Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Seni dan Kuasa di Bali (Project Rsearch Yayasan Seni Cemeti)

Dari “Moii Bali” ke “Mendobrak Hegemoni”

Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali

I Ngurah Suryawan

Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Bali. Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Karyanya: Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), dan Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), 2005. Dapat dihubungi di Mobile: 081-2396-5390 atau email: ngurahsuryawan@gmail.com dan suryawanku@eudoramail.com.

Latar Belakang

“Dalam abad ini berkembang dua golongan seni lukis baru di Indonesia. Yang pertama berkembang di Bali sejak tahun-tahun tiga puluhan. Seni lukis ini memperlihatkan beberapa sifat baru yang membedakannya dari seni lukis Bali lama, namun pada umumnya tetap memperlihatkan hubungan yang jelas dengan kesenian dan kebudayaan di Bali. Karena itu ada dasarnya jika orang tetap menamakannya “seni lukis Bali[1]

Pernyataan kritikus seni rupa, (alm) Senento Yuliman menyiratkan bahwa seni lukis di Bali mendapatkan tempat sendiri dalam perjalanan seni visual di Indonesia. Ini disebabkan karena pengaruh kebudayaan dan ritual agama Hindu Bali menjadi cikal bakal terbentuknya apa yang disebut Sanento sebagai seni lukis Bali lama. Seni lukis Bali lama mendasarkan dirinya pada sebuah ritus bernama yadnya, persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Masa Esa dalam bentuk perlengkapan upacara seperti kain umbul-umbul yang bergambar tokoh cerita pewayangan Ramayana atau Mahabharata yang disakralkan. Juga lukisan-lukisan pewayangan di atas kanvas. Si seniman sebagai kreatornyapun tidak terlacak secara jelas, karena dalam pengerjaan berlangsung secara kolektif. Maka dari itu, banyak karya-karya seni lukis Bali lama yang anonim.

Jejak-jejak peninggalan seni lukis Bali lama ini kadang terdapat dalam peninggalan-peninggalan ritual agama Hindu Bali. Banyak karya-karya seni lukis berhubungan dengan teologi dan filsafat dari agama Hindu. Hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan.[2] Semua karya-karya tersebut dipersembahkan untuk ritual di pura-pura atas permintaan dari kaum bangsawan/raja-raja di Bali. Semua proses pembuatan karya seni itu disertai dengan ritual pasupati, ritual mensakralan karya itu, untuk persembahan kepada para dewa-dewi yang berada di pura-pura. Periode ini berlangsung sejak perkembangan ajaran Hindu-Budha di Bali dan masuknya invasi Majapahit dari Pulau Jawa ke Bali tahun 1343, yang kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan Hindu dengan tatanan agama dan ritual yang kental.

Landasan tatanan ritual, agama, sosial politik yang membentuk dunia seni dan kebudayaan Bali pra kolonial mulai mengalami perubahan mendasar. Masuknya invasi Belanda di Bali utara 1845-1848 dan di Bali selatan 1906-1908 merubah cepat Bali. Perlahan tapi pasti tatanan kehidupan masyarakat Bali berubah seiring kolonisasi yang dilakukan Belanda. Puri dan kerajaan-kerajaan lokal diintegrasikan ke dalam administrasi kolonial. Kehidupan ekonomi masyarakat Bali disatukan dan dibawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Begitu juga dengan keseniannya. Mulai ada perubahan tematik dari seni sebagai persembahan ritual menjadi terintegrasi dengan konteks kekuasaan kolonial ketika itu.

Di Bali selatan, Jean Cotteau mencatat dominasi asing dan komodifikasi kesenian berlangsung secara tiba-tiba. Pada waktu puputan, perang sampai titik darah penghabisan, Badung dan Klungkung (1906-1908), kapitalisme sudah menerjang budaya lokal. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu, begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideology konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi.[3]

Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun image Bali. Salah satunya adalah pesanan dari jaringan rezim kolonial atas karya-karya seni Bali yang dianggap eksotik, asli dari dunia timur yang “asing”, “mistis” dan sorga bagi warga dunia di barat. Pandangan orientalis ini menjadi pondasi berubahnya citra terhadap Bali. Landasan sosial religius seni lukis Bali lama tergerus dengan pesanan karya-karya yang mereproduksi eksotika Bali dalam lukisan pewayangan dan citra akan dunia pewayangan dan “mistik” seperti bayangan para pelancong dan rezim kolonial.

Menginjak tahun 1920-1930 mulailah intervensi seniman barat ke Bali, yang kemudian memepengaruhi perkembangan seni lukis di Bali. Walter Spies, seniman serba bisa, pelukis, koreografer, penari, dan juga fotografer asal Jerman datang ke Bali tahun 1927. Tahun 1929 menyusul datang Rudolf Bonnet, seniman akademik asal Belanda dan Arie Smith 1956.[4] Dua yang disebut pertama berkongsi dengan Raja Ubud Tjokorde Gde Raka Sukawati (almarhum putra Ubud yang dilahirkan di Ubud tahun 1910) bersama dengan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan organisasi yang disebut dengan Pita Maha tahun 1936.[5] Perkumpulan seniman ketika itu diadakan di rumah Spies di Tjampuhan, Ubud dan bertemu setiap minggu. Pertemuan Pita Maha langsung dipimpin Tjokorde Gde Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Perkumpulan ini mengadakan pameran-pameran di dalam dan di luar negeri yang memungkinkan seni lukis Bali menjadi dikenal dan diakui dunia internasional. Dari kegiatan pameran keliling dunia inilah yang kemudian merangsang dan memunculkan pengaruh kuat pada seniman muda Bali dan bagi perkembangan seni lukis modern di Bali.

Kongsi dagang untuk promosi seni lukis Bali ini terbentuk beriringan dengan penyeberan promosi pariwisata Bali melalui brosur-brosur turis untuk berwisata ke pulau tropis di Asia bernama Bali. Terbentuknya organisasi dan kongsi ini adalah bukti pengaruh luar (Barat) yang luar biasa pada Bali. Pelukis-pelukis Barat yang datang ke Bali secara tidak sadar memberi pengaruh paling dasar dalam perubahan tematik, cara sampai paradigma seni rupa di Bali. Sebelumnya tema-tema lukisan di Bali tidak jauh dari corak tradisi-religius wayang lukis dari epos-epos Mahabharata dan Ramayana. Pada periode ini, Spies dan Bonnet memberikan ide-ide baru dan contoh-contoh baru dalam tema dan teknik melukis pada pelukis Bali. Maka pelukis Bali pun terpengaruh, terutama dari motif yang diangkat dari kehidupan sehari-hari dan lingkungannya.

Seniman yang bergabung dalam Pita Maha tercatat 125 orang. Diantaranya adalah A.A Gde Sobrat (Desa Padangtegal), I Gusti Ketut Kobot (Desa Pengosekan), I Ketut Roja (Desa Mas), I Gusti Made Debelog (Denpasar), I Riok (Desa Celuk). Pelukis Bali ketika bertemu dengan Spies banyak yang memunculkan karya corak baru. Motif yang diangkat dari lingkungan hidup sehari-hari.

Gaya Ubud adalah kelanjutan dari proses kerja dan pengaruh Pita Maha. Pelukis Bali dengan gaya ubud mampu melukiskan pada taferil yang satu. Misalkan peristiwa seorang petani pergi ke sawah, persitiwa di jalan, mengerjakan sawah atau menuai padi, membawa pulang dan menjemurnya di halaman umumnya. Ini semua dilukiskan dengan bercerita dalam satu bidang kanvas. Dalam gaya lukis tradisional, gaya ubud sekarang merupakan komoditi terbesar dalam seni lukis Bali dan memperlihatkan kecenderungan untuk berkembang dalam karangka tradisional. Gaya lukisan ini juga berhubungan dengan kehidupan sehari-hari orang Bali sebagai ide pengambilan temanya. Tokoh-tokoh kunci dari pengusung gaya ubud ini diantaranya Ida Bagus Made, Anak Agung Gde Sobrat dan I Gusti Ketut Kobot. Mereka inilah pelukis elite dari lukis gaya Ubud. Ini karena pengaruhnya amat besar terhadap karya dan pandangan filosofis generasi yang lebih muda. Pelukis muda yang muncul menggantikan Ida Bagus Made dkk. diantaranya Ketut Nama, Wayan Djuljul, Ketut Sepi, Made Subalon, Ketut Brata dan Made Parsita.[6]

Aliran lukisan Gaya Batuan berasal dari tradisi cerita wayang dan tarian. Tapi aliran ini jelas berbeda dengan gaya Kamasan yang juga memiliki dasar yang sama. Dr. AA Djelantik, penulis seni senior di Bali pernah mengatakan pertumbuhan seni lukis Bali memperhatikan perbedaan-perbedaan gaya Batuan dan Kamasan dalam istilah “lebih berbentuk human” dan dalam objek pemandangan lebih dalam dan perspestif. Djelantik mengatakan pilihan aneka warna yang digunakan lebih gelap dan dengan bayangan yang dalam, merefleksikan lukisan bersuasana malam, mengingatkan tarian atau drama Gambuh yang dipertunjukkan malam hari [7]

Sesungguhnya Desa Batuan telah lama dikenal sebagai pusat seni tari dan drama. Hingga kini banyak pelukis yang masih aktif di desa tersebut. Selain melukis, mereka juga memainkan musik, menari dan ikut dalam pementasan drama klasik yang disebut gambuh. Tahun 1960-an, lukisan gaya Batuan dapat dibedakandalam tiga genre. Pertama, keturunan keluarga almarhum Ida bagus Togog yang menurut tradisi mewarisi ketrampilan sebagai perajin, melukiskan cerita-cerita Ramayana dan Mahabharata atau subjek mitologi. Genre kedua, adalah peran Made Djata yang suka menciptakan karya berformat besar. Djata ikut menggambarkan mitologi dan cerita wayang ditambah dengan kekayaan imajinasi dan fantasi-fantasinya sendiri. Genre ketiga adalah dari lukisan-lukisan berbumbu humor, jenaka yang merupakan reaksi balik tentang kehidupan modern, terutama industri pariwisata yang menggilas Bali dari berbagai aspeknya.[8]

Kelompok lainnya adalah Young Artist. Kelompok dan aliran ini bermula dengan munculnya pelukis Arie Smith. Arie punya pengaruh dan pengikut untuk memunculkan gaya khusus sewaktu mengasuh anak-anak untuk melukis di Desa Panestanan, Ubud. Tahun 1990-an murid yang belajar melukis pada Arie Smith sudah berjumlah ratusan orang yang kemudian menghasilkan gaya Young Artist. Gaya ini umumnya berani menggunakan warna primer seperti kuning, biru, merah, serta campurannya. Serta dengan goresan-goresan garis yang tebal. Motif-motif lukisan gaya ini sama dengan pelukis Ubud dan Batuan. Banyak mengangkat motif kehidupan sehari-hari. Seperti petani mengembala kerbau di sawah, pengembala itik, suasana saat upacara agama, situasi rumah tangga. Dengan tema ini jelas berbeda dengan gaya tradisional Kamasan yang melukis cerita Ramayana dan Mahabharata.

Dengan tumbuhnya anak didik Arie Smith menjadi dewasa, corak lukisan Young Artist mengalami perubahan. Warna primer meredup dan tidak mencolok, goresan menjadi kurang tebal, tapi semua masih menunjukkan spontanitas. Pentolan young artist ini diantaranya Nyoman Cakra, I Ketut Soki, Ketut Punduh, Wayan Pagur, I Nyoman Londo, I Made Norif, I Nyoman Gerebig dan I Wayan Kembang.[9] Kelompok-kelompok pelukis lainnya sebenarnya masih banyak tersebar di Bali. Di antaranya adalah kelompok lukisan Wayang Kerambitan, lukis kaca Nagasepaha di Buleleng, HPS (Himpunan Pelukis Sanur) di Denpasar.

Berikutnya adalah masa gelap seni rupa Bali. Generasi yang “hilang” dan “tahun yang lenyap” dalam jejak panjang wacana seni rupa Bali. Tahun dan generasi itu adalah “generasi seniman politik” tahun 1960-an. Ketagangan politik juga berimbas dalam bidang seni yaitu persaingan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Ketegangan bukan hanya terjadi dalam seni rupa, tapi juga dalam kesenian-kesenian lainnya seperti tari dan gamelan. Yang paling terkenal adalah persaingan dua partai politik besar pada zamannya ini di tarian Janger (tarian kegembiraan anak muda). Dari tarian janger ini biasanya diselipkan kampanye-kampanye politik kedua partai. Dalam seni rupa, barisan seniman Lekra membuat baliho-baliho dukungan politik dan membuat famlet-famlet mendukung gerakan PKI, demikian juga yang dilakukan oleh seniman dari LKN. Begitu juga yang terjadi di bidang sastra, pewayangan dan sudah pasti tari. Semuanya telah menjadi politik. Seni menjadi bagian dari politik sebagai panglima saat itu.[10]

Generasi seniman tahun 1960-an tertumpas habis dalam pembasmian orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI dan ormas-ormasnya yang terjadi di Bali 1965-1966. Termasuk di dalamnya adalah anggota Lekra. Jejak sejarah perkembangan seni di Bali, terputus saat memasuki tahun gelap 1965. Catatan sejarah mentabukan bagaimana kiprah Lekra dan ketegangannya dengan LKN berlangsung. Juga bagaimana cikal bakal dari seni tari, tabuh dan pertunjukan yang menjadi medium penting dalam perjuangan partai politik.

Jean Cotteau hanya menyinggung sedikit, bahwa sumbangan seniman realis yang paling peka terhadap masalah sosial “hilang” setelah Gestapu. Mereka adalah seniman-seniman dari luar Bali penganut aliran realis (PERSAGI) yang sebagian anggotanya berafiliasi ke Lekra. Mereka mendirikan studio dan sanggar-sanggar di Ubud dan Denpasar dari tahun 1950-1970-an.[11] Meletusnya peristiwa G30S dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI dan organiasi pendukungnya membuat banyak seniman Lekra “hilang” di Bali.

Raka Suasta, salah seorang mantan anggota Lekra Bali, mengungkapkan saat berkiprah di Lekra, slogan yang selalu diingatnya adalah seniman harus membela rakyat. Sedang bentuk visual yang digunakannya adalah bahasa realisme sosialis. Ia menyatakan hubungan Lekra dan PKI tidak ada garis organisasi afiliasi. Tetapi banyak anggota Lekra yang ikut partai, dan kebetulan partainya adalah PKI, sehingga kesan Lekra menjadi organisasi afiliasi PKI menjadi kental. Raka Suasta diciduk oleh tentara dan diangkut truk pada malam hari 26 Desember 1965. “Dinaikkan di atas mobil truk dibawa berkeliling untuk mengambil orang lagi di tempat lainnya. Saya sudah pasrah, di manapun akan dibunuh ya sudahlah,” tutur Raka Suasta yang berada di balik jeruji besi hingga 1968.[12]

Semua cerita itu terhapus oleh politik stabilitas orde baru yang menempatkan seni kini menjadi bagian dari industri pariwisata. Politik pembangunan menyusupkan bagaimana kebudayaan Bali dengan identitas khasnya, dengan spirit Bali, menjadi komoditas. Sementara itu, pariwisata dan pembangunan mendukung kesenian yang bersedia menjadi bagian dari politik kebudayaan Bali saat itu, kuasa, modal (pembangunan) dan pariwisata. Akhirnya, selepas ketegangan dan pembasmian gerakan kiri itu, muncullah kelompok seniman muda Bali yang merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Nama kelompok itu adalah SDI (Sanggar Dewata Indonesia) yang kemudian mewarnai perkembangan seni rupa Bali.

SDI, dalam konteks Yogya dan Bali adalah sebuah paguyuban, dalam mereka sekaa bebanjaran (perkumpulan komunitas adat di Bali). Lahir tahun 1970-an, SDI kemudian terkenal dengan deklarasinya menggunakan spirit religiusitas dan mistis Bali melalui symbol-simbol kultural dan agama yang ada. Sebuah paguyuban[13] bersemangat primordialisme, yang dari perantauan (di Yogya) mendapatkan pensahan untuk membentuk sentimen dan pengentalan etnis kedaerahan. Romantisasi karena tinggal jauh dari Bali menempatkan kelompok ini seakan menjadi wakil dan representasi paling sahih dari seni rupa Bali di nasional dan internasional. Dan itu dibuktikan dengan serangkaian pameran-pamerannya yang sukses.

Dimulai dari Nyoman Gunarsa dengan figuratif Legongnya (tari tradisi di Bali), cipratan cat-cat menyala ekspresif dan figur penari Legong Bali. Lalu Wayan Sika dengan abstrak ekspresionis “ke-Bali-an” dengan memajang ikon poleng (kain hitam putih) simbol dualisme, kontradiksi baik buruk dan lainnya dalam lukisannya. Juga Nyoman Erawan yang hampir senada dengan Sika, dengan letupan menggunakan ikon-ikon tradisi Bali dalam setiap karyanya. Karya-karya Erawan sering dianggap sebagai avant garde tradisi karena keberanian mengeksplorasi tradisi Bali dalam lukisan abstrak ekspresionis. Ia juga mengambil seni intalasi dan perfomance art dalam karyanya. Dan sederet seniman yang lahir dari kelompok SDI seperti Made Djirna, Putu Sutawijaya, Made Wiradhana, Made Sumadiyasa, Made Budhiana, Nyoman Nuarta, Nyoman Masriadi dan yang lainnya.

Jean Cotteau banyak mengulas sebagian besar karya-karya dari seniman anggota SDI ini.[14] Tapi saya tidak tertarik untuk membicarakan bagaimana karya mereka—seperti yang dilakukan Jean Cotteau—tapi lebih melihat SDI sebagai sebuah organisasi telah menciptakan sebuah rezim kekuasaan dalam relasi kuasa seni rupa di Bali. Pasca “hilangnya” sejarah seni rupa Bali, seniman-seniman yang tergabung dalam SDI menguasai dua poros Yogyakarta-Bali. Disadari atau tidak, SDI telah membentuk gurita kekuasaan yang menyebar dalam relasinya dengan wacana, lingkaran dan bangunan infrastruktur seni visual, dan nilai yang diwtawarkannnya. Jaring-jaring kuasa yang beroperasi inilah yang menjadi dasar bangunan SDI sebagai lembaga maupun anggotanya sebagai individu, berkembang kuat menjadi kelompok seniman yang mewarnai perkembangan seni visual di Bali.

Dari segi wacana, SDI mampu memenuhi hasrat dari wacana keotentikan, keaslian dan sentuhan “spirit Bali” yang selalu diusung oleh seniman SDI. Wacana ini bertemu dengan semakin terkonsolidasikannya rezim wacana “pariwisata budaya” yang mencoba mengangkat kesenian yang berspirit Bali menjadi salah satu produk dari sebuah relasi besar, yang melibatkan seluruh politik seni dan kebudayaan di Bali: wacana “pariwisata budaya” tahun 1980-1990-an. Seni bertemu dengan sebuah rezim kekuasaan bernama orde baru dan menciptakan sebuah relasi yang apik bagaimana seni dan kebudayaan menjadi sebuah wacana dan produk dibawah ideologi pariwisata.

Relasi seni dan kekuasaan diwujudkan oleh agency-agency para pemilik modal yang mendirikan museum dan gallery atau artshop-artshop di kawasan Kuta, Sanur, Ubud, dan Klungkung. Hadirnya Musuem Puri Lukisan, Neka, Rudana, Gunarsa berbarengan dengan mulai tertatanya secara solid infrasturktur pariwisata di Bali saat rezim orde baru. Maka konsekuensi dari semua itu adalah tarik-menariknya seni dan kebudayaan (kekuasaan) serta industri yang terus-menerus direproduksi oleh negara yang sangat kuat ketika itu. Maka seni dan kebudayaan tanpa sadar menempel menjadi salah satu prasayarat berjalannya “pariwisata yang berbudaya”. Lukisan “moii Bali”, seperti ditawarkan seniman-seniman SDI laku keras sebagai cinderamata untuk melihat keeksotikan Bali dan juga mereproduksi identitas keBalian dalam sebuah spirit yang sering dianggap mempunyai kekuatan inner power yang dalam kepercayaan Hindu Bali disebut taksu.

Maka muncullah sebuah event seni rupa Mendobrak Hegemoni yang dilakukan Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar, 23-25 Februari 2001 di Lapangan Puputan Badung, di pusat kota Denpasar. Acaranya sebenarnya biasa, perfomance art, pameran lukisan dan melukis bersama oleh semua mahasiswa seni rupa STSI/ISI Denpasar. Yang tidak biasa adalah tema dan lukisan-lukisan yang dipamerkan. Hampir sebagaian besar karya bertema “menghujat” dan “menyerang” kelompok-kelompok yang dianggap hegemonik, yang tidak lain adalah sebagaian besar seniman SDI, para pemilik museum dan gallery yang menjadi institusi yang berkuasa untuk menentukan dan menciptakan wacana, didukung oleh para kurator dan penulis seni yang bisa dibeli untuk terus mengokohkan kekuasaan kelompok hegemonic SDI dan relasi-relasinya. Mereka didukung oleh modal yang kuat dan bisa membeli media massa sebagai sarana promosi mereka. Mendobrak Hegemoni menyerang Nyoman Erawan, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Putu Wirata Dwikora sebagai penulis seni rupa, Bali Post sebagai media yang menjadi corong SDI dan lingkaran museum, gallery, penghargaan, kolektor (kolekdol) yang menciptakan relasi yang hegemonik.[15]

Rekasinya mengejutkan. Pasca gerakan Mendobrak Hegemoni, bukan hanya lembaga yang menekan, lingkungan mahasiswa di STSI juga “memusuhi” anak muda yang dituduh frustrasi ini. Lambat laun ternyata kelompok ini menyebar benihnya. Pertama di kampus tercatat sapihan mereka kembali beraksi dengan pamflet-pamflet dari Maret—Mei 2001. Tercatat pamflet seni aksi, buletin SUAKA (Solidaritas Untuk Aksi Kamasra), Membongkar Sejarah Seni Rupa Bali, Seni Kritik dan Penyadaran, Kiri Sampai Mati, Sikat Gigi Erawan Harus Disikat. Pamflet ini selain disebar dan ditempel di kampus juga disebar saat aksi dipublik. Terutama saat Sikat Gigi Erawan di pentaskan di Puputan Badung.[16]

Saat yang paling menegangkan tentunya saat pameran Pesta Kapitalisme Bali Juni 2001 sebagai kritik dari PKB (Pesta Kesenian Bali) yang membosankan itu. Sebelum pameran, terjadi pemanggilan mahasiswa, teror, perusakan karya-karya oleh lembaga STSI Denpasar melalui Satpam, pengusiran mahasiswa sampai adanya jam malam 20.00 WITA di kampus. Rangkaian teror terbukti dengan main ancamnya staf dosen STSI Denpasar yang mengadukan mahasiswa pada polisi. Akhirnya, 16 Juni 2001 dibuka pameran kontra PKB di halaman depan museum Lattha Mahosadhi disertai penyebaran pamflet “Pemerintah Kolonial Bali”.[17] Saat inilah terjadi pembongkaran paksa pemeran oleh lembaga STSI Denpasar yang langsung dipimpin Ketuanya, Prof. Wayan Dibia beserta Pembantu Ketua STSI menganggap pameran kontra PKB sebagai bentuk pembangkangan mahasiswa terhadap lembaga STSI, juga pameran ini tidak sesuai dengan ijin dan prosedur. Pameran kontra PKI ini dilanjutkan di depan kampus Universitas Udayana Sudirman, depan kampus Fakultas Sastra di Jalan Pulau Nias dan berakhir 24 Juni 2001.[18]

Berikutnya, mulailah tradisi diskusi dan refleksi aksi kesenian dalam lingkungan komunitas seni pasca gerakan Mendobrak Hegemoni. Sedikit demi sedikit jumlah mahasiswa yang terkumpul tambah banyak dan diwadahi dalam diskusi seni rupa setiap senin dan kamis di sebuah rumah kos seorang kawan.

Komunitas Pojok dan Klinik Seni Taxu memulainya di tahun 2001. Gerakan seni alternative sebagai kelanjutan dari gerakan Mendobrak Hegemoni ini sebenarnya berawal dari kegelisahan. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut sejarah Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar sebagai awal dan kelompok-kelompok perupa muda di kampus ini yang belum mendapat ruang seide dengan mereka. Kedua kelompok ini bertemu dan merefleksikan kegiatan mereka selama berkesenian.

Dari diskusi dan kumpul beberapa kali terwujudlah ide untuk melembagakan gerakan kesenian baru ini menjadi komunitas seni, sebuah klinik seni pada September 2001. Namanya pun disepakti Taxu, plesetan dari kata-kata taksu yang jamak digunakan di Bali untuk menjelaskan keangkeran, kemistisan kesenian dan upacara agama di Bali. Kelahirannya pun bertitik tolak untuk melakukan kritik dan desakralisasi dan menghancurkan mitos-mitos kesenian dan kebudayaan Bali. Tidak hanya melakukan diskusi, terbitlah pertama kali buletin seni rupa Kitsch[19] yang mewadahi pemikiran alternatif tentang seni rupa dari anggota Taxu dan juga peminat seni rupa lainnya. Untuk pertama kali edisinya mengangkat “Kebohongan Pengider Bhuana” sebagai kritik pameran bersama Pengider Bhuana dosen STSI Denpasar di Museum Rudana, Agustus 2002.

Klinik Seni Taxu terus berkembang. Mereka atas biaya urunan dari 12 anggotanya mendirikan Klinik Seni Taxu Art Space sebagai initiative art space dari sebuah kelompok alternative art space di Bali. Pemeran perdana yang menandakan eksistensi kelompok ini adalah, “Hati-hati Ada Upacara Taxu !!!” 2002. Perlahan tapi pasti Taxu mulai melakukan pameran ke luar Bali seperti Yogyakarta dan Jakarta sambil secara kontinyu setiap tiga bulan sekali menerbitkan Kitsch, Visual Art Bulletin. Anggota-anggotanya tersebar untuk melakukan pameran-pameran dengan menawarkan ide/gagasan yang baru tentang politik kebudayaan di Bali dan juga dengan kekuatan tampilan visual.

Komunitas Pojok memulai benih berdirinya pertengahan tahun tahun 2001. Anggotanya terdiri dari mahasiswa STSI, kini ISI Denpasar. Nama Pojok mereka ambil dari tempat studio mereka di kawasan pojok kampus ISI Denpasar. Disamping karena studio yang letakknya di pojok, posisi mereka dalam pergaulan di kampus ISI juga terpojok Pameran mereka pertama, “Tentang Manusia”, sebagai wujud berdirinya Komunitas Pojok berlangsung di ruang pameran Gedung Kriya Art Centre Denpasar tahun 2001. Komunitas Pojok dengan 6 anggotanya lebih intens menggarap seni-seni sosial di ruang-ruang publik seperti mural dan perfomance art.

Hingga kini, kedua kelompok alternative itulah yang berada di tengah-tengah konsolidasi dan jerat-jerat kekuasaan kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya. Usaha membangun sendiri ruang seni dan wacana sempat dilakukan Klinik Seni Taxu dengan membuka art space dan memicu perkembangan kelompok-kelompok alternative dari anak-anak muda Bali. Juga pernah dilakukan Komunitas Pojok dengan menghadirkan serta mendekatkan seni pada masyarakatnya, dengan melakukan proyek mural kota dan serangkaian pameran di ruang-ruang publik, tidak hanya sebatas di museum dan gallery.[20]

Tapi konsolidasi bagian kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya ternyata melahirkan sebuah event monumental bernama Bali Bienalle 2005. Lalu dimana posisi kelompok alternative semacam Klinik Seni Taxu dan Komunitas Pojok, atau sikap kelompok muda yang lainnya? Apa mereka telah luluh atau tetap menjaga tensi ketegangan dan perlawanan? Apakah mereka mau terlibat dalam sebuah proyek konstruksi kesenian dan kebudayaan Bali yang tetap saja diproduksi oleh institusi dan jaringan relasi kuasa kelompok-kelompok yang dikritik oleh Mendobrak Hegemoni?

AAGN Ari Dwipayana, mengungangkapkan pendapatnya tentang Bali Bienalle 2005 yang disandingkannya dengan gerakan kebudayaan yang sedang hangat-hangatnya di Bali, yaitu gerakan Ajeg Bali, usaha mempertahankan, mengokohkan, menguatkan kebudayaan Bali.

“…Kampanye Ajeg Bali dan sikap terbuka Bali Biennale mengandung sejumlah kedekatan; Pertama, keduanya ingin membangun proyek ekonomi-politik baru atas budaya Bali. Jika kita mengikuti logika studi yang dilakukan, baik oleh Adrian Vickers (1998) maupun Picard (1997) yang menggabarkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda mendefinisikan kembali citra kebudayaan Bali, maka melalui Ajeg Bali dan ajang Bali Biennale kita bisa menyaksikan keterlibatan aktor-aktor baru, setidaknya terlihat dari peran Satria Naradha dari Bali Post maupun posisi para pemilik Galery besar dalam mendefinisikan perjalanan seni rupa Bali.

Titik persamaan yang kedua adalah kedua proyek perumusan identitas budaya Bali itu cenderung mempunyai cara pandang yang romatik dalam melihat budaya Bali. Kalau dikaji lebih dalam, asumsi dasar yang digunakan kedua wacana itu adalah sama yakni: citra Bali yang harmonis, Bali yang damai, Bali yang dialogis, dan Bali yang menghormati perbedaan dan keragaman. Dengan demikian, kedua wacana itu sesungguhnya sama-sama ingin membangun kembali citra populer Bali sebagai pulau surga. Dalam representasi Bali sebagai Pulau Surga; segala sesuatunya berjalan dengan damai seperti kehidupan di “nirwana” dan tidak pernah ada masalah yang serius dalam budaya dan masyarakat Bali, termasuk ketika harus berinteraksi dengan perbedaan dan keragaman. Bahkan, Bali Beinnale mulai dengan keyakinan bahwa kebudayaan Bali adalah produk dialog damai. Tentu, akan muncul serangkaian pertanyaan atas asumsi dasar itu : apakah memang tidak pernah ada masalah dalam budaya Bali dalam menyikapi perbedaan? Apakah memang benar budaya Bali merupakan hasil dari serangkaian dialog damai? Apakah benar perjalanan budaya Bali berjalan begitu linear, tanpa konflik dan kekerasan? Apakah benar kebudayaan Bali dibangun dengan semangat keterbukaan dan menghormati perbedaan? Bagaimana menjelaskan konflik dan kekerasan yang muncul dalam sejarah Bali? Bagaimana menjelaskan pergulatan seniman-seniman politik di era tahun 1960-an? Bagaimana menjelaskan tindak kekerasan yang terjadi di Bali saat ini dalam merespon perbedaan?...”[21]

Jadi jelaslah, kehadiran Bali Bienalle 2005 beriringan berjalan untuk mengkonstruksi kembali politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Representasi atas Bali kembali dibangun dalam sebuah project bertemunya jaring-jaring kekuasaan lama yang dikritik dan dibongkar oleh gerakan Mendobrak Hegemoni. Kehadiran Bali Bienalle 2005 juga bertepatan dengan gemuruhnya kampanye bagaimana menjaga identitas dan kebanggaan pada Bali dengan budayanya yang “kuat dan kokoh” menerima pengaruh budaya luar. Kampanye Ajeg Bali menjadi sebuah rezim baru untuk mencipta, menafsir dan merepresentasikan kebudayaan dan khususnya seni visual di Bali. Rezim kekuasaan kadang tidak beroperasi jauh dalam bayangan kita pada kekuasaan otoritas gallery, pemilik museum, politik media massa, dan licik dan rayuan kapital, tapi pada sentimen identitas dan penguatan budaya, sebuah konsep fluid dimana operasi kekuasaan melalui agency-agency para pemain seni visual mementaskan pertarungan mereka.

Pergulatan politik seni visual dari zaman rezim kolonial, terciptanya sebuah kongsi bernama Pita Maha, ideologi Balisering, pariwisata budaya, dan Ajeg Bali menempatkan seni visual sebagai produk-produk yang merepresentasikan operasi kekeuasaan dan kesenian berlangsung di Bali. Project proposal Tuhfah Yayasan Seni Cemeti 2005-2006 ini ingin menelisik bagaimana operasi kekuasaan itu bekerja dalam setiap catatan sejarah dan pentas seni visual dan kebudayaan yang berlangsung di Bali.

Pentingnya Penelitian Ini

Riset kecil ini merupakan studi awal untuk melihat politik perkembangan seni visual di Bali. Sebelumnya sangat banyak catatan-catatan sarjana asing dan Indonesia yang mengungkapkan perkembangan seni rupa Bali. Catatan itu sangat penting untuk melihat perkembangan secara keseluruhan seni rupa Bali. Seperti juga pernyataan yang dituliskan oleh Sanento Yuliman. Tapi catatan atau penelitian terkini tentang seni rupa Bali pasca 1990, atau pada masa kejayaan SDI sangatlah sedikit. Untuk menarik pembicaraan kebelakang, masa suram seni di Bali saat para seniman dan aktivisnya dibantai oleh saudaranya sendiri tahun 1965-1966 juga luput dari catatan itu.

Karena itulah, penelitian kecil ini mencoba untuk membongkar dan menelisik lebih dalam dan (semoga) tajam tentang pergulatan politik kekuasaan dalam perjalanan sejarah seni visual di Bali. Catatan ini setidaknya memberikan perspektif lain dalam melihat seni rupa Bali yang selalu direpresentasiakan dalam tarian legong atau sapuan lukisan abstrak dengan beragam simbol-simbol Hindu Bali. Ada gugatan dan relasi kekuasaan dari apa yang dibayangkan masyarakat Bali terhadap kesenian dan kebudayaannya yang terus dibanggakan, disanjung sebagai kebudayaan yang adiluhung.

Perjalanan politik kebudayaan dan termasuk kesenian di dalamnya tidak bisa lerpas dari intervensi rezim kekuasaan yang beroperasi yang liar dan masif dalam setiap ruang dan wacana di masyarakat. Termasuk juga dalam bayangan masyarakat Bali akan “kebudayaan dan kesenian Bali”. Karena itulah, konstruksi kesenian dan kebudayaan yang kita terima hari ini tidak terlepas dari bagaimana semuanya terbentuk, terwarisi. Tentu banyak yang “dihilangkan” dan “diadakan” oleh sang kuasa. Maka dari itu, riset ini ingin memulai untuk membongkar jejaring ada apa dibalik itu semuanya.

]Metodologi Penelitian dan Penulisan

Penelitian ini akan memadukan metode wawancara mendalam terhadap pelaku-pelaku seni yang terlibat dalam subyek penelitian ini tanpa kecuali, termasuk pemilik gallery, museum, seniman, akademisi, penulis seni, kelompok alternative, SDI, dan yang lainnya, dengan riset pustaka/dokumen, terutama hasil penelitian tentang sejarah seni rupa Bali dan catatan-catatan kuratorial yang berhamburan tentang pameran seniman-seniman Bali baik di Bali maupun di luar Bali.

Penulisan menggunakan metode deskriptif analisis, dengan menguraikan catatan lapangan dan hasil wawancara untuk dideskripsikan dipadukan dengan teori-teori kebudayaan dan kekuasaan untuk melihat operasi kesenian dan kekuasaan yang berlangsung dalam setiap zaman di Bali.

Draft Rancangan Penulisan

Dari “Moii Bali” ke “Mendobrak Hegemoni”

(Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali )

PENDAHULUAN

Bab I : Lahirnya Sebuah Kongsi (Pita Maha dan Kolonisasi Seni)

Bab II : Eksotika Realis: Politik “Baliserring” dan Seni 1950-1960-an

Bab III : Mereka yang Dihilangkan (Kesaksian Kiprah Seniman Lekra)

Bab IV : Ideologi “Pariwisata Budaya” dan Lahirnya Sanggar Dewata Indonesia

Bab V : Mendobrak Hegemoni: Membongkar Relasi Seni, Modal, Kebudayaan dan Kekuasaan

Bab VI : Beyond Mendobrak Hegemoni: Alternative Art Space dan Jerat-jerat Kekuasaan

Bab VII: Pentas Representasi Politik (Seni) Kebudayaan (Bali Bienalle 2005 dan Gerakan Ajeg Bali)

PENUTUP

Daftar Pustaka

Glosari

Indeks

Ubung Denpasar, Desember 2005

Terimakasih,

I Ngurah Suryawan



[1] Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru (hal. 78-104) dalam Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Kalam, 2001.

[2] Jean Cotteau, Wacana Seni Rupa Bali Modern (hal.102-141) dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, 2003.

[3] M. Picard, Bali, Cultural Tourism and Touristic Culture, Archipelago Press, 1996 via Jean Cotteau, op.cit.

[4] Bahan publikasi tentang Arie Smith banyak diterbitkan oleh Museum Neka, dimana pemiliknya Pande Wayan Suteja Neka adalah sahabat karib Arie Smith. Diantara publikasinya adalah, Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, Museum Neka, 1996 dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, Yayasan Seni Rupa AIA, Jakarta 1993.

[5] Saya telah melakukan studi awal atas kongsi sejarah seni rupa Bali, sejak lahirnya perkumpulan bernama Pita Maha. Diantaranya adalah Jejak Sang Maestro (Sejarah Perjalanan Seni Lukis di Bali) dalam Laporan KKN (Kuliah Kerja Nyata) Opsional di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, 2000. Juga dalam beberapa bagian buku saya, Mensubversi Seni: Jejak Politik Kesenian di Bali dalam Sandyakalning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), 2005 dan Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005.

[6] Dalam Ipong Purnama Sidhi, Panorama Seni Lukis Bali Masa Kini: Tradisi dan Pertumbuhan dalam pengantar katalog pameran Seni Lukis Tradisional Bali, Gaya Ubud dan Batuan di Bentara Budaya Jakarta 7-17 Juli 1995.

[7] Ipong Purnama Sidhi, op.cit.

[8] Saya membacaa tulisan dari Dr.Djelantik ( 1986) sebagai Ketua Yayasan Walter Spies di Bali dan kini digantikan oleh Agung Rai, pemilik Agung Rai Museum of Art (ARMA). Dalam tulisannya ini, Dr. Djelantik sedikit menjelaskan tentang perjalanan seni tradisi di Bali. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah perkembangan gaya lukisan Batuan.

[9] Ipong Purnama Sidhi, op.cit dan Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, Museum Neka, 1996 dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, Yayasan Seni Rupa AIA, Jakarta 1993.

[10] Sangat jarang yang coba mengungkap sejarah seni rupa Lekra di Bali. Seolah sejarah mereka (di)hilangkan dalam perjalanan seni rupa Bali. Usulan penelitian dan penulisan Tuhfah ini mencoba untuk membahas dalam satu bagian tentang sejarah dan kiprah seniman Lekra di Bali dalam Mereka yang Dihilangkan (Kesaksian Kiprah Seniman Lekra di Bali) yang didapat dari hasil riset independen sebelumnya dengan melakukan wawancara dengan seniman Lekra yang masih hidup di Bali

[11] Jean Cotteau, op.cit. hal. 122.

[12] Wawancara dengan Raka Suasta di studionya di Ubud, 26 April 2004. Sebagian ceritanya ditulis Muliana Bayak, Sejarah yang Terputus dari Perjuangan Seniman Lekra Bali, Buletin Kitsch Klinik Seni Taxu, edisi 8 Mei-Agustus 2004. Sangat sulit mencari jejak kiprah seniman Lekra di Bali kini yang masih hidup dan bersentuhan dengan dunia seni rupa. Salah satu bagian dari riset ini akan memberikan fokus yang besar terhadap pergulatan seniman Lekra dalam dunia seni rupa Bali. Bagian ini menghadirkan penuturan-penuturan dan kesaksian seniman Lekra di Bali dari serangkaian oral history dan catatan lapangan pergulatan serta perjuangan kehidupan mereka.

[13] Dalam setiap presentasinya atau dalam pameran-pameran SDI, anggotanya selalu mengatakan bahwa organisasi mereka bersemangat paguyuban. Dalam istilah Balinya Bebanjaran (sistem adat/organisasi desa di Bali), dengan semangat etnis, nilai-nilai tradisi lokal dengan musyawarah mufakat dan gotong royongnya (seperti jargon pemerintah Orde Baru) untuk mencitrakan organisasi adat dan budaya yang masih bertahan di Indonesia (Bali)

[14] Jean Cotteau, op.cit, hal. 125-141 dalam ulasannya tentang gelombang modernis 1950-1990 dalam seni rupa Bali.

[15] Famflet Isu paling Gress!!! yang sangat sederhana dan menjadi awal dari gerakan Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar. Berisi pemaparan beberapa infrastruktur seni rupa dengan segala kritiknya. Diantaranya Media Massa: Kritikus seni cenderung sebagai agen promosi dan periklanan, atau Seniman: seniman terikat kontrak dengan galeri yang akhirnya membelenggu kemerdekaan berkreasi. Lainnya, ada pokok kritik untuk galeri, museum, art shop, kompetisi, dan spekulan seni. Karya yang paling mewakili semuanya tentunya adalah Manifesto Kebudayaan yang berisi kecaman pada jurnalis, kritikus juga dosen-dosen malas di STSI Denpasar dengan gaya kalimat plesetan dan bercanda. Yang lainnya diantaranya lukisan berjudul Potret Nyoman Erawan mirip gorila, Art Ne Pis (plesetan Art and Peace, proyek miliaran Made Wianta), Sangkar Dewata Indonesia (plesetan untuk Sanggar Dewata Indonesia), dll. Lebih lengkap lihat katalog Mendobrak Hegemoni, 2001.

[16] Buletin Suaka edisi Maret 2001 terbit setelah katalog Mendobrak Hegemoni. Isinya tentang Pembelaan dari Kamasra dalam Buku Putih Kamasra-gate, Kritik STSI Denpasar.

[17] Famflet Pesta Kapitalisme Bali, juga sub judul Pemerintah Kolonial Bali yang menyediakan dana kurang lebih 1 milyar rupiah untuk pesta yang membosankan dan layaknya seperti pasar malam ini. Selebaran ini juga tersebar saat berlangsungnya pembukaan PKB di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali 16 Juni 2001.

[18] Kronologis peristiwa perusakan karya saat Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi Pameran Kontra PKB, Juni 2001.

[19] Lihat terbitan perdana Buletin Seni Rupa Kitsch Agustus—September 2002

[20] Lihat Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam I Ngurah Suryawan, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005.

[21] AAGN Ari Dwipayana, Bali: Surga Bertepi Kekerasan, hal. 13-24 dalam pengantar buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Kepel Press 2005.

Tidak ada komentar: