Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Kekerasan Buleleng: Senyapnya Ingatan

Sebuah rumah sederhana, yang awalnya adalah panti asuhan kini mendadak menjadi ramai. 69 orang menggelar tikar untuk alas tidur dan menderetkan kompor-kompor untuk dapur darurat. Mereka adalah krama (warga) Desa Petandakan yang takut tinggal di tanah kelahiran mereka sendiri. Sejak minggu, 26 Oktober 2003, seluruh warga “korban” kerusuhan politik mengungsi mencari selamat. Rumah-rumah sederhana di desa mereka tinggalkan untuk mencari perlindungan di Panti Asuhan Udyana Wiguna di Jalan Dewi Sartika Singaraja. Sampai hari ini, inilah rumah baru mereka.Sebagian besar dari mereka adalah keluarga Nyoman Dangin, ayah dari dua korban “Buleleng Berdarah”, Putu Negara (40) dan Ketut Agustana (25).

Hari-hari keluarga korban yang mengungsi dilalui dengan tanpa arah dan tiada kepastian. Mereka harus tidur di lantai-lantai beralaskan tikar seadanya. Harapannya ada jaminan keamanan di desa mereka bagi keluarga korban baik secara pribadi maupun kelompok. “Kenapa kami meminta surat jaminan keamanan, karena kalau omongan saja kami belum yakin benar. Mungkin beberapa bulan keamanan yang kami rasakan sudah tidak ada lagi, “ jelas Ketut Dapet, koordinator keluarga korban. Praktis tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka takut keluar dan kehidupan mereka disekitar panti saja. Para ibu-ibu berusaha mencari penghasilan tambahan dari menjual jejahitan (bahan-bahan upacara keagamaan dari janur) yang mereka kerjakan bersama-sama di pengungsian.

Satu harapan mereka lainnya adalah tidak adanya pemaksaan kehendak yang bisa menekan aspirasi mereka. Dapet meminta tokoh dan aparat desa memberikan jaminan kebebasan bagi mereka untuk menentukan aspirasi politik tanpa adanya pemaksaan dari pihak lagi. Selama ini, keluarga korban sangat merasakan gaya-gaya “penyeragaman” persis ketika orde baru menekan dan mengkompakkan aspirasi politik warga. Tapi kini, bukan negara dan aparat pemerintah yang melakukan itu, tapi warga masyarakat, tetangga dan keluarga Dapet dan Nyoman Dangin yang meniru gaya-gaya politik keseragaman, intimidasi yang dilakukan negara.

Tragedi pengerusakan juga sempat dialami oleh Keluraga Dangin pada tahun 1999, mejelang Pemilu. Di daerah lainnya, Desa Banjar, Buleleng sempat terjadi bentrok massa antara PDIP dan Golkar di satu desa yang menelan korban tewas 17 orang. Saat itu memang tidak ada pembunuhan seperti saat ini, hanya rumah mereka saja yang dihancurkan orang yang tidak dikenal dan mengaku menghancurkan. Tapi Dangin mengaku tahu siapa orang-orang yang melakukan aksi pengerusakan tersebut, tapi Dangin tidak ingin menyebutnya. Setelah itu, massa yang saling bersitegang (PDIP dan Golkar) di desa mereka sepakat membuat perjanjian untuk tidak mengulangi lagi. ”Dengan kejadian ini berarti mereka melanggar perjanjian dulu, “ kata Dangin.

Seorang pegawai bank yang punya nasabah di Desa Petandakan bercerita pada saya. Sejak berakhirnya Pemilu 1999, ada 15 KK (Kepala Keluarga) yang membelot dari PDIP ke Golkar. Mereka adalah potret keluarga yang berpikiran “maju”. Sebagian dari mereka tinggal dan bekerja di Denpasar, berpendidikan dan mengerti politik. “Mereka sangat terpandang di desa, sering membawa ide-ide baru dan menonjol,” kata pegawai bank ini. Mereka sering ngerembug (ngobrol-ngobrol) soal politik di sekitar keluarga dan juga pada warga yang lain. Sampailah keluarga yang dulunya PDIP tulen ini pindah haluan mendukung Golkar. Karena 15 KK ini mampu, posko besar Golkar dididirikan didepan rumah mereka.

Karena majunya keluarga ini, warga yang lain menjadi heran dan juga marah. Mereka yang dulu menjadi teman seperjuangan, simpatisan PDIP, kini membelot ke Golkar. Kontan inilah yang memicu kemarahan dan dendam sebagian warga Desa Petandakan lainnya yang masih setia mendukung PDIP. Saat HUT Golkar di Denpasar, sebagian besar anggota keluarga ini pulang ke desa mereka sampai terjadinya kerusuhan dan pembantaian politik yang menimpa keluarga Nyoman Dangin.
Sampai kerusuhan dan bentrok politik terjadi memang menyimpan dendam dan akar masalaah sejak lama. Salah satunya adalah soal pembelotan tadi. Keluarga Nyoman Dangin (62) dan lainnya yang kini mengungsi menyadari itu. Anggota keluarga kini tentu masih mengingat peristiwa mencekam yang menewaskan adik, keponakan, paman mereka Putu Negara dan Ketut Agustana.

Khusus untuk Nyoman Dangin, tragedi mencekam selama beberapa jam itu, yang berakhir dengan tragis dan menghancurkan hidupnya tidak akan pernah ia lupakan, sampai akhir hayatnya. Ia melihat sendiri kedua anakya tersebut dibunuh, dibantai oleh tetangganya sendiri, sesama krama Desa Petandakan, Buleleng. Yang dalam pikirannya, semuanya telah direncakan dan ia sudah tahu orang-orang yang menaruh dendam dan berencana membunuh anaknya. Baginya tidak perlu lagi mepeluasan (ritual untuk menanyakan pada orang pintar, paranormal tentang arwah korban). “Ngenken biin mluasang sube tawang jelmane to to deen,” ujarnya. (Yang membunuh sudah saya tahu orangnya itu-itu saja) ujarnya.

Rekaman tragis yang menimpa kedua anaknya, pengurus Partai Golkar dan kader AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) Desa Petandakan masih terus terngiang sampai dirinya tidak bisa tidur dua hari dua malam, sampai akhirnya ia tertidur pulas bersama 69 anggota keluarganya tempat pengungsian. Dangin dengan mata kepala sendiri melihat anaknya terkapar kaku dengan lumuran darah.

Korban Putu Negara terjebak dalam kerumunan massa PDIP yang memang megincarnya. Massa yang kalap dan bersenjata tajam kemudian menebaskan pedang, klewang, panah dan batu ke arah Negara. Ditangan korban masih tertancap taji (senjata tajam) untuk sabungan ayam tertancap kuat. Badan korban penuh dengan lubang tusukan benda tajam seperti arit, pisau, klewang, panah. Setelah dibantai, mayat korban sempat diseret menuju jalan raya oleh massa, sebelum dikembalikan di depan rumah Kelihan (Ketua) Desa Petandakan, Made Gelgel. Berita terakhir, seorang pembantai yang diketahui masih siswa SMU di Singaraja, mengaku sempat memukul kepala korban dengan batako beberapa kali. Korban yang sempat diwawancarai sebuah TV lokal di Bali dengan tertawa menjelaskan semua perbuatannya dan menyempatkan diri untuk mengacungkan jari lambang PDIP tanpa berdosa.

Sementara Ketut Agustana, adik korban yang melihat kakaknya dikerubuti dan dibantai massa kemudian mengejar dan mendekati kerumunan itu. Massa yang mengetahuinya akhirnya juga membantai Ketut tanpa ampun. Korbanpun tersungkur diantara kerumunan massa dengan dua busur panah yang masih tertancap kuat di lengan kiri korban. Agustana yang menggunkan celana pendek putih dengan baju biru dan Putu Negara dengan baju putih dengan lengannya berwarna biru serta celana panjang biru penuh dengan lumuran darah. Kepala kedua korban terus mengeluarkan darah hingga menggenangi tanah.

Tewasnya kedua saudara ini menyiratkan dendam bagi saudaranya mereka, Sila Antara, yang bekerja menjadi pelaut. Keluarga yang menjemput Sila tidak memberi tahu kejadiaan naas tersebut. Sampai kemudian ia tiba di tempat pengungsian dan mendapatkan cerita kedua saudaranaya telah dibantai oleh orang-orang yang sudah akrab ia dengar sebelumnya. Sila Antara mengamuk dan tidak menerima kedua saudaranya tewas dengan mengenaskan itu. “Apa salah keluarga kami. Dulu sudah tempat tinggal semua dibakar. Sekarang kok lagi, Putu dan Ketut dibunuh, apa maksudnya ini. Kalau alasan Pemilu dipakai, itu masih jauh. Saya tidak terima ini,” teriak Sila.

Politik dendam dan trauma memang hadir bertumpuk-tumpuk di Bumi Panji Sakti ini. berbagi rentetan kerusuhan antar parpol, pengerusakan rumah sampai pada pembantaian hadir silih berganti dan meninggalkan dendam dan cerita-cerita “sadis” yang hadir dalam ruang-ruang pribadi dan ingatan masing-masing orang. Bebagai korban politik, kerusuhan dan pembantaian akan mengingat terus kejadian brutal yang menimpa keluarganya untuk kemudian diceritakan pada anak cucu dan buyut mereka kelak. Korban dan pembantai akan bercerita dengan “kebenaran” mereka masing-masing. Seperti yang nanti juga akan diceritakan Nyoman Dangin pada anak, cucu dan saudaranya nanti. Hal yang sama juga akan dilakukan keluarga para pembunuh anak Dangin pada cucu mereka nanti.

Politik adalah orang Bali dan orang Bali melakukan “Politik” setiap hari. Bukan hanya politik ingatan dan trauma yang kini menambahkan rantai panjang dendamnya di Bali, tapi juga dalam semua bidang kehidupan manusia Bali. Dalam upacara ritual keagamaan yang dianggap paling “suci” juga dipenuhi dengan nuansa politik pengakuan atas ritual yang dianggap paling benar, paling tinggi statusnya dan kelompok, kasta, garis keturunan yang paling berhak menjadi pengayom dan penyungsung (pemegang kekuasaan, pemegang tanggung jawab). Politik upacara ritual inilah yang kemudian menyumbang peran dalam pemurnian dan pemutihan dari rentetan kasus kekerasan dan pembantaian yang terjadi di Bali sejak zaman kolonia, Gestok, G30S hingga kini.

Dangin dengan tulus mengatakan tidak akan membalas aksi ini, tapi ia masih menyisakan ruang di hati dan jiwanya untuk dendam politik pada warga di desanya yang membunuh kedua anaknya. Tapi ia menyadari, anak-anaknya yang lain mungkin tidak akan menerima semua ini. Ini terbukti dari histeris dan mengamuknya Sila Antara. Bagi Dangin dan keluarga korban lainnya, balas dendam tidak akan ada artinya. Mereka menyerahkan sepenuhnya musibah yang menimpa keluarganya pada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). “ Biar Tuhan yang membalasnya nanti, “ kata Dangin. Sikap pasrah ini—dengan penyerahan diri pada Tuhan—memang menjadi pelabuhan orang Bali ketika menghadapi musibah hebat. Seperti saat Bom Bali, masyarakat Bali menyelsaikannya dengan upacara Pamarisudha Karipubhaya untuk keseimbangan alam dan menjauhkan alam Bali dari musibah. Juga saat pembantaian massal PKI di Bali 1965-1969, mayat korban yang hilang dan tidak ditemukan, disupat (diambil nyawanya untuk diserahkan pada Tuhan) agar mendapatkan pengampunan dan lahir kembali menjadi manusia yang lebih “baik”. Arwah mereka dipanggil di segara (pantai), kemudian dibuatkan sawa (dari janur sebagai perlambang arwah korban) untuk kemudian diaben (dibakar). dengan rentetan upacara ritual ini, masyarakat Hindu Bali percaya arwah korban akan diterima oleh Tuhan.

Begitu juga yang terjadi pada keluarga Dangin. Setelah Negara dan Agustana diaben, secara ritual penyerahan diri pada kehendak Yang Kuasa, Hyang Widhi telah mereka lakukan. Merelakan anak mereka dipanggil Hyang Kuasa dan menyelesaikan kematian tidak wajar kedua anaknya dengan upacara ritual Hindu Bali. Beban yang ada di Dangin serta keluarganya sekarang adalah menghidupi dan melanjutkan sekolah tiga anak Negara, Ni Kadek Budiadi (15), Komang Dewi Arsini (12) yang bersekolah di SMP 5 Pangalatan dan Ketut Kakarsana (9) yang masih duduk di kelas 3 SD 2 Petandakan.





I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali. Sedang melakukan penelitian Broker Kekerasan : Pecalang, Preman dan Satgas Parpol untuk KITLV dan Universitas Amsterdam Belanda.

Tidak ada komentar: