Who am I

Who am I

Rabu, 09 April 2008

Kerusuhan Buleleng 2

Kompas, Kamis, 30 Oktober 2003


Kekerasan di Balik Keramahan Orang Bali

BALI menjadi kunjungan wisata dunia, jelas tidak hanya karena pulaunya yang molek. Juga tidak hanya karena Pantai Kuta yang mempesona atau berbagai peninggalan budaya yang unik. Bali seakan menjadi candu pembius para pelancong, masih ditambah karena keramahan warga pemiliknya. Umumnya pengunjung dijamu penuh rasa kekeluargaan, sopan santun yang mengesankan begitu kentalnya sebuah keikhlasan.
Amat jarang terdengar kisah pengunjung baru yang sengaja disesatkan. Kalau seorang wisatawan menghadapi kesulitan mencari alamat yang dituju, tak perlu ragu bertanya pada siapa saja di sekitarnya. Hampir dapat dipastikan, yang ditanya akan dengan ramah menunjukkannya sejauh yang ia tahu. Bahkan, tidak jarang ia rela mengantarkan pengunjung yang kebingungan, tanpa berharap imbalan. "Di sini (Bali), wisatawan menemukan surga dunia," ungkap seorang rekan dari Jakarta ketika berkeliling di kawasan Kuta, beberapa waktu lalu.
Namun, hari-hari ini pengunjung termasuk pendatang di Bali dikejutkan oleh kerusuhan berdarah di Buleleng, Minggu (26/10). Kerusuhan yang menelan dua korban jiwa itu memang bermula dari pergesekan antara massa berkostum kuning (atribut Partai Golkar) dan massa berkostum merah (atribut Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia/PDI-P) setempat. Padahal, sosok-sosok di balik kostum berbeda warna itu, semuanya adalah sesama orang Bali. Bagi pengunjung atau pendatang, terang saja kalau tragedi berdarah itu ditangkap sebagai sesuatu yang ironis. Gambaran demikian setidaknya seiring peradaban orang Bali yang selalu menampakkan keramahan dan sopan santun terhadap para tamu atau pengunjung yang datang ke Pulau Dewata.
Para pengamat, terutama kalangan budayawan di negeri ini, umumnya berkeyakinan kalau orang Bali adalah komunitas yang sangat menjunjung tinggi budayanya. Yang terbayang, dalam komunitas seperti itu selalu terjadi proses penghalusan budi. Atau mengutip penggalan Tajuk Kompas (23/10/2003), (karena) kebudayaan di samping sebagai hasil peradaban juga dalam artian pencarian kita tentang nilai-nilai kemanusiaan. Kebudayaan adalah proses humanisasi, dari manusia serigala bagi sesama (homo homini lupus) menjadi manusia sebagai sahabat sesama atau homo homini socius!
Kembali ke Bali yang kini sedang dirundung kepedihan menyusul kerusuhan Buleleng. Tragedi berdarah itu layak memancing pertanyaan menggelitik. Orang Bali yang selalu menjunjung tinggi budayanya, sungguhkah terjadi proses penghalusan budi di sana? Atau keramahan terhadap para tamu hanya sekadar kiat menggaet dollar dari para wisatawan?
DALAM konteks budaya ini, terkait dengan tragedi berdarah Buleleng, budayawan muda di Denpasar, Ketut Sumartha, tampil dengan sorotan lugas dan tajam. Dalam sebuah percakapan dengan Kompas di Denpasar, Senin (26/10) lalu, pemimpin redaksi majalah budaya Sarad itu dengan tegas mengatakan, orang Bali pada dasarnya dengan perilaku kekerasan. "Perilaku seperti itu bawaan sejak Bali kuno. Kita dapat melihatnya antara lain melalui sejumlah prasasti tua berusia lebih dari 1.000 tahun yang menggambarkan kekerasan itu," ungkapnya.
Menurut Ketut Sumartha, Kerajaan Gelgel pernah mempersatukan Bali bahkan hingga Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kerajaan itu akhirnya jatuh pada abad ke-17 menyusul aksi kudeta internal oleh Pati Agung. Sementara itu Pati Agung sendiri setelah berhasil memimpin kerajaan, ternyata tidak mendapat legitimasi dari para penggawa. Akibatnya, Gelgel jatuh dan terpecah menjadi delapan kerajaan kecil pimpinan para penggawa tersebut.
Kata Ketut Sumartha, benih konflik bawaan masa lalu itu kini kembali mengancam keutuhan Bali karena di daerah ini tidak lagi memiliki lembaga atau figur sebagai tokoh perekatnya. Ia menunjuk budaya agraris di Bali yang sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol pemersatu, kesemuanya telah menjadi cerita masa silam. Banjar-banjar adat atau keberadaan desa-desa adat pun berjalan sendiri-sendiri, tidak lagi memiliki lembaga pengintegrasi sebagai pemayungnya.
"Sebenarnya kita berharap dari PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sebagai lembaga pengintegrasinya. Namun, dalam perjalanannya ternyata tidak berperan seperti diharapkan," katanya. Ia melihat keadaannya bertambah parah menyusul pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan penekanan di kabupaten/kota.
Menghadapi keadaan ini, Ketut Sumatha menyarankan salah satu solusi khusus untuk Bali agar pelaksanaan otonomi daerah dipusatkan di provinsi, bukan di kabupaten/kota seperti daerah lainnya. "Kalau otonomi daerah dipusatkan di provinsi, maka gubernur sekaligus diharapkan sebagai sosok dan lembaga pengintegrasi seluruh Bali," katanya.
MENGAPA orang Bali tampak selalu ramah dan santun terhadap para tamunya? Ketut Sumartha melukiskannya sebagai keramahan semu, keramahan dagang! "Keramahan seperti itu adalah keramahan yang sudah dipengaruhi oleh industri pariwisata."
Bagi Ketut Sumartha, Bali kini sungguh membutuhkan figur pemimpin dan lembaga perekat wilayah bersama masyarakatnya. Karenanya ketika menyinggung kerusuhan berdarah Buleleng, ia berharap jajaran pimpinan partai politik di Provinsi Bali supaya menempatkan tragedi itu sebagai masukan penting guna membenahi partainya masing-masing.
Suasana kelam dan mencekam menyusul kerusuhan Buleleng sudah berangsur pulih. Bagi kabupaten sekitar 120 kilometer utara Denpasar itu, tragedi berdarah kali ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Antara Desember 1998-Mei 1999 juga terjadi kekerasan yang menelan sembilan korban jiwa. (ANS)

Tidak ada komentar: