Who am I

Who am I

Senin, 14 April 2008

Kekerasan dan Kelompok Jagoan di Bali

Memelihara Ketakutan: Kekerasan dan Kelompok Jagoan di Bali
(Sebuah Pendahuluan)
I Ngurah Suryawan


…Setidaknya setelah tahun 1980-an, tokoh-tokoh politik Indonesia berkoar tentang organisasi tanpa bentuk ketika menyebut dugaan adanya upaya kebangkitan kembali komunis. Segala cara ditempuh negara untuk terus-menerus mengawasi bukan saja orang-orang komunis yang dibebaskan setelah meringkuk bertahun-tahun di penjara, tetapi juga keturunan mereka. Ini jelas menunjukkan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak bisa mereka ketemaukan, sekalipun mereka tahu betul mana si komunis dan mana anak laki-laki atau perempuan si komunis. Menyatakannya dengan cara lain, mereka tidak bisa menemukan seraut wajah atau sebuah nama bagi ketakutan-ketakutan mereka. Orang-orang yang menakutkan mereka tampak seperti orang kebanyakan dan mirip dengan mereka sendiri dan, oleh karena itu, membutuhkan banyak dan makin banyak kewaspadaan agar tidak lengah…

(James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, 2000: 8)


Memelihara hantu, itulah tuduhan yang sering dialamtkan saat rezim Orde Baru berusaha dengan segala cara untuk melenyapkan semua “musuh-musuhnya”. Diantaranya oleh apa yang disebutkan oleh James T. Siegel adalah kriminalitas dan komunis.[1] Berbagai macam cara dilakukan oleh Orde Baru untuk menyebarkan ketakutan dan kewaspadaan tersebut. Salah satunya dengan menyebar stigma-stigma “penjahat” dan “antek-antek komunis” untuk meraba-raba siapa kiranya “hantu” yang perlu diwaspadai itu.
Siegel mengungkapkan bahawa bangsa Indonesia masa kini merasa perlu untuk merespons sesuatu yang kehadirannya dalam masyarakat Indonesia mereka rasakan tetapi tidak bisa diidentifikasikan. Kadang-kadang ketakutan itu dibiaskan melalui para penjahat, seperti mereka yang dibabat pada tahun 1983-1984, lain waktu melalui golongan komunis atau lain-lainnya lagi. (Siegel, 2000: 10). Dalam arti lain, “hantu-hantu” tersebut diciptakan sendiri untuk kemudian dibasmi. Tujuannya hanyalah satu: menyebarkan ketakutan secara bersama-sama.
Salah satu yang menjadi tenaga penyebar ketakutan itu adalah para jagoan, orang kuat local, para preman, dan kelompok-kelompok kriminal yang “dipakai” jasanya oleh negara dan kekuasaan untuk menyebarkan terror ketakutan ini. Para “jagoan local” ini akan beraksi sesuai dengan perintah dan target dari “si dalang”. Situasi akhirnya berbalik ketika para jagoan local ini juga menjadi korban berikutnya dari target “si dalang” untuk membersihkan kelompok-kelompok kriminal ini.
Sejarah mencatat bahwa peranan jagoan dan kelompok kriminal ini selalu memberi warna yang penting.

Seorang kriminal, selalu berada di tepian masyarakat Indonesia namun tak pernah berada di luarnya. Sama sekali bukan orang asing, mudah dijumpai dalam wacana politik Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan sososknya yang cocok dengan konteks pemikiran tentang “rakyat”. Kata rakyat dalam sebagian besar masyarakat Indonesia menunjuk pada pengikut seorang pemimpin. Mereka, pada mulanya, adalah para hamba sahaya yang dihidupi oleh para pemegang otoritas politik local. (Siegel, 2000: 4-5)

Pada poin inilah menarik untuk mengajukan tesis Siegel tentang ketakutan dan hantu pada citra diri kita sendiri (masyarakat Indonesia) yang dioperasikan, atau lebih tepatnya digunakan oleh negara untuk menyebarkan ketakutan pada masyarakatnya. Orang Indonesia membunuh siapa saja yang mereka lihat dalam citra (image) diri mereka sendiri. Di sisi lain, target impuls membunuh mereka punya spectrum historis sendiri, orang komunis berbeda dengan penjahat. Tetapi dibalik wajah-wajah komunis dan kriminal terdapat kesamaan dalam hal ancaman, asal-usul yang tidak bisa ditemukan dalam peristiwa-peristiwa sejarah dan harus dicari dalam formasi cultural. (Siegel, 2000: 12-13).
Siegel melanjutkan, kekuasaan bisa diakses para pejabat negara untuk kemudian menghasilkan satu tipe penjahat baru.

Bagi negara, ancaman adalah sebuah daya tarik. Inilah kekuatan mematikan yang ingin dipunyai negara. Tesis saya adalah negara itu sendiri yang mengambil bentuk seorang kriminal dalam rangka mendapatkan kekuatan ini….Dalam pembantaian-pembantaian tersebut orang-orang yang saling menyerupai itu berusaha membuat sasarannya menjadi orang lain. Mengikuti sebuah proses yang sudah sering dipaparkan di tempat lain, kita bisa katakana bahwa mereka berusaha menjadikan bagian dari mereka sebagai orang asing agar bisa menyingkirikannya dan tinggal mereka sendiri yang “murni” secara etnis. Mengenai para penjahat di Indonesia, sebaliknya, negara meniru penjahat, berusaha menjadi sepertinya. (Siegel, 2000: 13)

Dengan memelihara hantu ketakutan tersebut, dan keinginan negara menjadi “penjahat tipe baru”—berkolaborasi dengan jagoan local, kelompok massa dan kriminal--, beragam kasus-kasus kekerasan muncul silih berganti tanpa henti. Buku kecil ini berusaha menghadirkan peta etnografi kekerasan dalam berbagai kasus dan konteks yang ada di Bali pada khususnyanya. Meskipun bertendensi etnografi kekerasan politik, kisah dan pergulatan manusia di dalamnya menjadi poin yang sangat penting dalam bagian-bagian buku ini. Kisah-kisah manusia dalam kemelut kekerasan menjadi jiwa dan warna buku kecil ini.
Salah satu perdebatan kebudayaan yang tidak bisa disangkal melibatkan para “jagoan-jagoan kebudayaan” di dalamnya adalah Ajeg Bali (AB). Wacana ini deras mengalir pasca ledakan Bom Bali di Legian, 12 Oktober 2002. Saat sebuah momentum besar dan sebagai titik awal menggeliatnya berbagai wacana stabilitas serta keamanaan Bali, dan yang terpenting terbangunnya pondasi landasan politik kebudayaan Bali pasca Bom Bali 2002.
Gambaran ideal Ajeg Bali memberikan perspektif yang berbeda. Ajeg Bali sebagai sebuah agenda setting politik kebudayaan Bali salah satunya adalah bagaimana menanamkan kepercayaan diri cultural (cultural confidence). ABG Satria Naradha, pimpinan Kelompok Media Bali Post (KMB)[2] menuliskan memang tidak mudah mewujdukan cita-cita (Ajeg Bali) tersebut.:

Perlu banyak pengorbanan. Dalam ajaran agama Hindu, ada konsep yang mengajarkan tentang mulat sarira atau mawas diri. Mawas diri terhadap apa yang telah dilakukan dan apa yang mesti dilakukan. Dalam konteks mewujudkan keajegan Bali, hal itu mesti dilakukan di tengah keterpurukan sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Walaupun atas semua itu kita harus mebrata. Mebrata dapat berarti menghentikan segala bentuk pembangunan yang menghabiskan ruang, hilangnya jati diri, kesenjangan social ekonomi, ketidakadilan, dan hilangnya spiritualitas. Namun mebrata bukan pula berarti stagnan, tetapi melakukan pembenahan secara terus-menerus demi tertata tatanan kehidupan yang harmonis dan berkesinambungan tanpa harus kehilangan jati diri sebagai manusia Bali.[3]

Banyak cita-cita ideal dari Ajeg Bali, tapi tak kalah juga kritik pedas terhadapnya sebagai sebuah strategi komoditas “pemurnian budaya” yang digerakkan mesin industri media terbesar di Bali, KMB. Degung Santikarma mengungkapkan terminology Ajeg Bali berasal dari bahasa Bali biasa yang mempunyai arti “kokoh, tegak, tegar, kekal,, kencang, kuat, dan stabil”.

Merunut pemikiran yang ada dalam wacana Ajeg Bali, walaupun mengalami guncanganledakan bom yang dahsyat, kebudayaan Bali tetap berwibawa, tak tergoyahkan, berdiri tegak, kokoh, dan tegar. Dengan memakai bahasa local, Ajeg Bali mempromosikan diri sebagai wacana populis untuk membayang-bayangi otoritas elite tradisional, yaitu kaum Brahmana, aristokrasi, dan kekuasaan negara yang memakai bahasa Sansekerta sebagai tanda legitimasi atas peradaban seperti dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Panca Dharma Wanita, dan Sapta Pesona.[4]


Degung melanjutkan, dibalik bahasa akrab Ajeg Bali, tersembunyi ketidaksetaraan gender dan keperkasaan. Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Melalui program “Bali Lestari”, pemerintah Orde Baru meneruskan cita-cita penjajah yang sama-sama melihat kebudayaan Bali sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tidak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya. (Degung Santikarma, 2004).
Satu bagian penting dari buku kecil ini akan berusaha untuk menelisik genealogi pembentukan Ajeg Bali dan operasi kekuasaan yang menyertainya. “Gerakan Kebudayaan” ini tidak hanya membius identitas “ke-Balian” masyarakat Bali, tapi secara tanpa sadar disamping ia--Ajeg Bali--telah membekukan kebudayaan, menjadikannya hak milik, dan menyulut benih-benih gerakan esensialisme kebudayaan, dan juga benih-benih fundamentalisme Hindu. Ini karena Ajeg Bali—bagi pengikut gerakan esensialisme budaya-- seharusnyalah berdasar pada ajaran-ajaran agama Hindu yang mendasari kebudayaan Bali. Maka disebutlah kemudian Ajeg Bali seharusnyalah juga Ajeg Hindu.
Salah satu yang menjadi “penjaga Ajeg Bali” adalah barisan pecalang yang berada dibawah komando Desa Pakraman. Sebagai “polisi adat”, pecalang menjadi barisan berkeris yang bersiap siaga untuk selain mengamankan kegiatan ritual keagamaan, juga melakukan “penertiban penduduk pendatang”, dibawah perintah dari Desa Pakraman.
Kehadiran pecalang sebagai penjamin “kelestarian budaya” sekaligus keamanan dan kenyamanan sebagai syarat pariwisata terus mendapatkan pujian. Sebuah kutipan dari tokoh kerajaan di Bali menyebutkan:

Pecalang berbeda dengan dengan Dulangmangap yang merupakan tentara kerajaan. Pecalang itu penjaga keamanan swakarsa yang dimiliki setiap desa adat (Desa Pakraman). “Tetapi, etos kerjanya serupa, sama-sama siap mekatik ambu (diikat enau), siap mati dalam membela kebenaran,” katanya waktu itu. Pakaian pecalang biasanya didominasi warna hitam atau putih. Ciri khasnya, bunga pucuk bang (kembang sepatu merah) yang diselipkan di telinga atau di destarnya dan kain poleng, bermotif serupa papan catur dengan warna hitam putih, putih dan abu-abu lambang ketegasan untuk memisahkan kebaikan dan kejahatan.[5]

Selain merangkap menjadi petugas razia penduduk pendatang, di samping tugas utamanya mengamankan pelaksanaan ritual keagamaan, pecalang juga bersedia menerima “jasa pengamanan” untuk konser musik, menjaga sabung ayam (tejen), menerima tugas keamanan toko-toko, pesta perkawinan, dan acara-acara di hotel berbintang di Bali. Kadang-kadang banyak juga yang menggunakan jasa dobel, pecalang dan juga polisi. Perusahaan, khususnya hotel-hotel di Bali sejak lama menggunakan jasa jasa pecalang untuk mengamankan lingkungan sekitar hotel. Ada juga pada acara-acara khusus yang berskala besar. Seperti penuturan salah seorang humas hotel di kawasan Nusa Dua yang mengungkapkan menggunakan jasa pecalang selain aparat keamanan negara jika ada tamu negara. Ia mengungkapkan ini sebagai bentuk kerjasama hotel dengan masyarakat sekitar dan selain juga, pecalang terbukti efektif, karena mereka berasal dari lingkungan desa sekitar hotel, sehingga dirasa faham betul mengenai kondisi dan orang-orangnya. (Kompas, 2000).
Salah satu bagian penting dari buku ini adalah berusaha untuk melacak jejak-jejak genealogi “tradisi “ kelahiran pecalang, dan barisan milisi lainnya yang terbentuk mengiringi kehadiran pecalang. Sangat perlu untuk ditelisik lebih jauh bagaimana barisan “jagoan local” ini beroperasi di tengah-tengah lingkungan masyarakat, relasinya dengan “aparat”, dan juga lembaga-lembaga adat—khususnya pecalang—yang menaungi mereka.
Tugas pecalang sebagai “penjaga” rasa aman masyarakat Bali melakukan ritual memberikan kesan bahwa pecalang adalah yang “unik” dan tradisional karena adat dan sejarahnya memang telah ada dari dulu, atau juga “diada-adakan” untuk menguatkan latar belakang sejarah kemunculan pecalang. Seperti yang dituliskan oleh Degung Santikarma [6] untuk memberikan gambaran awal tentang bagaimana konstruksi pecalang sebagai yang “penjaga tradisi”:

Lepas dari ketiadaan consensus mengenai sejarah pecalang, semua orang yang saya ajak bicara sepakat dengan gagasan yang sering muncul di media massa atau keluar dari mulut pejabat bahwa pecalang adalah sesuatu yang “tradisional.” Walaupun mereka sadar bahwa tidak pernah ada yang disebut pecalang di desa mereka sebelumnya, mereka mampu meyakinkan seolah-olah pecalang bagian dari warisan situs kuno yang baru saja digali. Dengan memakai wacana “tradisional” Bali, pecalang mampu menghapuskan dengan sukses ke-modern-an mereka. Dengan memakai predikat “penjaga tradisi”, sekaligus mereka menjadi “penjaga tradisional”. (Degung Santikarma, 2004).

Setelah masyarakat “mengada-adakan” sejarah pecalang yang sebenarnya tidak ada sebelumnya di desa mereka keberadaannya semakin dilembagakan melalui Peraturan Daerah (Perda) Bali No. 3, 2001 tentang Desa Pakraman yang mengesahkan keberadaan tugas dan wewenang pecalang yaitu:
1. Pecalang menjaga keamanan di wilayah desa pakraman.
2. Pecalang mempunyai tugas dan wewenang dalam urusan adat dan agama.
3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh paruman desa atau musyawarah desa.
Dalam peraturan tersebut kata “desa adat” diganti dengan “desa pakraman” karena istilah adat sendiri berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab. Ini seiring dengan proyek “Balinisasi” yang sedang sibuk mencari akar ke-asli-an dari setiap praktek yang dipilih secara selektif oleh pemerintah untuk diawetkan. Dalam konteks ini pecalang merupakan produk wacana negara modern terkesan seperti ramuan “zaman batu” yang tak pernah lentur oleh perubahan, disertai kesepakatan komunal tanpa gugatan. (Degung Santikarma, 2004).

Etnografi Kekerasan (Ingatan)
Beberapa bagian dalam buku ini juga menuturkan bagaimana etnografi tragedy kekerasan(kuburan massal), khususnya pembantaian massal 1965 terjadi di “pulau seribu pura, berjuta ruko” ini. Banyak kisah yang bisa dituturkan, banyak “kebenaran” baru yang bisa diungkapkan untuk menentang “kebenaran” tunggal dari rezim otoritarian Orde Baru terhadap tragedy ini.
Satu bagian dalam buku ini tentang etnografi kekerasan berusaha untuk kembali menyemaikan ingatan kekerasan tersebut, untuk kemudian dibawa kedalam renungan relung-relung hati kita semua. Jika kemudian menyentuh hati kita, ada ada empati, penghargaan kepada ingatan, perjuangan, pedih dan tangis para survivor atau keluarganya yang merasakan tragedy tersebut.
Bagian ini hadir bukan untuk mengingat kembali kenangan pahit apalagi menyulut dendam untuk kembali saling mesiat (berperang). Sungguh jauh dari itu, dan juga kita malu untuk mengulangi kekonyolan di “tahun-tahun yang tak pernah berakhir” dalam kenangan para saksi sejarah, si survivor juga prepetators. Saat sesama saudara saling melenyapkan di tahun 1965-1966. Sungguh sebuah ketercengangan, kenapa manusia Bali begitu beringas membantai saudaranya sendiri? Pertanyaan kunci yang menjadi dasar penting studi tentang kekerasan Tagedy 1965 di Bli dan juga secara keseluruhan di Indonesia.
Jadi,untuk apa menghadirkan bagian tentang etnografi kekerasan, serangkaian kisah pedih kekerasan, dengan menelusuri jejak-jejak pembantaian manusia paling keji ini? Awalnya adalah untuk mengungkapkan “kebenaran yang jamak”, tidak tunggal dan monolitik seperti yang dilakukan rezim Orde Baru tentang Tragedi 1865. Ada “sisi lain”, kebenaran lain yang harus diberikan untuk bersuara lantang meneriakkan “kebenarannya”. Setelahnya, rekonsiliasi, pengampunan antara si pelaku dan korban wajib untuk dilakukan. Memang tak semudah diucapkan atau dituliskan seperti apa yang anda baca. Tapi paling tidak selayaknya kita memahami apa yang diungkapkan Jacques Derrida[7] tentang keutamaan pengampunan:

Asumsi awal Derrida bahwa pengampunan yang sejati adalah pengampunan yang sifatnya tak terukur dan tak terbatas. Jika hendak mengukur dan mambatasi hak ataupun kewajiban “pengampunan”, sama hanlnya dengan usaha mengukur dan membatasi kedalaman hati manusia sebagai pelaku atau korban kejahatan dan/atau pengampunan. (Samuel Rahmat, 2005)


Situasi tersebut bisa terjadi pada diri seseorang di saat yangn sama sekaligus, yaitu ketika ia bisa bersikap mengampuni tapi sekaligus tetap membenci dalam hatinya. Sebaliknya, seorang bisa bersikap membenci tapi sekaligus sudah mengampuni dalam hatinya. Kedua kemungkinan ini bisa dialami, baik oleh pelaku maupun korban kejahatan dan pelanggaran hukum. (Samuel Rahmat, 2005).
Etnografi kekerasan (kuburan massal) dan ziarah atas ingatan menjadi ruang perlawanan terhadap pembakuan ingatan yang disimbolkan lewat monumen megah peringatan kekerasan. Kita seakan tidak bisa membayangkan sebuah monumen untuk mengingatkan kita tentang kekerasan yang terjadi di tengah kegelapan malam, jauh dari kamera dan kata? 1965 memang sudah diabadikan oleh negara dengan membuat monumen Lubang Buaya dan dokumen film “Pengkhianatan G30S PKI” yang bertujuan mewanti-wanti warganya akan bahaya laten komunisme.[8]

Tetapi, kuburan massal merupakan dokumen yang lebih bahaya lagi. Kalau dibaca, jika tulang-tulang diberi kesempatan untuk berbicara,kita akan dengar bahwa citra sangat kontradiktif dengan kenyataan. Berbeda dengan kasus Bom Bali, tragedy 1965 mendekonstruksi image Bali. Manusia Bali tidak hanya seniman, tetapi juga algojo. Manusia Bali tidak hanya penari, tetapi juga pelaku. Manusia Bali tidak hanya penutur, tetapi juga pendukung kekerasan dalam kediaman. Kuburan massal membongkar image manusia Bali yang dirumuskan dalam “mantra sapta pesona” sebagai manusia yang ramah, damai, indah, rapi, bersih, lestari, terkenang, menjadi sebuah bikinan strategis. (Degung Santikarma, 2003)


Etnografi kekerasan selain untuk menyemaikan ingatan akan tragedy kekerasan, juga membantu kita untuk memahami sisi-sisi gelap dari pembentukan Bali hingga seperti sekarang ini. Detail-detail cerita dan catatan dari lokasi kuburan massal seakan menjadi saksi megahnya hotel berbintang, ritual upacara yang megah, dan dentuman musik diskotik beralaskan tulang-tulang kekejian manusia dalam tragedy pembantaian massal 1965-1966.

































[1] Lebih lengkap lihat James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, (Yogyakarta: LKiS, 2000).
[2] Bali Post sebagai ikon surat kabar di Bali terbit semula bernama Suara Indonesia pada 16 Agustus 1948 dengan badan penerbit Suara Indonesia. Perintisnya adalah K. Nadha dibantu Made Sarya Udaya dan I Gusti Putu Arka—keduanya teman seperjuangan K. Nadha ketika bekerja sebagai wartawan di surat kabar Bali Shimbun yang terbit di Denpasar pada waktu pendudukan Jepang, 1943-1945. pada tahun 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua penerbitan harus berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada, nama Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Marhaen edisi Bali. Lantas pada bulan Juni 166 s.d Mei 1971, diganti lagi namanya menjadi Suluh marhaen edisi Bali. Tahun 1971 barulah kemudian berubah menjadi Bali Post. Lihat, K. Nadha, Sang Perintis, (Denpasar:Pustaka Bali Post, 2001), hlm.9-10. Berikutnya, pelebaran gurita bisnis media Bali Post melahirkan Bali TV, televisi local Bali yang dikelola oleh PT Bali Ranadha Televisi pada 26 Mei 2002 dengan ABG Satria Naradha (anak K. Nadha) menjadi Direktur Utama/CEO Bali TV)
[3] Lebih detail lihat Editorial yang ditulis ABG Satria Naradha dalam buku edisi khusus, Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita (Denpasar: Bali Post, 2004).
[4] Degung Santikarma, Ajeg Bali, Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger, Kompas 7 Desember 2003.
[5] Lebih lengkap lihat, Tanpa Kehadiran Pecalang, Bali Sudah Rusuh, Kompas 28 November 2000.
[6] Lebih lanjut lihat Degung Santikarma, Pecalang Bali: Siaga Budaya dan Budaya Siaga dalam Nyoman Darma Putra (ed), Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif, (Denpasar: Penerbit Bali Post, 2004).
[7] Lihat Samuel Rahmat, Rekonsiliasi: Mengampuni yang Tak Terampuni dalam Basis Edisi Khusus Derrida, No 11-12, Tahun Ke-54, November-Desember 2005.
[8] Lebih lengkap lihat Degung Santikarma, Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal, Politik Representasi Kekerasan di Bali, Kompas 1 Agustus 2003.

Tidak ada komentar: