Who am I

Who am I

Kamis, 24 April 2008

Budaya Taksu dan Budaya palsu

Budaya Taksu = Budaya Palsu

(Membongkar Peta Pemikiran Seni dan Budaya Bali)


“…Pleidoi bagi kegagalan lahirnya maestro Perupa…Kerinduan lahirnya karya perupa Bali yang memberikan spirit pada peradabannya, semakin saja menggumpal. Kerinduan itu setara dengan dambaan atas lahirmya karya seni bertaksu…”[1]

Sebuah gerakan seni rupa, ketika hadir pada publik dan menawarkan visinya, ia sebenarnya telah memberikan semua tawaran, tumpahan kemuakan serta ide perubahannya akan kondisi mapan yang dilihatnya. Cuma, memang tidak sesederhana hanya menyatakan kemuakan dan mengajukan tawaran perubahan, satu yang pasti bagi gerakan perubahan sosial—termasuk gerakan pembaruan seni rupa—ia harus menjadi pioner untuk memperjuangkan ide perubahannya itu sambil menyebarkan idenya pada komunitas dan masyarakat. Hingga suatu saat perubahan yang diinginkan, dicita-citakan—tentunya tanpa keadilan—akan menguji proses, kualitas gerakan kesenian itu; untuk memelihara ide perubahan dalam kesenian dan membentuk peta pemikiran baru tentang kesenian, kebudayaan. Sungguh idealis memang, tapi mengusung idealisme adalah sebuah pilihan. Kehebatanmu tidak ditunjukkan dengan kemampuanmu, tapi pada pilihanmu.[2] Sebuah pilihan adalah sebuah keyakinan dan hanya orang yang bisa memilih jalan hidup dan jalan keseniannyalah orang yang berprinsip dan yakin akan jalan hidupnya.

Setidaknya itulah yang diusung Komunitas Klinik Seni Taxu dengan segala konsekuensi atas pilihannya itu. Salah satunya memperjuangkan sendiri pilihan, keyakinan, dan prinsip berkeseniannya. Kini, komunitas bebas yang terdiri dari alumni dan mahasiswa STSI Denpasar kembali hadir dalam “Hati-Hati! Ada Upacara Taxu”[3] dari tanggal 25 Januari—8 Februari 2003. Setiap minggunya akan diisi dengan diskusi Kritik Kebudayaan Bali: Sebuah Pertanggungjawaban, serta pemutaran film Frida dan diskusi Frida Kahlo sebagai ikon Hollywood. Tempatnya pun hanya sebilik rumah di sebuah perumahan sangat sederhana yang dijadikan art space juga markas komunitas ini.

Apa yang akan mereka hadirkan? Dan rasanya tidak bertanggungjawab dan terkesan emosional jika kita langsung menuduh mereka kelompok anak muda frustrasi[4] yang tidak digoreng, tidak dapat kesempatan pameran di galeri ”top” di Bali. Siapa tahu apa yang mereka hadirkan bisa menyegarkan, mengurai, dan membongkar ulang peta pemikiran kesenian dan kebudayaan di Bali (Indonesia).

Taxu: Sekilas Lintas

Kehadiran Taxu sebenarnya berawal dari kegelisahan. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut sejarah Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar sebagai awal dan kelompok-kelompok perupa muda di kampus ini yang belum mendapat ruang seide dengan mereka. Kedua kelompok ini bertemu dan merefleksikan kegiatan mereka selama berkesenian. Dengan kumpul-kumpul diskusi di kampus, di sebuah rumah kos seorang kawan, atau kumpul di kos bersama.

Di kampus STSI Denpasar sebenanya banyak kelompok perupa dan berjalan tanpa gairah dengan rutinitas pameran yang membosankan. Obrolan hanya berkisar pada promosi akan pameran, berapa laku atau dibawa makelar ke luar negeri. Ya, tentu saja kebanggaan telah menjadi pelukis terkenal untuk ukuran STSI atau Bali. Tapi semua tersentak, tensi kesenian menjadi memanas ketika di bulan Februari 2001 hadir Mendobrak Hegemoni. Awal yang biasa saja sebenarnya dengan pamflet dua halaman “Isu Paling Gress!!!”.[5] Seolah mengacak-ngacak semua peta pemikiran kesenian yang ada, kehadiran mengundang kontroversi, ketersinggungan.

Tapi dibalik kritik padanya yang terlihat vulgar, terlalu personal, ada suatu maksud—tentunya visi dan konsep kesenian—untuk memerikasa kembali pemain seni rupa dan bekerjanya secara adil dan jujur infrastruktur seni rupa. Inilah yang dikritik dalam karya-karya Mendobrak. [6]

Ternyata arus balik berbeda dan lebih sangar. Yang dikritik, termasuk SDI (Sanggar Dewata Indonesia), Nyoman Erawan, Gunarsa, Wianta, kritikus, media massa balik menyerang dan memusuhi kelompok dan gerakan ini. Sialnya, lembaga STSI Denpasar tempat mahasiswa ini bernaung ikut juga menghimpit mereka dengan pemanggilan mahasiswa, dialog sepihak dengan SDI dan yang paling menyesakkan tentunya permintaan maaf secara langsung dan lewat media massa pada SDI dan pihak yang tersinggung dengan Mendobrak[7] Semua dilakukan oleh lembaga tanpa sama sekali melibatkan Kamasra yang terlibat dalam Mendobrak.

PascaMendobrak, bukan hanya lembaga yang menekan, lingkungan mahasiswa di STSI juga “memusuhi” anak muda yang dituduh frustrasi ini. Lambat laun ternyata kelompok ini menyebar benihnya. Pertama di kampus tercatat sapihan mereka kembali beraksi dengan pamflet-pamflet dari Maret—Mei 2001. Tercatat pamflet seni aksi, buletin SUAKA (Solidaritas Untuk Aksi Kamasra), Membongkar Sejarah Seni Rupa Bali, Seni Kritik dan Penyadaran, Kiri Sampai Mati, Sikat Gigi Erawan Harus Disikat. Pamflet ini selain disebar dan ditempel di kampus juga disebar saat aksi dipublik. Terutama saat Sikat Gigi Erawan di pentaskan di Puputan Badung.[8]

Saat yang paling menegangkan tentunya saat pameran Pesta Kapitalisme Bali Juni 2001 sebagai kritik dari PKB (Pesta Kesenian Bali) yang membosankan itu. Sebelum pameran, terjadi pemanggilan mahasiswa, teror, perusakan karya-karya oleh lembaga STSI Denpasar melalui Satpam, pengusiran mahasiswa sampai adanya jam malam 20.00 WITA di kampus. Rangkaian teror terbukti dengan main ancamnya staf dosen STSI Denpasar yang mengadukan mahasiswa pada polisi.

Akhirnya, 16 Juni 2001 dibuka pameran kontra PKB di halaman depan museum Lattha Mahosadhi disertai penyebaran pamflet “Pemerintah Kolonial Bali”.[9] Saat inilah terjadi pembongkaran paksa pemeran oleh lembaga STSI Denpasar yang langsung dipimpin Ketuanya, Prof. Wayan Dibia beserta Pembantu Ketua STSI menganggap pameran kontra PKB sebagai bentuk pembangkangan mahasiswa terhadap lembaga STSI, juga pameran ini tidak sesuai dengan ijin dan prosedur. Pameran kontra PKI ini dilanjutkan di depan kampus Universitas Udayana Sudirman, depan kampus Fakultas Sastra di Jalan Pulau Nias dan berakhir 24 Juni 2001.[10]

Berikutnya, mulailah tradisi diskusi dan refleksi aksi kesenian dalam lingkungan komunitas seni pascaMendobrak. Sedikit demi sedikit jumlah mahasiswa yang terkumpul tambah banyak dan diwadahi dalam diskusi seni rupa setiap senin dan kamis di sebuah rumah kos seorang kawan. Dari diskusi dan kumpul beberapa kali terwujudlah ide untuk melembagakan gerakan kesenian baru ini dari sebuah komunitas seni, sebuah klinik seni pada September 2001. Namanya pun disepakti TAXU, plesetan dari kata-kata Taksu yang jamak digunakan di Bali untuk menjelaskan keangkeran, kemistisan kesenian dan upacara agama di Bali. Kelahirannya pun bertitik tolak untuk melakukan kritik dan desakralisasi dan menghancurkan mitos-mitos kesenian dan kebudayaan Bali (Indonesia).

Tidak hanya melakukan diskusi, terbitlah pertama kali buletin seni rupa KITSCH[11] yang mewadahi pemikiran alternatif tentang seni rupa dari anggota Taxu dan juga peminat seni rupa lainnya. Untuk pertama kali edisinya mengangkat “Kebohongan Pengider Bhuana” sebagai kritik pameran bersama Pengider Bhuana dosen STSI Denpasar di Museum Rudana, Agustus 2002.

Kini mereka hadir kembali lewat Hati-Hati !…sebagai pameran perdana komunitas Taxu. Layak disimak apakah hasil diskusi, refleksi, dan prinsip kesenian mereka akan teruji. Juga bagaimana mereka bisa “bermain” dan menempatkan diri dalam pertarungan seni rupa Bali dan juga Indonesia. Juga kepada beberapa infrastruktur kesenian yang dulu mereka kritik lewat Mendobrak. Kini apa tawaran mereka bagi pembongkaran pemikiran kesenian dan kebudayaan Bali (Indonesia)?

Hati-Hati…!!! Tawaran Wacana

Satu yang pasti dari kehadiran Taxu dan Hati-Hati!…tentunya adalah tawaran wacana alternatif pemikiran kesenian dan kebudayaan Bali. Ini didasari dengan penguatan kembali terhadap kritik kekuasaan kesenian, keterbukaan dan kejujuran pasar—yang tentu saja relatif—dalam dunia seni rupa Bali (Indonesia). Bingkai awalnya telah hadir dalam Mendobrak dan kini dilanjutkan lebih dalam dalam kritik kebudayaan Bali. Analisis terhadap kelicikan pasar dan kongsi mafia seni rupalah—sebagai bagian dari perangkat seni rupa-- yang memicu untuk kembali membongkarnya dalam bingkai kritik kebudayaan Bali dan Indonesia secara umum.

Dalam 20-an karya seni lukis, instalasi, kriya dari belasan perupa hadir sebagai bentuk pernyataan-pernyataan sikap mereka dalam berkesenian dan merespons fenomena kebudayaan kontemporer Bali dan Indonesia masa kini. Ada juga yang menghadirkan karya seni konseptual (conceptual art) dalam beberapa karya. Tapi, yang terbanyak memang karya lukis ataupun instalasi menyikapi fenonema kekerasan (pecalang), paradoks manusia Bali, fasisme, dan sentimen pendatang. Ada juga karya repetisi sablon pecalang dan figur Dr. Wayan Rai S, Ketua STSI Denpasar. Sebagai pernyataan atas bagaimana lembaga pendidikan tinggi seni satu-satunya di Bali—lewat simbol ketuanya—telah memberikan sumbangan berharga dalam memasung kreativitas, daya kritis mahasiswa dan menjadi bagian besar dalam infrastruktur seni yang harus dikritik.

Dalam konsep karya seni, pernyataan seniman yang dituangkan lewat karya visual lukis atau instalasi dinding adalah salah satu modal dan tawaran pada publik untuk diapresiasi. Disamping tentunya penggarapan sempurna yang terkait dengan teknik. Agaknya kekuatan dalam pernyataan dikaryalah yang menjadi kekuatan utama pameran ini, disamping teknis penggarapan yang mendekati sempurna dari senimannya.

Beberapa karya yang dipamerkan merepresentasikan semua itu. Lihat misalnya Mulyana Bayak dalam Powerfull Jacket, 2003, mixed media (instalasi dinding). Memajang dua buah rompi loreng yang sering dipakai pecalang di Bali. Cukup sederhana, tinggal disablon pecalang Banjar A misalnya. Kini dengan berkaian adat Bali, memakai destar dan menggunakan rompi bertuliskan pecalang seakan sudah bisa “berkuasa” di jalan-jalan ketika ada upacara agama. Belum lagi bisa masuk dan menonton gratis konser Sheila On 7 hanya dengan menggunakan rompi ini. Warna loreng-loreng yang dipilih merepersentasikan bagaimana pecalang saat ini mirip dengan tentara sipil. Juga dalam hubungannya dengan negara dan kekuasaan. Pecalang sering diberikan penyuluhan dan bimbingan ketertiban dan keamanan oleh Bimas (Bimbingan Masyarakat) Polisi Daerah Bali. Sederhananya, pecalang “dipelihara” oleh polisi dan juga tentara. Ini dikuatkan dengan adanya perda (peraturan daerah) yang mengatur wewenang dan tugas pecalang dalam desa pakraman di Bali.

Pernyataan yang sama, kritik terhadap militerisasi sipil pecalang ini hadir lewat karya Kacrut, Pecalang, 2003, 120X240, mixed media. Kali ini lebih menampakkan berulang kali (repetisi) gambar pecalang dengan sablon hitam putih. Bentuk pecalang pun terlihat jelas dalam repetisi dengan gambar kain, memakai rompi dengan lambang desa adat tertentu di Bali dan di bawahnya tertulis pecalang. Repetisi gambar pecalang yang sangar, dengan kumis dan jenggot juga terlihat dengan jelas. Karya lainnya adalah Mulyana Bayak, Pecalang Uniform, 2003, 100 x 140, oil on canvas. Pecalang kni sudah menjadi trendi dan jaminan rasa aman bagi masyarakat. Layaknya sebuah trend fashion dalam busana, pakaian pecalang dengan poleng (hitam-putih) juga mengesankan trendi, kewibawaan, dan eksotis. Fenomena ini sungguh paradoks dengan bagaimana pecalang menjadi latah dimanfaatkan untuk perayaan kegiatan modern dengan bertameng adat. Pengakuan Mulyana Bayak ketika melihat paradoks pecalang ini:”… Pada suatu “upacara” pembukaan pameran seni rupa artist-artist dari Australia, yang diselenggarakan pada galeri milik seniman beken Bali di wilayah Denpasar, ketika memasuki pelataran parkir, saya sangat terkejut karena melihat palang perintang jalan bertuliskan “Hati-Hati, Ada Upacara Adat!” lengkap dengan guardians sepasukan pecalang. Pada awalnya saya menjadi ragu, apakah undangan pameran seni rupa itu benar? Ataukah saya salah membaca tanggal yang tertera pada undangan? Ataukah hari ini kajeng kliwon yang bertepatan dengan penyelenggaraan suatu penyelenggaraan suatu upacara agama…”[12]

Paradoks budaya Bali dan identitas ke-Bali-an dipertanyakan dalam pernyatan karya Wayan Suja, Bali Asli, 2002, 180 x 145, mixed media. Dalam visual karya, seorang lelaki Bali berkain dan berkaca mata hitam dengan tulisan “Bali Asli”, dengan latar belakang poleng (warna hitam putih) ditemani oleh seekor anjing yang menggantung tulisan “Bali Campuran”. Sebidang kanvas itu diberi judul besar “Dicari…Berindentitas Bali”. Pembongkaran identitas ke-Balian juga dinyatakan oleh Puja dalam Not Proud Being a Balinese, 2003, 150X150, akrilik on canvas. Gambar seorang lelaki (potret diri pelukis) digandengkan dengan tulisan putra daerah di sebelahnya. Karya Suja dan Puja dalam pernyataannya seolah ingin mempertanyakan pengentalan identitas darah (soroh)soroh yang lahir. Diantaranya sanak Pasek dan Maha Semaya Pande untuk mengambil contoh. Adakah ini sebuah kebingungan bagi orang Bali(?), yang memakai senjata etnis atau garis darah di Bali untuk menghadapi kehidupan ini? Ini ditengah paradoks bagaimana manusia Bali hidup ditengah dunia yang katanya modern, pop dengan berbagai gaya hidup konsumerisme, free sex, drugs, dugem, dan antikemapanan. yang sekarang makin marak di Bali. Ini ditunjukkan dengan banyaknya organisasi

Dalam fenomena kebudayaan yang akrab bagi Bali di desa-desa adalah bazar, pengalian dana. Seakan merayakan gaya hidup mewah, konsumtif dan foya-foya. Ironisnya adalah dana dari foya-foya, mabuk-mabukan bahkan mengarah ke kekerasan ini untuk membangun pura atau persiapan melaspas atau ngusaba desa (upacara persembahyangan tempat suci, tempat tinggal, mengupacarai desa), misalnya. Sama seperti tajen yang berjudi untuk membangun pura. Pernyataan kritik fenomena kebudayaan kontemporer Bali ini dinyatakan pada karya Dodit, Kupon Penggalian Dana, 3 panel vertikal, 80 x 160, mixed media, 2002. Karya ini menyindir kupon bazar yang akrab kita lihat berserakan jika di sebuah banjar (tempat komunitas adat di Bali) yang dihias, penduduk dan pengunjungnya memenuhi jalan, ada plang Hati-Hati! Ada Upacara Agama (apakah bazar, acara hura-hura, mabuk-mabukan ini acara agama?) atau pecalang yang berjaga dengan tegak.

Lain lagi dengan karya Mulyana Bayak dalam The God Mustn’t Be Crazy Anymore, instalasi dinding, 2003. Tiga plangkiran (tempat menghaturkan sesajen di kamar-kamar bagi orang Hindu Bali) yang dicat dengan warna kuning, biru dan orange dan diisi botol coca-cola, bir , sprite. Dalam ritual Hindu Bali sering kita lihat botol Coca Cola dan sejenisnya dimanfaatkan untuk tempat tabuh (brem dan arak untuk upacara ritual di Bali) atau untuk tempat tirta (air suci). Atau sudah mulai masuknya simbol-simbol modern, ikon pop dalam ritual di Bali.

Gejala fasisme di Bali—dengan sweeping dan razia pada penduduk pendatang—menjadi pernyataan karya-karya dari Roki Christian Olii. Just Shoot Me!, 2003, kaos sablon. Yang menarik dari karya Roki adalah karya ini yang melekat pada dirinya. Sebuah kaos akan dipakainya dengan gambar depan sasaran target dan bertuliskan “Shoot Me”, (Tembak, Tuduh Aku), dibelakangnya bertuliskan outsiders (orang luar). Karya ini seolah pernyataan bahwa sebagai orang luar (pendatang) saat ini di Bali hanya menjadi sasaran amukan orang Bali—lewat razia, pendataan penduduk kerena bingung terjadi bom. Memang dalam pameran kali ini hanya Roki yang orang luar Bali. Ada juga karya Puja lewat Awas Illegal, 2003, 60 x 80, akrilik on canvas yang menyatakan bagaimana kartu pendatang saat ini berharga di Bali. Lewat www.kippem.com, yang ditulis dibawah karya menunjukkan bagaimana Kartu Identitas Penduduk Pendatang Musiman ini sangat meneror dengan arogansi pecalang yang datang dini hari untuk melakukan razia penduduk.

Beberapa Kritik

Keberanian kritik terhadap kebudayaan Bali oleh TaXu adalah sebuah modal untuk melakukan pembongkaran ulang pemikiran budaya Bali, tapi satu hal dalam paradoks tradisi dan modern—lebih lanjut kontemprer dan postmodern—adalah bagaimana representasi dan persepsi tentang ketradisian yang berjarak dari realitasnya kini yang dipahami oleh masyarakat Bali dan Indonesia[13]. Disnilah rangkaian studi postkolonial tentang persepsi dan representasi Timur oleh Barat menjadi acuan kritiknya. Ketradisian Bali—dengan simbol, mitos, dan kebudayaan yang dikritik TaXu—jangan-jangan diciptakan oleh Barat (arus utama peradaban kebudayaan) yang sama sekali jauh dari realitas Timut (Bali/Indonesia). Studi-studi tentang kebudayan di Bali yang dilakukan sarjana Barat awalnya terkesan eksotis, pulau sorga, damai layaknya pamflet promosi pulau kunjungan wisata. Orientalisme—begitu Edward Said menyebut telah terjadi hegemoni dan imperialistis bahkan membunuh realitas Timur karena strukturnya meniadakan kemungkinan dunia Timur merepresentasikan dirinya.[14]

Lalu apa perspsi kita tentang (kebudayaan) tradisi yang sering menuai kritik? Dalam bingkai seni rupa, adalah sebuah ruang dalam pertarungan perbedaan persepsi, kerangka acuan, kepercayaan estetis dan sudah barang tentu bebas dengan ekspresi dan pemikirannya masing-masing. Selanjutnya apakah kita perlu menyarikan dan mencari benang merah kritik kebudayaan Bali dalam sebuah nilai baru tentang kebudayaan Bali? Pertama, sudah barang tentu ada yang ingin untuk membuat sebuah “kebenaran” tentang kebudayaan Bali dan mendefinisikan serta menguraikannya secara baku dan mapan. Kini kelompok pertama ini tentunya terwakili dan terinspirasi dengan keagungan dan romantisasi jayanya tradisi. Persepsi mereka tentang kebudayaan Bali tidak sesuai dengan realitas dan kembali berpikir untuk mengulang tradisi dalam waktu yang modern (masa kini). Sejujurnya, peta pemikiran seperti inilah yang kini mendominasi masyarakat Bali: imajinasi keagungan dan kejayaan tradisi masa lampau (bukankah bentukan?)

Bayangan akan tradisi—yang masih kuat di desa-desa di Bali, lukisan gaya tradisi Kamasan, Ubud, Batuan, dll.—masih saja kuat, meskipun sudah bergeser menjadi produksi akibat arus utama pasar dan pariwisata. Tapi peta pemikiran modern pun—dalam seni rupa—kini telah menuai kritik. Seni lukis Bali yang masih mengangkat ikon tradisi kini latah dianggap menjadi seni rupa modern Bali, berdasarkan kategori melewati generasi Pita Maha, Ubud, Kamasan. Tapi, apakah memang modern? Kritikus seni rupa berpengaruh Clement Greenberg menyatakan dalam seni rupa, esensi modernisme terletak pada penjelajahan (berdasarkan kritik diri) idiom seni patung, arsitektur, seni lukis. Pencarian (dan penemuannya) tergantung pada kemampuan menjaga kemurnian idiom-idiom itu.[15] Lalu dimana letak karya Klinik TaXu ini?

Jika dalam banyak karya-karya pelukis Bali terdahulu—Erawan, Gunarsa, Sika, dan Sanggar Dewata Idonesia—persepsi dan representasi tradisi memang dipertanyakan lewat karya yang memakai kekuatan ikon tradisi sebagai jualannya. Bagaimana juga kesakralan dan kemurnian idiom-idiom poleng (hitam-putih) dipakai sebagai kekuatan dan mempromosikan religiusitas dan taksu Bali (yang entah seperti apa bentuknya?). Lihat misalnya karya-karya Erawan yang masih akrab menggunakan poleng, Gunarsa yang mendistorsi legong atau Sika yang mengumbar karya-karya abstrak dengan kekuatan magis dan mistisnya Bali.

Kedua, adalah pemikiran untuk perubahan-perubahan radikal untuk kebudayaan dan terus menrus mencari bingkai baru. Kelompok kedua ini biasanya yang terus melakukan kritik dan pembaharuan dalam kebudayaan. Yang berada dalam kelompok oposisi, kelompok minoritas yang terpinggirkan karena kelompok arus utama (dominan) dalam perkembangan peradaban, kesenian dan kebudayaan Indonesia (Bali). Perubahan radikal yang terus menerus dan mencari format serta bingkai tanpa henti. Jika melihat statement karya dalam pameran ini, sudah barang tentu Klinik Taxu memilih jalan kedua, yang ingin perubahan radikal dan mencari peta-peta pemikiran baru tentang kesenian dan kebudayaan Bali.




[1] Pleidooi Bagi Kegagalan Lahirnya Maestro Perupa adalah judul artikel yang dimuat di Harian Nusa, Minggu 25 Februari 2001. Sedangkan kalimat lanjutannya adalah alenia pembuka dari artikel tersebut. Tulisan ini masih dalam rangka perdebatan pameran seni rupa Mendobrak Hegemoni, Kamasra STSI Denpasar di Lapangan Puputan Badung 23-24 Febrtuari 2001.

[2] Kutipan dialog antara Harry Potter dan Galfendorf dalam Harry Potter and The Chamber Of Sacret. Cerita petualangan karya JK Rowlling yang difilmkan.

[3] Dalam undangan dan pamfletnyaapakah komunitas ini selalu terkesan kontroversial—terdapat gambar Imam Samudra yang kepalanya diganti dengan kepala Simpanse. Juga tulisan baju yang dituliskan I Confess (Saya mengaku).

[4] Tuduhan ini akrab kita dengar dan baca di media massa terhadap kelompok Kamasra dalam Mendobrak Hegemoni. Kini beberapa eksponen dari Mendobrak Hegemoni bergabung dalam Klinik Seni Taxu ini. Tuduhan kelompok anak muda frustrasi bisa dilihat dari pemberitaan harian lokal Bali Post selama bulan Februari sampai Maret 2001.

[5] Lihat pamflet Isu paling Gress!!! yang sangat sederhana. Berisi pemaparan beberapa infrastruktur seni rupa dengan segala kritiknya. Diantaranya Media Massa: Kritikus seni cenderung sebagai agen promosi dan periklanan, atau Seniman: seniman terikat kontrak dengan galeri yang akhirnya membelenggu kemerdekaan berkreasi. Lainnya, ada pokok kritik untuk galeri, museum, art shop, kompetisi, dan spekulan seni.

[6] Karya yang paling mewakili semuanya tentunya adalah manifesto kebudayaan yang berisi kecaman pada jurnalis, kritikus juga dosen-dosen malas di STSI Denpasar untuk berhenti dengan gaya kalimat plesetan dan bercanda. Yang lainnya diantaranya Potret Nyoman Erawan mirip gorila, Art Ne Pis (plesetan Art and Peace, proyek miliaran Made Wianta), Sangkar Dewata Indonesia (plesetan untuk Sanggar Dewata Indonesia), dll. Lebih lengkap lihat katalog Mendobrak Hegemoni, 2001.

[7] Lebih lengkap mengenai rekaman dialog STSI_Himusba-SDI, Bali Post Maret 2001 memuat secara berseri isi dialog tersebut. Dialog ini tanpa mengundang Kamasra, tapi dihadiri oleh Senat Mahasiswa STSI Denpasar. Anehnya, Kamasra sempat membuat dialog dengan mengundang semua yang merasa tersinggung dengan Mendobrak, tapi semua tidak ada yang datang. Iklan permintaan maaf STSI Denpasar juga dimuat di Bali Post Maret 2001.

[8] Buletin Suaka misalnya terbit setelah katalog Mendobrak Hegemoni. Isinya tentang Pembelaan dari Kamasra dalam Buku Putih Kamasra-gate, Kritik STSI Denpasar. Lihat Buletin Suaka edisi Maret 2001.

[9] Lihat pamflet Pesta Kapitalisme Bali, juga sub judul Pemerintah Kolonial Bali yang menyediakan dana kurang lebih 1 milyar rupiah untuk pesta yang membosankan dan layaknya seperti pasar malam ini. Selebaran ini juga tersebar saat berlangsungnya pembukaan PKB di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali 16 Juni 2001.

[10] Lebih lengkap lihat terbitan Kronologis Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi Pameran Kontra PKB, Juni 2001.

[11] Lihat terbitan perdana Buletin Seni Rupa KITSCH Agustus—September 2002

[12] Lebih lengkap lihat tulisan Mulyana Bayak dalam katalog ini, khususnya tentang konsaep karya pecalang uniform. Lihat artikel Paradoks Bali: Pecalang, Simbol Religius, Paradoks Sesaji dan Kritik Bali, Katalog TaXsu, Hati-Hati! Ada Upacara TaXu, Januari 2003.

[13] Lihat Artikel Jim Supangkat, Menyela Arus Utama, Kalam 1994.

[14] Lihat Edward Said, Orientalism, 1978. Dalam Jim Supangkat, ibid

[15] Lihat Jim Supangkat, Menyela Arus Utama, Jurnal Kebudayaan Kalam, 1994.

Tidak ada komentar: