Kajian Indonesia di Jepang
OLEH PROF DR AIKO KURASAWA INOMATA*
SEJAK akhir 1960-an hubungan ekonomi antara
Letak kedua negara ini relatif berdekatan. Pesawat bisa menghubungkan kedua negara dalam 8 jam saja. Setiap tahun ratusan juta orang Jepang mengunjungi
Meskipun hubungan ekonomi dan fisik begitu penting bagi kebanyakan orang Jepang sejak 1970-an,
Sejak awal restorasi Meiji, pada waktu Fukuzawa Yukichi mengusulkan ide yang disebut Datsu A Ron (Keluar dari Asia), target orang Jepang yang paling utama ialah "mengejar sehingga melampaui negara-negara Barat". Dalam usaha itu Jepang mengikuti contoh negara Barat, sehingga berekspansi dan menjajah negara-negara tetangga sebelum perang dunia (PD) II. Meskipun letaknya di lingkungan
Pada akhir 1960-an, saat saya sendiri mulai belajar tentang Indonesia, sebenarnya boleh dikatakan Jepang sudah berhasil "mengejar sehingga melampaui negara-negara Barat" dalam hal daya ekonomi, gaya hidup, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, pengetahuan orang Jepang tentang
Kalau menanyakan kepada orang Jepang kata-kata apa saja yang mereka tahu tentang
Sesudah Bali, kata-kata
Kurangnya Informasi
Kekurangan pengetahuan tentang
· Tentang zaman kuno hanya kata-kata seperti Jawa genjin, Sriwijaya,
· Tentang penjajahan Belanda dengan memperkenalkan istilah seperti Cultuur Stelsel
· Tentang pergerakan nasional dengan memperkenalkan tokoh seperti Soekarno dan organizasi seperti PNI, Sarekat Islam, dan PKI.
· Tentang penjajahan Jepang pada waktu PD II.
· Tentang kemerdekaan pada 1945.
· Tentang sejarah pascakemerdekaan dengan memperkenalkan istilah-istilah seperti Irian Barat, Nasakom, perjuangan terhadap Malaysia, dan G-30-S, masing-masing keterangan hanya beberapa kalimat saja.
Kalau dikumpulkan semua tulisan tentang
Penerbitan buku tentang
Kekurangan penerbitan ini disebabkan minat kajian
Kurangnya perhatian ini memang tidak sesuai dengan eratnya dan pentingnya hubungan negara-negara Asia Tenggara dengan Jepang. Mungkin salah satu sebabnya, orang Jepang masih bingung dan tidak berani menghadap langsung ke
Meningkatnya Perhatian
Sekarang situasinya sudah berubah. Boleh dikatakan kajian Asia Tenggara, khususnya kajian
Kajian Asia Tenggara mulai berkembang di Jepang pada pertengahan 1960. Pada 1968, dibentuk Japan Association of Southeast Asian History dengan prakarsa peneliti generasi tua seperti Prof Yamamoto dari Universitas Tokyo, dibantu generasi muda yang waktu itu masih mahasiswa pascasarjana. Generasi muda yang mulai mengambil kajian Asia Tenggara sekitar akhir 1960 menjadi inti kajian Asia Tenggara di Jepang masa berikutnya. Mereka adalah generasi paskaperang, yang lahir sesudah 1940 dan tidak punya rasa ambivalen terhadap Asia Tenggara.
Pada 1970 beberapa mahasiswa paskasarjana yang belajar tentang
Generasi ini beda dari generasi sebelumnya, dalam arti kami mulai mempergunakan bahasa Indonesia untuk kajian kami. Kami belajar bahasa Indonesia dari mahasiswa
Pada zaman itu kalau belajar tentang Asia Tenggara hanya di Jepang, ada bermacam kesulitan dan kekurangan. Gurunya sedikit, bukunya sedikit, fasilitasnya tidak ada. Jadi, akhirnya semua anggota studi grup itu datang ke
Selain daripada bahasa, kami juga menbutuhkan latihan akademis yang lebih sempurna dan banyak antara kami akhirnya datang ke Amerika Serikat, Australia dan Belanda. Saya sendiri dapat beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat dan belajar di Universitas Cornell.untuk Ph.D. Dari Cornell saya dikirim ke Belanda (1979) untuk cari bahan-bahan di arsip, dan sesudah itu dikirim lagi ke Indonesia untuk mengadakan penelitian di lapangan (1980-81). Topic Ph.D saya sejarah perubahan sosial pedesaan di Jawa selama zaman pendudukan Jepang. Untuk studi ini arsipnya sangat terbatas. Maka itu saya terpaksa mengadakan wawancara dengan orang orang yang bersangkutan, Pada waktu itu di Jepang oral research belum begitu populer di bidang sejarah. dan mula – mula metode saya tidak begitu diterima.
Meskipun sudah belajar di luar negeri, pada 1960 dan 1970 ahli Asia Tenggara susah mendapatkan pekerjaan di perguruan tinggi. Sesudah tahun 1980 situasi mulai berubah, karena perhatian masyarakat Jepang terhadap Indonesia dan Asia Tenggara mulai berkembang drastis. Hubungan ekonomi sudah lama erat, tetapi fasilitas akademis baru bisa diselenggarakan 10 atau 15 tahun kemudian.
Sekarang di banyak universitas ada jurusan kajian Asia Tenggara atau paling sedikit ada kuliah tentang Asia Tenggara. Bahasa Indonesia diajarkan di banyak universitas,. Dan teman-teman segenerasi saya sudah menjadi guru besar dan mendidik mahasiswa di masing masing institusi. Yang menjadi pusat penelitian Asia Tenggara antara lain Center for Southeast Asian Studies di Universitas Kyoto, Institute of Southeast Asian Culture di Universitas Sophia, Institute of Asian-African Studies di Tokyo University for Foreign Studies, dan Center for Asia-Pacific Studies di Universitas Waseda. Universitas Keio, tempat saya mengajar juga punya rencana mendirikan Center for Asian Studies. Dengan adanya fasilitas ini mahasiswa Jepang tidak usah ke Amerika atau ke Australia lagi untuk belajar tentang Asia Tenggara.
Jumlah mahasiswa Jepang yang mau belajar di Indonesia juga naik. Pada waktu saya pertama kali datang ke Indonesia pada 1972 sebagai mahasiswa, mahasiswa Jepang yang belajar di Indonesia hanya 4-5 orang, sedangkan selama 10 tahun ini jumlahnya hampir 10 kali lipat.
Kebanyakan belajar bahasa Indonesia, tetapi ada juga yang mau belajar ekonomi, sosiologi, antolopologi, dan sebagainya. Selain yang terdaftar di sekolah tinggi, juga ada yang belajar kebudayaan Indonesia, seperti batik, tari-tari, dan gamelan. Departemen P & K Jepang sudah mengeluarkan beasiswa sejak pertengahan 1970 untuk mahasiswa Jepang yang mau belajar di Indonesia.
Jumlah buku buku tentang Asia Tenggara yang diterbitkan setiap tahun juga bertambah. Menurut penelitian yang dilakukan Prof Sinzon Hayase, jumlah buku akademis mengenai Asia Tenggara yang diterbitkan pada 1976 adalah 57. Pada 1989 tercatat 286 buku atau kurang lebih 5 kali lipat. Berhubung dengan merosotnya ekonomi Jepang, pada 2000 jumlahnya berkurang dan tercatat hanya 154 judul.
Pada 1980 telah diterbitkan seri Koza Tonan Ajia Gaku (Kajian Asia Tenggara). Selanjutnya pada 2000 telah diterbitkan buku berjudul Tonan Ajia-shi (Southeast Asian History) yang meliputi dari zaman kuno sampai sekarang. Ada banyak orang yang menulis dalam seri ini. Ini boleh dikatakan mencerminkan standard kajian Asia Tenggara yang tercapai sampai sekarang.
Association of Southeast Asian History
Association of Southeast Asian History yang didirikan pada 1968 mempunyai 600 lebih anggota, 63% laki-laki dan sisanya perempuan. Kebetulan sekarang saya menjabat sebagai presidennya, karena giliran jatuh pada saya. Association ini terbuka bagi umum, bukan hanya orang yang mempunyai kedudukan di instansi akademis, tetapi juga mahasiswa paskasarjana (kebanyakan S-III) dan lulusan S-III yang sedang mencari pekerjaan (postdoctoral). Sebagian kecil juga ada wartawan, businessman yang berhubungan dengan Asia Tenggara dalam pekerjaan sehari-harinya. Sebaliknya, tidak tentu semua mahasiswa paskasarjana menjadi anggota karena iurannya cukup mahal bagi mereka, meskipun ada diskon untuk mahasiswa.
Association ini mempunyai cabang di 6 blok di seluruh Jepang. Masing masing cabang mengadakan pertemuan sebulan sekali. General Assembly diadakan setahun sekali, yaitu pada bulan Juni dan Desember, dengan tempat berbeda-beda. Pertemuan bulan Desember tahun 2002 ini merupakan pertemuan ke-68.
Dari susunan anggota assosication ini menurut keahliannya, Indonesia paling banyak diambil (22,3%). Memang wajar karena negara ini paling besar di Asia Tenggara baik dari segi areal maupun jumlah penduduk. Tetapi dari angka 138 orang ini, yang sudah dapat pekerjaan di perguruan tinggi hanya 54.8%. Yang lain masih mahasiswa paska sarjana atau sedang mencari pekerjaan. Saingan untuk pekerjaan sangat keras.
Nomor dua, Thailand (17,7%) , juga bisa dimengerti dari segi eratnya hubungan dengan Jepang. Yang agak mengherankan adalah banyaknya ahli Vietnam (nomor tiga). Ini mencerminkan latar belakang khas Jepang: di Jepang sudah lama ada tradisi studi Vietnam sebagai lanjutan studi Cina di jurusan sejarah. Di jurusan sejarah Universitas Tokyo sejak jaman dulu sudah ada kuliah “Sejarah Daerah Selatan”, dan ini berarti sejarah Vetnam.
Dalam studi ini dipergunakan sumber dari Cina yang ditulis dalam bahasa Cina dan pusat penelitiannya pada zaman dulu. Tradisi ini masih kuat dan dari 87 orang yang mengambil Vietnam, 34 orang (kurang lebih 40 %) adalah sejarawan, khususnya sejarah yang bukan modern.
Juga mengherangkan sedikitnya jumlah ahli Singapura (lebih sedikit dari Kambodia dan tidak banyak beda dari Laos), meskipun hubungan ekonomi antara Singapura dan Jepang sangat penting dan jumlah penduduk Jepang di sana lebih banyak dibandingkan penduduk Jepang di Indonesia.
Kalau analisa anggota menurut perguruan tinggi, yang mengajar atau belajar sebagai berikut:
Universitas Tokyo (Tokyo) 43 orang
Tokyo University for Foreign Studies (Tokyo) 43
Universitas Kyoto (Kyoto) 31
Universitas Sophia (Tokyo) 22
Universitas Hiroshima (Hiroshima) 17
Universitas Waseda (Tokyo) 15
Universitas Keio (Tokyo) 14
Osaka University for Foreign Studies (Osaka) 14
Universitas Rikkyo (Tokyo) 13
Universitas Hitotsubashi (Tokyo) 11
Universitas Nanzan (Nagoya) 10
Universitas Kobe (Kobe) 10
Meskipun ada konsentrasi di daerah Tokyo, kalau dilihat per kota, sebenarnya daerah Kansai (Osaka, Kyoto, Kobe, dan lain-lain) merupakan salah satu cabang assosiasi yang mempunyai banyak anggota dan kegiatannya sangat aktif.
Association ini terbuka bukan hanya kepada sejarawan tetapi juga kepada orang orang dari berbagai disiplin, meskipun memakai nama Southeast Asian History. Di Jepang belum ada assosiasi untuk kajian Asia Tenggara “umum”, yang bersifat area study, seperti Association of Southeast Asian Studies. Orang yang mengkaji Asia Tenggara dengan metode apa saja tidak ada pilihan lain kecuali masuk Assosiasi Sejarah Asia Tenggara ini. Memang juga ada asosiasi-asosiasi untuk masing masing keahlian seperti Japan Association of Anthlopology dan Japan Association of Comparative Politics. Jadi orang sering masuk lebih dari dua assosiasi.
Perincian anggota menurut disiplin sebagai berikut:
Sejarah 175 orang (28.3%)
Antlopology 101 (16.3%)
Ilmu politik 86 (13.9%)
Sastra & Linguistik 50 ( 8.1%)
Ekonomi 49 (7.9%)
Area study 42 (6.8%)
Sosiologi 18 (2.9%)
Lain-lain
Di antara 175 orang sejarawan, yg mengambil sejarah Indonesia paling banyak, yaitu 36 orang (sekitar 20 %). Zaman yang didalami oleh 36 orang ini tersebar dari sejarah kuno sampai modern. Pada umumnya penelitian sejarah Indonesia di Jepang titik beratnya pada sejarah ekonomi-sosial dan agak sedikit yang mengambil sejarah politik, budaya, dan sebagainya. Sejarawan ini menguasai bahasa Indonesia dan sebagian kecil bisa bahasa daerah, tergantung topiknya. Hampir semuanya punya pengalaman tinggal di Indonesia dalam jangka waktu panjang; untuk mengikuti kuliah, mencari arsip dan dokumen atau untuk mengadakan wawancara. Yang mengambil sejarah zaman sebelum kemerdekaan, hampir semuanya bisa bahasa Belanda dan mengadakan penelitian di Arsip Negara Belanda.
Prospek Masa Depan
Kajian Asia Tenggara di Jepang sudah begitu berkembang dan mutunya juga cukup tinggi, Tetapi menurut saya, jarang dapat perhatian dari dunia internasional karena karya peneliti Jepang hampir semua ditulis dalam bahasa Jepang. Itu kelemahan orang Jepang. Insentif menulis dalam bahasa Ingris sangat kurang. Jadi beberapa foundation memberi dana untuk menerjemahkan buku berbahasa Jepang ke dalam bahasa asing. Tetapi prioritasnya buku yang bersangkutan dengan Jepang. Jadi buku mengenai hubungan antara Jepang dan Asia Tenggara lebih mudah dapat kesempatan daripada topik lainnya.
Saya merasa target peneliti Jepang yang harus dicapai di masa mendatang adalah menjalin komunikasi lebih erat dengan peneliti-peneliti di dunia. Kami sendiri berusaha lebih banyak menulis dalam bahasa Ingris sesuai dengan zaman globalisasi ini.*
*(Guru Besar Sejarah Sosial–Ekonomi Keio University, Tokyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar