Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Kolonialisme (Poskolonialisme)

http://kunci.or.id/esai/nws/03/kolonialisme.htm


Kajian Kolonialisme

Oleh NURAINI JULIASTUTI


Analisis wacana kolonialisme dirintis sebagai sub disiplin akademik oleh Edward Said lewat karyanya Orientalism, yang terbit pertama kali pada tahun 1978. Memang bukan Said yang pertama kali memelopori studi kolonialisme, tapi ia lah yang menganalisa kolonialisme lewat operasi diskursif yang terjadi disana. Ia juga yang berhasil menunjukkan hubungan langsung antara bahasa dan bentuk-bentuk pengetahuan yang telah terjadi sepanjang sejarah imperialisme dan kolonialisme. Said berkeyakinan bahwa konsep-konsep dan representasi yang digunakan dalam teks-teks novel, catatan perjalanan, memoar, dapat dianalisa untuk memahami ideologi kolonialisme yang berbeda-beda.

Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya timur sebagai "sesuatu yang asing", seringkali bahkan dilihat sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan eksotik. Orientalisme tidak tepat juga jika disamakan dengan rasisme yang kasar dan brutal. Lebih tepat jika ia dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan sense perbedaan yang fundamental antara "kami orang barat" dan "mereka orang timur". Orientalisme adalah penguasaan yang sifatnya hegemonis.

Studi orientalisme dan kolonialisme menaruh perhatian pada eksplorasi problem subjektivitas dan otentisitas diantara kelompok-kelompok sosial dan kebudayaan yang dikucilkan dari wacana kekuasaan. Apa yang dikerjakan Said sangat penting karena menunjukkan bagaimana wacana, nilai-nilai dan pola-pola pengetahuan secara jelas mengkonstruksi fakta-fakta.

Wacana orientalisme ini biasanya tertanam secara historis dalam proses sosial yang kompleks dan praktik-praktik politik masyarakat barat untuk mendominasi dan memegang otoritas atas masyarakat dan kebudayaan timur. Dalam tingkatan yang paling praktis, orientalisme juga mewujud pada tulisan-tulisan akademis yang bertujuan untuk menunjukkan analisis objektif dari masyarakat timur kepada masyarakat barat misalnya laporan-laporan tentang perang teluk di Timur Tengah.

Said mengadopsi metode yang digunakan oleh Michel Foucault bahwa orientalisme itu dibangun lewat konstruksi diskursif. Hal ini mempunyai tiga implikasi teoritis dalam karya Edward Said, yaitu: pertama, Said menunjukkan bahwa ideologi beroperasi tidak saja lewat bentuk kesadaran tapi juga lewat barang praktis material. Kedua, ada jalinan-jalinan yang rumit dan kompleks antara politik dan ilmu pengetahuan. Bahwa pengetahuan barat, langsung atau tidak langsung adalah bentuk wacana kolonialisme. Ketiga, dan ini yang paling kontoversial, bahwa orientalisme itu bersifat "self-generating" atau dikembangbiakkan oleh dirinya sendiri. Poin penting disini adalah bahwa pengetahuan dari barat, teks-teksnya tidak hanya menciptakan pengetahuan tapi juga berisi deskripsi dari apa yang tampak dan apa yang senyatanya terjadi.

Secara sederhana, studi kolonialisme menggugat kemapanan kekuasaan posisi pusat yang selalu didominasi oleh budaya kulit putih atau orang Eropa. Studi kolonialisme membawa semangat perlawanan kaum marjinal melawan kaum metropolis, kaum pinggiran melawan kaum pusat. Semangat untuk mendekonstruksi "narasi dominan dan hegemonik" dan penciptaan kembali sejarah yang non-repetitif. Semangat yang sama juga ditunjukkan oleh Stuart Hall dan kolega-koleganya di Birmingham Centre. Salah satu tema utama yang kerap mereka eksplorasi adalah kritik terhadap "white racism", yang memandang "blackness" atau kaum kulit hitam sebagai "other". Mereka misalnya menunjukkan konstruksi media terhadap kriminalitas yang dilakukan orang-orang kulit hitam (black criminality) yang akhirnya dijadikan legitimasi oleh negara untuk membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan kulit hitam.

Sebelum Said menulis karyanya, Frantz Fanon adalah orang yang memelopori kritik terhadap kolonialisme modern. Bidang studi yang dirambah Fanon adalah pengalaman subjektif dan efek dari dominasi dan kolonialisme. Revisi yang paling berarti dari Said terhadap Fanon adalah bahwa Said mempersoalkan "representasi" atau efek kolonialisme terhadap subjek kolonialnya dan bentuk-bentuk subjektif yang muncul di situ.

Konsep-konsep orientalisme Said mendapat koreksi dari Homi K. Bhaba. Bhaba memfokuskan diri pada klaim Said bahwa pengetahuan orientalis itu selalu instrumental dan selalu bekerja dengan sukses dalam bentuk-bentuk yang praktis. Secara teoritis, Bhaba menambahkan psikoanalisa pada analisa Said yang bekerja menurut kerangka Foucault. Bhaba membicarakan kemungkinan bahwa orientalisme itu bekerja pada level yang berbeda, yaitu "manifest orientalism" , suatu pengetahuan yang bersifat "ilmiah" tentang timur, dan "latent orientalism", suatu ketidaksadaran nafsu fantasi. Kontribusi Bhaba yang paling penting adalah bahwa ia menunjukkan bahwa wacana kolonialisme beroperasi tidak hanya lewat instrumen tertentu saja tapi juga menurut fantasi.

Bagi Bhaba, orientalisme tidak bisa didefinisikan secara sederhana menjadi hanya persoalan representasi. Orientalisme mungkin memang representasi tapi ia juga ikut bermain dalam lapangan diskursif. Representasi bukanlah suatu entitas yang statis karena selau berisi ucapan-ucapan baik tertulis maupun tidak dari pihak tertentu kepada pihak yang lain.

Sedangkan Gayatri Chakravorty Spivak lebih menekankan pada kemungkinan "counter-knowledges". Semangat dari sejarawan anti kolonial yang sekarang menurutnya adalah untuk menuliskan sejarah mereka-mereka yang "dikeluarkan", "the voiceless", mereka-mereka yang selama ini hanya menjadi objek dari pengetahuan dan fantasi kolonialisme. Secara umum Spivak menaruh perhatian dengan kelanjutan kekerasan epistemik yang dipraktekkan oleh pikiran orang barat kepada orang-orang timur.

Kepada teman-temannya di Subaltern Studies Group, Spivak mengatakan: "Subaltern Studies Group harus tetap berjanji untuk menjadikan ‘subaltern’ sebagai subjek sejarah. Ini adalah sebuah strategi untuk membuka batas-batas kritik atas humanisme yang telah diproduksi oleh Barat".

Spivak menunjukkan bahwa sejarah bukan produksi fakta-fakta yang tidak menarik tapi sebuah wujud kekerasan epistemik, sebuah konstruksi representasi objek tertentu oleh pihak tertentu juga. Ia mencontohkan sejarah India yang menurutnya adalah sejarah India yang hegemonik dan berkelanjutan versi pemerintah Inggris. Sebuah sejarah yang dibentuk sesuai rasa dan keinginan dari "imperial master"-nya.

Deleuze dan Guattari lewat karyanya Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (1983) menawarkan cara pandang yang berbeda tentang proses operasi kolonialisme. Anti-Oedipus telah membawa analisis wacana kolonialisme tidak hanya ke "timur" saja tapi ke permukaan yang lebih global. Apa yang ditawarkan oleh Anti-Oedipus adalah suatu teorisasi geopolitik material dari sejarah kolonialisme, dan dalam waktu yang bersamaan sebuah narasi nafsu dan ambisi yang menyakitkan. Karya ini sekaligus menuntun kita kepada dua hal yang selama ini lupa ditekankan dalam konstruksi diskursif kolonialisme yaitu: kapitalisme sebagai motor penentu dalam kolonialisme, dan kekerasan material selalu terlibat dalam proses kolonisasi. Secara teoritis, yang menarik dari Deleuze dan Guattari adalah karena ia membawa kajian-kajian filsafat, psikoanalisa, antropologi, geografi, ekonomi ke dalam kajian kolonialisme, bagaimana posisi mereka dalam interaksi ekonomi dan berimplikasi dalam operasi kolonisasi kapitalisme.

Menurut Deleuze dan Guattari, "the desiring machine" atau kolonialisme telah menekan masyarakat lewat mekanisme Oedipus Complex. Oedipus bukanlah hanya struktur kejiwaan normal manusia ke proses kedewasaan mental, seksual dan sosial. Ia adalah mekanisme dimana aliran nafsu itu disandikan dan digoreskan. Mekanisme yang seperti itu juga terjadi di Barat, sehingga relasi kolonialisme dan sejarah struktur kapitalisme pun berputar dan berulang, baik di Barat atau di Timur.

Pertanyaan penting terhadap kolonialisme diajukan oleh Robert C.J. Young dalam bukunya Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995), yaitu: apakah ada suatu kerangka kerja yang umum untuk menganalisa setiap fenomena kolonialisme? Dapatkah kita berasumsi bahwa wacana kolonialisme itu beroperasi secara identik di semua tempat dan di sepanjang waktu? Dan sulit untuk menghindari kesan bahwa ada idealisme yang bermain dalam penggunaan dan penganalisaan kolonialisme. Apa yang menjadi landasan pertimbangan untuk memilih bahan material studi? Mengapa misalnya Gayatri Spivak menulis India dan bukan tentang yang lain?

Said, Bhaba, dan Spivak disebut-sebut sebagai "the holy trinity of colonial discourse analysis". Mereka bertigalah tokoh-tokoh sentral dalam studi ini. Mereka disebut juga sebagai para teorisi penggugat kolonialisme. Mereka adalah para intelektual produk "dunia ketiga" yang bekerja dan berkarya dalam ruang lingkup studi literer universitas "dunia pertama". Edward Said adalah orang Palestina dan Gayatri Spivak adalah orang India. Keduanya mengajar Sastra Inggris dan Sastra Perbandingan di Universitas Columbia. Homi K. Bhaba juga seorang India yang mengajar Sastra Inggris di Universitas Sussex.

Kontribusi dari analisis wacana kolonialisme adalah ia menyediakan kerangka kerja bahwa semua perspektif kolonialisme harus mengacu kepada medium-medium yang dipakai dalam kolonialisme itu sendiri. Semua teks-teks kolonialisme tidak hanya dilihat sebagai dokumentasi atau kumpulan bukti-bukti belaka, dan menekankan bahwa keterlibatan kolonialisme tidak hanya dalam aktivitas militer dan ekonomi saja tapi justru lewat bentuk-bentuk pengetahuanlah kolonialisme itu ditegakkan.

1 komentar:

Dee mengatakan...

terima kasih postingannya...
bermanfaat, meski saya masih harus belajar banyak tentang wacana kolonial dan teori poskolonial.. :)