Who am I

Who am I

Jumat, 11 April 2008

Desa Hutan: Perubahan yang Dibayangkan

MASYARAKAT LOKAL YANG DIBAYANGKAN: Kemiskinan Imajinasi Terhadap Perubahan dan Perbedaan di Dalam Modernitas01/12/2005

Oleh Hery Santoso[1]

Daerah pedalaman di Indonesia telah didefinisikan, dibentuk, dibayangkan, dikelola, dikendalikan, dieksploitasi, dan “dibangun” melalui berbagai wacana dan praktik, yang berlangsung melalui karya akademik, kebijakan pemerintah, aktivisme nasional dan internasional, dan pemahaman masyarakat awam.

Tania Muray Li

A. Pendahuluan: Awan Terhimpun, Awan Membuyar

Taruhlah setelah sekian lama kita menceburkan diri ke dalam suatu hiruk-pikuk dan silang sengkarut laku kehidupan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan, yang kemudian lazim dinamakan sebagai masyarakat desa hutan – suatu istilah yang sepertinya secara lugas memposisikan desa sebagai bagian dari kawasan hutan –, kita ingin berkata sesuatu tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana, bagaimana sosok sebuah desa hutan, ke mana mereka hendak menyongsong hari depan, seperti apa pergulatan-pergulatan batin dan pikiran para warganya, dan lain sebagainya-dan lain sebagainya. Kita barangkali bisa menampilkan sebuah laporan tentang berbagai tindakan melanggar hukum, perilaku kejahatan, suatu hal-hal negatif yang keluar dari standar nilai, norma, dan moral sosial – mencuri kayu misalnya –, sebagaimana yang sering kita dengar dari berbagai kesempatan perbincangan normatif mengenai arti sebuah kesadaran lingkungan bagi sekelompok masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Kita bisa juga menampilkan suatu cerita tentang berbagai tindakan perambahan yang mengancam kelestarian hutan.

Bisa saja kita melukiskan kebijakan kehutanan yang morat-marit, penegakan hukum yang lemah, tumpang tindih kepentingan yang tak kunjung bisa diselesaikan, perencanaan yang salah, aparat yang tak profesional, dan sarjana-sarjana kehutanan yang memiliki kemampuan lemah, hingga pada akhirnya membawa desa-desa hutan dan segenap warganya pada situasi yang tidak memuaskan. Atau barangkali kita bisa mengangkat suatu kasus tertentu, sembari berpendapat bahwa semua itu adalah keniscayaan dari kondisi sumber ekonomi masyarakat yang terbatas. Atau kita akan memilih dan memilah kasus-kasus khusus yang cukup positif – bagaimanapun sebagian dari warga desa hutan, langsung ataupun tidak, juga memetik manfaat dari penyelenggaraan kehutanan yang ada di sekitarnya.

Berbicara mengenai masyarakat desa hutan di Jawa, kita sepertinya memang akan dihadapkan pada suatu potret buram sekelompok masyarakat yang memandang hutan tidak lebih dari sekedar sumber mata pencaharian, formal ataupun informal, legal ataupun ilegal; sesuatu yang langsung ataupun tidak mengantarkan kita pada pengertian yang lain, bahwa mereka, selama ini, telah mendudukkan sumber daya hutan sebagai basis material penopang kehidupan lokal, untuk tidak mengatakan penopang urusan-urusan domestik. Kita bisa menemukan berbagai macam fakta lugas untuk itu, salah satunya adalah sederetan panjang catatan Peluso mengenai apa yang – oleh pemerintah kolonial – dinamakan sebagai tindak kriminal kehutanan, atau yang oleh pemerintah sekarang disebut sebagai bentuk-bentuk perambahan hutan.[2] Dia mencatat: setidaknya sejak tahun 1918, di Jawa, apa yang dinamakan sebagai perambahan hutan itu telah terjadi. Bahkan kalau kita meminjam catatan Benda, bentuk-bentuk aktivitas semacam itu sudah terjadi sejak 1910. Dan kalau kita sedikit melebar – dalam hal ini saya akan meminjam catatan Scott –, di Prusia (Jerman), kasus-kasus pelanggaran kehutanan oleh masyarakat sudah berlangsung sejak 1840.[3]

Lantas, apa yang akan kita pikirkan tentang mereka dengan segenap catatan-catatan miringnya? Bagaimanapun, tak bisa dikatakan dengan cukup yakin bahwa saya bisa memutuskannya dengan segera, dan kemudian menggambarkan mereka sebagai sesuatu yang pasti adanya, sambil memberikan penjelasan-penjelasan, menyematkan sebuah nilai mutlak, menyatakan dengan obyektif seolah-olah saya bisa menyempal dari lintasan-lintasan opini mengenai mereka tentang apapun: kebaikan atau keburukan, perlawanan ataupun perusakan, kebajikan ataupun kejahatan. Saya harus mengatakan sejujurnya, bahwa dalam pergulatan dengan sekelompok masyarakat seperti ini, atas nama studi, pengamatan, atau apapun, kecil kemungkinan bisa memisahkan diri secara tegas dari sekuen kejadian yang sedang coba kita tangkap, catat, ukur, maknai, dan bangun kembali sebagai satu keutuhan informasi secara apa adanya, seperti membayangkan kita bisa melepaskan diri dari kerumunan serangga yang ada di depan mata. Adalah naif saya akan bisa memegang suatu prinsip lama: berusaha sekuat tenaga membuat jarak antara fakta dan nilai, antara obyek dan subyek, antara dorongan-dorongan dari dalam yang begitu menggebu dan kejadian-kejadian yang melambai-lambai di atas permukaan.

Maka dalam hal ini saya sependapat dengan kalimat-kalimat yang pernah diungkapkan Geertz dalam salah satu upaya perbandingannya mengenai Indonesia dan Maroko, antara Pare dan Sefrou, antara lintasan-lintasan kehidupan sekelompok masyarakat di Asia Tenggara dan Afrika Utara. Bahwa manusia yang dianugerahi bahasa dan hidup dalam sejarah, bagaimanapun juga memiliki maksud, pandangan, kenangan, harapan, suasana hati di samping passi dan keputusan penilaian, dan hal-hal itu tidak sedikit berkait dengan apa yang dilakukan manusia dan alasan melakukannya. Upaya untuk memahami kehidupan sosial dan kultural manusia sebagai kekuatan, mekanisme, dan dorongan itu sendiri, sebagai variabel-variabel yang diobyektifkan dan diletakkan dalam sistem kausalitas tertutup, kelihatannya memang muskil.[4]

Mungkin saja ujung-ujungnya kita hanya akan menyajikan semacam perjalanan panjang sekelompok masyarakat di suatu desa dengan menekankan perbedaan antara masa lalu dan masa kini, antara yang dahulu dengan sekarang, antara sebelum dan sesudahnya; atau membuat semacam ilustrasi kehidupan di masa lampau dan menggambarkan apa yang terjadi di masa kini, tanpa harus membersihkannya dari proses dialektika, nilai, dan berbagai kepentingan yang ada di sekitarnya. Mungkin dapat kita tulis kisah, ataupun cerita tentang bagaimana hal ihwal memunculkan hal berikutnya, hal pertama memunculkan hal kedua, dan kedua-duanya memunculkan hal ketiga; dan lalu..dan kemudian... Atau kita akan menyajikan kecenderungan, memilah kurun, menawarkan konsep, teori, dan postulasi tentang, misalnya saja, individualisme yang membengkak, religiusitas menyusut, kesejahteraan yang relatif meningkat, semangat surut, orientasi pasar membubung, gotong-royong melemah, modernitas disorongkan, pasar ditegakkan, ekonomi uang digaung-gaungkan, dan sebagainya.

Pastilah ilustrasi tentang perubahan, pergeseran, transformasi, atau apapun yang sejenisnya, sebagaimana yang baru saja saya uraikan, bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau setidaknya barang baru – faktanya hal semacam itu memang sedang ditancapkan (atau dicangkokkan?) di segenap desa hutan di Jawa. Masalahnya, transformasi dan perubahan itu, kalau memang bisa disebut demikian, tidak seperti yang sering kita bayangkan: berada dalam suatu tatanan metrikal yang ajeg dan harmoni. Ia adalah sebuah gambaran dari berpuluh-puluh anak sungai yang mengalir, memilin, dengan masing-masing mewadahi pusaran arus, sebelum kemudian menyatu menjadi sepenggal sungai besar yang hanya dalam waktu singkat kembali membuyar, memecah menjadi anak-anak sungai baru dalam wujud yang tidak sama dengan sebelumnya. Begitulah, geliat perubahan itu sepertinya datang silih berganti dari segenap penjuru angin, dan tiba-tiba hilang tanpa ada tanda-tanda yang sempat kita tangkap. Lantas apakah yang tersisa? Desa-desa yang dalam ilustrasi peta kehutanan ibarat ceceran noktah itu memang berubah, wilayah-wilayah pemangkunyapun berubah, aktor-aktor lokal yang menopangnya juga berubah, bahkan termasuk disiplin ilmu yang sering berupaya untuk bertukar tangkap dengan segenap persoalan dan jawaban yang ada di sana.[5] Lantas ada lagikah yang tersisa?

Maka, rasanya sudah menjadi keniscayaan kalau kemudian kita harus cukup puas dengan paparan-paparan yang berkelit-kelindan, sesuatu yang tidak permanen, atau kalau kita meminjam ungkapan segar Geertz: “awan terhimpun, awan membuyar”. Tak ada ilustrasi-ilustrasi yang bisa dengan kokoh kita sodorkan, tak ada kisah-kisah standar yang bisa kita dongengkan. Atau kalaupun itu ada, sudah hampir pasti tak akan pernah ada orang yang bisa begitu saja menceburkan diri dan dengan serta-merta bisa mengkonstruksikan suatu gambar, kisah, atau apapun, tentang kehidupan masyarakat, pada saat kejadian maupun sesudahnya. Yang bisa kita kerjakan, jika memang catatan-catatan, dongeng-dongeng, dan gambar-gambar itu berhasil kita susun untuk jangka waktu yang cukup panjang, adalah sekedar merangkai komentar-komentar telat tentang berbagai keterkaitan yang sebenarnya sudah saling merekat. Agaknya kita memang sulit menghindari hal ini dari ungkapan Jawa klasik: othak-athik gathuk.

Ilustrasi-ilustrasi, pernyataan-pernyataan, dan berbagai kisah mengenai apa yang sebenarnya terjadi ketika kita mencoba menangkap makna dan berusaha keras memahami sesuatu dengan mendasarkan pada segepok bahan-bahan yang kita kumpulkan dari sebuah drama kehidupan sehari-hari milik sekelompok orang, yang terkadang kitapun terbata-bata menelusurinya, hampir selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan mencemaskan. Dengan demikian apa artinya sebuah obyektivitas? Apa sajakah yang bisa menjamin bahwa segala upaya pemahaman itu benar adanya? Tetapi barangkali memang demikianlah model pemahaman bagi segenap kejadian yang datang silih berganti, cabang-bercabang, melintas tak terjadwal di sela-sela penggalan kehidupan sekelompok masyarakat: suntuk dan meraba-raba, melampaui fakta-fakta lugas yang melintas di depan mata. Kita hanya bisa berusaha merangkai komentar-komentar mengenai kaitan antar kejadian, hingga kesemuanya menjadi satu kesatuan. Itulah hal yang saya kira menopang pembentukan pengetahuan maupun penciptaan ilusi. Komentar-komentar itu kita kumpulkan dan kita susun dengan bersumber pada gagasan dan pemahaman, semacam alat yang telah kita persiapkan sebelumnya, yang sebagaimana layaknya sebuah alat, keberadaannya tak lebih untuk merampungkan suatu tugas; baru sesudahnya sebentuk nilai akan kita tambahkan, bukan kita kurangkan. Itulah mengapa, lagi-lagi saya harus mengutip Geertz, jika obyektivitas, kelurusan, dan ilmu itu sendiri harus kita pegang dan tegakkan, caranya bukanlah dengan berpura-pura seolah semua hal itu lepas bebas dari beban-beban pengaruh yang menjadikan atau mementahkannya.

Dengan demikian, untuk menyusun pandangan dan pemahaman saya mengenai perubahan desa hutan di Jawa, yang dibutuhkan bukan alur cerita yang kaku dan pasti, pengukuran akurat, kesan terhadap masa lalu, dan ilustrasi mengenai progresi struktural dengan sejumlah tabel dan grafik di sana-sini. Kendatipun demikian, berbagai hal yang baru saja saya sebutkan itu memiliki kegunaan masing-masing, sekurang-kurangnya dalam hal penetapan kerangka dan pendefinisian pokok perbincangan. Yang dibutuhkan adalah peragaan betapa perjumpaan dengan berbagai kejadian yang sekilas nampak kecil dan mungkin sepele, perkembangan di sana, keruntuhan di sini, bisa dianyam bersama dengan aneka fakta dan sumber tafsir hingga memunculkan suatu gagasan tentang segala hal-ihwal yang telah terjadi, tengah terjadi, dan memiliki kecenderungan kuat untuk terjadi. Ini barangkali mirip dengan apa yang disebut Frye sebagai mitos, kendatipun tak sepenuhnya sama. Mitos, konon, tidak pernah memaparkan apa yang telah terjadi, melainkan apa yang biasa terjadi dan masih terus berlaku sampai kini. Ilmu sebenarnya tak berbeda jauh dengan itu, kecuali seperangkat klaim bahwa ia berpijak pada sesuatu yang lebih kokoh, pemikiran lebih jernih, dan – sering kali mengidam-idamkan – bersih dari campur tangan emosi kemanusiaan.

B. Perpaduan Antara Raja Kuno dan Presiden Modern

Baiklah, mari kita memasuki desa hutan yang akan menjadi topik perbincangan kali ini. Membayangkan desa hutan dengan segenap masyarakatnya, agaknya kita memang tak bisa mengelak dari situasi yang menyerupai oposisi biner: mereka adalah tempat nostalgia yang diwarnai romantisme tetapi juga cemoohan. Desa hutan acap kali dipersepsikan sebagai ranah pedalaman; dan dengan demikian kalau kita meminjam pendapat Tania Li cenderung mengemban predikat pinggiran, yang secara sosial, ekonomi, dan fisik jauh tersisih dari jalur utama, bersifat tradisional, belum berkembang dan tertinggal. Daerah pedalaman juga dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan, keminiskinan, kebodohan, kekacauan, dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup sebagai warga negara yang normal. Dengan demikian sadar ataupun tidak, wilayah pedalaman, di mana desa-desa hutan banyak bertebaran, telah menjadi ruang yang dibayangkan atau mitos ruang, yang secara sistematis membentuk prasangka-prasangka dalam diri para perancang kebijakan – dan juga aktivis sosial – untuk senantiasa melakukan campur tangan, baik atas nama pembangunan maupun pemberdayaan.

Kendatipun demikian ada juga banyak citra yang sebaliknya: wilayah-wilayah pedalaman seperti desa hutan selalu dikaitkan dengan kebebasan dan kesatuan antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya, hingga ujung-ujungnya memunculkan sederetan istilah eksotis seperti perempuan, pribumi, komunitas, kearifan, lokal dan lain sebagainya. Dalam hal proyek konservasi misalnya, sebagaimana yang ditulis Tsing dan dikutip Tania, para aktivis lingkungan cenderung mengusulkan agar konservasi hutan didasarkan pada cita rasa kearifan masyarakat pedalaman; negara dengan segala perangkatnya sebaiknya memutuskan untuk keluar dari proses intervensi terhadap penduduk yang hidup di wilayah-wilayah seperti itu. Masyarakat dianggap memiliki seperangkat sifat yang bertentangan dengan sifat badan-badan pemerintah dan perusak hutan lain: mereka setidak-tidaknya mempunyai latar belakang kearifan lingkungan yang sudah berabad-abad, mereka telah lama berada di satu tempat di mana mereka mempunyai ikatan spiritual maupun pragmatis, mereka homogen, tanpa pembagian kelas, mereka tidak digerakkan oleh motivasi eksploitasi dan ketamakan, kebutuhan konsumsi mereka terbatas, dan keinginan kolektif mereka berfokus pada pengelolaan sumber daya hutan jangka panjang dan berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan oleh generasi masa depan. Maka berdasarkan persepsi ini, wilayah pedalaman, agaknya, secara simultan dikaitkan dengan lingkungan dan dibudayakan dengan cara-cara yang menjadikan daerah itu sebagai wilayah aneh, terpisah, unik dan khas sekaligus terbelakang.

Mari sejenak kita menyimak kembali cerita yang pernah dituturkan Tsing, ketika dia menggambarkan betapa minimnya imajinasi orang-orang kota terhadap mereka-mereka yang sering disebut sebagai masyarakat lokal.[6] Cerita itu mengenai masyarakat Tasaday, sekelompok orang yang oleh media masa tahun 70-an sering dikategorikan sebagai manusia primitif yang arif. Orang-orang Tasaday bahkan digolongkan sebagai suku bangsa purba yang masih tersisa di jaman modern. Mereka hidup di wilayah Pilipina bagian Selatan, berayun-ayun di antara pohon-pohon pinus, telanjang, hanya beberapa lembar daun anggrek yang melekat menutupi organ vitalnya. Mereka tidak berdosa, tidak punya ide sedikitpun tentang perang, dan mendambakan perlindungan dari media massa internasional, serta pemerintah Pilipina, terutama dari seorang tokoh bernama Manuel Elizade, direktur komisi khusus Presiden untuk golongan minoritas. Orang-orang Tasaday dikabarkan menjuluki Elizade sebagai dewa . Pada tahun 1974, kira-kira 3 tahun sejak fenomena Tasaday diketahui publik, “dewa” itu memutuskan untuk menutup daerah orang-orang Tasaday, konon guna melindungi mereka dari para penebang kayu dan eksploitator dunia modern.

Sekitar tahun 80-an, terjadi perubahan politik di Pilipina: Presiden Marcos dan para pembantunya – termasuk Elizade – dipaksa untuk meninggalkan negerinya (tapi Elizade kemudian kembali ke tanah air). Pada saat itulah para wartawan kembali mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan orang-orang Tasaday. Mereka kembali memasuki wilayah yang sebelumnya oleh pemerintah Marcos dinyatakan tertutup bagi orang luar. Dan tak berapa lama, berita-berita barupun tersiar. Yang paling sensasional adalah pernyataan bahwa berdasarkan fakta-fakta terbaru, orang-orang Tasaday tak lain adalah para aktor yang dibayar untuk memainkan peranan sebagai orang primitif. Tentu saja pemberitaan tersebut mengundang berbagai perdebatan: apakah orang Tasaday adalah suku bangsa yang terisolir ribuan tahun atau sekumpulan orang desa miskin yang dipaksa menggambarkan seolah-olah masyarakat Tasaday itu ada. Tidak mudah meyimpulkannya. Tapi terlepas dari itu semua, agaknya ada sesuatu yang luput dari perhatian, yakni fakta bahwa mungkin masyarakat Tasaday itu memang benar-benar ada tetapi tidak semurni yang dilansir oleh Elizade dan media massa yang dibawahinya.

Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi di tahun 90-an, ketika media masa ramai menyiarkan berita mengenai orang Penan, masyarakat desa hutan di Serawak, Malaysia, yang melakukan protes, menentang kebijakan penebangan hutan yang disponsori pemerintah. Pada masa itu protes yang sama juga di lakukan oleh kalangan media masa setempat, juga aktivis lokal, dari tingkat desa hingga nasional. Dari catatan-catatan yang ada, protes-protes ini setidaknya dikoordinasi oleh sebuah lembaga yang bernama Sahabat Alam Malaysia. Sama halnya dengan orang-orang Tasaday, pemberitaan orang Penan juga diwarnai cerita-cerita romantis: mereka adalah orang-orang yang tak berdosa, terisolir, bijak, memiliki tingkat pengetahuan lokal tinggi, tapi terancam. Terlepas dari itu semua, tulisan-tulisan di media massa saat itu juga menyorot cerita lain, yakni kisah Bruno Mansur, seorang petualang Swiss yang kembali ke alam, menerjunkan diri ke dalam kehidupan orang-orang Penan. Mansur kemudian dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan bagi orang luar mengenai sosok dan kehidupan orang Penan yang terisolir dan pemalu itu. Tidak berbeda jauh dengan Elizade, Mansur barangkali juga akan diposisikan sebagai tokoh pujaan bagi orang-orang Penan.

Cerita mengenai orang Penan – sama halnya dengan orang-orang Tasaday – , agaknya, secara sadar disusun dengan teliti agar para pembaca di kota bisa memperoleh sesuatu yang bisa mereka mengerti. Sebagaimana yang dituturkan Tsing, para penulis media massa dan aktivis lingkungan berusaha keras menggambarkan situasi ini: bahwa hanya dengan mengisi kekosongan di antara primitif dan modern, barulah cerita-cerita itu bermakna untuk disampaikan. Sebagai suatu spesies yang hampir punah, orang-orang primitif sepertinya tidak lagi dianggap berbahaya, itulah mengapa cerita-cerita tentang mereka kemudian disampaikan secara simpatik, penuh rasa ingin tahu, dan juga rasa empati yang sangat mendalam. Jika orang Penan dianggap sebagai orang “modern” yang hidup di tempat yang tidak selazimnya, maka para pembaca di perkotaan akan beranggapan bahwa mereka semata-mata adalah orang yang bersahaja, tidak terdidik, terpinggirkan, dan kurang memperoleh kesempatan. Di sana ada semacam anggapan: para penghuni yang terisolir semacam itu adalah para mahkluk lain yang hampir punah. Dan menurut Tsing, anggapan semacam itu sebenarnya hanya menegaskan adanya kemiskinan imajinasi orang-orang kota yang berusaha keras menolak kemungkinan timbulnya perubahan dan perbedaan di dalam dunia modern.

Bagaimana tidak, dalam sebuah studinya mengenai orang-orang Dayak Meratus di Kalimantan, dia menemukan fakta lugas, bahwa hampir semua pemimpin (Dayak) Meratus meniru model-model asing mengenai kekuasaan untuk membangun pengetahuan mereka. Bahkan seseorang yang disebutnya sebagai Uma Adang, perempuan yang menjadi tetua Meratus, telah bergerak lebih jauh dalam proyek “peniruan” itu hingga ke tingkat harfiah: meniru kata-kata yang keluar dari mulut orang asing dan menggunakannya begitu saja dalam berbagai konteks pembicaraan, hingga yang kemudian nampak adalah kekacauan – Tsing menyebutnya seperti cermin retak yang dicoba tetap utuh dengan cara memperkuat bingkainya. Dengan sangat bagus dia kemudian mengungkapkan:

Dalam dunia kekuasaan yang telah menempuh sejarah panjang, masih mungkinkah memisahkan kebudayaan Meratus yang “asli” dari paparan kebudayaan asing?… Dapatkah seseorang berada di dalam dan di luar negara pada saat yang sama? Inilah dilema marjinalitas. Uma Adang memperkenalkan kepada saya paradoks ini: Masyarakat marjinal berada di luar negara tetapi mengikatkan diri mereka padanya; mereka mencerminkan negara secara lokal meskipun jauh terpencil darinya. Sebagai manusia yang “berbeda” kebudayaan, mereka tak pernah bisa menjadi warga negara; sebagai “manusia” yang berbeda kebudayaan, mereka tak pernah bisa melepaskan diri dari kewarganegaraan…Dan salah satu reaksi saya yang pertama terhadap kehidupan sosial Meratus adalah kebingungan mengenai apa yang saya saksikan sebagai kepatuhan yang bulat kepada kekuasaan negara. Masyarakat yang saya kaji benar-benar sadar bahwa program pemerintah membahayakan sumber daya mereka dan membiarkan hidup mereka sebagai “tidak beradab”. Lalu mengapa para pemimpin di desa ini begitu ingin agar peraturan pemerintah dijalankan? Uma Adang kemudian mengubah pandangan saya dengan memperkenalkan retorik kebijakan lokal dalam menghadapi semua kebijakan negara, apalagi hal-hal yang ekstrim tak diharapkan. Ia memperkenalkan perpaduan antara raja kuno dan presiden modern; ia melakukan sesajian yang dimaksudkan untuk mengatur ekonomi transnasional.[7]

Itulah barangkali parodi teatrikal masyarakat desa hutan yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ditemukan, di mana saja, kapan saja; mereka senantiasa dengan tangkas berhasil memadukan akomodasi dan resistensi; membatasi sekaligus memperluas jangkauan tangan-tangan kekuasaan negara. Bagi orang-orang seperti mereka, apa yang disebut sebagai pelaksanaan pemerintahan adalah kewajiban upacara saja; di antara upacara-upacara, masyarakat masih menuntut mobilitas dan kebebasan yang tidak seremonial. Mereka tak pernah meragukan pengetahuan resmi, bahkan pada saat-saat tertentu mereka membutuhkan retorik negara untuk membangun otoritas mereka dan menghimpun masyarakat. Mereka berupaya menyerap aturan negara, tetapi juga kadang-kadang tergelincir di jalan yang licin. Kendatipun demikian, satu hal yang pasti adalah, mereka tak pernah kenal lelah untuk mensiasati dan menyesuaikannya dengan pandangan dunia yang mereka miliki. Situasinya tidak seperti tuntutan para aktivis lingkungan yang mendambakan pelestarian hutan atas dasar citra murni suku-suku primitif yang cinta dan terikat pada alam; juga tidak sebagaimana pandangan para pengembang yang mengimpikan kemajuan melalui proyek-proyek pemukiman kembali dan ekploitasi sumber daya hutan yang berorientasi pada ekspor. Negosiasi dan akomodasi adalah unsur terpenting dalam hal pembentukan identitas masyarakat lokal, termasuk di dalamnya masyarakat desa hutan.

Maka citra murni masyarakat lokal – baik yang mengacu pada kearifan tradisional maupun kebodohan dan keterbelakangan – sepertinya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proyek konstruksi sosial kalangan masyarakat perkotaan. Proyek semacam itu bukan hanya dipaksakan oleh penguasa kolonial pada zamannya, akan tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari proyek modernitas Indonesia pasca kolonial. Sebagaimana yang dituturkan Tsing, citra tentang “orang asing” yang tradisional kerap kali diciptakan oleh para idealis dan kalangan yang berpandangan romantis di perkotaan – baik orang Indonesia maupun orang asing – yang berusaha mencari masyarakat tradisional untuk menjadi tautan iman mereka.[8] Semua citra itu kemudian menjadi semakin kuat ketika kesan orang kota terhadap daerah pedalaman diterjemahkan menjadi agenda kepariwisataan.

Kalau kita mengacu pada pendapat Tania Li, dalam kasus daerah pedalaman di Indonesia, ternyata perhatian yang lebih mutakhir terhadap sejarah regional mampu mengungkapkan bahwa interaksi yang berlangsung berabad-abad dengan dataran rendah, dan dengan program-program pemerintah, serta dengan pasaran nasional dan internasional, sangat penting artinya dalam hal pembentukan – termasuk di dalamnya pembentukan ulang – kebudayaan bagi praktik-praktik kehidupan yang akan menopang identitas mereka sebagai “masyarakat”. Tradisi yang unik, dengan demikian, merupakan hasil perubahan, bukan antitesisnya. Selain itu, perubahan juga bukan suatu kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang sering disebut sebagai masyarakat “tradisional”. Mereka tidak berada dalam situasi kebingungan ketika harus berurusan dengan dikotomi-dikotomi seperti masyarakat lokal dan pemerintah, subsistensi dan pasar, masa lalu dan masa depan. Perubahan juga tidak mereka bebankan secara sepihak sebagai akibat dari penetrasi-penetrasi pihak luar, sebagaimana yang diyakini oleh para penganut “mitos dampak”. Sebaliknya, perubahan merupakan akibat dari keterlibatan kreatif dalam suatu interaksi budaya.

Ironisnya, wacana tentang pembangunan – sebagaimana yang sering diusung pemerintah –, dan anti pembangunan – biasanya diusung oleh kalangan aktivis – sama-sama mengandalkan citra masyarakat lokal yang terlalu disederhanakan untuk memajukan agenda yang sama sekali bertentangan. Saya sudah menunjukkan pada bagian terdahulu, bahwa para aktivis lingkungan umumnya mengajukan proposal tentang konservasi hutan atas dasar citra masyarakat lokal yang murni. Dan pada saat yang sama citra yang demikian ini juga digunakan oleh para pengembang untuk membuktikan pentingnya kemajuan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan. Misalnya saja, sekelompok pembela lingkungan di Indonesia beranggapan bahwa tanah dianggap sebagai milik umum dari komunitas, hak atas tanah tak bisa dicabut, orang tidak memiliki tanah tempat mereka tinggal dan bekerja, tanah adalah milik Tuhan; dengan demikian, penghormatan terhadap tanah dan sumber dayanya dijaga demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu di sisi lain, kita juga membaca laporan tentang penciutan wilayah pemukiman oleh badan usaha kehutanan, program transmigrasi, proyek pemukiman kembali, pembangunan perkebunan, dan berbagai skema pembangunan lainnya; demi mencapai tingkat kemajuan yang diinginkan oleh para pengambil kebijakan di perkotaan. Dari sini kita seperti menangkap kesan: seolah-olah “tradisi” – tidak ditempatkan menurut ruang, waktu dan konteks – yang tetap ada di tengah masyarakat “asli” Indonesia, siap untuk dihidupkan kembali oleh kalangan LSM yang mendukung kehutanan masyarakat di bawah kontrol lembaga tradisional; dan juga siap ditangani oleh pemerintah yang merasa lebih memahami arah kemajuan dari suatu komunitas masyarakat lokal. Ada semacam efek bayangan yang muncul: peladang bijak/ peladang perusak, tradisi yang bernilai/ tradisi yang ketinggalan.

Sebagai penutup bagian ini, saya kira akan menarik kalau kita menengok kembali catatan Tania Li mengenai sosok masyarakat lokal yang umumnya hanya dibayangkan, untuk tidak mengatakan disederhanakan.

Penyederhanaan yang nampak dalam pustaka para praktisi (termasuk di dalamnya para aktivis) sebagian terjadi melalui penggabungan kategori. Daerah pedalaman disamakan dengan hutan, sedangkan lahan pertanian diabaikan, khususnya lahan pertanian komersial dan perkebunan. Penduduk daerah pedalaman disamakan dengan penduduk asli, suku, penduduk tradisional, penduduk yang hidupnya mengandalkan hutan atau penggarap lahan berpindah, dengan mengingkari bahwa ada keragaman yang demikian luas dari kelompok etnis dan kelas-kelas sosial yang tinggal di pedalaman, serta aliansi dan identitas yang terbentuk di tempat-tempat itu. Citra yang paling mendalam dari masyarakat pedalaman adalah bahwa mereka adalah korban, yang berjuang menghadapi kekuatan dari luar (kapitalisme, perkebunan skala besar, konsesi, rencana pembangunan pemerintah) untuk mempertahankan sesuatu yang kuno, tetapi hampir tidak terlibat dalam penciptaan sesuatu yang baru.[9]

C. Wonomukti: Dari Bujuk Rayu Hingga Tipu Daya Kaum Dagang

Kini kita sampai pada bagian di mana saya akan berusaha menunjukkan bahwa apa yang dinamakan sebagai citra murni masyarakat lokal hanyalah bayang-bayang yang dihadirkan, untuk tidak mengatakan mitos. Saya akan menggambarkan apa yang terjadi di Wonomukti (bukan nama sesungguhnya), sebuah desa hutan di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil studi yang pernah saya lakukan di sana, Wonomukti, saya kira, bukanlah sebuah desa homogen, yang seluruh masyarakatnya berada dalam kesamaan pandangan, dan berpegang teguh pada basis-basis moral ekonomi, sebagaimana orang sering membayangkan sebuah prototipe desa tradisional-agraris di masa lalu. Pertumbuhan penduduk dan penetrasi kapitalisme yang sudah dimulai sejak pemerintah kolonial, dan terus berlangsung sampai saat ini, bahkan semakin gencar dan kuat, menghadirkan hal-hal baru di hampir semua aspek kehidupan masyarakat di sana. Pembagian antara orang kaya dan miskin semakin jelas, jarak terhadap basis-basis material semakin nyata, ikatan moral-tradisional mulai bergeser, referensi sosial meluas, orientasi ekonomi tidak selalu sama, tuntutan-tuntutan yang beragam, pandangan terhadap penyelenggaraan kehutanan yang berbeda-beda, dan berbagai keragaman lainnya, mencerminkan suatu bangunan sosial yang centang-perentang, sekilas menyerupai susunan kelas, tapi tidak sepenuhnya sama.

Pendeknya desa bukan lagi berfungsi sebagai ruang sosial yang tertutup, mutlak menjadi “rumah” bagi orang-orang dalam, dan hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat setempat. Parameter-parameter, nilai-nilai, dan pilihan-pilihan, tidak lagi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lokal, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa lalu, hingga kita bisa dengan mudah menyusun ketegorisasinya. Batasan terhadap desa dan kota, yang dahulu terasa begitu tegas dan lugas, kini semakin terasa menipis; antara Waryono yang tinggal di Wonomukti dengan Wikan yang tinggal di Blora, tidak lagi terjadi perbedaan prinsip dalam hal menentukan prioritas dan ukuran-ukuran bagi masa depan. Antara Karno yang miskin dengan Kamsilam yang kaya, juga tidak lagi mengalami perbedaan dalam hal orientasi ekonomi; mereka sama-sama mengacu pada surplus, pasar, dan uang. Kesaksian informan Hefner, salah seorang warga kampung dataran tinggi (pegununungan) di Jawa, berikut ini terasa sangat tepat.

Zaman sekarang tidak seperti dulu. Dahulu, orang-orang di sini berbeda dengan orang-orang di dataran rendah. Mereka tidak tertarik untuk mengenakan pakaian bagus yang menarik perhatian, atau makan makanan tertentu seperti yang anda lihat sekarang. Sekalipun ada orang yang kekurangan dan kelebihan, akan tetapi (orientasi) pakaian dan makanan mereka sama saja.[10]

Agaknya, perubahan orientasi ekonomi adalah sebagaimana yang dikatakan Hefner, mengacu tidak hanya pada proses material, akan tetapi juga moral; dampaknya tidak hanya bisa ditangkap dari fakta lugas berupa pendapatan dan cara produksi, akan tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Penetrasi kapitalisme telah menggerogoti nilai-nilai lama, melawan hierarki sosial, bahkan dalam hal-hal tertentu, terlibat dalam proses pengorganisasian aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang paling mendalam. Masyarakat lokal dengan struktur kebutuhan yang stabil, pada akhirnya harus bernegosiasi dengan dunia di mana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Mereka yang di kota ataupun di desa, yang kaya ataupun miskin, sama-sama berusaha keras, mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya, berlomba mencapai surplus, dalam sebuah arena ekonomi pasar.

Di sana-sini terjadi redefinisi, reorganisasi, dan reorientasi, terhadap berbagai tindakan, tidak hanya yang terkait dengan aspek produksi, tapi juga konsumsi, dan nilai-nilai yang sering diasosiasikan dengan kebudayaan. Dorongan untuk menjadi bagian dari masyarakat modern menjadi semakin kuat, mengalahkan abstraksi-abstraksi apapun yang dulu pernah menjadi simbul orientasi masyarakat pedesaan. Kecenderungan-kecenderungan baru yang lebih bernuansa mekanis dan rasional, disadari ataupun tidak, kini tengah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan masyarakat pedesaan; ini bukan hanya terjadi pada kalangan orang kaya, sebagaimana yang digambarkan Scott di Sedaka, akan tetapi juga pada orang-orang miskin, kendatipun tidak semuanya.

Semua itu mengaburkan batas-batas kelompok yang ada di dalam, yang selama ini, menurut Hefner, menjadi penanda penting bagi identitas lokal. Dan sebagaimana yang diungkapkan Merton, bahwa ketika kontrol sosial semakin melemah – akibat dari batas-batas yang mencair –, dan mobilitas masyarakat semakin meningkat, maka anggota dari berbagai tingkatan seperti mempertentangkan situasinya dengan situasi lain (orang luar), yang kemudian diikuti dengan penyesuaian-penyesuaian.[11] Parameter-parameter untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai, tidak lagi semata-mata berasal dari komunitas orang dalam, melainkan dari mana saja, termasuk komunitas-komunitas yang ada di luarnya. Kita bisa menangkap kesan semacam itu dari pilihan-pilihan ekonomi yang tiba-tiba nampak problematis, tidak lagi bisa dikendalikan oleh otoritas-otoritas lokal. Desa, dengan demikian, bukan lagi sebagai ruang yang berdiri sendiri, yang mutlak dikendalikan oleh komunitas orang dalam, akan tetapi ditarik ke sana-kemari oleh kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarnya, sesuai dengan kepentingan-kepentingannya.

Singkatnya, hal ini merupakan dilema budaya pada inti pembangunan di banyak negara di dunia ketiga. Bahkan di mana produksi, kepemilikan dan kelas belum terpengaruh, perubahan yang lebih luas pada konsumsi, komunikasi dan pemerintah harus dihadapi oleh cara-cara lokal... Perubahan dalam aspirasi kelompok dapat berjalan bersamaan dengan perubahan dalam produksi. Tetapi dalam banyak contoh mereka mendahului, dirangsang oleh pengembangan media, sekolah, pemerintahan dan gaya hidup. Sebaliknya untuk menyatakan dan menuntut prioritas infra struktur produktif seringkali tidak diperhatikan oleh kekuatan pemerintah.[12]

Dalam suasana seperti itulah kita menghadapi Wonomukti. Perubahan-perubahan dan pergeseran-pergeseran terjadi sedemikian rupa hingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi baru dalam segenap segi kehidupan, termasuk bagaimana mereka melakukan redefinisi terhadap tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan apa yang oleh Scott disebut sebagai bentuk perlawanan sehari-hari – perlawanan yang menyatu dengan perilaku keseharian masyarakat. Orang-orang, meskipun tidak semuanya, mulai meninggalkan model-model ekonomi lahan (tumpangsari), yang dahulu pernah menjadi penopang utama kehidupan masyarakat desa hutan; dan sebaliknya lebih tertarik pada model-model ekonomi kayu (pencurian dan atau bisnis kayu lainnya, subal ataupun tidak), dengan alasan jauh lebih menguntungkan dan prospektif. Pencurian kayu yang semula menjadi bagian dari aksi kecil-kecilan masyarakat setempat, yang mekanismenya hampir menyerupai perbanditan sosial, sedikit demi sedikit bergeser: melibatkan tidak hanya masyarakat lokal, ditopang tidak hanya oleh orang-orang miskin, memiliki struktur kerja yang sistematis dan berskala industri.

Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa orang mencuri kayu semata-mata demi menyelamatkan hari ini, esok ataupun lusa. Kita juga tidak bisa lagi memandang aksi-aksi pencurian kayu di Wonomukti berada dalam jarak yang sama dengan aksi-aksi pencurian padi di sebuah gudang milik orang kaya di Sedaka – kampung penelitian Scott di Malaysia –, baik dalam hal orientasi, pelaku, maupun mekanismenya. Bentuk-bentuk pencurian seperti yang terjadi di Wonomukti, tidak lagi dikendalikan oleh otoritas-otoritas setempat, melainkan sudah berada dalam lingkaran kekuatan yang bersumber dari mana-mana. Bentuk pencurian semacam itu juga mencerminkan adanya aspirasi baru dalam hal produksi, melampaui cara-cara produksi lama yang cenderung mengacu pada komoditas kecil-kecilan. Pendeknya, bentuk-bentuk pencurian kayu di Wonomukti, dipandang dari aspek apapun, sudah bukan lagi berupa aksi kecil-kecilan, yang sporadis, mosaik dan satiris. Aksi-aksi itu, sekilas, menyerupai jaringan usaha dagang yang sedang berupaya keras menandingi usaha dagang lain yang direstui negara.

Di sini kita berhadapan dengan aspirasi baru perlawanan sehari-hari, salah satu konsekuensi yang harus diterima dari perubahan dan pergeseran, sebagaimana yang sudah digambarkan di muka. Tentu saja aspirasi itu muncul ke permukaan bukan semata-mata karena adanya reorientasi cara berekonomi masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, setidaknya dari catatan Hefner, perubahan dan pergeseran pada segenap sendi kehidupan masyarakat pedesaan, tidak bisa disederhanakan hanya dengan mempertentangkan dua aspek ekonomi: moral dan rasional. Ada aspek-aspek lain, kekuatan-kekuatan tertentu yang terkadang tidak secara langsung muncul ke permukaan, tetapi memberikan andil besar bagi perubahan dan pergeseran itu. Misalnya saja, kita tidak bisa mengatakan masuknya mesin pemanen padi di Sedaka semata-mata hanya karena pertimbangan rasional para petani kaya setempat. Sudah barang tentu, pertimbangan semacam itu pasti ada, tapi gencarnya promosi mekanisasi pertanian oleh pihak pemerintah juga tak bisa dikesampingkan begitu saja. Ketika masyarakat pegunungan Tengger di Jawa mulai senang mengumpulkan uang untuk membeli TV dan perangkat stereo, kita bisa mengatakan bahwa mereka sedang memasuki peradaban modern yang rasional, tapi kita juga tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa mereka terayu oleh promosi iklan di berbagai media.

Maka, terhadap fenomena aspirasi baru perlawanan sehari-hari, yang di Wonomukti tercermin kuat dalam berbagai bentuk aksi pencurian kayu, kitapun tidak bisa menyederhanakan bahwa itu terjadi semata-mata karena proses rasionalisasi individu-individu. Sebagaimana dua contoh di atas, proses rasionalisasi itu bukannya tidak ada; proses itu ada dan nyata, setidaknya kita bisa menyimak kembali penuturan Pardi, salah seorang penjual jasa pencurian kayu di Wonomukti, yang dengan lugas menyatakan bahwa apa yang dikerjakannya terutama karena didorong impian-impian kesejahteraan, yang hampir semua parameternya mengacu pada term-term kehidupan modern: sepeda motor, TV, mobil, menyekolahkan anak hingga universitas dan lain sebagainya. Akan tetapi apakah hanya sebatas itu yang mendorong Pardi menjual jasa pencurian kayu? Saya kira tidak, bagaimanapun kita tak bisa menutup mata, bahwa ada banyak kekuatan-kekuatan lain, yang boleh jadi berada di luar jangkauan Pardi, yang secara sistematis ikut merangsang, mengarahkan, bahkan dalam hal-hal tertentu melembagakan pekerjaan-pekerjaan seperti yang dilakukan Pardi. Kekuatan pasar dan para pemilik modal hanyalah satu contoh.

Tak bisa dipungkiri lagi, pada akhirnya ada banyak sumber kekuatan bagi aspirasi baru pencurian kayu di Wonomukti, yang tidak semata-mata bersifat lokal, tapi juga tidak mutlak berasal dari luar; yang tidak semata-mata bersifat personal, tapi juga belum tentu berupa kekuatan sosial. Kendatipun demikian, dari sekian banyak sumber itu, baik yang berada di tingkat lokal maupun di luarnya, baik yang berasal dari kekuatan-kekuatan personal maupun sosial, semuanya bermuara pada satu kekuatan, yakni kapitalisme. Tentu saja dalam hal ini kita tak bisa memisahkannya secara tegas dari kekuatan birokrasi negara, karena bagaimanapun – untuk yang kesekian kali saya harus mengutip Hefner –, kekuatan kapitalisme justru terletak pada kuat tidaknya dukungan birokrasi negara. Jasa pencurian Pardi, juga jasa transportasi Argobromo (lembaga penjual jasa angkutan kayu gelap), saya kira tak akan laku keras, tanpa adanya promosi industrialisasi kehutanan yang begitu gencar oleh negara.

Sumber-sumber kekuatan itu saling mengait, tak mudah memisahkannya, pun tak gampang mengukurnya: sumber kekuatan mana yang paling banyak memberikan sumbangan. Menganggap rasionalisasi sebagai sesuatu yang tak berarti dalam proses perubahan orientasi masyarakat, akan sama kelirunya dengan meletakkan rasionalisasi sebagai satu-satunya faktor penentu perubahan. Atas dasar pertimbangan itu, asalkan kita cukup berhati-hati, apa yang disebut sebagai aspirasi baru, bisa saja kita letakkan ke dalam kerangka proses rasionalisasi, dengan catatan kita tidak memutlakkannya sebagai hasil dari tindakan individu-individu. Pengertian rasionalisasi di sini mengacu pada tindakan apa saja, siapa saja, di mana saja, yang secara keseluruhan mendorong terjadinya perluasan referensi sosial. Maka wajar saja kalau kita mengatakan Kelompok Siwo, juga Argo Bromo, adalah konsekuensi yang harus diterima dari proses rasionalisasi pencurian kayu kecil-kecilan yang dulu sering terjadi di Wonomukti.

Realitas demikian menyanggah pandangan Scott selama ini, yang sepertinya tidak melihat konsekuensi lain dari aksi kecil-kecilan, selain pecahnya aksi-aksi terbuka yang revolusioner – meski dia juga segera menambahkan, bahwa peluang itu sangat tipis. Saya bukannya tidak setuju dengan pandangan ini; aksi-aksi radikal masyarakat desa hutan bisa saja terjadi, jika dan hanya jika, tersedia suatu kondisi yang memungkinkan, setidaknya seperti yang digambarkan Sartono berikut ini. Pertama, terdapat suatu tradisi untuk memberontak. Kedua, di daerah tersebut terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung terus menerus, yang bersumber pada keadaan di mana satu lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan hak-haknya. Ketiga, dampak penetrasi dominasi penguasa secara berangsur-angsur mengacaukan sendi-sendi kehidupan. Keempat, ada satu pimpinan revolusioner yang memberikan landasan rasional kepada perlawanan itu. Kelima, adanya kelembagaan yang memiliki kapasitas. Dan kalau kita setuju dengan pendapat Sartono, agaknya peluang itu memang sangat tipis, bahkan hampir tak ada sama sekali. Tapi tidak lantas kita bisa mengatakan bahwa aksi kecil-kecilan hanya berhenti sampai di situ, terinvolusi sedemikian rupa, hingga tertutup kemungkinan munculnya bentuk-bentuk aksi baru.

Ketika kita berbicara aksi kecil-kecilan, yang premis utamanya adalah bentuk perlawanan yang menyatu dengan segenap tingkah laku ekonomi keseharian, ketika itu pula kita harus membuka peluang bagi munculnya aspirasi baru, mengingat watak produksi dan konsumsi yang terus berubah – di muka kita telah melihat konsekuensi dari perubahan-perubahan semacam itu. Bisa saja pada suatu kurun, apa yang dinamakan sebagai aksi kecil-kecilan, atau perlawanan sehari-hari, dianggap efektif untuk mengatasi basis material penopang kehidupan, tapi tak ada jaminan pasti, pada kurun yang lain, hal semacam itu masih dianggap relevan, apalagi ketika telah terjadi perluasan referensi sosial. Maka tidak heran kalau perlawanan sehari-hari yang pada awalnya mengemban spirit moral, pada tahap selanjutnya memuat semangat pasar. Aksi yang semula sporadis dan berupa mosaik tindakan sembrono, tidak menutup kemungkinan menjadi terorganisir dan sistematis. Aksi yang kemarin beromset kecil, kini menjadi besar. Aksi yang dulu hanya melibatkan orang-orang kampung, sekarang mengikutsertakan mereka-mereka yang ada di kota. Di sini memang tak ada wajah angker revolusioner, yang ada hanya bujuk rayu, keuletan, kelihaian, yang secara keseluruhan mengesankan hadirnya perilaku para pedagang. Barangkali inilah wajah baru perlawanan sehari-hari masyarakat, yang tidak hanya bisa kita ketemukan di Wonomukti, tapi juga di tempat-tempat yang sudah disebutkan di muka: Meratus, Pilipina Selatan dan Penan.

D. Penutup: Masa Depan yang Dibayangkan

Pada akhirnya kita memang sulit mengelak dari keniscayaan: perubahan politik dan ekonomi – di mana masyarakat lokal ikut serta di dalamnya, baik dalam konteks negosiasi maupun resistensi –, membawa konsekuensi pada pergeseran pemahaman akan komunitas dan identitas baru, keinginan dan aspirasi baru, serta gambaran-gambaran baru perihal masa yang akan datang. Kendatipun demikian apa yang dinamakan sebagai gambaran-gambaran baru itu tidak serta-merta bisa kita tangkap, karena pada umumnya teks publik tentang masyarakat selalu berubah lebih lambat ketimbang praktik-praktik dan relasi-relasi yang melandasinya. Atau kalau meminjam istilah Geertz, kita bisa mengatakan sekali lagi: bahwa yang tersedia hanyalah penjelasan-penjelasan telat, mengingat fakta yang kita hadapi adalah “awan terhimpun, awan membuyar” – sesuatu yang senantiasa berubah.

Kita tak bisa mengatakan bahwa orang-orang Sedaka yang diteliti Scott, orang-orang Tasaday yang dipelihara Elizade, orang-orang Penan yang dilindungi Mansur, orang-orang Meratus yang digambarkan Tsing, dan tentu saja orang-orang Wonomukti yang saya ceritakan, akan selalu demikian adanya, seolah-olah membatu, mempertahankan segenap nilai dan identitas, dalam rangka menghadapi sosok negara dan pasar. Paling tidak melalui tulisan singkat ini saya telah berusaha menampilkan segenap argumentasi bahwa mereka sama dengan kita: terlibat secara kreatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dan mensikapi perubahan-perubahan yang muncul silih-berganti. Mereka yang dahulu mengandalkan lahan sebagai mata pencaharian, sekarang memandang kayu lebih menguntungkan. Mereka yang dahulu memandang kayu sebagai tumpuan harapan sekarang beralih menjadi tengkulak produk pertanian, bahkan tidak sedikit yang beruntung bisa menjadi anggota dewan. Mereka yang dahulu menggantungkan hidup dari hutan kini lebih memilih mencari kerja di perkotaan. Demikian seterusnya, perubahan-perubahan itu telah menjadi semacam arus yang agaknya tak mungkin untuk dibendung. Pada saat-saat tertentu mereka mungkin akan kembali lagi pada domain lamanya, tapi pada saat yang lain juga akan berubah lagi, persis seperti aliran arus sungai yang berpilin-pilin, menggerus tebing yang menyangganya tanpa ada pola yang pasti.

Lantas dengan cara bagaimana kita harus menjelaskan masyarakat lokal, pengetahuan lokal, dan identitas lokal? Pertanyaan inilah yang barangkali di masa yang akan datang membutuhkan jawaban-jawaban kritis. Bukan jawaban-jawaban yang hanya mengacu pada efek cermin terbalik, untuk tidak mengatakan hanya menampilkan bayangan-bayangan: peladang bijak/ peladang perusak, suku yang tak berpendidikan/ suku yang memegang rahasia hutan, tradisi terbelakang/ tradisi bernilai. Model-model jawaban seperti ini, sadar ataupun tidak, hanya akan semakin menegaskan bahwa mereka yang sering disebut sebagai masyarakat lokal, dengan segenap pengetahuan lokal dan identitas lokalnya, tak lebih dari “orang lain” yang sama sekali tak memiliki sumbangan terhadap proses perubahan. Mereka adalah “orang aneh” yang seolah-olah berbeda dengan kita. Dan ujung-ujungnya, mereka kita posisikan sebagai obyek wisata budaya.***

Pustaka

Clark, G., 1988. Traders Versus The State: Anthropological Approaches to Unofficial Economics, (Westview Press: Boulder, London)

Tsing, A.L., 1998, Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat Terasing, (Terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Scott, J.C., 2000, Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk Perlawanan sehari-hari Kaum Tani, Terj. A.Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar, Yayasan Obor, Jakarta.

--------------, 1993, Perlawanan Kaum Tani, Terj. Budi Kusworo, Hira Jamtani, Mochtar Probotinggi, Gunawan Wiradi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesaia, Jakarta

--------------, 1998, Seeing Like State, New Heaven: Yale University Press.

Indonesia, Jakarta.

Geertz, C., 1998, After The Fact: Dua negeri, Empat Dasa Warsa, Satu Antropologi, LKIS, Yogyakarta.

-------------, 1963, Agricultural Involution, Berkeley: University of California Press.

Henry, L., 1971. Everyday Live in The Modern World. London: Allen Lane, The Penguin Press.

Hefner, R.W., 1999, Geger Tengger: Perubahan sosial dan Perkelahian Politik, Terj. A. Wisnu Wardana, Imam Ahmad, Yogyakarta.

Kartodirdjo, S., 1984, Pemberontakan Petani Banten, Terj. Hasan Basri, Bur Rasuanto. Pustaka Jaya, Jakarta

Merton, R.K., 1968, Social Theory and Social Structure, New York: Free Press.

Li, T.M., 2002, ProsesTransformasi Daerah Pedalaman di Indonesia (Terjemahan Sumitro, S.N. Kartikasari), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Peluso, N.L., 1992, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java, University of California Press, Barkeley, Los Angles, Oxford.

Popkin, S. L. 1986, Petani Rasional, Yayasan Padamu Negeri, Jakarta.

Redfield, R., 1960, The Little Community and Peasant Society and Culture, Chicago.

Santoso, H., 2004, Perlawanan Di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, Yayasan Damar, Yogyakarta

Taylor, L., 2000. Between Resistance and Collaboration: Popular Protest in Northern France, 1949-1945, (Macmillan Press: Great Britain)

[1] Penulis adalah pekerja pada KPPHJ-JAVLEC (Java Learning Center).

[2] Nancy Lee Peluso, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java (Berkeley, Long Angels, Oxford, 1993).

[3] James C Scott, Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani, Terj. A. Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000). Hlm. 47.

[4] Clifford Geertz, After The Fact: Dua Negeri, Empat Dasa Warsa, Satu Antropologi (LKIS, Yogyakarta, 1998)

[5] Dalam ilustrasi orang-orang kehutanan, dan itu nampak pada peta-peta yang mereka gunakan, apa yang dinamakan desa hutan adalah hunian sosial yang di dalamnya tidak terdapat kawasan hutan (negara). Kendatipun secara administratif suatu desa mungkin memangku hutan, artinya di dalam wilayah desa itu terdapat kawasan hutan, akan tetapi di mata orang-orang kehutanan, desa tidak berdaulat atas hutan-hutan yang ada di pangkuanya. Akibatnya hampir sebagian desa hutan hanya berdaulat atas wilayah-wilayah yang sempit, bahkan dalam beberapa kasus wilayah itu sangat sempit.

[6] Periksa Anna Lowenhaupt Tsing, Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat Terasing, (Terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1998, hal. ix-xii

[7] Anna Lowenhaupt Tsing, loc.cit. hal 36

[8] Anna Lowenhaupt Tsing, dalam Tania Murray Li, ProsesTransformasi Daerah Pedalaman di Indonesia (Terjemahan Sumitro, S.N. Kartikasari), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2002. hal. 19

[9] Tania Murray Li. ibid. hal 33.

[10] Ungkapan seorang petani Tosari, dikutip dari Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan sosial dan Perkelahian Politik, Terj. A. Wisnu Wardana, Imam Ahmad, (LKIS,Yogyakarta1999) hlm.1.

[11] Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure, (New York: Free Press, 1968). hlm. 321.

[12] Robert W. Hefner, loc.cit. hlm. 402-403

Tidak ada komentar: