Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Betapa Tidak Menariknya Universitas (Udayana)

“…Bangkitnya kesadaran kritis membuka jalan ke arah pengungkapan
ketidakpuasan sosial secara tepat karena ketidakpuasan itu adalah
unsur-unsur yang nyata dari sebuah situasi yang menindas…”
(Fransisco Weffert, pengantar buku Paulo Freire, Educacao Como pratica da Liberdade, dalam Pendidikan Kaum Tertindas,1985:Halaman 3)

Harapan untuk maju yang menjadikan kita bersemangat untuk terus belajar, berdebat bahkan terus melakukan perubahan. Mengutip Soe Hok Gie, kadang-kadang perubahan itu hareus merelakan korbannya. Korban itu adalah merasa ditinggalkan dan sendirian memeperjuangkan idealisme yang disepakati semua. Ya, sudah menjadi kebiasaan kawan-kawan seperjuangan mengkhianati perjaungan dibelakang hari. Untuk hal ini, Sok Gie dengan tegas mengatakan “Pejuang sejati adalah pejuang yang sendiri dan sepi”
Hanya harapan untuk kemajuan dan perubahan itulah, tulisan sederhana dan sedikit catatan kritis untuk kampus Palma Universitas Udayana ini dibuat. Catatan penting pertama yang menjadi dasar kunci tulisan ini adalah sebuah kesadaran bahwa kemunduran dan kemajuan universitas terbesar di Bali adalah tanggung jawab semua civitas akademikanya, termasuk mahasiswanya. Dan hanya sebuah kesadaran bersama yang menjadikan berjalannya sistem pendidikan yang maju, peradigma humanistik bisa berjalan. Salah satunya dengan sikap terbuka, saling berdebat untuk perubahan.

UNUD DAN IMAGE BALI
Universitas Udayana (Unud), adalah lembaga pendidikan ditengah derasnya tuntutan pelayanan pariwisata dan image Bali, kota eksotis, indah dan damai. Konteks itu saya pakai sebagai pembuka tulisan yang ingin memandang bahwa Unud menjadi bagian dari image Bali dan segala macam perdebatan dan pergulatan yang melbatkan Bali dan pergulatan keilmuannya. Membicarakan Bali berarti juga membicarakan Unud. Dan kehancuran Bali juga salah satunya melibatkan intelektual dan perdebatan wacana yang melibatkan kampus Unud sebagai penggodokannya, disamping kampus lain di Bali.
Kampus dan sistem pendidikan di Unud memang tidak bisa lepas 100 % dari nuansa feodalisme pendidikan yang sudah ada dari Bali kolonial dan Bali pasca kolonial. Perdebatan dikalangan intelektual, dosen dan mahasiswa sendiri belum selesai tentang pembebasan dan pemberontakan terhadap karakter feodalisme pendidikan ini. Dilingkungan kampus Unud sendiri masih sangat banyak—kalau tidak mau mengatakan masih menjadi tren pendidikan—karakter feodalisme ini diterapkan di Unud.
Karakter ini (feodalisme) jelas terlihat dari bagaimana hirarkhi kekuasaan pendidikan masih terlihat kuat. Dosen dan mahasiswa menjadi hubungan kuasa bawahan dan atasan. Hanya sebagian kecil dosen yang coba untuk berdemokratis dan terbuka akan kritik mahasiswa. Akhirnya proses pendidikan bukan dipahami sebagai proses pembebasan dan keterbukaan untuk menerima, menolak dan menyerap gagasan atau ide, tapi pemaksaan yang kemudian muaranya pada formalitas dan administrasi nilai dan kekuasaan pada jaring-jaring birokrasi pendidikan tadi.
Semangat feodalisme juga sangat bisa dilihat dari bagaimana sistem administrasi dan birokrasi serta kekuasaan pendididkan di Unud yang membelenggu mahasiswanya. Sistem birokrasi kolonial yang diwarisi oleh pemerintahan kolonial Belanda masih sangat melekat kuat. Semisal bagaimana begitu rumitnya jalur birokrasi yang ujung-ujungnya mengorbankan mahasiswa. Ingat bagaimana pemuda pribumi dicekoki dan dilatih untuk meneruskan feodalisme birokrasi ini. Pemuda pribumi dibiayai oleh sekolah tapi kemudian ditampung menjadi tenaga pegawai di pemerintahan kolonial Belanda. Konteks Bali, penjelasan yang lumayan rinci diterangkan Clifford Geertz. Geetz dengan penuh deskriptif menjelaskan bagaimana Bali sebagai sebuah negara teatrikal yang masyarakatnya sangat sarat dengan upacara dan makna akan sosial dan budaya. Dari awal Geertz menjelaskan bagaiamana pemaknaan itu diciptakan oleh masyarakat yang kemudian dipakai oleh kuasa negara --Raja dan kerajaan di Bali—sebagai simbol pengkuasaan atas makna tadi. Akhirnya adalah tafsiran dan kekuasan atas simbol dan makna kebudayaan itu dikuasai oleh Raja dengan kekuasaan. Ini adalah awal bagaimana kemudian wacana ini muncul dengan sendirinya yang memepengaruhi begitu besar sektor kehidupan rakyat, apalagi dibidang birokrasi dan pemerintahan kolonial.
Narasi feodal ini, meminjam istilah Antonio Gramsci, wartawan dan aktivis marxis Italia, telah menghegemoni seluruh sendi pemikiran rakyat pribumi Bali ketika itu. Yang paling hakekat adalah penjajahan secara gagasan dan ide ini yang ingin dijelaskan Gramci sebagai hegemoni yang paling penting untuk mengkerdilkan manusia.
Feodalisme pendidikan secara nyata, senyata-nyatnya, mungkin itu lukisan kata yang tepat menggambarkan nuansa akademis di Kampus Palma ini. Seluruh civitas akademik masih terperangkap dalam pola-pola pikir feodal ini. Mungkin kesadaran itu telah terbentuk dengan begitu banyaknya pertukaran ide, diskusi dan banyaknya buku-buku, tapi kemudian menjadi mandek karena semangat dan lingkungan yang kemudian berada disekitar mengharuskan kita untuk memilih. Pertama, menjadi manusia pemberontak atau kedua hanya menjadi keledai-keledai penurut, mangguk-mangguk dan hanya bisa menunggu perintah atasan.
Hanya ada dua pilihan tadi bagi semua kalangan civitas akademik Universitas ini. Mungkin terlalu berlebihan mengharapkan ada mahasiswa, dosen bahkan tidak mungkin pada Rektor dan para guru besar yang mengambil pilihan pertama. Sangat tidak mungkin rasanya para pengambil kebijakan, penguasa birokrasi dan ide/wacana di kampus ini—Rektor, guru besar dan dekan-dekan fakultas—berprilaku kritis dan selalu muak dan gelisah dengan keadaan kampus. Mereka semuanya telah asyik dan sepertinya memang tradisi untuk menafikkan semua kegelisahan dan keinginan perubahan di kampus ini—mungkin dalam segala hal dan bidang pendidikan di kampus ini. Penguasa-pengusa pendidikan agaknya sudah membunuh kesadarannya akan perubahan. Rasanya tidak bisa disalahkan bahwa jiwa kekuasaan itu adalah melupakan kesadaran akan perubahan yang harus dilakukan. Semangat kekuasaan rasanya telah membunuh nalar kekritisan yang paling hakekat dari petinggi dan pemegang kekuasan di kampus-kampus di negara (Unud) ini.
Satu hal yang menjadi dasar argumen diatas adalah telah didistorsinya hakekat pendidikan di kampus-kampus ini. Mengutip Paolo Freire, tokoh pendidikan perlawanan, yang mengatakan hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia telah berubah menjadi pendidikan yang menciptakan manusia sebagai mesin untuk kepentingan modal, industri dan tentunya di Bali tenaga kerja pariwisata. Banyaknya sekolah pariwisata di Bali, membludaknya program ekstensi di Unud rasanya cukup menjelaskan bagaimana telah melencengnya hakeket pendidikan yang dipikirkan Freire. Pendidikan telah begitu mahal bagi rakyat dan orientasi pendidikannya pun hanya memproduksi manusia budak, penurut dan menjadi antek-antek pariwisata. Semua fenomena ini secara tidak disadari oleh masyarakat Bali telah membentuknya menjadi bukan manusia. Proses dehumanisasi secara tidak sadar dan berjalan lancar-lancar saja terjadi karena pengaruh tuntutan jaman, image pariwisata dengan kemegahannya—bahwa kerja di hotel lebih keren daripada hanya sekedar dosen atau pegawai museum misalnya.
Marakanya sekolah dan pelatihan pariwisata, kapal pesiar dan masih banyak lagi, seakan membuka ruang bagi generasi muda Bali untuk berlomba-lomba berebut peluang. Maka pendidikan dan pelatihanpun dipersiapkan secara instan dan siap kerja. Ujungnya nanti hanaya menjadi tenaga buruh, tanpa ketrampilan sama seklai. Sama persis ketika betapa banggganya kita bisa mengirim TKI (Tenaga Kerja Indonesia) murah kenegara tetangga. Akhirnya begitu murahnya dan tidak berkualitasnya SDM (Sumber Daya manusia) kita. Itu kenyataan yang tidak terbantahkan bukan ?

KOMBINASI KONSERVATIF LIBERAL YANG MEMBUNUH DAYA KRITIS
Argumentasi diatas setidaknya mendapatkan penguatan yang setimpal dengan teori pendidikan konservatif dan juga liberal yang menafikkan perubahan struktur ekonomi politik kekuasaan secara radikal. Termasuk juga di Unud, paradigma konservatif sangat jelas dipakai, ketika menentukan tujuan pendidikan secara umum. Misalkan saja meneruskan pola-pola perilaku sosial yang mapan, dan menghormati segala macam struktur, lembaga-lembaga mapan yang teruji dengan waktu, serta tunduk dan hormat pada hukum dan aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
Pola-pola pendidikan seperti ini jelas memiliki cara pandang khas konservatif yang sekolot-kolotnya. Sesuatu yang baru dan bernuansa perubahan bagi mereka adalah hal yang haram dan akan menyengsarakan saja. Akhirnya semangat pendidikan yang dibangun adalah pendidikan yang harmonis, haram konflik, kontradiksi apalagi mempertanyakan kemapanan. Spirit ini terlihat jelas di kampus Unud ketika dosen sangat tertutup dan menghindar dari konflik dan leih mengutamakan harmoni dan damainya kuliah yang diberikan. Akhirnya dosen, mahasiswa menjadi apatis terhadap situasi yang tidak bersentuhan dengan kepentingannya. Seolah-olah tidak ada yang salah dari sistem dan nuansa pendidikan yang dibangun. Tidak ada kelas sosial yang tertindas, pendidikan yang hancur, rakyat yang kelaparan dan lainnya. Mereka –penganut paradigma konservatif ini—melihat rakyat yang tertindas saja yang bodoh, rakyat miskin saja yang malas tidak mau cari kerja. Artinya lebih menyalahkan subyeknya—diri sendiri, rakyat miskin dsb—bukan ada apa kenapa tidak berubah dalam kerangka kekuasaan yang menindas misalnya.
Paradigma ini kemudian dilengkapi dengan cara pandang liberal yang sangat kental terlihat di kampus-kampus di Indonesia, Bali bahkan di Unud. Sekarang sedang berjangkit deman program diploma berbagai bidang, program kelas sore (ekstensi), kursus berbagai macam dan tentunya sekolah-sekolah, pelatihan pemenuhan tenaga pariwisata. Sebelumnya, pemerintah menerapkan di Sekolah Menegah Umum program “Link and Match”, di sekolah kejuruan harus ada praktek kerja sebelum mengakhiri pendidikan dan sejenis program lainnya. Paradigma ini seakan a-politis melihat proses dehumanisasi dalam pendidikan, penindasan dalam pendidikan. Bagi meraka, persoalan pendidikan terpisah dengan dominasi politik, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi sistem pendidikan. Akhirnya cara pandang dan kerja-kerja mereka lebih diarahkan untuk menguatkan sistem pendidikan yang ternyata juga menindas peserta didiknya—ya, karena tidak jelas orientasinya, dan juga tidak mencerdaskan dalam konteks membangkitkan kesadaran kritis akan dominasi.
Contoh nyata bagaimana pemerintah (kekuasaan) memainkan paradigma ini adalah mendengungkan di Sekolah Menengah Umum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang ternyata sangat bersemanagat liberalistik ini. Siswa diajar untuk menyelesaikan masalah dan soal-soal secara praktis melalui penerapan tatacara-tatacara pemecahan masalah secara perseorangan dan kelompok dengan berdasar metode-metode ilmiah-rasional. Siswa diarahkan untuk berpikir efektif dengan kecerdasan praktis dalam menghadapi soal dan semua persoalan pengetahuan yang diterimanya. Begitu juga dengan mahasiswa yang hanya diajar menghapal rumus-rumus dan teori ekonomi, fisika dan lainnya, yang hanya diajar bagaimana menegerjakan soal kimia secara praktis, cerdas dan diarahkan untuk menjadi mahasiswa yang pintar yang bergelimah teknik belajar praktis dan cepat. Sama sekali tidak ada ruang bagi masuknya sebuah ruang kesadaran bahwa proses pendidikan bukan hanya seperti itu, tapi melebihi hapalan, rumus praktis.
Proses pendidikan adalah proses pembelajaran dalam arti yang seluas-luasnya akan kehidupan, fenomena sosial, dominasi, ketertindasan. Selanjutnya dibutuhkan sebuah senjata yang nama ilmu yang tidak bisa lebih dari kuasa untuk melihat semua itu. Proses pendidikan tidak mungkin netral dan bebas nilai. Knowledege and power adalah relasi yang tidak mungkin terpisahkan. Untuk itulah senjata pendidikan dengan ilmu-ilmunya, teori-teori dan tentunya paradigmanya jika menyadari hal ini melakukan refleksi kritis terhadap dominant ideology ke arah transformasi sosial. Maka tugas utama pendidikan pada titik ini adalah menciptakan ruang-ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan pembongkaran dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Nuansa konservatif liberal serta ditambah kekolotan sistem pendidikan yang feodal yang membunuh daya dan refleksi kritis siswa dan mahasiswa juga rakyat dalam pendidikan rakyat. Paradigma konservatif yang kaku, given bertemu dengan keinginan untuk harmonis, a-politik dan tidak ambil pusaing dengan kondisi dominan kuasa ekonomi, politik, budaya dalam cara pandang liberal. Situasi Bali dan Indonesia sangat menjelaskan bagaimana keduanya kemudian diramu dalam kurikulum pendidikan, ruang-ruang interaksi dosen mahasiswa, guru murid, serta kondisi pendidikan yang berkembang selama ini di Bali dan tanah air. Terpuruknya peringkat universitas Indonesia di tingkat Asia cukuplah menjadi bukti betapa malu, dan seharusnya kita prihatin melihat kondisi pendidikan sekarang.



I Ngurah Suryawan, belajar Antropologi di Fakultas Sastra, kini Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana

Tidak ada komentar: