Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Kebangkitan Desa Adat di Bali

KORAN » Kompas

Senin, 26 Pebruari 2001

Fenomena Kebangkitan Desa Adat


APA landmark Kota Denpasar ? Bagi yang suka belanja, Pasar Badung mungkin tempat yang paling dikenang ketika sudah meninggalkan Bali. Pasar itu sungguh mengasyikkan karena menjual semua kebutuhan sehari-hari mulai dari ikan teri sampai perlengkapan upacara adat Bali yang "berat-berat", yaitu tedung dan songket yang harganya di atas Rp 500.000.Di sebelah Pasar Badung, ada Pasar Kumbasari yang menjual berbagai jajanan, makanan, buah, dan sovenir etnik. Tidak perlu ke Pasar Sukawati di Gianyar yang jaraknya 20 kilometer dari Denpasar dan jalannya sering macet pula. Cukup di Kumbasari.

Landmark lain yang menjadi pengingat Denpasar tentu saja Patung Catur Muka di tengah perempatan utara Kantor Wali Kota. Dari namanya saja orang akan tahu patung itu bermuka empat. Menurut Eka Darma, Catur Muka berhubungan dengan Dewa Catur Lokapala, empat dewa di empat arah angin.

Muka Dewa Iswara, sebagai wujud dewa keputusan kemoksaan dan kebijaksanaan, menghadap ke timur. Dewa Brahma, sebagai pencipta yang menguasai ketentraman serta pelenyap segala bentuk kejahatan, dibuat menghadap ke selatan. Dewa Mahadewa, yang dikenal dengan anugerah kasih sayangnya, mukanya menghadap ke barat. Sedangkan yang menghadap ke utara adalah Dewa Wisnu, dewa pemelihara dan pemusnah segala kemelaratan serta kemaksiatan.

Keempat tangan Dewa Catur Muka memegang akshamala atau genitri sebagai lambang ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya, sebuah cemeti sebagai wujud perintah tuntunan, sebuah cakra sebagai simbol sanksi atau tindakan hukuman bagi yang melanggar hukum, serta "sungu" sebagai sebuah penerangan tentang perundang-undangan.

Ngurah Denpasar

Posisi patung Catur Muka sangat strategis sebagai jangkar monumen sejarah Kota Denpasar. Di sebelah timur patung, rumah dinas Gubernur Bali dikenal dengan Jaya Sabha, yang dulunya merupakan Puri Denpasar.

Jika dirunut ke belakang, sejarah Denpasar tak bisa dilepaskan dari puri itu. Seperti diketahui, sebelum lepas sendiri menjadi Kotamadya Denpasar tanggal 27 Februari 1992, Denpasar merupakan bagian dari Kabupaten Badung, sebuah kabupaten yang kini terkaya di Bali karena hampir semua hotel dan restoran yang berkelas terletak di kabupaten ini.

Badung tahun 1861 dipimpin raja yang bergelar Gusti Gde Ngurah Kesiman. Tahun 1904 raja meninggal dunia dan harus dicari pengganti yang tepat. Pilihan jatuh pada Raja Puri Denpasar bernama Gusti Gde Ngurah Denpasar, yang dikenal juga sebagai sastrawan dan penuh idealisme. Ketika diajak kerja sama dengan Belanda, sang raja tentu saja menolak keras.

Dua tahun kemudian, terjadi perang dahsyat melawan Belanda. Ngurah Denpasar tahu persis dirinya bukan tandingan Belanda karena persenjataannya kalah modern, tetapi ia maju terus. Dengan memakai pakaian putih-putih, bersenjata keris bersama prajuritnya, ia menghadapi penjajah.

Ngurah Denpasar wafat dalam Perang Puputan Badung dan kepahlawanannya sampai saat ini selalu dikenang setiap tanggal 20 September. Belanda dengan kurang ajar meratakan Puri Denpasar bersamaan dengan perang besar itu, sehingga keturunan Ngurah Denpasar harus pindah ke Puri Satria.

Urbanisasi

Menurut sejarahwan Nyoman Wijaya, urbanisasi di Denpasar sudah bermula pasca-Puputan Badung tahun 1906, melaju tahun 1970-an dan memuncak tahun 1990-an.

"Faktor penarik mesti dilacak dari kebijakan pemerintah kolonial menjadikan Denpasar sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah Bali Selatan, walaupun tidak dinyatakan sebagai ibu kota karesidenan," jelas dosen Universitas Udayana yang kini sedang menyelesaikan buku monumental mengenai Sejarah Kota Denpasar ini.

Secara mental modernisasi dimulai lewat bangku sekolah, yang dirancang Belanda sebagai politik etis. Sementara itu, pembenahan sektor perdagangan diawali pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, seperti pembangunan Pelabuhan Laut Benoa tahun 1908. Disusul kemudian pembangunan jalan raya dari Pesanggrahan menuju Benoa, Denpasar menuju Tabanan, Abiansemal, Sanur, Kesiman, dan Kuta.

"Departement voor Veerker en Waterstaat pada tahun 1930 membangun lapangan terbang di Desa Unggasan, dan tahun 1933 dipindahkan ke Desa Tuban. Semua itu akhirnya menghasilkan kelas pedagang, baik yang langsung bergerak dalam perdagangan ekspor-impor maupun perdagangan eceran," kata Nyoman yang saat ini sebagai salah satu Direktur Yayasan Trisadhanaputra.

Seperti perkembangan kota dagang di zaman kolonial, orang asing, terutama Cina dan Arab, mulai mengendus manisnya gula di Denpasar dan mereka biasanya mendapat tempat di hati Belanda. Mereka mendapat lokasi di sekitar bekas Puri Denpasar dan Tukad Badung.

Waktu itu, lanjut Nyoman, juga mulai muncul pemukiman orang Jawa yang kemudian disebut Kampung Jawa. Pemukiman orang non-Bali tersebut menjadi bagian integral Kota Denpasar dan bahkan diakhir abad 20 mereka tampak semakin eksis.

Ketiga komunitas itulah yang kemudian menggerakkan kehidupan masyarakat. Orang Cina mengembangkan Denpasar melalui perdagangan kelontong, memperkenalkan berbagai barang produksi massal yang menjadi simbol modernitas. Orang Arab melanjutkan perdagangan konvensional di bidang sandang. Orang Jawa bergerak di bidang perdagangan eceran, warung dan jasa. Konsumen mereka adalah masyarakat Bali, mulai dari petani, pegawai negeri, dan buruh.

Yang menarik bagi Pemimipin Redaksi Majalah Bali Lain, I Wayan Suardika, adalah bahwa heterogenitas itu tidak menimbulkan gejolak sosial atau kecemburuan ekonomi. "Saya dibesarkan di lingkungan yang heterogen seperti itu, tapi tak pernah ada masalah sosial yang berarti walaupun jelas-jelas yang satu pendatang menguasai ekonomi, yang penduduk asli tidak," katanya.

Kebangkitan desa adat

Dalam perkembangan sekarang ini, ketika reformasi tergulir, justru ada kemungkinan berbagai permasalahan sosial akan meletup kalau tidak hati-hati, tambahnya. Misalnya mengenai peranan desa adat yang kini makin menguat. Gejala ini dapat merupakan sesuatu yang positif, tetapi juga bisa merupakan jebakan karena saat ini desa adat hanya menerima sisa-sisa tatanan sosial ekonomi yang sudah dirusak secara sistematis oleh rezim Orba.

Pada jaman Orba, desa adat dipinggirkan. Lewat undang-undang pemerintahan desa, di seluruh Indonesia diseragamkan hanya satu desa yang merupakan perpanjangan pemerintah. Lembaga asli desa dianggap tidak ada, walaupun jelas-jelas mengakar di masyarakat, seperti misalnya lembaga desa adat di Bali.

Menurut pengamatan Gusti Puriartha dari Yayasan Manikaya Kauci, pemberdayaan desa adat oleh pemerintah jangan sampai berlebihan sehingga menjadikan lembaga itu otoriter.

"Sampai-sampai saya membaca di surat kabar, mereka ikut-ikutan menilang kendaraan. Pecalang sebagai bagian tak terpisahkan dari desa adat tidak boleh menggantikan fungsi polisi. Terlalu enak bagi polisi kalau mereka ikut mengatur lalu lintas. Yang dibayar kan polisi, bukan pecalang. Kalau begitu, bisa-bisa pecalang mengambil alih abdi negara," ujarnya.

Bersama rekan-rekannya, Gusti membentuk Aliansi Masyarakat Desa Adat. Mereka mencoba mengkritisi desa adat karena merasa bagian dari desa adat. "Dalam suatu wilayah sering terdapat beberapa desa adat. Dengan kebangkitan peranan desa adat, kita mengkhawatirkan terjadinya benturan di antara mereka karena masalah teritorial. Karena jika tidak dikelola dengan baik, hal itu akan berubah menjadi konflik horizontal," katanya.

Sekarang, kata Gusti, masyarakat gampang sekali mengambil simbol-simbol desa adat walaupun jelas-jelas terjadi urusan pribadi. Misalnya dalam pemukulan kulkul bulus (kentongan tanda bahaya). Sekali kentongan dipukul, seluruh desa akan keluar dan akan sulit lagi dikendalikan. "Pemberdayaan desa adat itu baik, tetapi yang perlu dirembuk bersama adalah pemberdayaan yang bagaimana," tandasnya.

Bersamaan dengan fenomena itu, Suardika juga melihat ada gejala snob. "Sedikit-sedikit orang disalahkan, sekolah memakai nama Sansekerta disalahkan, disuruh ganti nama. Saya melihat kita ini sekarang justru makin kehilangan kearifan, terutama di kalangan intelektual, justru ketika demokrasi berhembus," katanya.

Namun, bagi Walikota Denpasar Puspayoga, tak ada salahnya memberikan fungsi yang lebih besar pada desa adat. Jumlah desa adat di Denpasar sebanyak 35 buah, dan desa dinas 43 desa. "Selama ini hubungan dua lembaga desa itu tidak ada masalah. Denpasar merupakan pemerintahan yang pertama kali memberikan bantuan kepada desa adat berupa uang Rp 3 juta per tahun, dan untuk bandesa (kepala) adat kita memberikan sumbangan Rp 350.000 per bulan," paparnya.

Bantuan itu, kata Puspayoga, untuk memberikan motivasi kepada desa adat, sekaligus membuktikan bahwa mereka diperhatikan dengan sangat serius. "Uang tiga juta jelas sangat kurang untuk membangun pura atau memperbaiki jalan, tetapi akan memberi semangat kepada desa adat," tambahnya.

Puspayoga juga tidak melihat pecalang akan menggantikan fungsi polisi. "Tugas pecalang itu sudah jelas yaitu mengamankan situasi dan kondisi di wilayah masing-masing desa adat dari pencurian, kebakaran atau perampokan. Kalau ada pecalang yang mengatur lalu lintas, itu saya kira sedang membantu polisi, mereka sedang mengamankan wilayahnya," katanya.

Sampai sejauh ini, desa adat dengan pecalang-nya sudah membuktikan mampu menjadi peredam gejolak sosial. Mungkin yang perlu diperhatikan adalah perhatian besar dari pemerintah daerah tersebut jangan sampai membuat mereka menjadi merasa terlalu dibutuhkan sehingga menimbulkan perasaan menang sendiri.

Terlebih lagi, kondisi negara ini mulai dari atas sampai bawah sudah dirusak Orba lewat berbagai peraturan yang hanya mementingkan pemerintah pusat. Jangan sampai desa adat hanya menerima getah atau dijadikan "tukang cuci piring" seperti pada rezim lama. Kelihatannya diberi kekuasaan dan kewenangan, tetapi sebenarnya justru menjebak mereka. Karena itu, ada benarnya jika semua komponen masyarakat di Denpasar duduk bersama membahas bagaimana sebaiknya peranan desa adat itu. Mumpung belum terlambat. (sig)

Tidak ada komentar: