Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Politik Kewaspadaan dan Membentengi Budaya

Diselimuti gelap malam dan dingin menyengat, puluhan orang masih tetap berkumpul setia, berjongkok-jongkok, bergerombol dan menunggu. Pakaian mereka rapi, menggunakan kamen (kain) dan udeng (ikat kepala). Mereka berkumpul di banjar (balai desa) menjelang tengah malam, jam 22.00 Wita. Bukan untuk menggelar pesangkepan (rapat desa) seperti biasanya, tapi mereka kini bersiaga penuh. Mereka akan melakukan razia, sweeping karena ada situasi gawat yang mengancam dan merusak citra daerah mereka. Para krama (warga) masyarakat adat di Bali itu gerah. Daerah tempat kelahiran mereka sangat identik dengan tempat pelacuran, lokalisasi. Menyebut daerah mereka adalah citra sarangnya pelacuran. Maka kinilah saatnya masyarakat adat seluruhnya tanpa kecuali memberantasnya. Dan ternyata mereka menunggu instruksi dari pimpinan adat untuk melakukan razia.
Saya yang berada dalam rombongan tersebut melihat bagaimana sigap dan ganasnya para pecalang (satuan pengamanan tradisional Bali) bersama Hansip (Pertahanan Sipil) serta puluhan krama adat lainnya merazia tempat yang mereka curigai melakukan praktek prostitusi. Dan memang benar, dalam semak-semak pohon, berhamburanlah perempuan dan laki-laki. Mereka panik dihardik para pecalang dan krama adat yang melakukan razia menggunakan pakaian adat Bali. Selanjutnya saya mendengar cerita, bukan hari itu saja, tapi tiga hari berturut-turut hal itu dilakukan. Dan kini meluas sampai merazia rumah-rumah penduduk disekitarnya. Memeriksa identitas diri dan menanyakan pekerjaan. Jika tidak bisa menunjukkan identitas, “penduduk liar” ini akan dibawa ke banjar, disuruh membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk), membayar iuran surat tinggal sementara dan kembali dibebaskan.
Cerita-cerita razia, penggerebekan seperti itu—dan mungkin banyak peristiwa lain lagi di seluruh pelosok Bali—sering kita dengar dan baca di media-media lokal di Bali pasca Bom Bali Oktober 2002. Selama hampir 2 tahun lebih, aksi yang diistilahkan oleh pemerintah daerah di Bali ini adalah “penertiban penduduk” dirasa penting untuk memulihkan keamanan di Bali. Pasca Bom Bali, masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu).[1] Akses dan perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia dan penggerebekan tadi.
Tapi sebelumnya, politik kewaspadaan dan kesiagaan ini telah lama tumbuh subur di Bali. Pemicunya tidak lebih dari politik curiga dan adu domba antara kelompok dan kepentingan. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali. Pura-pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan emas yang berada didalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik. Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? Setelah itulah muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan dan kewaspadaan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil diseluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas” Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.
Kini, yang lebih menyedihkan, diawal tahun 2005, bukan pencurian pretima dan emas yang terjadi, tapi perusakan terhadap pura, mengacak-ngacak dan merusak patung-patung di Pura. Beruntun terjadi dalam tiga malam, 5 pura dirusak entah oleh siapa.[2] Yang mengejutkan, kejadian itu menimpa daerah etalase dunia, jantung pariwisata Bali, tempat bom meledak dan mengejutkan dunia: daerah sekitar Kuta dan Legian. Masyarakat Bali panik. Siaga satu pun diberlakukan. Masyarakat Hindu di Kuta diwajibkan untuk mekemit (jaga malam) dan hingga kini masyarakat Bali masih bertanya-tanya siapa yang melakukan perusakan tersebut. Masyarakat Bali sedang siaga, meningkatkan kewaspadaan dan sudah pasti menaruh curiga didalamnya pada orang-orang tertentu. Entah siapa dia sPolitik kecurigaan dan kewaspadaan telah terpelihara dengan kuat dalam ajang-ajang yang berbeda dan dalam konteks politik yang berbeda-beda pula.
Bali menyisakan lubang menganga bagaimana politik kewaspadaan dan kecurigaan itu tumbuh sumbur di Pulau Seribu Pura Sejuta Ruko ini. Benar ada yang mengatakan bahwa Bali tercipta dari pengingkaran sejarah masa lalu, bagaimana kebudayaan Bali tercipta kini tidak terlepas dari pengaruh, jejak-jejak sejarah sebelumnya. Bali paling cepat untuk bereaksi dan menghakimi orang yang dituduh komunis misalnya di tahun-tahun mencekam 1965-1969. Hingga pembantaian, penyembelihan terhadap nyama (saudara) sendiri terjadi di Bali. Penyembelihan dengan cara sederhana, dengan keringat dan alat seadanya, menewaskan kurang lebih 80.000 orang Bali adalah harga mahal yang harus dibayar atas nama kewaspadaan.[3] Semuanya atas nama kewaspadaan, kecurigaan dan kesiagaan akan bahaya dan hantu-hantu komunisme yang tak pernah terbukti. Berikutnya, reproduksi politik kewaspadaan dan kecurigaan itu terus tumbuh subur saat negara bertambah kuat saat orde baru berkuasa pasca 1965. Stigma sampah masyarakat bagi mantan aktivis komunis terus dipelihara dan politik kewaspadaan muncul dalam jargon Awas Bahaya Laten Komunis dan cap-cap komunis bagi anak muda yang coba kritis terhadap kekuasaan. Dan akhirnya, orang Bali melupakan dan kembali menerapkan kewaspadaan baru; perusak kebudayaan Bali.
Politik kewaspadaan baru ini terbilang mempan untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. [4] Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga ditengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman didalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali?
Disinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakn jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya[5]. Negara secara terus-menerus mensubversi dengan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali tadi menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bagunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).[6]
Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya.
Ajeg Bali dan politik kewaspadaan dan curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, sasaran-sasaran.[7]


Denpasar, 19 Februari 2005
[1] Krama Tamiu adalah istilah dan konsep dalam kebudayaan Bali untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat asli Bali. Konsep masyarakat asli dan pendatang telah lama ada dalam pikiran masyarakat Bali. Dalam komunitas adat di Bali, pembedaan ini jelas terlihat dari pemisahan krama ( warga) adat dan krama dinas, para pendatang.
[2] Perusakan ini menurut catatan media-media lokal di Bali berlangsung pertengahan Januari 2005. Pertama terjadi di wilayah Kuta, Kedonganan dan Legian. Kejadiannya beruntun tiga malam. Pada Senen (17/1) menimpa Pura Dalem Kahyangan Legian. Keesokan harinya, Selasa (18/1) perusakan terjadi di Pura Dalem Penataran Kedonganan, Pura Kati Gajah dan Pura Pasimpangan Ida Ratu Dalem Ped, keduanya di wilayah Kelan. Pada Rabu (19/1) perusakan terjadi di Pura Pangorengan dan Pura Lobong, Temacun, Kuta. Lebih lengkap lihat liputan media-media lokal di Bali, Bali Post, Nusa, Radar Bali dan Warta Bali dari Selasa, 18 Januari hingga 22 Januari 2005. Review singkat ini dikutip dari Majalah Sarad No. 58 Februari 2005.
[3] Pembantaian massal yang dituduh anggota dan simpatisan PKI 1965—1966 sebenarnya bisa menguraikan bagaimana setting Bali dulu dan kini. Tragedi kekerasan yang masif saat itu sungguh luar biasa terjadi. Selanjutnya entah hilang kemana dengungan bayangan kekerasan itu ditelan glamournya rayuan Golkar dan manisnya kue pembangunan saat orde baru 1966. Sungguh sejarah yang hilang dan terpotong. Khusus untuk Bali, rekaman sejarah itu setidaknya bisa dipakai sebagai titik tolak untuk membongkar setting Bali kini yang dibentuk oleh orde baru dengan stabilitas dan normalisasinya. Lebih lengkap studi tentang pembantaian PKI di Indonesia (Bali) diantaranya lihat Soe Hok Gie, artikel dalam Zaman Peralihan, Bentang 1995. Geoffery Robinson, The Dark Side Of Paradise, Ithaca and London: Cornell University Press 1955, Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Gramedia 2000.
[4] Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.
[5] Jargon dan proyek paling berhasil dari rezim pembangunan orde baru untuk menciptakan Bali sebagai laboratorium bagaimana pembangunan bisa diselaraskan dengan pariwisata dan budaya. Dan juga negara menjadi pengatur utama gerak langkah pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya di Bali.
[6] Diskusi lewat surat elektronik dengan Degung Santikarma, Juli hingga September 2004. Dikutip dari tulisan Budaya, Kuasa dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan. Sebagian pemahaman dari tulisan kolaborasi bersama saya tentang Politik Ritual dan Budaya Kekerasan di Bali, essay belum dipublikasikan.
[7] Haryatmoko dalam Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Tidak ada komentar: