Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Indonesianis Jepang

Kajian Indonesia di Jepang

OLEH PROF DR AIKO KURASAWA INOMATA*

SEJAK akhir 1960-an hubungan ekonomi antara
Indonesia dan Jepang sangat erat. Bagi Indonesia, Jepang adalah negara paling penting bagi ekspor-impornya. Bagi Jepang, Indonesia negara nomor dua sesudah Amerika Serikat dalam jumlah ekspor-impornya. Jepang menanamkan modalnya di Indonesia, terbesar di antara negara-negara berkembang. Begitu pula jumlah bantuan ekonominya.

Letak kedua negara ini relatif berdekatan. Pesawat bisa menghubungkan kedua negara dalam 8 jam saja. Setiap tahun ratusan juta orang Jepang mengunjungi
Indonesia.

Meskipun hubungan ekonomi dan fisik begitu penting bagi kebanyakan orang Jepang sejak 1970-an,
Indonesia masih menjadi negara yang sangat asing. Saya sendiri menyesal sekali. Perhatian orang Jepang masih lebih diarahkan ke Barat.

Sejak awal restorasi Meiji, pada waktu Fukuzawa Yukichi mengusulkan ide yang disebut Datsu A Ron (Keluar dari Asia), target orang Jepang yang paling utama ialah "mengejar sehingga melampaui negara-negara Barat". Dalam usaha itu Jepang mengikuti contoh negara Barat, sehingga berekspansi dan menjajah negara-negara tetangga sebelum perang dunia (PD) II. Meskipun letaknya di lingkungan
Asia, Jepang selalu berusaha mengabungkan diri dengan bangsa Barat. Pada waktu pemerintah militer Jepang berminat membangun "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya", bangsa Jepang tetap berada di pihak negara-negara Barat.

Pada akhir 1960-an, saat saya sendiri mulai belajar tentang Indonesia, sebenarnya boleh dikatakan Jepang sudah berhasil "mengejar sehingga melampaui negara-negara Barat" dalam hal daya ekonomi, gaya hidup, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, pengetahuan orang Jepang tentang
Indonesia pada umumnya tidak sesuai dengan eratnya hubungan ekonomi kedua negara, dan banyaknya orang Jepang datang ke Indonesia.

Kalau menanyakan kepada orang Jepang kata-kata apa saja yang mereka tahu tentang
Indonesia, seperti nama orang, kota, gedung atau kejadian sejarah, banyak orang tidak bisa jawab. Artinya mereka sama sekali tidak punya pengetahuan tentang Indonesia. Ada beberapa yang memberi satu-dua jawaban, yang agak banyak: Bali. Pulau Bali memang sangat terkenal di Jepang sebagai objek wisata. Tetapi, sangatlah mengherankan, juga ada mahasiswa yang tidak tahu bahwa Bali adalah bagian dari Indonesia.

Sesudah Bali, kata-kata
Indonesia yang terkenal antara lain Borobudur. Juga ada yang menjawab Jawa Curry. Di Jepang ada bumbu masakan Curry Rice yang mereknya Jawa Curry, dan banyak orang percaya itu curry secara Jawa. Selain itu, kadangkala ada yang menyebut nama Presiden Soekarno dan Ibu Dewi. Kira-kira begitulah pengetahuan mahasiswa Jepang tentang Indonesia.

Kurangnya Informasi

Kekurangan pengetahuan tentang
Indonesia diperkirakan karena informasi tentang Indonesia sangat terbatas. Kesempatan belajar tentang Indonesia di sekolah sedikit sekali. Umpamanya dalam buku pelajaran sejarah dunia SMA, hal-hal yang diajarkan tentang sejarah Indonesia adalah:

· Tentang zaman kuno hanya kata-kata seperti Jawa genjin, Sriwijaya,
Borobudur
· Tentang penjajahan Belanda dengan memperkenalkan istilah seperti Cultuur Stelsel
· Tentang pergerakan nasional dengan memperkenalkan tokoh seperti Soekarno dan organizasi seperti PNI, Sarekat Islam, dan PKI.
· Tentang penjajahan Jepang pada waktu PD II.
· Tentang kemerdekaan pada 1945.
· Tentang sejarah pascakemerdekaan dengan memperkenalkan istilah-istilah seperti Irian Barat, Nasakom, perjuangan terhadap Malaysia, dan G-30-S, masing-masing keterangan hanya beberapa kalimat saja.

Kalau dikumpulkan semua tulisan tentang
Indonesia, mungkin hanya merupakan satu atau satu setengah halaman dari buku yang berhalaman kurang lebih 300.

Penerbitan buku tentang
Indonesia juga terbatas, dan itu ada kaitan dengan terlambatnya kajian Indonesia di Jepang. Boleh dikatakan hampir tidak ada buku tentang Indonesia yang ditulis dalam bahasa Jepang. Kami terpaksa memakai sumber-sumber berbahasa Inggris. Karena itupun masih terbatas, saya sendiri harus memakai bahan-bahan berbahasa Indonesia untuk menulis skripsi sarjana.

Kekurangan penerbitan ini disebabkan minat kajian
Indonesia dan Asia Tenggara umumnya sangat kurang. Selama kurang lebih 25 tahun sesudah PD II selesai, kajian Asia Tenggara di Jepang boleh dikatakan hampir tidak menarik perhatian akademis. Di perguruan tinggi hampir tidak ada jurusan kajian Asia Tenggara dan jumlah ahli Asia Tenggara juga bisa dihitung.

Kurangnya perhatian ini memang tidak sesuai dengan eratnya dan pentingnya hubungan negara-negara Asia Tenggara dengan Jepang. Mungkin salah satu sebabnya, orang Jepang masih bingung dan tidak berani menghadap langsung ke
Asia karena kejadian sangat menyedihkan selama PD II. Pada zaman perang banyak akademis diambil oleh tentara Jepang dan dikirim ke daerah-daerah pendudukan untuk melaksanakan berbagai penelitian. Karena itu sebenarnya mereka “ahli” Asia Tenggara, tetapi mereka mengangap dirinya ikut menjajah daerah Asia Tenggara. Mereka merasa ambivalen. Jadi sesudah perang, kebanyakan mereka tidak ingin meneruskan penelitian tentang Asia Tenggara, meskipun ada beberapa pengecualian.

Meningkatnya Perhatian

Sekarang situasinya sudah berubah. Boleh dikatakan kajian Asia Tenggara, khususnya kajian
Indonesia, sudah cukup berkembang. Biasanya kegiatan akademis mendahului pengetahuan atau perhatian masyarakat umum. Hasil penelitian akademis baru bisa memberi dampak kepada masyarakat satu atau dua dekade kemudian.

Kajian Asia Tenggara mulai berkembang di Jepang pada pertengahan 1960. Pada 1968, dibentuk Japan Association of Southeast Asian History dengan prakarsa peneliti generasi tua seperti Prof Yamamoto dari Universitas Tokyo, dibantu generasi muda yang waktu itu masih mahasiswa pascasarjana. Generasi muda yang mulai mengambil kajian Asia Tenggara sekitar akhir 1960 menjadi inti kajian Asia Tenggara di Jepang masa berikutnya. Mereka adalah generasi paskaperang, yang lahir sesudah 1940 dan tidak punya rasa ambivalen terhadap Asia Tenggara.

Pada 1970 beberapa mahasiswa paskasarjana yang belajar tentang
Indonesia di beberapa universitas di Tokyo mulai membuat suatu studi grup. Kebetulan saya sendiri termasuk grup ini. Kami berkumpul setiap minggu dan belajar sama-sama. Pemimpinnya Kenji Tsuchiya yang waktu itu baru pulang dari Yogyakarta sesudah belajar di UGM di bawah bimbingan Prof Sartono Kartodirdjo. Yang berkumpul antara lain Hiroyoshi Kano, Kenichi Goto, Takashi Shiraishi Akira Oki, dan lain-lain.

Generasi ini beda dari generasi sebelumnya, dalam arti kami mulai mempergunakan bahasa Indonesia untuk kajian kami. Kami belajar bahasa Indonesia dari mahasiswa
Indonesia yang belajar di Jepang, karena belum ada pelajaran bahasa di universitas kami sendiri.

Pada zaman itu kalau belajar tentang Asia Tenggara hanya di Jepang, ada bermacam kesulitan dan kekurangan. Gurunya sedikit, bukunya sedikit, fasilitasnya tidak ada. Jadi, akhirnya semua anggota studi grup itu datang ke
Indonesia untuk mengikuti kuliah di sana atau mengadakan penelitian. Saya sendiri dapat beasiswa dari salah satu yayasan Indonesia dan belajar bahasa selama satu setengah tahun antara 1972 dan 1973 di Jakarta.

Selain daripada bahasa, kami juga menbutuhkan latihan akademis yang lebih sempurna dan banyak antara kami akhirnya datang ke Amerika Serikat, Australia dan Belanda. Saya sendiri dapat beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat dan belajar di Universitas Cornell.untuk Ph.D. Dari Cornell saya dikirim ke Belanda (1979) untuk cari bahan-bahan di arsip, dan sesudah itu dikirim lagi ke Indonesia untuk mengadakan penelitian di lapangan (1980-81). Topic Ph.D saya sejarah perubahan sosial pedesaan di Jawa selama zaman pendudukan Jepang. Untuk studi ini arsipnya sangat terbatas. Maka itu saya terpaksa mengadakan wawancara dengan orang orang yang bersangkutan, Pada waktu itu di Jepang oral research belum begitu populer di bidang sejarah. dan mula – mula metode saya tidak begitu diterima.

Meskipun sudah belajar di luar negeri, pada 1960 dan 1970 ahli Asia Tenggara susah mendapatkan pekerjaan di perguruan tinggi. Sesudah tahun 1980 situasi mulai berubah, karena perhatian masyarakat Jepang terhadap Indonesia dan Asia Tenggara mulai berkembang drastis. Hubungan ekonomi sudah lama erat, tetapi fasilitas akademis baru bisa diselenggarakan 10 atau 15 tahun kemudian.

Sekarang di banyak universitas ada jurusan kajian Asia Tenggara atau paling sedikit ada kuliah tentang Asia Tenggara. Bahasa Indonesia diajarkan di banyak universitas,. Dan teman-teman segenerasi saya sudah menjadi guru besar dan mendidik mahasiswa di masing masing institusi. Yang menjadi pusat penelitian Asia Tenggara antara lain Center for Southeast Asian Studies di Universitas Kyoto, Institute of Southeast Asian Culture di Universitas Sophia, Institute of Asian-African Studies di Tokyo University for Foreign Studies, dan Center for Asia-Pacific Studies di Universitas Waseda. Universitas Keio, tempat saya mengajar juga punya rencana mendirikan Center for Asian Studies. Dengan adanya fasilitas ini mahasiswa Jepang tidak usah ke Amerika atau ke Australia lagi untuk belajar tentang Asia Tenggara.

Jumlah mahasiswa Jepang yang mau belajar di Indonesia juga naik. Pada waktu saya pertama kali datang ke Indonesia pada 1972 sebagai mahasiswa, mahasiswa Jepang yang belajar di Indonesia hanya 4-5 orang, sedangkan selama 10 tahun ini jumlahnya hampir 10 kali lipat.

Kebanyakan belajar bahasa Indonesia, tetapi ada juga yang mau belajar ekonomi, sosiologi, antolopologi, dan sebagainya. Selain yang terdaftar di sekolah tinggi, juga ada yang belajar kebudayaan Indonesia, seperti batik, tari-tari, dan gamelan. Departemen P & K Jepang sudah mengeluarkan beasiswa sejak pertengahan 1970 untuk mahasiswa Jepang yang mau belajar di Indonesia.

Jumlah buku buku tentang Asia Tenggara yang diterbitkan setiap tahun juga bertambah. Menurut penelitian yang dilakukan Prof Sinzon Hayase, jumlah buku akademis mengenai Asia Tenggara yang diterbitkan pada 1976 adalah 57. Pada 1989 tercatat 286 buku atau kurang lebih 5 kali lipat. Berhubung dengan merosotnya ekonomi Jepang, pada 2000 jumlahnya berkurang dan tercatat hanya 154 judul.

Pada 1980 telah diterbitkan seri Koza Tonan Ajia Gaku (Kajian Asia Tenggara). Selanjutnya pada 2000 telah diterbitkan buku berjudul Tonan Ajia-shi (Southeast Asian History) yang meliputi dari zaman kuno sampai sekarang. Ada banyak orang yang menulis dalam seri ini. Ini boleh dikatakan mencerminkan standard kajian Asia Tenggara yang tercapai sampai sekarang.

Association of Southeast Asian History

Association of Southeast Asian History yang didirikan pada 1968 mempunyai 600 lebih anggota, 63% laki-laki dan sisanya perempuan. Kebetulan sekarang saya menjabat sebagai presidennya, karena giliran jatuh pada saya. Association ini terbuka bagi umum, bukan hanya orang yang mempunyai kedudukan di instansi akademis, tetapi juga mahasiswa paskasarjana (kebanyakan S-III) dan lulusan S-III yang sedang mencari pekerjaan (postdoctoral). Sebagian kecil juga ada wartawan, businessman yang berhubungan dengan Asia Tenggara dalam pekerjaan sehari-harinya. Sebaliknya, tidak tentu semua mahasiswa paskasarjana menjadi anggota karena iurannya cukup mahal bagi mereka, meskipun ada diskon untuk mahasiswa.

Association ini mempunyai cabang di 6 blok di seluruh Jepang. Masing masing cabang mengadakan pertemuan sebulan sekali. General Assembly diadakan setahun sekali, yaitu pada bulan Juni dan Desember, dengan tempat berbeda-beda. Pertemuan bulan Desember tahun 2002 ini merupakan pertemuan ke-68.

Dari susunan anggota assosication ini menurut keahliannya, Indonesia paling banyak diambil (22,3%). Memang wajar karena negara ini paling besar di Asia Tenggara baik dari segi areal maupun jumlah penduduk. Tetapi dari angka 138 orang ini, yang sudah dapat pekerjaan di perguruan tinggi hanya 54.8%. Yang lain masih mahasiswa paska sarjana atau sedang mencari pekerjaan. Saingan untuk pekerjaan sangat keras.

Nomor dua, Thailand (17,7%) , juga bisa dimengerti dari segi eratnya hubungan dengan Jepang. Yang agak mengherankan adalah banyaknya ahli Vietnam (nomor tiga). Ini mencerminkan latar belakang khas Jepang: di Jepang sudah lama ada tradisi studi Vietnam sebagai lanjutan studi Cina di jurusan sejarah. Di jurusan sejarah Universitas Tokyo sejak jaman dulu sudah ada kuliah “Sejarah Daerah Selatan”, dan ini berarti sejarah Vetnam.

Dalam studi ini dipergunakan sumber dari Cina yang ditulis dalam bahasa Cina dan pusat penelitiannya pada zaman dulu. Tradisi ini masih kuat dan dari 87 orang yang mengambil Vietnam, 34 orang (kurang lebih 40 %) adalah sejarawan, khususnya sejarah yang bukan modern.

Juga mengherangkan sedikitnya jumlah ahli Singapura (lebih sedikit dari Kambodia dan tidak banyak beda dari Laos), meskipun hubungan ekonomi antara Singapura dan Jepang sangat penting dan jumlah penduduk Jepang di sana lebih banyak dibandingkan penduduk Jepang di Indonesia.

Kalau analisa anggota menurut perguruan tinggi, yang mengajar atau belajar sebagai berikut:

Universitas Tokyo (Tokyo) 43 orang
Tokyo University for Foreign Studies (Tokyo) 43
Universitas Kyoto (Kyoto) 31
Universitas Sophia (Tokyo) 22
Universitas Hiroshima (Hiroshima) 17
Universitas Waseda (Tokyo) 15
Universitas Keio (Tokyo) 14
Osaka University for Foreign Studies (Osaka) 14
Universitas Rikkyo (Tokyo) 13
Universitas Hitotsubashi (Tokyo) 11
Universitas Nanzan (Nagoya) 10
Universitas Kobe (Kobe) 10

Meskipun ada konsentrasi di daerah Tokyo, kalau dilihat per kota, sebenarnya daerah Kansai (Osaka, Kyoto, Kobe, dan lain-lain) merupakan salah satu cabang assosiasi yang mempunyai banyak anggota dan kegiatannya sangat aktif.

Association ini terbuka bukan hanya kepada sejarawan tetapi juga kepada orang orang dari berbagai disiplin, meskipun memakai nama Southeast Asian History. Di Jepang belum ada assosiasi untuk kajian Asia Tenggara “umum”, yang bersifat area study, seperti Association of Southeast Asian Studies. Orang yang mengkaji Asia Tenggara dengan metode apa saja tidak ada pilihan lain kecuali masuk Assosiasi Sejarah Asia Tenggara ini. Memang juga ada asosiasi-asosiasi untuk masing masing keahlian seperti Japan Association of Anthlopology dan Japan Association of Comparative Politics. Jadi orang sering masuk lebih dari dua assosiasi.

Perincian anggota menurut disiplin sebagai berikut:
Sejarah 175 orang (28.3%)
Antlopology 101 (16.3%)
Ilmu politik 86 (13.9%)
Sastra & Linguistik 50 ( 8.1%)
Ekonomi 49 (7.9%)
Area study 42 (6.8%)
Sosiologi 18 (2.9%)
Lain-lain
Di antara 175 orang sejarawan, yg mengambil sejarah Indonesia paling banyak, yaitu 36 orang (sekitar 20 %). Zaman yang didalami oleh 36 orang ini tersebar dari sejarah kuno sampai modern. Pada umumnya penelitian sejarah Indonesia di Jepang titik beratnya pada sejarah ekonomi-sosial dan agak sedikit yang mengambil sejarah politik, budaya, dan sebagainya. Sejarawan ini menguasai bahasa Indonesia dan sebagian kecil bisa bahasa daerah, tergantung topiknya. Hampir semuanya punya pengalaman tinggal di Indonesia dalam jangka waktu panjang; untuk mengikuti kuliah, mencari arsip dan dokumen atau untuk mengadakan wawancara. Yang mengambil sejarah zaman sebelum kemerdekaan, hampir semuanya bisa bahasa Belanda dan mengadakan penelitian di Arsip Negara Belanda.

Prospek Masa Depan
Kajian Asia Tenggara di Jepang sudah begitu berkembang dan mutunya juga cukup tinggi, Tetapi menurut saya, jarang dapat perhatian dari dunia internasional karena karya peneliti Jepang hampir semua ditulis dalam bahasa Jepang. Itu kelemahan orang Jepang. Insentif menulis dalam bahasa Ingris sangat kurang. Jadi beberapa foundation memberi dana untuk menerjemahkan buku berbahasa Jepang ke dalam bahasa asing. Tetapi prioritasnya buku yang bersangkutan dengan Jepang. Jadi buku mengenai hubungan antara Jepang dan Asia Tenggara lebih mudah dapat kesempatan daripada topik lainnya.

Saya merasa target peneliti Jepang yang harus dicapai di masa mendatang adalah menjalin komunikasi lebih erat dengan peneliti-peneliti di dunia. Kami sendiri berusaha lebih banyak menulis dalam bahasa Ingris sesuai dengan zaman globalisasi ini.*

*(Guru Besar Sejarah Sosial–Ekonomi Keio University, Tokyo)


Tidak ada komentar: