan bendera merah putih.
Ternyata itu adalah kartu kampanye untuk salah satu calon walikota Kota Denpasar dan wakilnya yang akan bertarung pada 24 Juni 2005.[15] Dengan kartu kampanye itulah si pemuda tadi berusaha untuk mencari dukungan untuk jagonya ini. Dengan harapan nanti bias memenangkan suara terbanyak dari pemilihan langsung Pilkada. Yang membuat si pemuda tadi semangat untuk menggalang dukungan adalah karena si calon walikota adalah sesuhunannya, ratu-nya (rajanya, orang yang disembahnya). Disembah dalam arti ini adalah si pemuda tadi adalah parekan (abdi) dari si calon walikota tadi. Sebagai seorang parekan yang baik, ia harus mendukung ratunya menjadi “pemimpin” ibukota propinsi Bali itu. Tanpa ragu, ia menyanggupinya dan akan berusaha untuk mencari pendukung di desanya.
Si calon walikota Denpasar tadi adalah keluarga puri, putra mahkota yang berusaha untuk mengadu nasib mencalonkan diri menjadi calon walikota, masuk politik praktis menjadi kader Golkar. “Di Puri kami dilahirkan” mengandung maksud bahwa si calon walikota ini adalah trah puri yang mempunyai sejarah untuk memimpin masyarakat para parekannya. Puri memiliki kekuatan yang penting untuk menarik massa dengan daerah pengaruh dan taklukannya, daerah kekuasaannya. Puri juga menjadi sentral dari bermainnya kekuasaan pada Bali zaman kolonial. Seorang raja dengan daerah kekuasaannya bisa membawahi beberapa desa dengan jumlah penduduk ribuan bahkan jutaan manusia di Bali. Berbagai puri-puri yang tersebar di Bali menjadi sentral pertarungan dari perebutan kekuasaan, sumber pemberontak dan sekaligus pengikat yang paling kuat untuk bersatu.
Kasus yang dialami si pemuda menunjukkan bagaimana patuhnya ia terhadap perintah dari ratunya yang menugaskannya untuk menjadi tim kampanye/sukses dengan menggalang dukungan dengan teman-temannya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, di upacara ritual ia juga berkampanye untuk menyebarkan kartu untuk memilih jagoannya. Dalam ritual/upacara, manusia Bali juga berpolitik dalam artian yang sebenarnya. Dalam terori-terori tentang Bali kolonial, Bali dengan upara ritualnya seolah steril dengan politik. Bali adalah daerah “praktek budaya” yang anti politik. Bali adalah daerah untuk menunjukkan bagaimana manusia sangat tekun untuk melakukan ritual persembahan kepada tuhannya. Tapi argumen semua itu gugur saat ritual dari awalnya diambil alih oleh kekuasaanya untuk mensubversinya menjadi alat kekuasaan untuk menindas (menjajah) masyakatnya, parekannya.
Puri juga menjadi kontestan paling awal saat perebutan-perebutan kekuasaan raja-raja zaman kolonial di Bali. Basis kekuasaan oligarki ini dimanfaatkan betul oleh kolonialis untuk menjadi instrumen pemecah belah dan basis dukungan yang paling solid. Maka janganlah heran jika Puri menjadi alat atau lebih tepatnya “mainan” kolonialis untuk membuka jalan merebut kekuasaan negara jajahannya. Tuduhan puri-puri yang opurtunis dan pengkhianat menjadi lekat dalam ingatan masyarakat terhadap puri yang dekat dengan kolonialis. Sementara sebagian puri menjadi martir dalam bertempur melawan kolonialis. Atau dalam mitos perjuangan heroik masyakat Bali disebut puputan (berperang sampai titik darah penghabisan)
Maka puri tidak bisa dilepaskan dari kontestasi politik dan kekuasaan. Zaman orde baru, puri dengan trah (keturunan) dan pendukungnya juga memainkan perannya dalam mengelola dan mempertahankan kekuasaan negera yang kuat. Puri juga berperan dalam menguatkan pemerintahan dan negara. Karena puri juga bisa berperan sebagai negara tradisional. Tapi kini—dalam zaman modern—puri telah merubah dirinya menjadi negara modern dengan basis logika tradisional—dengan menggunakan dukungan/massa dari garis kekauasaan puri sebelumnya.
Keberadaan puri-puri di Bali, khususnya di Denpasar, menunjukkan itu semuanya. Puri Pemecutan (Golkar), Puri Satria (PDIP) terkenal menjadi seteru dan ditambah dengan puri-puri kecil lainnya yang ikut saling dukung-mendukung dalam sejarah perebutan kekuasaan di Bali. Kini, permainan dukungan dan adu kekuatan feodalis (tradisional) yang diwariskan oleh puri zaman kolonial, coba kembali dimainkan oleh para generasi terbaru puri, yang ingin menyulap puri menjadi pemainbaru dalam bingkai negara dan kuasa. Itu jelas terjadi dalam perebutan pengaruh dari Pilkadal Juni 2005 di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan daerah lainnya di Bali.
Pilkadal Kota Denpasar, jelas akan mempertarungkan bagaimana solidnya massa dari Puri Pemecutan dan Puri Satria sebagai reuni pertarungan lama dalam memperebutkan pengaruh. Puri Satria akan menjagokan Puspayoga dari PDIP, sedangkan Widiada akan mendapatkan dukungan penuh dari Puri Pemecutan. Keduanya disamping akan memperebutkan massa mengambang, massa dari “penduduk pendatang”, pasti akan menggunakan politik pengaruh puri untuk memperebutkan sebagian dukungan dari masyakat Bali.
Itu terasa sangat jelas ketika pernyataan-pernyataan di media massa lokal—yang menyediakan halaman khusus untuk Pilkadal ini—meneyebutkan puri menjadi basis dukungan yang kongkrit dari para calon walikota. Selain politik trah puri dengan basis massanya, garis keturunan dan persaudaraan menjadi alasan kuat lainnya yang mempengaruhi politik di Bali. Si pemuda nanti jelas mengatakan bahwa kaitan persaudaraan antara satu puri dengan puri lainnya bisa menjadi faktor pengikat dukungan yang lumayan ampuh. Maka dilakukanlah pertemuan-pertemuan khusus dengan dalih sima krama (silaturahmi) untuk menggalang dukungan. Bahkan di setiap-setiap pertemuan, dilakukan acara mesuaka (berjanji) akan mendukung calon tertentu. Persis dengan acara “Kebulatan Tekad” saat rezim orde baru dan Golkar mempraktekkan acara seperti ini.
Maka puri dan politik menjadi rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses perebutan kekuasaan. Puri dan politik saling berelasi dengan satu bahasa yang sama, “kuasa”, dengan imaji romantisme kejayaan puri dan politik negara modern dalam partai-partai politik yang ada. Puri telah menjadi “partai politik” tradisonal yang menjadi gerbong dan payung berbagai kelompok dan golongan untuk menggalang kekuatan dan kekuasaan. Sementara semuanya itu merupakan jejak-jejak konstruksi Bali kolonial yang terus terendap dalam masyarakat Bali. Ingatan kolonial itu adalah puri menjadi areal kontestasi dan gugatan yang kini bukan dimainkan oleh para kolonialis dari negeri barat, tapi dimainkan sendiri oleh para pribumi yang melakukan praktek kolonisasi para sesamanya. Praktek-praktek kolonial telah diadopsi untuk diterapkan dengan pola yang sama.

Politik Janji Manusia Bali
Dalam sebuah pesangkepan (rapat) banjar, saat agenda rapat telah berakhir, sang kelian (ketua desa) mencoba bertanya lagi pada seluruh krama banjar, “Wenten sane malih ngusul?” (Ada yang mengajukan usul lagi?). Suasana sempat hening sejenak, saat semuanya menjadi cair ketika seorang krama mulai memberanikan diri untuk urun rembug. Krama yang lainnya mulai berbisik-bisik. Ternyata, krama yang tunjuk tangan tadi adalah tokoh masyarakat di banjar tersebut, yang kebetulan dijadikan Caleg (Calon anggota Legislatif) sebuah partai besar dengan massa pendukung fanatik di Bali. Dua bulan kedepen akan dilakukan pencoblosan putaran pertama Pemilu 2004 dengan agenda pemilihan anggota legislatif. Sudah bisa ditebak apa yang akan disampaikan krama banjar yang Caleg ini, pasti untuk meminta dukungan krama.
Ternyata benar saja, ia memohon kepada seluruh krama banjar untuk meminta dukungan dan nempahan dewek (mempertaruhkan diri) dalam pemilihan Caleg nanti. “Tiang nunas dukungan dan suara krama sami ke tiang, nomor urut 6 ring pencoblosan,” ujarnya tanpa ragu. (Saya meminta dukungan seluruh warga untuk memilih saya nomor urut 6 saat pencoblosan nanti). Sontak tanpa ragu, setelah meminta dukungan itu, seluruh krama kompak menjawab, “Ngihh” (Iya).
Semuanya ditengahi oleh kelian banjar yang kemudian mengarahkan pesangkepan untuk mendukung putra daerah dari banjar tersebut bersaing dalam pemilihan Caleg nanti. “Pang wenten krama banjar niki dados anggota dewan ring pemerintahan. Punapi krama sami, setuju?,” tanya kelian. (Biar ada warga banjar ini yang menjadi anggota dewan di pemerintahan. Bagaimana warga banjar semuanya, setuju?). Kontak setelah kelian bertanya seperti itu kepada krama, dijawab dengan serempak seluruh warga dalam pesangkepan itu, layaknya paduan suara, “Setujuuuuuuuu”
Itu semua terjadi menjelang Pemilu 2004, putaran pertama untuk memilih anggota legislaitif. Dalam Pilkadal Juni 2005, suara-suara serempak dalam forum-forum desa kembali terjadi di Bali. Para calon bupati dan walikota yang akan bertarung merambah semua golongan masyarakat, dari mulai meminta dukungan Barisan Anshor Serba Guna (Banser) NU (Nahdatul Ulama) hingga mendengar bagaimana krama subak (warga sistem pengairan tradisonal pertanian Bali) mesuaka (berjanji) untuk memilih dirinya. Para calon bupati dan walikota ini rajin datang dalam pertemuan-pertemuan kelompok-kelompok masyarakat yang mendukungnya. Seluruh dukungan dari kerabat-kerabat puri dirambah dengan berbagai cara. Meminta restu dan dukungan, dan hampir sebagian desa-desa pakraman rajin menggelar acara-acara mesuaka di banjarnya untuk mendukung salah satu paket calon. Seluruh krama banjar dikumpulkan dan mengikrarkan diri untuk mendukung paket calon tersebut. Disertai dengan penyerahan bantuan oleh sang calon, sambutan dan ikrar mendukung dari salah satu tokoh masyarakat dan biasanya ditutup dengan kampanye dan janji-janji dari sang calon. Seluruh krama bertepuk tangan, bergembira dan kembali lagi terdengar gemuruh lantunan koor kebersamaan suryak siyu (tepukan seribu/kebersamaan), “Setujuuuu”
Cobalah mengingat, hal yang sama terjadi pada manusia dan masyakarakat Bali tahun 1980-an, 25 tahun yang lalu, saat menjelang Pemilu dibawah pemerintahan Soeharto yang “Jujur dan Adil itu. Hampir seluruh banjar-banjar di Bali semarak dengan umbul-umbul dan spanduk warna kuning, beberapa ada yang merah. Tidak hanya meriah dalam umbul-umbul dan spanduk, tapi juga dengan acara meriah “Gebyar-Gebyar Golkar” dan acara “Kebulatan Tekad” mendukung salah satu partai politik peserta Pemilu. Sangat jarang yang “berbeda” untuk acara gebyar-gebyar ini. Pastilah “Gebyar Golkar dan Kebulatan Tekad” untuk mendukung golongan pohon beringin ini. Yang membuat acara gebyar-gebyar yang mendukung partai lain dianggap “subversif”, “musuh” dan “melawan”.
Setelah pidato-pidato dari aparat pemerintahan dan desa, acara yang ditunggu-tunggu oleh seluruh krama banjar akhirnya tiba. MC memberikan pengumuman, acara berikutnya adalah pidato politik kader Golkar. Bukan pidato politiknya yang terpenting—karena pasti akan berisi ajakan-ajakan untuk mencoblos Golkar dan janji-janji politik mensejahterakan rakyat—, yang ditunggu-tunggu adalah apa sumbangan yang akan diberikan oleh kader tersebut dan partai Golkar untuk pembangunan di banjar tersebut. Biasanya keluarlah uang puluhan juta, pengaspalan jalan, membelikan perlengkapan gamelan Bali atau pembangunan bagi banjar-banjar yang masih rusak, atau beragam bantuan lagi. Masyakat senang karena akan melihat gang mereka yang dulu becek akan teraspal, atau gembira anak-anak mereka tidak kebut-kebutan di jalan, tapi rajin berlatih gamelan Bali di banjar. Seluruh krama gembira melihat penari Hanoman bersama tokoh politik partai Golkar memperagakan bagaimana caranya mencoblos partai berpohon beringin dalam Pemilu nanti.
Zaman berganti, janji-janji partai lama telah usang ditelan semangat reformasi dan perubahan. Tapi bukan berarti “politik perjanjian” ini hangus dan tertelan zaman, tapi lebih subur dan kembali diterapkan dengan partai, simbol dan sudah pasti, janji-janji yang relatif baru—meskipun tidak semuanya baru dan ingin berbeda. Setelah Golkar tumbang, PDIP mengambilalih kekuasaan dengan simbol “partai tertindas” dan “wong ciliknya”. Setelah berkuasa, PDIP akhirnya menerapkan politik janji sama persis yang diterapakn Golkar. Pelantikan-pelantikan pengurus anak ranting di banjar-banjar, penyerahan bantuan dan selalu mendukung PDIP dengan mencoblosnya dalam Pemilu. Janji-janji politik kembali ditawarkan dengan bantuan-bantuan pada masyakarat, sama persis seperti yang dilakukan Golkar dalam mempertahankan kekuasaannya.
Kini, saat PDIP kehilangan kekuasaan karena kembali direbut Golkar, persaingan kembali cair dan entah siapa “partai tertindas” dan saat jargon “Partai Wong Cilik” sudah tercampakkan. Kekuasaan bisa membalut hasrat. Dan ternyata praktek-praktek kuasa diterapkan dengan gaya dan karakter yang sama, tapi dengan pemain dan baju yang berbeda. Politik janji yang dilakukan oleh partai-partai berkuasa adalah cara penaklukan yang termudah bisa dilakukan, dengan memberikan bantuan, menjual dan membeli suara.
Dalam perebutan kekuasaan—Pilkada dan setiap Pemilu digelar—beragam jurus telah dilancarkan untuk menarik simpati dan mencari dukungan massa. Dari mulai mengirimkan 25 truk batu untuk pembangunan desa dan kesanggupan membangun banjar yang rusak.Beragam jurus telah dilancarkan dan tinggal menunggu reaksi dukungan. Perjanjian bukan dalam hitam putih kertas bermaterai, tapi dengan “politik bantuan” yang akan dibalas dengan suara.
Tapi, politik janji ini bisa jadi merupakan “politik memainkan” dari manusia Bali sendiri. Kelompok-kelompok subaltern (terpinggirkan) dan yang mencoba kritis terhadap situasi politik mempermainkan politik janji ini untuk menguras habis kekayaan pejabat dengan mengerok bantuan dan membayarnya dengan suara. Politik pascakolonial menempatkan cara ini sebagai mengejek, menertawakan kekuasaan –partai politik dengan janji-janji dan bantuannya—dengan cara-cara para subaltern ini. Masyarakat Bali yang menjadi “korban janji-janji politik” ini tentu belajar bagaimana pola dan operasi kekuasaan partai politik ini. Dengan pelajaran tersebut, semoga saja manusia Bali bisa rasional dan kritis melihat kontestasi politik dan kekuasaan yang terjadi. Untuk berpikir rasional dan tidak lagi mengulangi kebodohan karena alasan PKI, “pengkhianat bangsa”, sangat mudah membunuh saudara sendiri. Saatnya kini membalikkan logika, memanfaatkan dan menertawai permainan-permainan politik yang menindas rakyat kecil. Semoga manusia Bali cukup cerdas untuk memainkan politik janji. Harga kebodohan “Gebyar-Gebyar Golkar” dan Mesuaka adalah pelajaran yang cukup untuk mengatakan, rakyat (Bali) hanya menjadi korban dari eksploitasi kepentingan dan kekuasaan politik.

“Mengamankan Bali” dan Kiprah Broker Politik
Semua masyarakat masih “takut” melihat arakan-arakan kampanye politik di jalan yang membuat macet. Atau peristiwa ketegangan saat pemasangan bendera partai saat Pemilu 2004 di Bali. Masyarakat berada dalam teror sekaligus juga kegenitan untuk mengetahu berita-berita politik Pilkadal 2005 terbaru. Semangat “mengamankan” Denpasar dan Bali adalah tekad yang sudah bulat diikrarkan penduduk Denpasar khususnya dalam pelaksanaan Pemilu serta perebutan kekuasaan di kota itu. Surat-surat resmi dari kelurahan, kecamatan sampai walikota menghimbau agar masyarakat kota Denpasar sama-sama menjaga keamanan kota Denpasar. Caranya dengan mentaati segala macam peraturan dan tata cara dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkadal 2005 dengan “baik dan benar”.
Tekad mengamankan Bali dari konflik dan kekerasan membawa keberhasilan, meskipun tidak sepenuhnya dalam pelaksanaan kampanye Pemilu 2004. Pawai peserta kampanye dengan dokar dan pakaian adat Bali menunjukkan bahwa Pemilu 2004 ini adalah untuk mengwujudkan Ajeg Bali, seperti tema dalam pelaksanaan Pemilu 2004 lalu di Bali, “Dengan Pelaksanaan Pemilu 2004, Kita Sama-Sama Menjaga Budaya Bali Untuk Tercapainya Ajeg Bali”
Dengan bayangan kesuksesan itu, pergantian kekuasaan daerah di Bali masih dibayangi dengan cita-cita untuk “mengamanakan Bali” itu. Di kota Denpasar himbauan untuk mengamankan pelaksanaan Pilkadal 2005 dalam bentuk baliho-baliho besar sudah terpampang. Begitu juga di daerah-daerah lain yang juga ikut melaksanakan Pilkada nanti. Wacana “mengamankan” ini kini membius seluruh perbincangan tentang mengantisipasi factor-faktor yang menyebabkan tercorengnya pelaksanaan Pilkadal nantinya.
Himbauan ini dipertegas oleh ketua KPU dan Panwaslu Denpasar dalam berita di media massa yang menghimbau untuk mewaspadai pihak-pihak yang berusaha membuat pelaksanaan Pilkadal 2005 di kota Denpasar tidak berlangsung lancer. Dan menghimbau seluruh masyarakat adat di Denpasar untuk mengawal bersama-sama pelaksanaan Pilkadal agar sukses.
Wacana “mengamankan” dan “mewaspadai” mendominasi pikiran masyarakat Denpasar dalam pelaksanaan Pilkadal 2005. Teror politik yang bergelimang berita kekerasan sebelumnya membuat masyarakat Denpasar protektif, waspada untuk melindungi daerahnya dari “pengaruh-pengaruh negative” yang bisa merusak kenyamanan kota Denpasar. Dengan berita kekerasan dalam pelaksanaan kampanye Pemilu 2004 di Kabupaten Buleleng, membuat masyarakat Denpasar belajar untuk mengantisipasi dan mewaspadai para “pembuat onar” tersebut.
Salah satu yang menjadi sasaran kewaspadaan itu adalah para broker-broker politik dan kekerasan yang sebenarnya berada dalam masyarakat tersebut. Relasi para broker ini yang bergulat dalam kehidupan masyarakat yang sama. Ini membuat wacana “mewaspadai” akhirnya bermuara pada saling curiga dan identifikasi diri antar masyarakat. Disinilah wacana “mengamankan” menjadi rancu dan sangat bias, saat ternyata kewaspadaan dan kecurigaan harus diarahkan pada diri masyakarat adat sendiri yang memainkan wacana “mengamankan” ini.
Dalam masyarakat adat juga terbentuk berbagai macam relasi dan kepentingan dalam Pilkadal 2005. Dalam tubuhnya—masyarakat adat telah terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok, saling dukung mendukung yang melibatkan beragam institusi dan kepentingan. Wacana “mengamankan” menjadi relasi yang menguatkan masyarakat adat untuk membelah dirinya dalam “kita” dan “mereka” dalam dukungan di Pilkadal 2005. Wacana “mengamankan” yang didengungkan pemerintah dan disiarkan dalam “pesangkepan” tadi akan diterjemahkan lain dengan berbagai macam bentuk cara-cara mengamankan untuk kepentingan kelompok dan pendukung mereka sendiri.
“Mengamankan Bali” sebagai sebuah wacana mensterilkan Bali dari konflik adalah cara lama dari kolonial yang menempatkan Bali sebagai daerah kebudayaan yang antipolitik. Meskipun peristiwa politik seperti Pemilu 2004 lalu dan kini Pilkada 2005, tetap ditempelkan dengan wacana kebudayaan yang mengurung Bali dalam wilayah “olah budaya” dengan wacana menjaga keamanan dan kebudayaan Bali dari konflik dan kekerasan. Dengan “politik”—dalam asosiasi masyakat Bali akan menyebabkan kekacauan—hanya akan merugikan Bali, pariwisata macet dan investasi menjadi ogah datang ke Bali karena terancam politik, demonstrasi dan ancaman situasi politik yang tidak menentu. Bali selayaknya dipelihara dalam wilayah eksotika budaya dan adatnya yang selalu unik dan menarik wisatawan.
Reproduksi wacana ini terus berlangsung seiring dengan kontradiksi dan ironi bahwa masyarakat Bali adalah arena kontestasi wacana politik akan kebudayaan yang terus terjadi. Bahkan wacana “mengamankan budaya Bali” juga adalah kontestasi politik yang melibatkan berbagai macam relasi, kepentingan yang bertarung dalam Pemilu 2004, Pilkada 2005 dan perebutan kekuasaan-kekuasaan lokal. “Siapa yang mengamankan apa” adalah tanda tanya besar untuk konteks wacana “menjaga Bali” ini. Pertanyaan besar yang juga harus didiskusikan pada pesangkepan banjar akan maksud dan pembongkaran agenda politik dibalik wacana kiprah manusia Bali dalam politik.
Salah satu yang memainkan wacana “mengamankan” Bali ini adalah para petualang politik yang begitu banyak ada di Bali. Para petualang politik ini menggunakan berbagai macam relasi untuk mencari dan membentuk dukungan-dukungan. Operasi mereka bisa terlihat dari orientasi politik dan kepentingan mereka saat ini untuk merebut kekuasaan. Para petualang-petualang ini—biasanya para elite politik, birokrasi, orang kuat lokal—akan berkolaborasi dengan para jagoan, organisasi massa bahkan para pejabat-pejabat negara lainnya untuk “bermain” dalam ukuran kepentingan-kepentingan mereka. Dan sangat lumrah bahwa para elite politik, politisi dan aparat pemerintah mengakomodasi mereka untuk berbagai macam kepentingan.
Petualang politik juga mempunyai agenda penting dalam mewujudkan ambisinya merebut kekuasaan. Partai Golkar dan PDIP misalnya dalam berbagai hal bisa melakukan kolaborasi tapi di berbagai momen akan saling bertarung. Para petualang politik tidak akan terikat dalam salah satu partai ataupun ideology, dan inilah yang membedakan militasi dan karakter politisi sekarang dengan massa lalu. Politisi sekarang adalah reinkarnasi dari para petualang yang akan melihat orientasi-orientasi politik yang menguntungkan mereka, berbeda dengan politisi dengan dasar ideology yang kuat dan terus kukuh mempertahankan ideologinya.
Petualangan politik para elite Bali terlihat jelas dalam momen-momen perebutan kekuasaan seperti Pemilu dan Pilkadal. Ini bisa dilihat dari pernyataan saling dukung-mendukung yang mengejutkan sekaligus juga menggelikan. Budaya politik manusia Bali telah tercipta untuk saling mepapas (berbeda) karena ketidakpuasan atau karena sentimen, dan kekalahan pertarungan politik. Sejarah telah membuktikan bagaimana manusia Bali begitu mudah saling bunuh dan menerapkan politik kewaspadaan, curiga dalam mengamankan “kepentingan” mereka pada lingkungannya sendiri. Sesama saudara saling tebas dalam peristiwa ’65 menunjukkan bahwa mengamankan dan kewaspadaan paling dini harus diterapkan pada lingkungan terdekat. Antisipasi dalam keberbedaan adalah harga mati untuk melihat siapa kawan dan lawan.
Para petualang politik yang berpindah-pindah partai dan dukungan adalah broker dan proovokator politik sebenarnya. Baik untuk bercermin pada peristiwa ’65, sebuah cerita bagaimana seorang PNI yang kemudian banting haluan menjadi anggota PKI yang militan. Setalah lama bergulat dalam partai palu arit ini, si petualang merasa tersisihkan dengan anggota lain dalam hal popularitas dan kekuasaan di tubuh partai. Akhirnya ia memilih untuk pulang kandang dan menjadi pentolan PNI. Saat pembantaian besar-besaran pada “manusia merah” di Bali tahun 1965-1969, si petualang ini bertindak paling sadis untuk menghabisi yang dituduh anggota dan simpatisan PKI sampai ke akar-akarnya, termasuk menghabisi kawannya dulu di partai palu arit ini.
Ciri petualang-petualang ini kembali diturunkan pada pertarungan politik yang melibatkan partai politik dan kelompok-kelompok masyarakat dalam perebutan kekuasaan. Kontestasi politik yang terjadi di Bali melibatkan wacana kebudayaan yang dominan untuk membuat politik sebagai “ritual kebudayaan” yang terjadi sehari-hari di Bali. Dari berbagai kontestasi itu lahir berbagai pertarungan wacana-wacana yang menempatkan politik selalu dikat-kaitkan dengan budaya Bali, “mengamankan” Bali dan menempatkan masyarakat Bali memandang politik dari budaya eksotis dan apolitis. Sementara itu, para petualang politik, para broker, organisasi massa menempatkan kontestasi politik demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Pertarungan dan relasi antara “politik yang berbudaya”, kekuasaan dan kepentingan para petualang dan broker inilah yang menguasai kancah dan panggung politik kini di Bali.

[1] Degung Santikarma ingin memberikan narasi tentang bagaimana politik konstruksi atas Bali, dan sampai kini masih melekat kuat dan kini dipraktekkan oleh orang Bali sendiri dalam melihat dirinya sendiri. Praktek kolonialisme menunjukkan keberhasilannya saat cara pandang masyarakat bisa diubah, bukan dengan penaklukan dan pertumpahan darah, tapi dengan relasi ide gagasan dan kekuasaan akan cara pandang, sebuah cara berpikir.
[2] Bali selalu menjadi trade marke dari program-program promosi pemerintah mempromosikan daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Saat rezim Soeharto dan pembangunanisme dalam kekuatan puncaknya, Bali menjadi andalan dalam program-prgram promosi seperti Visit Indonesia Year1991.
[3] Ungkapan yang sering saya dengar saat manusia Bali sedang bangga-bangganya karena daerahnya banyak didatangi turis-turis asing. Mereka kaya mendadak dan bangga daerahnya terkenal sebagai daaerah tujuan wisata.
[4] Lebih detail tentang narasi ingatan sejarah para saksi dan korban Peristiwa ’65 di Bali, jejak-jejak kuburan massal yang ditinggalkannya lihat Bab IV, Jejak Manusia Merah Bali di buku ini.
[5] Lihat Robert Cribb (ed) The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, hal. 425-436.
[6] Lebih lengkap akan diuraikan dalam Bab IV Jejak-Jejak Manusia Merah Bali dalam buku ini.
[7] Jargon pemerintah bagi Bali yang kemudian diterapkan dengan siasat politik yang mematikan oleh Pemda (Pemerintah Daerah) Bali. Politik “Pariwisata Budaya” juga menjadi perdebatan akademik para intelektual Bali tahun 1980-an yang menjadi think thank negara. Maka tidaklah heran jika institusi pendidikan (universitas) keranjingan untuk membentuk pusat-pusat studi pembangunan pariwisata untuk mendukung program pemerintah ini.
[8] Ungkapan sinisme, ironis dan kritik bagi manusia Bali. Sering dipergunakan untuk menggambarakan bagaimana manusia Bali kelabakan dari miskin mendadak menjadi kaya.
[9] Banyak dampak dari pembangunan pariwisata di Bali. Sekaa-Sekaa, Barong Dance, dan seluruh kehidupan masyarakat Bali yang bercorak “eksotik dan tradisional” menjadi obyek menarik wisatawan. Upacara keagamaan, potong gigi atau ritual-ritual lain menjadi incaran wisatawan yang menikmati budaya Bali.
[10] Suryak siyu adalah salah satu politik penyeragaman yang dilakukan negara melalui institusi terkecil pada masyarakat Bali bernama Desa Adat, kini berubah menjadi Desa Pakaraman. Dalam pesangkepan (rapat) desa saat orde baru, suryak siyu sering terjadi untuk persetujuan rapat. Tapi sebenarnya juga ada gugatan dalam masyarakat terhadap politik suryak siyu ini. Gugatan itu datang dari kontestasi kepentingan individu pada masyarakatnya.
[11] Jargon Bali yang BALI sangat terkenal menjadi promosi pariwisata Bali. Baliho di jalan-jalan utama di Kota Denpasar awal tahun 1980-an menunjukkan bagaimana derasnya industri pariwisata masuk ke Bali.
[12] Kongres II PDIP berlangsung pada 28 Maret-3 April 2004 di Sanur Bali. Pertarungan sengit massa Pro-Megawati dan Pembaharuan akhirnaya berujung pada bentrok massa dalam tubuh PDIP. Pada senin, 28 Maret 2004, massa Megawati dan pembaharuan nyaris bentrok dalam pengerahan massa besar-besaran di jalan utama menuju tempat kongres di sebuah hotel di Sanur. Sesama massa PDIP ini bahkan saling gebuk, saat massa Megawi berhasil mengeroyok seorang pendukung pembaharuan (Guruh Soekarnoputra) hingga babak belur. Di massa pro pembahruan, satuan tugas (Satgas)nya berseragam layaknya tentara mengawal ratusan massa yang berteriak mendukung perubahan di tubuh partai wong cilik ini. Seruan mereka, menolak status quo, menolak formatur tunggal dan regenarasi di tubuh partai.
[13] Di Bali, Partai Golkar menjadi ancaman serius bagai gerak langkah PDIP merebut dukungan massa. Dalam Pemilu 2004, Partai Golkar selalu membayangi ketat perolehan suara PDIP.
[14] Pemilu 2004 masih menjadi milik PDIP dan Megawati di Bali. Sebagian besar dalam Pemilu legislative, caleg-caleg dari PDIP melenggang mulus ke gedung wakil rakyat. Sementara dalam pemilihan presiden, meskipun orientasi politik manusia Bali sedikit banyak mengarah pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati masih menang tipis di Bali.
[15] Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) di Denpasar Juni 2005 nanti dengan jelas menunjukkan bagaimana salah satunya pertarungan puri dalam perebutan kekuasaan. Puri yang bertarung mempunyai catatan sejarah dalam perebutan kekuasaan di Denpasar yaitu Puri Pemecutan (Golkar) dan Puri Satria (PDIP). Calon yang bertarung nanti dari kedua partai politik salah satunya memainkan kekuatan dan sentimen dukungan dari kedua puri ini.