Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Masa Lalu Bali

Kompas Sabtu, 15 Oktober 2005

Masa Lalu dan Tantangan Masa Depan Bali

Iskandar P Nugraha

Menjelang peringatan tiga tahun tragedi bom Bali, di tengah-tengah upaya giat meski tertatih-tatih membangun keterpurukan dunia pariwisata Bali yang belum lagi pulih sebagai dampak langsung bom tersebut, kita dikejutkan lagi oleh terjadinya bom Bali kedua yang mematikan baru-baru ini. Bagi sebagian pengamat, peristiwa tersebut diprediksikan akan membuat kondisi pariwisata yang adalah tulang punggung utama kehidupan perekonomian masyarakat Bali makin terpukul.

Lebih jauh lagi, peristiwa ini dikhawatirkan makin menyematkan bahkan mematrikan imaji-imaji kekerasan sebagai bagian dominan dari episode sejarah kontemporer di Bali. Dengan demikian, tampaknya harapan memunculkan kembali buku Willard Hanna sebagai upaya melawan imaji kekerasan yang lebih menyerobot perhatian dunia terhadap Bali sejak bom Kuta tersebut tampaknya sulit untuk memenuhi sasaran utamanya. Buku yang pertama kali terbit tahun 1976 dengan judul Bali Profile: people, events, circumstances 1001-1976 memang sarat akan refleksi imaji eksotisme dan romantisme Bali yang menjadi daya tarik pesonanya pada era pra 1970-an.

Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa imaji Bali yang khusus, unik, dan telah hidup di Bali berpuluh-puluh tahun lamanya itu adalah aset penting Bali yang besar perannya bagi kehidupan masyarakatnya. Namun kini, upaya untuk merestorasi Bali dalam konteks sosial-masyarakat yang lebih luas adalah terlalu naif bila melulu hanya bersandarkan pada fokus pengembalian citra Bali seperti era 1970-an itu. Usaha pemulihan Bali yang berkelanjutan, yang didasarkan pada pijakan kekuatan nyata sejarah, budaya dan orang Bali merupakan jawaban mendesak yang patut direnungkan pihak-pihak yang berkeinginan mencari formulasi terbaik bagi masa depan Bali.

Atas alasan tersebut tidaklah buku Hanna yang dianggap klasik ini masih signifikan kehadirannya. Penyertaan diskusi panjang lebarnya mengenai aktor-aktor dalam pariwisata (hal 156-210), misalnya, akan selalu bermanfaat. Kelengkapan detail deskriptif-naratif yang diperkaya data statistik dan informasi sosial lewat proyeksi kepariwisataan tak pelak merupakan bagian dari sejarah perkembangan pariwisata Bali yang perlu ditelaah sebagai landasan penelitian yang lebih luas, yakni konteks sejarah sosial-budaya Bali.

Walau begitu, agar dapat mendeteksi tempatnya dalam ruang contemporary past (masa lalu kontemporer) Bali tersebut, buku ini mestinya dinilai bersama-sama dengan karya sejarah Bali lain yang lebih anyar. Tulisan Robert Pringle, A Short of History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm (2004) agaknya pilihan tepat bagi perbandingan tersebut. Meski disusun dengan pemahaman, konteks, dan era yang berlainan, kedua buku itu sama-sama ditulis pengamat Amerika dan sama-sama memilih untuk menyuarakan kekhawatiran akan perkembangan yang terjadi di Bali.

Sebagaimana telah diwanti-wanti spesialis Bali Prof Adrian Vicker dalam pengantar buku Hanna (hal 15-21), karya yang meng-cover sejarah Bali yang direntang sejak sebelum abad ke-18 hingga 1970-an harus dipahami dalam konteks Indonesia sampai awal Orde Baru saja. Sedangkan buku Pringle itu sendiri, walaupun juga mengetengahkan sejarah panjang Bali dimulai sejak Bali Zaman Perunggu, meletakkan sejarah Bali dari perspektif terjadinya bom Kuta Bali tahun 2002. Dengan menghadirkan 2 buku bersubyek budaya dan masyarakat Bali yang pembahasannya ditarik mundur ke belakang, suatu pemahaman sejarah Bali yang penuh nuansa, mendalam dan holistik kiranya sungguh akan sangat menjanjikan.

Terbagi atas 16 bab bahasan, pelbagai pandangan tertulis mengenai Bali, termasuk perihal tokoh-tokoh penting yang hidup dan berkiprah di Bali hingga masa awal Orde Baru direkonsiliasi Hanna dalam bukunya secara gamblang. Meskipun tidak dilengkapi catatan-catatan kaki, bahasan tentang dilema Bali, diskusi mengenai Dewa Agung dan raja-raja Bali sebelum abad ke-18, pengaruh kuat Westernisasi termasuk juga prinsip-prinsip kebalian orang Bali secara lengkap dibeberkan penulisnya dengan sangat runtut. Pada bagian lain, penulis juga menekankan pentingnya kerajaan Gianyar serta penglihatan maupun rekaman pandangan pro-kontra orang Bali terhadap Soekarno. Ini jelas suatu potret rekaman menarik bagi sejarawan pemerhati Bali.

Pelbagai episode sejarah Bali yang tercipta tiga dasawarsa kemudian, di mana terdapat situasi Bali masa Orde Baru, Reformasi, termasuk Bali pasca bom Kuta 2002, tentu saja ada di luar jangkauan buku Hanna. Di sinilah peran utama kehadiran buku Pringle yang terdiri atas 11 bab itu. Muncul menyeruak tidak saja melengkapi, ia juga meng-”update” isu-isu kontemporer Bali yang bagi kita terdengar lebih relevan bagi kekinian masalah Bali.

Bila Hanna menuduh praktik pariwisata sebagai biang keladi munculnya dampak negatif kelestarian budaya Bali (hal 7), Pringle justru menganggap bahwa ancaman dari dan ketakutan akan praktik pariwisata yang dikaitkan dengan aspek negatif budaya di Bali sebagai pandangan yang sungguh tak berdasar. Sebagaimana juga sudah ditunjukkan pendahulunya, Michel Picard dalam Cultural tourism and touristic culture (1996), aspek pariwisata Bali justru telah memberikan identitas budaya yang khusus, unik, dan penting, utamanya memunculkan renesans bagi budaya Bali. Pentingnya pariwisata bagi Bali tidak berhenti di situ saja. Kebanyakan ahli Bali lain juga sepakat bahwa pariwisata telah menempatkan posisi Bali dan orang Bali menjadi demikian penting dalam kancah percaturan kehidupan politik nasional. Keberhasilan strategi pariwisata di Bali itulah sumbangan yang bisa diteladani daerah-daerah lainnya di Indonesia yang masih berkutat mencari sumber-sumber perbaikan ekonomi bagi masyarakatnya.

Bagi Pringle, isu utama dampak pariwisata Bali bukanlah terletak pada budaya, namun lebih pada sudut ekologi dan lingkungan. Diidentifikasikannya dengan jelas dilema yang dihadapi Bali dalam upaya menggunakan kekayaan dan potensinya secara berkelanjutan. Dengan meyakinkan ditunjukkan bahwa miskinnya kesadaran pengelolaan kedua aspek tersebut sebenarnya telah memengaruhi kualitas kehidupan orang Bali di luar faktor-faktor eksternal lainnya. Ini adalah suatu dampak serius di masa mendatang yang secara tak langsung menentukan arah sejarah masyarakat Bali itu sendiri.

Bom Kuta yang memilukan terjadi Oktober 2002, menghantam tanpa ampun Bali dan dunia wisatanya. Sejarah modern Bali memperlihatkan bahwa tanpa terjadinya tragedi itu sekalipun, dampak pariwisata telah makin bermuara pada munculnya ekses-ekses lain yang bukannya menaikkan taraf kehidupan namun justru memengaruhi kualitas kehidupan sosial dan lingkungan hidup Bali. Dengan ketahanannya dan kreativitasnya yang luar biasa tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya, Pringle optimistis bahwa Bali akan selalu bisa bangkit dengan catatan, bila kesadaran sejarah dan budaya orang Bali sebagai bagian dari asetnya itu masih tetap dipelihara.

Pemikiran yang dilandasi oleh keprihatinan atas bom Kuta, Bali, tiga tahun lalu tentu saja bagian paling berharga dari diskusi Pringle dan menjadi renungan paling relevan bagi Bali pascabom kedua. Diskusi tersebut diungkapkan dengan jelas dan gamblang di bab 10 Bali Abad 21: Tantangan Baru Termasuk Terorisme, serta bab akhir Beberapa Pemikiran Penutup (hal 227-230).

Cara pandang yang ditawarkan Pringle dalam bukunya jelas akan membuat argumentasi Hanna menjadi tampak usang. Namun begitu, sesungguhnya buku Hanna juga masih relevan untuk beberapa alasan. Ketika terbit adalah sumber klasik berbahasa Inggris satu-satunya pengungkap masa lalu Bali yang panjang dengan penuh detail dan nuansa. Mungkin tidak ada satu pun terbitan mengenai Bali sesudah itu yang alpa merujuknya. Dua antropolog ternama, Clifford Geertz dan James A Boom, memanfaatkan informasi dan pandangan-pandangan Hanna bagi riset monumental mereka yang kemudian hari merupakan bagian dari aliran diseminasi pengetahuan kita akan Bali.

Walau kemudian juga tidak terbukti, upaya Hanna menyuarakan kekhawatiran melalui perdebatan ”budaya versus pariwisata” bagi masa depan Bali secara tidak langsung telah menjadi inspirasi yang menyadarkan kita agar senantiasa mempertanyakan seraya mencarikan solusi terbaik bagi persoalan Bali lainnya yang kian hari kian kompleks itu, yang di antaranya adalah kemunculan ancaman terorisme di Bali. Harus diingat bahwa terbitnya buku Pringle dengan segala ungkapan, elemen baru, dan kekhawatiran akan masa depan Bali yang didasarkan pada esensi budaya dan sejarahnya adalah bagian dari sintesa tradisi pengetahuan yang antara lain telah dipelopori oleh Hanna. Itulah sebabnya buku Hanna dianggap karya standar yang masih kerap harus ditengok ahli Bali mutakhir sekalipun.

Bila Hanna memberikan landasan-landasan sejarah Bali klasiknya yang di mata Bali jelas aset kebanggaan bernilai, buku Pringle lah yang agaknya lebih mampu menginspirasikan kita bagi pencarian cara-cara jitu bagaimana sesungguhnya membawa masa depan Bali yang didasarkan persoalan-persoalan depan mata tampak lebih nyata di era globalisasi.

Mereka yang berkepentingan membangun Bali dan ingin turut terlibat menorehkan arah sejarah Bali yang berpihak pada kebaikan masyarakat Bali di masa depan agaknya perlu mempertimbangkan dengan baik pemikiran-pemikiran Hanna maupun Pringle yang termaktub dalam terbitan terbaru mengenai Bali ini

Iskandar P Nugraha, Pemerhati Sejarah Pariwisata, Mengajar di Department of Indonesian Studies, University of New South Wales, Sydney, Australia

Tidak ada komentar: