Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Catata Akhir Tahun 2005 (2)

Catatan Akhir Tahun (2)

Melacak Keberingasan Manusia Bali

Silih berganti kerusuhan dan kekerasan terjadi di Bali. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Mendekati akhir tahun, kantor polisi dirusak massa di Karangasem dan di Buleleng, kelompok massa mengamuk dan merusak. Belum lagi kerusuhan antar sesama desa dalam memperebutkan akses ekonomi menjadi berita akrab di media massa. Bahkan tidak tanggung-tanggung, saat hari raya Nyepi, kerusuhan tidak urung terjadi di desa Batuparas, Padangsambian Kaja, Kota Denpasar. Saat hari raya Nyepi 10-11 Maret 2005, daerah yang tidak jauh dari kota Denpasar ini justru tidak sepi, tapi terjadi hujan batu. Sekelompok warga menghujani rumah warga Dadia (garis keturunan darah) Alas Arum yang terdiri dari 31 KK, yang kemudian disebut “kelompok 13”.

Batu dan benda keras sambung menyambung mendera atap rumah. Tak pelak, tujuh unit bangunan rumah jadi korban, dua diantaranya rusak berat. Genteng dan kaca pecah, berantakan. “Kejadian muncul spontan, malam hari, karena dipicu sengketa adat berupa pembagian setra (kuburan),” ungkap I Made Loteng, Klian Banjar Pakraman Batuparas. Kemarahan massa Banjar Batuparas berawal dari keluarnya “Kelompok 13” dari keanggotaan banjar, sehingga tidak berhak atas kuburan desa. Tapi saat “Kelompok 13” ingin kembali masuk menjadi warga adat, dengan mudah bisa diterima.

Bukan hanya kasus Batuparas saja, sebelumnya juga terjadi keberingasan manusia Bali yang justru terjadi saat mereka merayakan hari sucinya. Saat perayaan Galungan dan Kuningan, hari perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adhrama (kejahatan), ditandai dengan sederetan peristiwa konflik dan keberingasan manusia Bali. Tidak hanya disebabkan kasus adat, tapi juga dari bentrok anak muda yang kemudian berujung pertempuran antar banjar. Itu terjadi pada 13 Maret 2005, dua hari setelah Nyepi di Kabupaten Klungkung. Massa Banjar Manggis nyaris bentrok melawan massa Kampung Gelgel. Pemicunya adalah perselisihan anak muda yang kemudian dilanjutkan dengan memukul kulkul bulus (ketongan bertalu-talu) tanda bahaya. Warga kedua banjar keluar berhamburan dengan senjata terhunus.

Saat April 2005, ketegangan juga menyeruak antara warga Desa Pakraman Ulakan dengan Angantelu. Batas tapal batas menjadi pemicu timbulnya perselisihan antar Desa Pakraman. Satu desa dengan desa yang lainnya saling klaim nilai itu menjadi milik desa tertentu.

Kasus lainnya yang membuat kita tidak habis pikir kenapa terjadi adalah konflik yang terjadi pada 12 April 2005. Suasana memanas terjadi di Dusun Kejula, Yeh Embang, Jembrana. Sekitar 12 rumah warga dari kelompok Munduk Paras dan kelompok Jati terkena lemparan batu. Kejadian berawal saat penjor (bambu yang dihias) seorang warga kelompok minoritas tersenggol oleh iring-iringan upacara ngaben (pembakaran mayat) pun berakhir dengan keberingasan massa yang melempari rumah warga lain dengan batu dan benda keras lainnya.

Tentu akar masalahnya bukan hanya sekadar tersenggol, tapal batas, perkelahian anak muda bahkan kasus adat yang seperti benang kusut. Saya meyakini pasti ada masalah lain yang lebih besar yang menyebabkan orang Bali begitu beringas dan sensitif. Bahkan tidak tanggung-tanggung untuk merusak dan menyerang orang dengan benda-benda tajam. Lalu di mana potret manusia Bali yang manis dan tersenyum ramah dalam postcrd-poscrd pariwisata itu? Di mana?

Kasus-kasus kekerasan dan konflik desa adat hanyalah satu dari sekian banyak “masalah” manusia Bali yang seperti api dalam sekam dan menunggu ledakan dahsyatnya. Kini yang terjadi hanyalah letupan-letupan kecil reaksi dari keterhimpitan orang Bali di daerah kelahirannya sendiri. Setiap jengkal tanah kini sangat berharga. Invasi ekonomi dan giuran tanahnya laku terjual membuat manusia Bali saling klaim tanah dengan saudaranya, dan tidak jarang melahirkan perseteruan dan kekerasan, seperti kasus perebutan tapal batas tadi.

Kasus-kasus kekerasan terjadi dengan sangat mudah menjadi “diadatkan” seperti pada contoh-contoh di atas. Karena “diadatkan”, maka persoalan akan berhenti dalam kesepakatan di sesama desa adat/pakraman. Maka dimulailah proyek-proyek untuk melokalitasnya kekuasaan jengka-jengkal tanah di Bali yang dikuasai oleh desa adat/pakraman. Konflik dan kekerasan yang terjadi ditanggulangi dengan menjelaskan daerah dan wewenang kekuasaan masing-masing desa. Akhirnya kasus-kasus kekerasan dan potret beringas manusia Bali tidak dilihat sebagai persoalan konstruksi benih dari politik, kuasa dan pembangunan pariwisata, tapi sebagai masalah bersama bagi Bali untuk menguatkan identitas ke-Balian, menjaga Bali dari pengaruh luar. Ia menjadi semacam gerakan politik identitas etnis. Persoalan saling “cakar-mencakar” sesama manusia Bali harus dicarikan musuh bersama yang bisa menyatukan manusia Bali untuk tetap bertahan dan kokoh dengan budayanya.

“Diadatkan” dan “dibudayakannya”nya semua konflik dan kekerasan di Bali juga untuk mensterilkan bahwa Bali lepas dari gerahnya wacana politik yang terjadi di nasional. Kasus-kasus yang terjadi di Bali adalah kasus-kasus kebudayaan yang bisa diredam dengan pendekatan “keamanan” dan demi berlangsungnya “pariwisata budaya”. Justru pada perspektif inilah bisa dibongkar mengapa manusia Bali begitu beringas? Pada dekonstruksi politik kebudayaan Bali.

Pariwsata, kuasa dan pembangunan membuat manusia Bali lama terbungkam dan menjadi sapi perahan dari pariwisata. Tapi setelah semua bulan madu pariwisata budaya habis tertelam bom, manusia Bali kebingungan dan frustasi dengan situasi yang terjadi. Bayangan dan mimpi mereka untuk hidup mewah dari gemerincing dollar pariwisat punah sudah. Sementara itu, mereka (manusia Bali), telah banyak berkorban untuk pariwisata. Di samping itu, mereka melihat situasi sudah semakin kompetitif dengan banyaknya masuk penduduk pendatang.

Bulan madu pariwista (baca: pembangunan) dengan kebudayaan melahirkan “pariwisata budaya”. Di sini kebudayaan dilihat sebagai hak milik, possession dan modal (baca: kapital). Hal ini menyebabkan klaim “kebudayaan Bali hanya milik orang Bali”. Klaim ini oleh sang kuasa dianggap sah. Karena itulah menjadi penting untuk selalu mencitrakan dan meyakinkan orang Bali bahwa “hanya kebudayaan Balilah yang unik”. Klaim dan siasat inilah yang digunakan oleh duet sang wisata dan sang kuasa. Dengan pernyataan “jagalah kebudayaan Bali yang indah itu”. Untuk menjaga modal (baca: kebudayaan) tersebut, Bali harus aman, diamankan dengan pendekatan keamanan.

Adat dan kebudayaan adalah dua “hak milik” tersisa yang dimiliki manusia Bali. Kebudayaan dan tradisi dalam perspektif manusia Bali telah menjadi hak milik, dank arena itulah harus dilestarikan, dijaga dan disterilisasi dari pengaruh luar. Maka segala macam potret beringas manusia Bali kembali diselesaikan dengan wacana mulat sarira, “introspeksi diri“ dan ajakan untuk bersama-sama segalak-seguluk selulunglung sebayantaka (bersama-sama sehidup semati) untuk menghadapi masalah ini. Caranya dengan menjaga “hak milik” terakhir –adat dan kebudayaan—dan sudah pasti menancapkan politik identitas etnis untuk membendung pengaruh orang luar.

Wacana Mulat Sarira juga tidak lebih sekadar wacana perekat untuk kembali Nyegjegan Desa Pakraman (mengokohkan Desa Pakraman). Yang dijadikan argumentasi tentunya Desa Pakraman adalah benteng terakhir yang dimiliki manusia Bali. Karena itu pula, ia harus dilestarikan untuk menjadi “material kebudayaan” yang dimuseumkan, dijadikan hak milik, anti perubahan, dan sudah pasti menjualnya untuk “kebudayaan yang berpariwisata”.

Suara nyaring itu terdengar saat saya menghadiri Temu Wirasa Mulat Sarira (temu keakraban untuk mengkoreksi diri) untuk refleksi akhir tahun 2003. Tema Temu Wirasa ini adalah Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali (mendoakan keselamatan, kedamaian bumi Bali). Banyak tokoh penting yang hadir, diantaranya adalah Kapolda Bali, Mangku Pastika dan rohaniawan yang terkenal namanya karena publikasi televisi lokal lewat acara Dharma Wacana (penyuluhan agama), Ida Pedanda Made Gunung.

Hampir seluruh tokoh lembaga adat diundang dalam acara tersebut. Seluruh Desa Adat, kini menjadi Desa Pakraman, setiap daerah di Bali diwakili oleh tokohnya dari Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga untuk memayungi banyaknya desa adat di Bali itu. Pertemuan itu menyepakati perlunya suara bersama untuk mengatasi konflik dan keberingasan antar sesama manusia Bali dalam Desa Pakraman. Karena Desa Pakraman adalah “benteng terakhir pertahanan manusia Bali”, maka perlu dilakukan agenda penyelamatan dengan menyatukan kekuatan manusia Bali, bukan memecah-belahnya.

Salah satu tawaran yang diajukan adalah dengan menghimpun kekuatan manusia Bali itu dalam gerakan Bali Mawacara (Bali berbicara/bersikap), bukan lagi terbelah dalam sikap-sikap Desa Mawacara (setiap desa berbicara/bersikap) yang hingga kini masih berjalan. Saat Desa Pakraman mulai bersatu, mulailah kata “keamanan” menjadi standar baku dalam menjaga Bali. Pendekatan keamanan adalah prioritas utama untuk membuat Bali aman dan stabil, tidak ada gejolak, seolah terlihat damai-damai saja. Pendekatan keamanan ini sangat cerdik diterapkan rezim otoriter orde baru yang menempatkan Bali menjadi “daerah budaya” yang tidak terjamah politik. Tapi pendekatan keamanan ini runtuh dengan menyeruak dan beringasnya manusia Bali keluar dari tekanan dan pembungkaman itu. Potret dan wajah-wajah kekerasan yang terjadi dalam kasus-kasus dalam uraian di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang bisa diungkapkan. Semuanya telah menjadi bukti bagaimana pendekatan orde baru itu menuai kritik tajam oleh orang Bali dan menutup rapi persoalan yang terjadi, letupan yang menunggu ledakan dahsyatnya, atau bahkan telah meledak perlahan tapi kontinyu dalam serangkaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi.

Tapi dengan Temu Wirasa itu, bukan operasi kekuasaan dan pendekatan keamanan itu yang dibongkar, tapi membentuk cara pengamanan baru, meniru gaya negara dalam melakukan pengamanan pada rakyatnya. Tapi kini yang menjalankan sendiri adalah masyarakat itu sendiri di setiap Desa Pakraman yang ada di Bali. Tentu yang menjadi supporting institutionnya adalah “aparat berwenang”, bisa kepolisian dan birokrasi.

“Pendekatan keamanan” inilah yang masih digunakan oleh negara melalui aparat-aparatnya dalam “mengawasi dan melindungi” Desa Pakraman. Institusi sipil ini menjadi bemper yang kuat untuk menjalankan pengawasan terhadap sesama masyarakat. Tentu cara ini sangat didukung oleh aparat keamanan dan negara dengan dalih “pemberdayaan masyarakat untuk keamanan lingkungannya”.

Kapolda Bali, Mangku Pastika, yang diacungi jempol berhasil menangkap teroris itu, mengemukakan gagasannya tentang “Manajemen Keamanan Terpadu”. Menajemen pendekatan keamanan ini, kata Kapolda, diwujudkan dan dipelihara dengan kondisi dinamis yang terjadi di masyarakat. Untuk itulah ia mengajak bersama-sama dengan Desa Pakraman untuk menciptakan keamanan. Keamanan, kata Kapolda, terdiri dari securuty, rasa aman itu sendiri, keselamatan, kepastian, dan kedamaian.

Mangku Pastika juga menekankan, “Dengan adat, budaya, dan agama yang satu, yaitu agama Hindu, adalah modal dasar untuk mewujudkan keamanan berlandaskan adat, budaya, agama. Semuanya itu ada di Desa Adat/Pakraman,” ujarnya. Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali, (Mendoakan Kedamaian Bumi Bali), ajaknya untuk bersama-sama Kepolisian dan Desa Pakraman menjaga Bali.

Maka dimulailah ajakan untuk mengajegkan budaya Bali dengan serangkaian program-program bernuasa adat dan budaya Bali. Media massa terbesar di Bali mempromosikan jargon ini dengan simultan hingga ke desa-desa. Dengan kuasa media yang dimilikinya, menterjemahan Ajeg Bali dan praksis nyata di masyarakat menjadi lebih kongkrit. Ajakan “Waspada Terhadap Orang Luar” misalnya, membuat manusia Bali menjadi siaga dan waspada dengan sesamanya. Logika “kita” dan “mereka” menjadi sangat kental di Bali.

Ajakan mengajegkan Bali ini terasa memilukan di tengah begitu terbuka dan plurarisnya kini penduduk Bali. Politik harmoni ini lahir di tengah begitu beringasnya manusia Bali dalam banyak banyak kasus-kasus adat. Yang menjadi korbannya adalah nak jawa (orang di luar Bali yang datang ke Bali) dan orang Bali sendiri. Lokalitas kekuasaan kini bukan terletak sentralistik, dimana negara menjadi otoritas tunggal. Tapi kini, kekuasaan menyebar dalam lokalitas-lokalitas kekuasaan, perilaku manusia Bali terhadap sesamanya, keberingasan untuk merusak dan menyerang. Praksis politik kekerasan menjadi nyata diakrabi manusia Bali sehari-hari. Kenyataan ini sudah terjadi jauh berpuluh-puluh tahun lalu saat Bali kolonial, di mana kekerasan, pelenyapan menjadi cerita sehari-hari dan catatan sejarah manusia Bali. Saat keberingasan itu ditekan oleh orde baru untuk menciptakan manusia-manusia Bali yang “murah senyum”, kini semuanya meledak menjadi keberingasan yang sebenarnya menjadi karakter kuat manusia Bali.

Tidak ada komentar: