Who am I

Who am I

Senin, 07 April 2008

Mendobrak Hegemoni dan Kuasa Seni Bali

Mendobrak Hegemoni
(Jejaring Seni dan Kekuasaan di Bali)[1]

I Ngurah Suryawan *)


Semua pengetahuan adalah politik karena syarat-syarat kemungkinannya bersumber pada hubungan-hubungan kekuasaan. Anatomi politik menunjukkan bahwa teknik kekuasaan, reproduksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama.[2]

Studi tentang pergulatan seni dan rezim kekuasaan di Bali bisa dihitung dengan jari. Banyak memang laporan-laporan penelitian yang ditemukan penulis dalam serangkaian riset pustaka di pusat-pusat dokumentasi kebudayaan di Bali. Tapi studi yang dilakukan hanya sebatas pada gambaran awal tentang sejarah seni tanpa menyentuh uraian yang lebih detail tentang relasi kekuasaan yang beroperasi antara sejarah seni, kuasa, politik kebudayaan, dan peranan agency-agency yang memainkannya.
Penelitian ini mengeksplorasi tema jejaring kekuasaan —yang menyebar dengan halus, tanpa sadar, produktif lewat kebudayaan, aturan, seni, pendidikan, adat/tradisi yang kemudian menciptakan bahasa, tingkah laku, cara berpikir, dan budaya— dalam melihat salah satu aspek terbentuknya politik kebudayaan Bali, yaitu dalam bidang kesenian. Salah satu cara untuk melacak operasi kekuasaan tersebut bekerja adalah dengan melihat rentang waktu sejarah dan bagaimana kuasa bekerja pada setiap zaman, dengan wacana dan para agennya masing-masing. Karena itulah penelitian ini membingkai beberapa periode seni dan pergulatan politik kebudayaan yang menyertainya. Dari periode-periode sejarah yang dipilah dalam artikel ini, teruraikan dengan jelas bagaimana sejarah pergulatan seni itu terjadi, relasinya dengan kuasa zaman itu, praksis para pelakunya, dan yang terpenting adalah bagaimana operasi kekuasaan dalam pentas kesenian itu teruraikan melalui praktik-praktik even kesenian.
Penelitian ini pada dasarnya berusaha membongkar bagaimana praktik-praktik relasi kuasa selama ini bekerja dan membentuk sebuah pulau bernama Bali. Praktik kekuasaan tersebut bisa dilakukan atas nama kebudayaan, yang di dalamnya seni menjadi nafas dari kehidupan dan identitas orang Bali. Ingatlah jargon yang dilonatrakan rezim kolonial dalam “mentradisikan” manusia Bali dengan menyebutkan bahwa semua orang Bali adalah seniman, dan tanpa sadar menempatkan Bali menjadi daerah “olah budaya” dengan manusia-manusianya yang sopan, berperasaan halus, hidup rukun damai, dan yang terpenting adalah apolitis.
Penelitian yang menyertai pembabakan “sejarah seni” dengan masing-masing “relasi kuasa wacana” yang menyertainya tidak akan diuraikan dalam hubungannya dengan “negara” atau segala hal yang kita bayangkan jauh di alam lain. Kekuasaan diuraikan dalam studi ini melekat dan membadan dalam setiap praktik-praktik kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam pergulatan kesenian. Seperti diungkapkan oleh Foucault, kekuasaan tersebut tidak disatukan dan terpusat pada satu pusat kekuasaan yang kita bayangkan ada dalam otoritas negera.

Tekanan pada hubungan kekuasaan dan subjek mengandaikan banyaknya hubungan kekuasaan. Kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi beragamnya hubungan kekuasaan. Syarat-syarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak terpusat pada satu titik atau satu sumber otoritas….Kekuasaan ada di mana-mana; bukannya bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan dating dari mana-mana.[3]

Subjektifitas dan agency itulah yang kemudian menciptakan beragamnya hubungan kekuasaan yang terjadi. Artikel ini berkeinginan untuk menguraikan bagaimana relasi subjektiftas, keberagaman hubungan kekuasaan, dan operasi ideologi atau wacana yang membingkainya. Rezim kolonial menciptakan ideologi “Balinisasi”, Orde Baru menciptakan ideologi “Pariwisata Budaya”, dan Orde Reformasi dengan kembalinya otonomi dan identitas masing-masing daerah, khususnya di Bali muncul gerakan politik kebudayaan “Ajeg Bali”.
Keterkaitan seni dan kebudayaan mendasari perkembangan politik seni terjadi di Bali yang tidak bisa dilepaskan dari denyut nadi politik kebudayaan yang berkembang. Seni dan kebudayaan tentu tidak otonom, lepas dari injeksi kekuasaan. Karena itulah relasi yang beragam, rumit, dan kompleks yang menyertai lahirnya sebuah pentas (kuasa) seni dan kebudayaan di Bali menjadi poin penting dari artikel ini.

Kongsi Pita Maha dan Kolonisasi Seni
Seni di Bali prakolonial adalah sarana yadnya, persembahan untuk para Dewa yang diwujudkan dalam bentuk alat-alat pelaksanaan ritual. Saat ini seni masih melekat menjadi salah satu sarana upacara, diantaranya seni tari dan lukis. Seni lukis wayang berkembang dengan tema-tema dari cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Menghadirkan bagian seni prakolonial menjadi penting untuk melihat perubahan yang terjadi di tahun-tahun berikutnya.
Kongsi dagang untuk promosi seni lukis Bali ini terbentuk beriringan dengan penyeberan promosi pariwisata Bali melalui brosur-brosur turis untuk berwisata ke pulau tropis di Asia bernama Bali. Terbentuknya organisasi dan kongsi ini adalah bukti pengaruh luar (Barat) yang luar biasa pada Bali. Pelukis-pelukis Barat yang datang ke Bali secara tidak sadar memberi pengaruh paling dasar dalam perubahan tematik, cara sampai paradigma seni rupa di Bali. Sebelumnya tema-tema lukisan di Bali tidak jauh dari corak tradisi-religius wayang lukis dari epos-epos Mahabharata dan Ramayana. Pada periode ini, Spies dan Bonnet memberikan ide-ide baru dan contoh-contoh baru dalam tema dan teknik melukis pada pelukis Bali. Maka pelukis Bali pun terpengaruh, terutama dari motif yang diangkat dari kehidupan sehari-hari dan lingkungannya.
Proses kolonisasi terjadi pada seluruh kehidupan di Bali, tidak terkecuali di bidang seni. Politik kolonial menciptakan struktur dan kekuasaannya dalam bidang seni dan kebudayaan Bali. Dengan tangan-tangan kekuasaan di raja-raja ini, ditambah dengan para pedagang, kaum bangsawan, dan pemuka masyarakat, rezim kolonial mengatur sistem pemerintahan dan menjadi penyambung beroperasinya kekuasaan di tangan-tangan negara kolonial dan rakyat kecil. Rezim kolonial menjadi dalang di balik layar dari bertarungnyaa sesama masyarakat Bali untuk memperebutkan kekuasaan dan mengabdi pada pemerintah kolonial. Rakyat dikeruk harta dan hasil buminya melalui tangan-tangan kaum bangsawan, pedagang, dan raja-raja yang memperebutkan pengaruh. Sementara itu ketertiban dan keharmonisan terus dipelihara untuk memperlancar penghisapan harta dan sumber daya pada masyarakat Bali.
Politik citra Bali sebagai “museum hidup” itulah yang menjadi nilai jual yang sangat berharga bagi pariwisata. Sejarah pariwisata di Bali tidak bisa dilepaskan dari bagaimana intervensi kolonial Belanda dalam mempromosikan Bali, dan setali tiga uang di dalamnya membentuk bayangan atas pulau dewata ini.
Dalam catatan sejarah pariwisata Bali, perkembangan derasnya terjadi setelah perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij), di tahun 1920-an mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Namun sebelumnya telah datang seorang anggota parlemen Belanda, Heer H. van Kol, yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902. Kol dianggap sebagai wisatawan pertama yang datang ke Bali. Setelah mengunjungi Bali, Kol menulis buku Uit Onze Kolonien yang diterbitkan di Leiden, Belanda pada 1902. Dalam buku setebal 826 halaman tersebut, 123 halaman menceritakan tentang Bali.[4]
Melalui kongsi dagang pelayaran inilah, promosi kepariwisataan Bali menjadi terlembaga. Praktis seteleh itu KPM mulai menarik penumpang-penumpangnya untuk menawarkan kunjungan wisata ke pulau tropis nan indah bernama Bali. Untuk mendukungnya, maka dibuatlah brosur-brosur pariwisata yang pembuatannya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Kekuasaan ini didapat karena Bali sebagai negara jajahan telah secara keseluruhan dikuasai Belanda mulai tahun 1913.
Selain itu, yang lebih detail diungkapkan juga citra akan watak manusia Bali. Sebuah studi yang cukup berpengaruh membentuk pemahaman dan keyakinan masyarakat Bali tentang wataknya sendiri hingga kini. Gregory Bateson dalam sebuah karangannya mengatakan watak masyarakat Bali sebagai “Keadaan yang Mantap.” “Keadaan Mantap” demikian —kondisi emosional orang Bali— berciri khas perubahan yang seimbang dan “non-progresif”.[5]
Menginjak tahun 1920-1930 mulailah intervensi seniman barat ke Bali, yang kemudian mempengaruhi perkembangan seni lukis di Bali. Walter Spies, seniman serba bisa, pelukis, koreografer, penari, dan juga fotografer asal Jerman datang ke Bali tahun 1927. Tahun 1929 menyusul datang Rudolf Bonnet, seniman akademik asal Belanda dan Arie Smith 1956.[6] Dua yang disebut pertama berkongsi dengan Raja Ubud Tjokorde Gde Raka Sukawati (almarhum putra Ubud yang dilahirkan di Ubud tahun 1910) bersama dengan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan organisasi yang disebut dengan Pita Maha tahun 1936.[7] Perkumpulan seniman ketika itu diadakan di rumah Spies di Tjampuhan, Ubud dan bertemu setiap minggu. Pertemuan Pita Maha langsung dipimpin Tjokorde Gde Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Perkumpulan ini mengadakan pameran-pameran di dalam dan di luar negeri yang memungkinkan seni lukis Bali menjadi dikenal dan diakui dunia internasional. Dari kegiatan pameran keliling dunia inilah yang kemudian merangsang dan memunculkan pengaruh kuat pada seniman muda Bali dan bagi perkembangan seni lukis modern di Bali.
Terbentuknya Pita Maha menunjukkan bagaimana kolonisasi seni dan budaya terjadi di Bali. Tangan-tangan kekuasaan tersebar dalam serangkaian pengaruhnyanya pada kehidupan kesenian di Bali, yang kemudian melahirkan institusi, gaya lukisan, bahasa, dan sudah tentu cara berpikir dan bersikap. Tangan kolonialisme yang paling kental terjadi dalam kasus Pita Maha adalah berpadunya peran dari kapitalisme (masuknya idustri pariwisata, perdagangan, perubahan nilai seni lukis dari persembahan ritual ke bernilai material) sebagai motor dari kolonialisme dan kekerasan material berupa masuknya operasi kekuasaan dalam perubahan gaya-gaya lukisan pada seniman tradisonal Bali. Hasrat kekuasaan kolonisasi ini bertemu dengan tangan-tangan masyarakat yang menjadi agen dari proses kolonisasi tersebut. Elite lokal dan para raja-raja yang berkolaborasi melahirkan institusi Pita Maha bisa dijadikan contoh. [8]
Dalam serangkaian operasi kekuasaan kesenian yang diterapkan Pita Maha dan para pelakunya, gempuran proyek kolonisasi dan kebijakan politik “pentradisian” Bali serta menjadikannya “museum hidup seni dan kebudayaan”, terjadi apa yang oleh Michel Foucault disebut relasi produktif antara pengetahuan dan kekuasaan. Ia mengungkapkan kekuasaan dan pengetahuan saling terkait, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekalgus hubungan kuasa.[9]

Eksotika Realis: Politik “Baliseering” dan Seni 1950-1960-an
Proyek “pentradisian” Bali, yang dikenal dengan ideologi Baliseering membentuk Bali hingga sekarang lewat beragam aspek, seperti bahasa, budaya, seni, dan cara berpikir untuk “memiliki” kebudayaan Bali. Padahal konstruksi kolonial untuk menjaga Bali yang tetap tradisi tidak bisa dilepaskan dari kepentingan dan kuasa untuk “memelihara” Bali menjadi “museum hidup” dan sorga eksotika untuk kepentingan pariwisata rezim kolonial.
Dasar ideologi Baliseering ini adalah penggalian kembali seluruh nilai-nilai tradisi Bali agar tampak seeksotis dan setradisional mungkin. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang seni. Karya-karya yang lahir menggambarkan eksotika kehidupan masyarakat Bali ketika membajak di sawah, tubuh molek perempuan yang bertelanjang dada, ritual keagamaan, sabung ayam, dan yang lainnya.
Tidak banyak catatan tentang perkembangan seni lukis eksis realis ini. Jean Cotteau hanya menyinggung sedikit, bahwa sumbangan seniman realis yang paling peka terhadap masalah sosial “hilang” setelah Gestapu. Mereka adalah seniman-seniman dari luar Bali penganut aliran realis (PERSAGI). Mereka mendirikan studio dan sanggar-sanggar di Ubud dan Denpasar dari tahun 1950-1970-an.[10]
Salah satu sumber perkembangan seni lukis eksotis realis ini adalah dalam bidang pendidikan. Seiring dari ideologi Baliseering, rezim kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah lukis dan secara langsung menyebarkan pengaruh melalui gaya-gaya lukisan. Awalnya memang Pita Maha melalui Spies dan Bonnet, yang kemudian berkembang di tahun 1920-an hingga 1950-an dengan berdirinya lembaga pendidikan seni di Buleleng Bali Utara yang dilanjutkan dengan pendirian institusi pendidikan di Denpasar tahun 1960-an.
Menurut pihak Belanda, orang Bali harus berbusana “Bali”; teknik-teknik konstruksi modern, tak peduli betapapun praktis atau menariknya bagi para pemakainya, ditetapkan sebagai “buruk” secara estetis, dan karena itu harus dihindari. Bahasa Bali digalakkan, dan pengawasan ketat terhadap kode-kode statusnya dikuatkan sebagai hukum adat. Dalam konteks “pencerahan” budaya Bali yang disponsori oleh rezim kolonial, pemakaian celana panjang oleh laki-laki atau kebaya oleh perempuan menjadi tindakan yang subversif. Yang diutamakan adalah pencarian “keaslian” dan “ketradisionalan” Bali yang kemudian tunduk dibawah pengawasan, ketertiban, dan keharmonisan yang dijaga oleh rezim kolonial Belanda.
Saat akhir dekade 1920-an inilah kekuasaan kolonial Belanda berada dalam puncaknya. Restorasi “tradisi” Bali menjadi ciri sentral strategi kolonial Belanda konservatif bagi pemerintahan tidak langsung.[11] Tanpa sengaja, ideologi “konstruksi romantis” yang menimpa Bali, terutama dengan pernyataan yang terkenal “semua orang Bali adalah seniman”, beriringan berjalan dengan terbentuknya Pita Maha dan semakin massifnya industri pariwisata dan kesenian di Bali.
Di awal dekde 1030-an, memorandum birokratis para pejabat kolonial Belanda, mulai menyerukan bahwa rakyat Bali memiliki pembawaan yang lebih berminat kepada seni, budaya, agama —tari, musik, lukis, ukir, upacara, pestival dan seterusnya— ketimbang “politik”.

Asumsi yang umumnya diam-diam diterima di lingkaran kolonial (komunitas artistic dan antopolog asing di Bali) adalah bahwa “budaya” dan “politik” merupakan kategori yang sama ekslusifnya dan bahwa rakyat yang “berbudaya” tidak bisa sekaligus “politis”. Sepanjang “budaya” Bali tetap kuat, demikian kelanjutan dalih ini, pengaruh “politis” akan lemah. Persepsi ini sangat kuat mempengaruhi kebijakan kolonial di Bali sejak sekitar tahun 1920 hinga runtuhnya kekuasaan Belanda 1942.[12]
Penciptaan Bali ini dalam ideologi Baliseering terutama terjadi dalam kebijakan edukasional. Baliseering berarti pelejaran seni tari, seni patung, seni musik, bahasa dan aksara tradisional Bali. Bagi kaum terpelajar Bali, terang saja kebijakan ini sangat controversial dan ditentang penuh. Kaum terpelajar ini turut mengusahakan agar masalah pendidikan dan kebudayaan menjadi fokus utama wacana nasionalis Bali sepanjang revolusi dan menyambut era Soekarno.[13]
Pemberlakuan sebuah negara Belanda dengan kebijakan hegemonik dalam ideologi Baliseering ini ini menghasilkan perubahan mendalam di masyarakat Bali. Perubahan tersebut membangkitkan konflik politik dan sosial jenis baru, bahkan ketika pemberlakuan kebijakan tersebut tampak melestarikan aturan pribumi “tradisional” serta harmoni politik dan sosial tinggi yang semu. Geoffry Robinson mengungkapkan bahwa motivasi politik konservatiflah yang mendorong langkah untuk memulihkan “tradisi” di Bali, walaupun langkah itu membuahkan perubahan signifikan dalam hubungan sosial dan politik di Bali.[14]

Kisah di Tepi Kita: Kesaksian Kiprah Seniman Lekra
Kesaksian pada masa gelap dalam sejarah kesenian di Bali adalah masa tahun 1960-an. Generasi yang “hilang” dan “tahun yang lenyap” dalam jejak panjang wacana seni rupa Bali. Ketagangan politik juga berimbas dalam bidang seni yaitu persaingan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Ketegangan terjadi pada hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang seni (seni rupa, tari, dan gamelan). Yang paling terkenal adalah persaingan dua partai politik besar pada zamannya ini di tarian Janger (tarian kegembiraan anak muda). Dari tarian janger ini biasanya diselipkan kampanye-kampanye politik kedua partai. Dalam seni rupa, barisan seniman Lekra membuat baliho-baliho dukungan politik dan membuat famlet-famlet mendukung gerakan PKI, demikian juga yang dilakukan oleh seniman dari LKN. Begitu juga yang terjadi di bidang sastra, pewayangan dan sudah pasti tari. Semuanya telah menjadi politik. Seni menjadi bagian dari politik sebagai panglima saat itu.[15]
Generasi seniman tahun 1960-an tertumpas habis dalam pembasmian orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI dan ormas-ormasnya yang terjadi di Bali 1965-1966. Termasuk di dalamnya adalah anggota Lekra. Jejak sejarah perkembangan seni di Bali, terputus saat memasuki tahun gelap 1965. Catatan sejarah mentabukan bagaimana kiprah Lekra dan ketegangannya dengan LKN berlangsung. Juga bagaimana cikal bakal dari seni tari, tabuh dan pertunjukan yang menjadi medium penting dalam perjuangan partai politik.
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) secara nasional dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1950. Sedangkan Lekra Bali secara formal didirikan pada Januari 1961, ketika organisasi ini menyelenggarakan Konferensi Daerah (Konferda) di Denpasar. Laporan Konferda disampaiakn oleh sekretaris Lekra Bali, Wardjana pada Konferensi Nasional (Konfernas) Lekra di Bali tahjun 1962. Penetapan berdirinya Lekra Bali dibuat berdasarkan pelaksanaan Konferda Januari 1961.[16]
Walaupun jauh terlambat dalam pendirian, Lekra Bali sukses menjadi tuan rumah penyelenggaraan dua kegiatan besar Lekra Indonesia yaitu pada tahun 1962 dan 1963 di Bali. Kedua kegiatan tersebut adalah Konferensi Nasional (Konfernas) yang dilaksanakan pad Februari 1962 dan Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia Afrika (SKE-KPAA) pada Juli 1963. Darma Putra berasumsi kemungkinan besar pembentukan Lekra Bali dipacu oleh rencana terselenggaranya kedua kegiatan tersebut.[17]
Indikasi dan asumsi tentang keterikatan antara Lekra dan PKI memang menjadi debat panjang. Secara institusional memang tidak ada secara resmi garis komando yang menyatakan anggota Lekra harus masuk PKI. Tapi memang tidak bisa dipungkiri banyak anggota Lekra yang memilih PKI sebagai tempat penyaluran aspirasi politiknya.[18] Eratnya hubungan secara pemikiran—anti imperialisme dan keberpihakan pada rakyat—inilah yang menyatukan visi antara PKI sebagai sebuah partai kiri dan Lekra sebagai sebuah lembaga kebudayaan yang menekankan pentingnya seni untuk kepentingan rakyat, atau kemudian disebut dengan ideologi realisme sosialis.
Tentang perdebatan ini, Lekra dengan realisme sosialisnya kemudian mendapatkan gugatan dari kelompok Manifes Kebudayaan pada paruh pertama tahun 1960-an. Perdebatan ini secara sederhana kemudian menjadi pengetahuan umum yang perlu diteliti kembali, yaitu perdebatan sengit dalam wilayah kebudayaan antara kelompok seniman dan cendikiawan yang tergabung dalam Lekra, yang sangat dekat dengan PKI dengan ideologi realisme sosialis dengan semboyan “politik sebagai panglima”. Lawannya adalah kelompok non partisan Manifes Kebudayaan yang menolak politik sebagai panglima di bidang seni dan memilih seni untuk seni dengan ideologi Humanisme Universal.[19]
Realisme sosialis menjadi semacam acuan bagi karya-karya para seniman Lekra. Ceramah Pramudya Ananta Toer di Fakultas Satra Universitas Indonesia pada 26 Januari 1963. Alexander Supartono mengungkapkan:
Ceramah berjudul “Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia” ini menekankan pempraktekan sosialisme dalam kreasi sastra, menjadikannya bagian integral dari mesin perjuangan umat manusia untuk menghancurkan penindasan rakyat pekerja oleh imperialisme. Sastra Realisme Sosialis bertanggungjawab untuk “membukakan kemungkinan-kemungkinan perkembangan hari depan yang menguntungkan bagi setiap dan semua tenaga yang berjaung, berproduksi dan berkreasi. Sedangkan sastra borjuis yang berideologi Humanisme Universal, yang di Indonesia adalah jubah baru dari politik etik Belanda, hanya bertanggungjawab pada astetika dan masyarakat yang belum jelas ada atau tidak.[20]

Dasar ini jugalah yang menjadi dasar dari seniman-seniman Lekra untuk berkarya. Tidak terkeculai oleh Putu Oka Sukanta, salah satu sastrawan Lekra Bali yang menonjol pada zamannya dan tetap eksis berkarya hingga kini. Putu Oka, begitu ia sering disapa dilahirkan di kota Singaraja pada tahun 1939 dari keluarga miskin dan hidup di kalangan masyarakat miskin.
Setelah menamatkan pendidikan SMA di Singaraja pada 1959, Putu Oka memutuskan untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta dan belajar secara otodidak untuk menulis karya-karya sastra dan mempublikasikan karya-karyanya pada media-media di Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Dua media yang sering menjadi tempat dipublikasikannya karay Putu Oka adalah Harian Rakjat dan Zaman baru, dua media yang lebih condong memiliki visi yang sama dengan PKI. Karya-karya Putu Oka banyak mengungkapkan soal-soal revolusi, kemiskinan, dan nasib rakyat misikin lainnya. Tema-tema karya Putu Oka tentang Bali diantaranya adalah masalah adat, kasta, tradisi, dan nasib perempuan Bali.[21]
Kiprah Lekra Bali yang paling terlihat jelas adalah persaingannya dalam memperebutakan pengaruh dan massa dengan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), sebuah lembaga kebudayaan yang condong memiliki visi sama dengan PNI, partai saingan dari PKI.

Konflik politik antara PKI dan PNI umumnya terjadi di seluruh Bali, namun untuk bidang kesenian, antara Lekra dan LKN, hal itu hanya terasa di Singaraja dan Denpasar. Organiasi LKN yang aktif pun hanya di dua kota tersebut. Kompetisi kesenian antara LKN dan Lekra biasanya muncul dalam bentuk pementasan paduan suara (koor), janger, dan deklamasi (pembacaan puisi). Anggota Lekra memiliki kemampuan orator yang tinggi, dengan mudah membakar emosi massa. Tim LKN lebih memikat tampil dalam paduan suara. Lagu-lagu ciptaan seniman LKN dan Lekra selalu saling sindir dan saling serang. [22]
Raka Antara (bukan nama sebenarnya), salah seorang mantan anggota Lekra Bali, mengungkapkan saat berkiprah di Lekra, slogan yang selalu diingatnya adalah seniman harus membela rakyat. Sedang bentuk visual yang digunakannya adalah bahasa realisme sosialis. Ia menyatakan hubungan Lekra dan PKI tidak ada garis organisasi afiliasi. Tetapi banyak anggota Lekra yang ikut partai, dan kebetulan partainya adalah PKI, sehingga kesan Lekra menjadi organisasi afiliasi PKI menjadi kental. Raka Antara diciduk oleh tentara dan diangkut truk pada malam hari 26 Desember 1965. “Dinaikkan di atas mobil truk dibawa berkeliling untuk mengambil orang lagi di tempat lainnya. Saya sudah pasrah, di manapun akan dibunuh ya sudahlah,” tutur Raka Antara yang berada di balik jeruji besi hingga 1968.[23]
Di tengah kesederhanaannya, Raka Antara masih sanggup untuk menyetir mobilnya sendiri dari denpasar menuju studionya di Ubud, Gianyar. “Ini tiang, saya, lakukan untuk bisa bekerja lebih maksimal. Kadang saya menginap di studio untuk menyelelesaikan lukisan,” tuturnya. Raka Antara kini memang masih aktif untuk menghasilkan karya-karyanya di studionya yang indah di dekat pematang sawah di sebuah desa di Ubud, Gianyar.
Saya menemuinya tiga kali di studionya di Ubud, dan sekali menemuinya di rumahnya di Denpasar. Dalam tiga kali wawancara yang saya lakukan, masih terlihat semangat dan ingatannya untuk bertutur tentang pengalamannya di tahun 1965. Dengan kaca mata tebalnya, wajah keriput, dan badan yang mulai meringkih, Raka Antara menerima saya selalu dengan dengan pakaian kaos sederhana dan kain sarung lusuhnya.
Raka Antara menyelesaikan pendidikannya setingkat SMA pada tahun 1959 di sebuah sekolah menengah di Denpasar. Tahun 1960, ia memutuskan untuk berkelana ke Yogyakarta untuk menimba ilmu di bidang seni lukis. Lewat pergaulannya, ia berkenalan dengan seniman-seniman yang tergabung dalam Sanggar Bambu. Di sanggar inilah, ia banyak menimba ilmu dalam bidang seni lukis yang menjadi bekal paling berharga baginya sesampainya di Bali.
Selama bergaul di sanggar Bambu, Raka Antara memutuskan untuk tidak bergabung secara resmi dalam sanggar tersebut.

Saya tidak ikut di sanggar, tapi sering bergaul karena tiang (saya) pada waktu itu tidak mau terikat, karena kehidupan bebas bagi tiang sangat bagus, yang penting banayak punya teman. Kalau terikat kadang-kadang ada yang tidak cocok, nanti takut menjadi kendala.[24]

Kehidupan bebasnya membawa Raka Antara untuk keluyuran selama delapan bulan di Malioboro. Ia teringat sarana seorang kawannya di Sanggar bambu bahwa belajar seni tidak harus di sekolah seni, cukup bergaul dan menimba pengalaman dari lingkungan seni.
Selama dua tahun hingga tahun 1962 Raka Antara menimba pengalaman di Yogyakarta. Sekembalinya dari Yogyakarta, Raka Antara langsung bergabung dengan Lekra Bali. Raka Antara mengungkapkan pilihannya bergabung dengan Lekra karena melihat pelukis-pelukis yang baik banyak yang menjadi anggota Lekra.

Biasa sebagai pemula kan orientasinya menyamai idolanya, dan pada waktu itu idola saya adalah Pak Affandi, Hendra dan pelukis besar lainnya. Karena mereka masuk Lekra, maka saya masuk Lekra juga. Tapi pada saat itu saya masuk Lekra dalam proses penjajakan, mencari yang terbaik.[25]

Raka Antara melihat pada saat itu misi dalam berkesenian setiap tahunnya berubah-ubah. Waktu i memutuskan untuk masuk Lekra, tema-temanya berkaitan dengan rakyat (kerakyatan) untuk kemudian dituangkan pada karya. Pada waktu itu banyak yang melukis wanita yang elok-elok. Nah, para pelukis Lekra melukis dengan tema-tema bagaimana orang hamil yang mau melahirkan bekerja. Juga terdapat tema-tema tentang kehidupan laut, bagaimana para pelaut hidup dari tengkulak-tengkulak ikan. Raka Antara mengakui pada waktu itu memang khas sekali lukisan yang menandakan ia adalah seniman Lekra.
Baru saja masuk menjadi Lekra Bali, Raka Antara mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pertukaran pemuda di Uni Sovyet mewakili Lekra Bali. Ini sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi Raka Antara untuk melihat perkembangan negara luar, khususnya Uni Sovyet. Bahkan secara khusus ada tawaran dari Universitas Lamumba di Uni Sovet bagi pelajar-pelajar di Indonesia untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
Selama aktif bergabung di Lekra, Raka Antara aktif dalam kegiatan-kegiatan Lekra, seperti seminar, sarasehan yang sering diadakan. Kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan adalah kegiatan-kegiatan kesenian. Salah satunya yang diingat oleh Raka Antara adalah pergelaran kolaborasi Gong Kronik atas inisiatif dari Lekra yang melibatkan seluruh organisasi kesenian dan kebudayaan di Bali, diantaranya Lekra sendiri, LKN, Lesbumi. Pementasan kolaborasi Gong Kronik ini seperti teater drama modern dengan mengambil tema dari naskah-naskah dari sastrawan luar negeri.
Konflik dan persaingan antara organisasi seni dan kebudayaan memang tidak terhiondarkan. Itu diakui sendiri oleh Raka Antara yang langsung merasakan kondisi persaingan memperebutkan pengaruh tersebut.

Di sinilah kelemahan orang-orang yang tidak tahu underbow itu sebenarnya. Kadang-kadang anggota (Lekra dan LKN) banyak yang masuk partai, tapi belum tentu semuanya masuk partai. Cuma yang masuk partai orang-orang tertentu saja. Hubungan Lekra dan PKI hanya ada hubungan politis saja. Secara organ kan sudah beda antara kebudayaan dengan anggota PKI, pola berpikirnya sudah beda. Kalau ini ditekankan pada disiplin, kalau erkebudayaan disiplin hampir tidaka da, tetap ada unsur kebebasan yang diberikan, tapi kalau partai sudah mutlak misalnya perintah, dan partai kan harus taat pada perintah. Kalau Lekra hanya pengejawantahan saja yang ada[26].

Pengejawantahan yang dimaksudkan Raka Antara adalah seniman itu harusnya membela rakyat. Itu sebagai poin penting saja dan menterjemahkannya bisa ditafsirkan masing-masing oleh para senimannya. Karena itulah para seniman Lekra, wacana harus membela rakyat menjadi dasar perjuangan. Dalam berkarya semuanya sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk berkesplorasi dan menggali simbol-simbol yang sesuai dengan tema membela kepentingan rakyat. Bagi Raka Antara, di sinilah kejelian seorang seniman untuk menampilkan tampilan artistik yang menyentuh perasaan orang.
Raka Antara dalam berkarya benyak mengambil tema-tema tentang kehidupan-kehidupan di pantai, buruh-buruh di jalan yaitu para pekerja-pekerja aspal. Selain melukis dengan cat minyak, Ia juga membuat poster-poster untuk demonstrasi, baliho untuk menyambut pimpinan negara sahabat.
Setelah ketegangan memuncak pada tahun 1965, Raka Antara sudah mulai merasa akan mendapatkan musibah. Benar saja, pada malam hari 26 Desember 1965, ia ditangkap dan diangkut dengan truk. Kebetulan pada saat itu, Ialah yang pertama kali ditangkap. Truk kemudian berkeliling untuk mencari orang-orang yang ditangkap pada malam hari itu.

Saat diambil malam itu saya bayak denger isu, saya akan dibunuh di tempat. Saya sudah pasrah. Saya diangkut truk, kebetulan saya orang pertama yang diambil. Lalu cari orang di daerah Pemedilan (satu daerah di Kota Denpasar). Ketika truk sampai di kuburan, saya berfikir di sinilah saya akan dibunuh. Ternyata truk berhenti di kuburan untuk mengambil orang lagi di daerah Klandis. Berubah lagi pikiran saya. Rasanya saya akan dibunuh di daerah Sanur. Pokoknya saya pasrah, mau dibunuh di mana saja. Waktu itu pikiran saya sudah mau dibunuh saja. Tapi setelah terakhir truk berhenti saya lihat bertuliskan, “Penjara”. Trus kami semua dimasukkan di penjara.[27]

Selama dua tahun dipenjara, Raka Antara menghirup udara segar tahun 1968. Keluar dari penjara, ia mencoba peruntungan untuk kembali terjun ke dunia seni lukis. Ia mencoba untuk menitipkan lukisan tapi tidak dikasi, ingin pameran dilarang, tapi ia tetap aktif di mana orang membutuhkan bantuan. Ia memutuskan untuk bekerja serabutan untuk menyambung hidup.
Raka Antara kemudian memutuskan untuk mempertaruhkan hidupnya di dunia seni lukis. Hingga kini Raka Antara tetap aktif melukis dan berpameran. Untuk menyiasati agar tetap survive, Raka Antara melukis sesuai dengan keinginan pasar seperti penari legong, perempuan Bali. Suatu saat, ia berkeinginan untuk kembali mengingat-ngingat kembali tema-tema lukisannya saat bergabung di Lekra. Saaat saya wawancarai terakhir di tahun 2006, ia sudah bertekad untuk memulai melukis tema-tema kerakyatan dengan cat minyak.

Sanggar Dewata Indonesia di Tengah “Pariwisata Budaya”
Semua cerita itu terhapus oleh politik stabilitas Orde Baru yang menempatkan seni kini menjadi bagian dari industri pariwisata. Politik pembangunan menyusupkan bagaimana kebudayaan Bali dengan identitas khasnya, dengan spirit Bali, menjadi komoditas. Sementara itu, pariwisata dan pembangunan mendukung kesenian yang bersedia menjadi bagian dari politik kebudayaan Bali saat itu, kuasa, modal (pembangunan) dan pariwisata. Akhirnya, selepas ketegangan dan pembasmian gerakan kiri itu, muncullah kelompok seniman muda Bali yang merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Nama kelompok itu adalah SDI (Sanggar Dewata Indonesia) yang kemudian mewarnai perkembangan seni rupa Bali.
Kelahiran Sanggar Dewata Indonesia (SDI) memang tidak bisa dilepaskan dari munculnya sebuah rezim kekuasaan baru, dengan pemikiran yang sangat terkenal dengan “Pariwisata Budaya” di Bali. Di dalam rezim tersbut terkandung gerakan untuk “melestarikan” dan “menggalakkan” adat, tradisi dan kebudayaan sebagai modal untuk mengembangkan serta meningkatkan laju pertumbuhan pembangunan dan pariwisata.
Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.[28]
Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan Bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali.
Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa di setiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat program-program pemerintah, ataupun lewat agency manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga. Karena itulah ehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik.[29]
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.
Politik identitas “pariwisata budaya Bali”, yang diikuti dengan penguatan identitas etnis, menyertai perkembangan pariwisata. Pariwisata, kebudayaan, dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Karena hanya itulah yang menjadi senjata sakti dan “jualan” dari “pariwisata budaya” di Bali. Ini diwujudkan dengan klaim dan citra, “budaya Balilah yang eksotik dan asli”[30]
Di tengah laju deras industri pariwisata dan “pembudayaan” inilah SDI lahir pada 15 Desember 1970 di Balai Banjar Saraswati, Jalan Mawar, Baciro Yogyakarta oleh mahasiswa-mahasiswa Bali yang menuntut ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Tokoh-tokoh perintis SDI diantarnaya adalah I Nyoman Gunarsa, I Made Wianta, I Wayan Sika, Pande Made Supada, dan lainnya.
Jean Cotteau banyak mengulas sebagian besar karya-karya dari seniman anggota SDI ini.[31] Tapi studi ini tidak terfokus untuk membicarakan bagaimana karya mereka—seperti yang dilakukan Jean Cotteau—tapi lebih melihat SDI sebagai sebuah organisasi telah menciptakan sebuah rezim kekuasaan dalam relasi kuasa seni rupa di Bali. Pasca-“hilangnya” sejarah seni rupa Bali, seniman-seniman yang tergabung dalam SDI menguasai dua poros Yogyakarta-Bali. Disadari atau tidak, SDI telah membentuk gurita kekuasaan yang menyebar dalam relasinya dengan wacana, lingkaran dan bangunan infrastruktur seni visual, dan nilai yang diwtawarkannnya. Jaring-jaring kuasa yang beroperasi inilah yang menjadi dasar bangunan SDI sebagai lembaga maupun anggotanya sebagai individu, berkembang kuat menjadi kelompok seniman yang mewarnai perkembangan seni visual di Bali.
Dari segi wacana, SDI mampu memenuhi hasrat dari wacana keotentikan, keaslian dan sentuhan “spirit Bali” yang selalu diusung oleh seniman SDI. Wacana ini bertemu dengan semakin terkonsolidasikannya rezim wacana “pariwisata budaya” yang mencoba mengangkat kesenian yang berspirit Bali menjadi salah satu produk dari sebuah relasi besar, yang melibatkan seluruh politik seni dan kebudayaan di Bali: wacana “pariwisata budaya” tahun 1980-1990-an. Seni bertemu dengan sebuah rezim kekuasaan bernama orde baru dan menciptakan sebuah relasi yang apik bagaimana seni dan kebudayaan menjadi sebuah wacana dan produk dibawah ideologi pariwisata.
Relasi seni dan kekuasaan diwujudkan oleh agency-agency para pemilik modal yang mendirikan museum dan galeri atau artshop-artshop di kawasan Kuta, Sanur, Ubud, dan Klungkung. Hadirnya Musuem Puri Lukisan, Neka, Rudana, Gunarsa berbarengan dengan mulai tertatanya secara solid infrasturktur pariwisata di Bali saat rezim Orde Baru. Maka konsekuensi dari semua itu adalah tarik-menariknya seni dan kebudayaan (kekuasaan) serta industri yang terus-menerus direproduksi oleh negara yang sangat kuat ketika itu. Maka seni dan kebudayaan tanpa sadar menempel menjadi salah satu prasayarat berjalannya “pariwisata yang berbudaya”. Lukisan “moii Bali”, seperti ditawarkan seniman-seniman SDI laku keras sebagai cinderamata untuk melihat keeksotikan Bali dan juga mereproduksi identitas keBalian dalam sebuah spirit yang sering dianggap mempunyai kekuatan inner power yang dalam kepercayaan Hindu Bali disebut taksu.
Kelahiran SDI juga tidak bisa dilepaskan dari produk zaman ketika rezim Orde Baru semakin mengkonsolidasikan kekuasaannya di tahun 1970-1980-an. Degung Santikarma menuliskan SDI juga merupakan produk zamannya (rezim Orde Baru) yang sedang gencar-gencarnya dengan semangat “ekonomi, yes! dan politik, no!”. Karya yang direproduksi oleh generasi ini berkisar pada masalah yang kurang menyentuh persoalan kemasyarakatan, apalagi persoalan politik. Secara tematis karya merekacenderung bersifat ekspresi subjektif tentang suatu realitas dan kental menyiratkan simbol-simbol etnis dan mitologi ke-Bali-an.[32]
Operasi kekuasaan rezim Orde Baru tanpa sadar mengkonstruksi SDI menjadi produk zaman yang kental dengan sikap apolitis, dan dalam konteks Bali harus “berbudaya” dan “berspirit pentradisian Bali”. Ini sangat cocok dengan spirit SDI ketika lahir dari kerinduan anak muda Bali yang tinggal di Yogyakarta untuk menunjukkan identitas ke-Bali-annya.

“Mendobrak Hegemoni”: Membongkar Relasi Kuasa Seni
Awalnya adalah sebuah even seni rupa Mendobrak Hegemoni yang dilakukan Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar, 23-25 Februari 2001 di Lapangan Puputan Badung, di pusat Kota Denpasar. Acaranya adalah perfomance art, pameran lukisan dan melukis bersama oleh semua mahasiswa seni rupa STSI/ISI Denpasar. Yang tidak biasa adalah tema dan lukisan-lukisan yang dipamerkan. Hampir sebagaian besar karya bertema “menghujat” dan “menyerang” kelompok-kelompok yang dianggap hegemonik, yang tidak lain adalah sebagaian besar seniman SDI, para pemilik museum dan galeri yang menjadi institusi yang berkuasa untuk menentukan dan menciptakan wacana, didukung oleh para kurator dan penulis seni yang bisa dibeli untuk terus mengokohkan kekuasaan kelompok hegemonic SDI dan relasi-relasinya. Mereka didukung oleh modal yang kuat dan bisa membeli media massa sebagai sarana promosi mereka. Mendobrak Hegemoni menyerang Nyoman Erawan, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Putu Wirata Dwikora sebagai penulis seni rupa, Bali Post sebagai media yang menjadi corong SDI dan lingkaran museum, galeri, penghargaan, kolektor (kolekdol) yang menciptakan relasi yang hegemonik.[33]
Rekasinya mengejutkan. Pascagerakan Mendobrak Hegemoni, bukan hanya lembaga yang menekan, lingkungan mahasiswa di STSI juga “memusuhi” anak muda yang dituduh frustrasi ini. Lambat laun ternyata kelompok ini menyebar benihnya. Pertama di kampus tercatat sapihan mereka kembali beraksi dengan pamflet-pamflet dari Maret—Mei 2001. Tercatat pamflet seni aksi, buletin SUAKA (Solidaritas Untuk Aksi Kamasra), Membongkar Sejarah Seni Rupa Bali, Seni Kritik dan Penyadaran, Kiri Sampai Mati, Sikat Gigi Erawan Harus Disikat. Pamflet ini selain disebar dan ditempel di kampus juga disebar saat aksi dipublik. Terutama saat Sikat Gigi Erawan di pentaskan di Puputan Badung.[34]
Beberapa pokok pikiran yang diambil dari selebaran “Isu Paling Gress” tersebut menjadi landasan awal dari gerakan “Mendobrak Hegemoni”. Mereka menuliskan pandangan mereka tentang maksud “hegemoni” yang sering dipertanyakan pascaeven tersebut:

Wacana dominasi yang kami maksudkan memang sangat sederhana dan sulit untuk membuat pemegang kekuasaan untuk sadar diri. Kelompok-kelompok seni semacam SDI (Sanggar Dewata Indonesia) dengan wacana dominasi simbolisme dan ikon keBalian bisalah dipakai sebuah contoh. Wacana dominasi ini bisa mereka ciptakan karena dukungan kongsi pemain seni yang sudah mereka pegang di semua lini. Akhirnya meraka hadir sebagai sesuatu yang sangat hebat dan maha sempurna. Yang kacaunya meniadakan kelompok atau wacana alternatif yang lain. Di sinilah mereka telah menciptakan hegemonisasi seni yang terus terang saja katanya, tidak mereka sadari.

Hegemoni sebagai sebuah jaringan kepentingan di mana masing-masing komponen pemain seni rupa mempunyai peran yang berbeda, namun tidak jarang kelompok pemain tertentu, semisal kelompok seniman senior mempunyai otoritas yang sangat kuat sehingga kelompok lainnya menjadi tidak berdaya, artinya dalam hal ini hegemoni tidak selalu hadir dalam bentuknya yang utuh tetapi bisa sebagian. Dalam hal ini konteks hegemoni pada masing-masing elemen pemain seni rupa telah dicoba diletakkan bagi kepentingan analisis terhadap perkembangan dinamika seni rupa pada skala lokal di Bali. Melalui perilaku, gejala dan beberapa fakta yang tidak selalu mudah dilacak namun kerap menjadi gosip dan perbincangan keseharian.[35]

Operasi hegemoni tersebut sangat masif terjadi dalam wacana medan sosial dan industri seni rupa Bali. Dengan kesadaran itulah gerakan “Mendobrak Hegemoni” ini mencoba membongkar jejaring kekuasaan seni di Bali, yang tidak hanya beroperasi pada jaringan infrastruktur seni, tapi pada pola pikir, bahasa, tingkah laku, dan mind set perkembangan seni rupa Bali oleh para agen-agennya.
Saat yang paling menegangkan tentunya saat pameran Pesta Kapitalisme Bali Juni 2001 sebagai kritik dari PKB (Pesta Kesenian Bali) yang membosankan itu. Sebelum pameran, terjadi pemanggilan mahasiswa, teror, perusakan karya-karya oleh lembaga STSI Denpasar melalui Satpam, pengusiran mahasiswa sampai adanya jam malam 20.00 WITA di kampus. Rangkaian teror terbukti dengan main ancamnya staf dosen STSI Denpasar yang mengadukan mahasiswa pada polisi. Akhirnya, 16 Juni 2001 dibuka pameran kontra PKB di halaman depan museum Lattha Mahosadhi disertai penyebaran pamflet “Pemerintah Kolonial Bali”.[36] Saat inilah terjadi pembongkaran paksa pemeran oleh lembaga STSI Denpasar yang langsung dipimpin Ketuanya, Prof. Wayan Dibia beserta Pembantu Ketua STSI menganggap pameran kontra PKB sebagai bentuk pembangkangan mahasiswa terhadap lembaga STSI, juga pameran ini tidak sesuai dengan ijin dan prosedur. Pameran kontra PKI ini dilanjutkan di depan kampus Universitas Udayana Sudirman, depan kampus Fakultas Sastra di Jalan Pulau Nias dan berakhir 24 Juni 2001.[37]

Taxu dan Pojok: Gerakan Alternative Art Space?
Berikutnya, mulailah tradisi diskusi dan refleksi aksi kesenian dalam lingkungan komunitas seni pascagerakan Mendobrak Hegemoni. Sedikit demi sedikit jumlah mahasiswa yang terkumpul tambah banyak dan diwadahi dalam diskusi seni rupa setiap senin dan kamis di sebuah rumah kos salah seorang mahasiswa STSI Denpasar, Wayan Arsana, yang juga menjadi Ketua Kamasra ketika itu.
Maka mulailah terbentuk keinginan untuk menciptakan kelompok alternative untuk melanjutkan semangat gerakan Mendobrak Hegemoni. Komunitas Pojok dan Klinik Seni Taxu memulainya di tahun 2001. Gerakan seni alternative sebagai kelanjutan dari gerakan Mendobrak Hegemoni ini sebenarnya berawal dari kegelisahan. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut sejarah Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar sebagai awal dan kelompok-kelompok perupa muda di kampus ini yang belum mendapat ruang seide dengan mereka. Kedua kelompok ini bertemu dan merefleksikan kegiatan mereka selama berkesenian.
Dari diskusi dan kumpul beberapa kali terwujudlah ide untuk melembagakan gerakan kesenian baru ini menjadi komunitas seni, sebuah klinik seni pada September 2001. Namanya pun disepakti Taxu, plesetan dari kata-kata taksu yang jamak digunakan di Bali untuk menjelaskan keangkeran, kemistisan kesenian dan upacara agama di Bali. Kelahirannya pun bertitik tolak untuk melakukan kritik dan desakralisasi dan menghancurkan mitos-mitos kesenian dan kebudayaan Bali. Tidak hanya melakukan diskusi, terbitlah pertama kali buletin seni rupa Kitsch[38] yang mewadahi pemikiran alternatif tentang seni rupa dari anggota Taxu dan juga peminat seni rupa lainnya. Untuk pertama kali edisinya mengangkat “Kebohongan Pengider Bhuana” sebagai kritik pameran bersama Pengider Bhuana dosen STSI Denpasar di Museum Rudana, Agustus 2002.
Klinik Seni Taxu terus berkembang. Mereka atas biaya urunan dari 12 anggotanya mendirikan Klinik Seni Taxu Art Space sebagai initiative art space dari sebuah kelompok alternative art space di Bali. Perlahan tapi pasti Taxu mulai melakukan pameran ke luar Bali seperti Yogyakarta dan Jakarta sambil secara kontinyu setiap tiga bulan sekali menerbitkan Kitsch, Visual Art Bulletin. Anggota-anggotanya tersebar untuk melakukan pameran-pameran dengan menwarkan ide/gagasan yang baru dengan tampilan visual yang kuat.
Komunitas Pojok berdiri awal tahun 2001, medahului Klinik Seni Taxu. Anggotanya terdiri dari mahasiswa STSI, kini ISI Denpasar. Nama Pojok mereka ambil dari tempat studio mereka di kawasan pojok kampus ISI Denpasar. Disamping karena studio yang letakknya di pojok, posisi mereka dalam pergaulan di kampus ISI juga terpojok Pameran mereka pertama, “Tentang Manusia”, sebagai wujud berdirinya Komunitas Pojok berlangsung di ruang pameran Gedung Kriya Art Centre Denpasar tahun 2001. Komunitas Pojok dengan 6 anggotanya lebih intens menggarap seni-seni sosial di ruang-ruang publik seperti mural dan perfomance art.
Hingga kini, kedua kelompok alternative itulah yang berada di tengah-tengah konsolidasi dan jerat-jerat kekuasaan kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya. Usaha membangun sendiri ruang seni dan wacana sempat dilakukan Klinik Seni Taxu dengan membuka art space dan memicu perkembangan kelompok-kelompok alternative dari anak-anak muda Bali. Juga pernah dilakukan Komunitas Pojok dengan menghadirkan serta mendekatkan seni pada masyarakatnya, dengan melakukan proyek mural kota dan serangkaian pameran di ruang-ruang publik, tidak hanya sebatas di museum dan galeri.[39]
Setelah Klinik Seni Taxu dan Komunitas Pojok kini berkembang dan berubah begitu pesat, kini timbul pertanyaan mau dibawa kemana kelompok-kelompok seni alternative di Bali ini? Beragam kritik dan kelemahan posisi mereka membuat terjangan kritik dan perpecahan berada di depan mata. Tapi di tengah segala macam keterbatasan tersebut, spirit kelahiran kelompok alternative ini membawa pesan berarti: untuk membongkar jejaring kekuasaan dalam medan sosial seni rupa Bali.
Pengaruh industrialisasi dan ideologi pariwisata membawa pengaruh yang besar. Begitu juga kelanjutan alternative art space yang dibangun oleh para eksponen gerakan Mendobrak Hegemoni yang masih tersisa. Selain pertentangan dan perpecahan di intern kelompok alternative ini, bujuk rayu “kekuasaan” halus dari jejaring yang mereka kritik sebelumnya juga siap memakan mereka. Ini memang mejadi semacam ironi dari kritik beringas yang mereka lontarkan pada Febaruai 2001.
Wayan Arsana, salah satu anggota Klinik Seni Taxu mengakui pergolakan di intern organisasi alternative seperti Klinik Seni Taxu juga tidak terhindarkan. Hal ini juga dibarengi dengan stagnasi kelompok-kelompok muda lain di Bali yang semakin redup gairahnya pasca 2004 dan awal 2005. Klinik Seni taxu menjadi semacam ikon tersendiri dari nama besar “kelompok alternative” yang mewakili Bali.
Maka tidak salah kemudian, Wayan Arsana mengungkapkan dengan “nama besar” tersebut ternyata menyimpan kerapuhan di kondisi intern Klinik Seni Taxu. Ego yang besar dan dominasi dalam pertarungan “memenangkan” ide membuat keutuhan dalam kelompok semakain merenggang. Belum lagi persoalan pribadi masing-masing anggota terutama terkait dengan desakan kehidupan sebagai pelukis dan persoalan pribadi lainnya. Karena problem yang pelik itulah Klinik Seni Taxu menghadapi ancaman perpecahan, walaupun sampai saat ini (November 2006)—ketika naskah ini ditulis—belum dibubarkan secara resmi. Tapi beberapa kegiatan secara kelompok praktis macet total. Yang bergeliat adalah para anggota-anggota Taxu yang melakukan pameran secara pribadi-pribadi.
Taxu secara kelompok seperti tercermin pada anggota-anggotanya sudah mulai berubah dari kelahiran pertama yang terlalu menekankan konteks. Kini yang menjadi fokus dari karya-karya seniman Taxu adalah tampilan visualnya yang menarik-menarik. Ini dibuktikan dari diterimanya para anggota Taxu dalam setiap pameran yang mereka ikuti. Tentang beban sejarah Mendobrak Hegemoni Arsana mengungkapkan bahwa semuanya tentu tidak bisa dibebankan pada Taxu semata. Juga kepada kelompok lain yang tergerak dan berinisiatif untuk mendinamiskan perkembangan seni rupa di Bali.[40]
Dari segi pencarian visual, pascagerakan Mendobrak Hegemoni 2001, kritik terhadap hegemoni infrastruktur dan kuasa wacana seni rupa Bali ternyata tidak cukup. Ada satu pernyataan selalu saya ingat, yang lebih saya anggap sebagai tantangan, “Buktikan dengan karya dong.” Tidak salah memang pernyataan itu. Tapi seiring perkembangan, tantangan visual itu mulai terjawab. Perlahan tapi pasti kecenderungan seni rupa kontemporer dengan selalu mempertanyakan representasi dijawab dengan bahasa visual realis. Disadari atau tidak, kecenderungan pasca-Mendobrak Hegemoni 2001 menunjukkan itu semua.
Kecenderungan ini dimulai dari persentuhan seniman-seniman muda yang tergabung dalam Klinik Seni Taxu dengan “Geng Bandung”, termasuk dengan Chusin Setiadikara, yang tinggal di Bali.[41] Persentuhan inilah yang kemudian berdampak pada eksplorasi terus-menerus untuk pencarian bahasa visual yang tepat. Ini ditunjukkan dengan pernyataan bahwa citra Klinik Seni Taxu sebagai “kelompok kiri” yang sangat politis-kontekstual perlahan dijauhi untuk kembali mencari “khittoh berkesenian” dalam idiom bahasa visual realis.

Dalam kurun waktu empat tahun setelah berdiri di tahun 2002 Taxu telah mengalami transformasi pemikiran, dan yang penting adalah transformasi estetik, yang kemudian tampil dalam karya-karya mereka. Dalam waktu yang singkat pula, image Taxu tiba-tiba menjadi sangat ideologis dari beberapa even yang pernah mereka tampilkan tersirat sebuah ideologi yang mendasari praktek kreatif berkesenian mereka. Dalam perspektif sederhana ideologi itu sering dibaca memilliki implikasi politis, sehingga secara cepat terlontar stigma seperti misalnya Taxu sebagai komunitas kiri dan sebagainya. Sementara bagi Taxu sendiri pergerakan yang mereka lakukan murni dalam frame kesenian.[42]

Aspek estetik inilah yang kemudian dititik beratkan pada pergerakan Taxu di tahun-tahun belakangan ini. Penggalian estetik dalam hal ini dapat dibaca sebagai bentuk penggalian pada ideom visual, bukan tematis. Karya-karya mereka tidak lagi terlihat menggejar penggalian makna kontekstual, begitu juga pilihan subyek mater umumnya hadir dalam komposisi yang sublim, minim narasi. Pada pergerakan ini umumnya mereka lebih memilih seni lukis sebagai medium pencarian kreatif, dan pencarian lebih difokuskan pada pencaharian pada rupa realistik.[43]

Bali Bienalle 2005 dan Kuasa Gerakan Ajeg Bali
Beriringan dengan semakin hangatnya wacana Ajeg Bali, dunia seni visual dihangatkan dengan kehadiran sebuah even seni yang sangat prestisius. Untuk pertama kalinya Bali mengadakan sebuah even yang ditunggu-tunggu, Bali Bienalle 2005 sebagai pemetaan perkembangan seni visual di Bali. Terang saja even ini sangat menggugah seluruh dunia seni visual di Bali untuk menantikannya, terutama pascaketegangan jagad seni di Bali pascaeven ”Mendobrak Hegemoni” Kamasra STSI/ISI Denpasar 2001.
”Space & Scape” yang menjadi tema Bali Bienalle 2005 diungkapkan oleh ketua dewan kuratornya, Putu Wirata Dwikora, sebagai perayaan pada keragaman.

Perayaan pada Bali sebagai wilayah terbuka. Berangkat dari visi menjadikan Bali sebagai ruang budaya yang terbuka itulah—ruang di mana berlangsungnya interaksi, konflik, akulturasi, inkulturasi, bahkan juga adaptasi kultural—para penggagas Bali Bienalle ini menurunkan ”Space & Scape” menjadi delapan sub-tema. Delapan sub-tema ini bukanlah rekayasa kultural, tetapi semata-mata metode pembacaan dari beragam kecenderungan dalam perkembangan seni rupa dan kebudayaan di Bali. Delapan sub-tema ini bukanlah ”ciptaan kuratorial”, tetapi semata galian dari fakta dan data historis yang ada.[44]
Even akbar ini dimulai pada akhir bulan agustus sampai dengan pertengahan bulan September 2005 dengan berlangsungnya serangkaian pameran Pra Biennale di sembilan galeri berbeda dengan menampilkan 95 perupa. Pameran ini merupakan pameran pendahuluan sebelum Summit Bali Biennale, yang akan digelar pada tanggal 16 November 2005- 4 Januari 2006.
AAGN Ari Dwipayana memulai perdebatan kritis mempertanyakan konstruksi politik kebudayaan yang terbaca dalam pelaksanaa Bali Bienalle 2005.[45] Ia menyatakan tentu akan timbul sejumlah pertanyaan ketika menyaksikan serangkaian pameran Pra Biennale; rumusan identitas budaya Bali seperti apa yang ingin diungkap dalam Bali Biennale?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Ari mulai dengan meminjam pendapat I Wayan Juniarta di Harian Kompas tentang Bali Biennale.[46] Bagi Juniarta, Bali Biennale berani melakukan pembacaan baru yang sistimatik dan komprehensif dalam perjalanan seni rupa Bali, di tengah arus deras arogansi etnis, benturan kebudayaan, Jawa phobia dan radikalisasi Hindu yang melanda Bali. Langkah beda dari Bali Biennale terlihat ketika Bali Biennale tidak menggunakan kreteria etnis maupun tradisi sebagai landasan kuratorialnya melainkan didasarkan pada sejauhmana interaksi budaya yang dialmi perupa (Bali dan non Bali) dengan kebudayaan Bali dan bagimana interaksi itu kemudian mempengaruhi proses kreatif dan estetik si perupa. Bahkan dalam tema “Space and Scape” yang diusungnya, Bali Biennale menegaskan pengakuan dan penghormatan terhadap keterbukaan budaya Bali.
Ari Dwipayana mengungangkapkan, kampanye Ajeg Bali dan sikap terbuka Bali Biennale mengandung sejumlah kedekatan; Pertama, keduanya ingin membangun proyek ekonomi-politik baru atas budaya Bali. Jika kita mengikuti logika studi yang dilakukan, baik oleh Adrian Vickers (1998) maupun Picard (1997) yang menggabarkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda mendefinisikan kembali citra kebudayaan Bali, maka melalui Ajeg Bali dan ajang Bali Biennale kita bisa menyaksikan keterlibatan aktor-aktor baru, setidaknya terlihat dari peran Satria Naradha dari Bali Post maupun posisi para pemilik Galery besar dalam mendefinisikan perjalanan seni rupa Bali.
Titik persamaan yang kedua adalah kedua proyek perumusan identitas budaya Bali itu cenderung mempunyai cara pandang yang romatik dalam melihat budaya Bali. Kalau dikaji lebih dalam, asumsi dasar yang digunakan kedua wacana itu adalah sama yakni: citra Bali yang harmonis, Bali yang damai, Bali yang dialogis, dan Bali yang menghormati perbedaan dan keragaman. Dengan demikian, kedua wacana itu sesungguhnya sama-sama ingin membangun kembali citra populer Bali sebagai pulau surga. Dalam representasi Bali sebagai Pulau Surga; segala sesuatunya berjalan dengan damai seperti kehidupan di “nirwana” dan tidak pernah ada masalah yang serius dalam budaya dan masyarakat Bali, termasuk ketika harus berinteraksi dengan perbedaan dan keragaman. Bahkan, Bali Beinnale mulai dengan keyakinan bahwa kebudayaan Bali adalah produk dialog damai. Tentu, akan muncul serangkaian pertanyaan atas asumsi dasar itu : apakah memang tidak pernah ada masalah dalam budaya Bali dalam menyikapi perbedaan? Apakah memang benar budaya Bali merupakan hasil dari serangkaian dialog damai? Apakah benar perjalanan budaya Bali berjalan begitu linear, tanpa konflik dan kekerasan? Apakah benar kebudayaan Bali dibangun dengan semangat keterbukaan dan menghormati perbedaan? Bagaimana menjelaskan konflik dan kekerasan yang muncul dalam sejarah Bali? Bagaimana menjelaskan pergulatan seniman-seniman politik di era tahun 1960-an? Bagaimana menjelaskan tindak kekerasan yang terjadi di Bali saat ini dalam merespon perbedaan?[47]
Jadi jelaslah, kehadiran Bali Bienalle 2005 beriringan berjalan untuk mengkonstruksi kembali politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Representasi atas Bali kembali dibangun dalam sebuah project bertemunya jaring-jaring kekuasaan lama yang dikritik dan dibongkar oleh gerakan Mendobrak Hegemoni. Kehadiran Bali Bienalle 2005 juga bertepatan dengan gemuruhnya kampanye bagaimana menjaga identitas dan kebanggaan pada Bali dengan budayanya yang “kuat dan kokoh” menerima pengaruh budaya luar. Kampanye Ajeg Bali menjadi sebuah rezim baru untuk mencipta, menafsir dan merepresentasikan kebudayaan dan khususnya seni visual di Bali. Rezim kekuasaan kadang tidak beroperasi jauh dalam bayangan kita pada kekuasaan otoritas galeri, pemilik museum, politik media massa, dan licik dan rayuan kapital, tapi pada sentimen identitas dan penguatan budaya, sebuah konsep fluid di mana operasi kekuasaan melalui agency-agency para pemain seni visual mementaskan pertarungan mereka.
Kritik tajam tersebut seolah menyiratkan bahwa proyek Bali Bienalle tidak bisa dilepaskan dari konstruksi awal ideologi kesenian Bali yang dibahas di bagian awal studi ini. Proyek “romantisasi” seni dan budaya Bali kembali “dicanggihkan” lewat even-even yang mempertemukan jejaring kekuasaan dalam infrasturktur seni rupa yang dikritik oleh gerakan Mendobrak Hegemoni 2001.[48]
Landasan itu pula yang mendasari sebuah even bertajuk “Bali yang Binal” pada September 2005. Lebih dari keinginan mengkritik even Bali Bienalle 2005, kegiatan yang dilaksanakan oleh Komunitas Pojok dan Komunitas Seni di Denpasar ini menguraikan dasar dari proyek representasi seni baru yang coba dilakukan Bali Bienalle 2005. Jejaring kekuasaan seni pasca 1965 —yang dihidupi oleh relasi antara pariwisata, modal, dan keotentikan budaya— menciptakan sebuah gurita infrastruktur seni yang kemudian secara bersama-sama menciptakan sebuah relasi kuasa yang tanpa sadar membelenggu dunia seni di Bali. Keaslian kebudayaan sebagai sebuah warisan dari kuasa kolonial dimainkan betul terutama oleh kelompok seniman yang merasa diuntungkan olehnya. Spirit ke-Bali-an berelasi dengan jejaring kekuasaan infrastruktur, dan dikonsumsi untuk industri seni dan pariwisata menjadi tema dan pergunjingan umum di masa puncak rezim Orde Baru dan ideologi “pariwisata budaya” di Bali.[49]


$$$$$$$$$$$$$$$


DAFTAR PUSTAKA

Antariksa
2005 Tuan Tanah Kawin Muda (Hubungan Seni Rupa dan Lekra 1950-1965). Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Arsana, Wayan
2003 Klinik Seni Taxu dan Perubahan Perspektif Berkesenian, pengantar katalog Pameran “Hati-Hati !!! Ada Upacara Taxu” Kitsch Edisi Khusus, Januari 2003.
Bagus, I Gusti Ngurah
t.t. “Sanggar Dewata Indonesia: Akar Visinya dalam Berkreativitas”.
Bali Post
2004 Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita. Denpasar: Bali Post.
Bayak, Muliana
2004 Sejarah yang Terputus dari Perjuangan Seniman Lekra Bali, Kitsch Buletin Seni Rupa Klinik Seni Taxu edisi 8 Mei-Agustus 2004.
Brita L. Miklouho-Maklai
1998 Menguak Luka Masyarakat (Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966). Jakarta: Gramedia.
Coteau, Jean
2003 Wacana Seni Rupa Bali Modern dalam Paradigma dan Pasar, Aspek- Aspek Seni Visual Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Cribb, Robert (ed)
2003 The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pengembangan Permuseuman Bali 1987/1988 Mengenal Nilai-nilai Luhur dalam Wayang Gaya Kamasan.
Djelantik, A.A.M.
1988 Kecenderungan Perkembangan Seni Lukis Bali dan Ketahanan Gaya- gaya Tradisional dalam Jiwa Atmaja (ed), Puspanjali (Persembahan untuk Prof. Dr. Ida Bagus Mantra). Denpasar: CV Kayumas.
Dwipayana, A.A.G.N. Ari
2005 Bali: Surga Bertepi Kekerasan, Pengantar buku I Ngurah Suryawan, 2005, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan). Yogyakarta: Kepel Press.
Eklof, Stefan
2003 Pembunuhan-pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (ed), Order Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998). Yogyakarta: LKiS.
Haryatmoko
2002 Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari- Februari.
Holt, Claire
1995 Jejak Perjalanan Seni di Indonesia. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Huskeen, Huub de Jonge (ed)
2003 Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998). Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Irianto, Asmudjo Jono
2006 Klinik Seni Taxu 2006, Pengantar kuratorial Pmeran Klinik Seni Taxu di CP Art Space, 2006.
2005 Tamarind...In Pursuit of Identity, Pengantar Kuratorial Pameran di Nava Gallery 28 Agustus-28 September 2004.
Juniarta, I Wayan
2005 Bali Bienalle: Merayakan Keragaman dan Keterbukaan Bali, dalam Kompas 4 September.
Kalam, Drs AA Rai
1987 Seni Lukis Tradisional Bali, Laporan Penelitian Program Studi Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana Bali.
Moeljanto, DS dan Taufiq Ismail (ed)
1999 Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk). Jakarta: Penerbit Mizan dan HU Republika.
Nashar
2002 Nashar oleh Nashar. Yogyakarta: Bentang.
Nordholt, Henk Schulte
2002 Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Parta, Sri Yoga, I Ngurah Suryawan, Gde Mahendra Yasa
2004 Sapihan Memori, Narasi Menuju Humanisme, Pengantar kuratorial pameran Memasak dan Sejarah, Klinik Seni Taxu di Cemeti Art House 9 Juni-4 Juli.
Parta, Sri Yoga
2005 Perimbangan antara Teks dan Konteks, dalam Kitsch edisi 8, 2005.
2006 Klinik Seni Taxu: Dari Persoalan Konteks ke Persoalan Bahasa Rupa, naskah co-curatorial Pameran Klinik Seni Taxu di CP Art Space.
Pitana, I Gde
1999 Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad. Denpasar: Bali Post.
Putra, I Nyoman Darma
2004 Sastra dan Politik: Pertumbuhan, Kejatuhan, dan Konflik Lekra dengan LKN di Bali 1950-1965 dalam Wibawa Bahasa (Persembahan untuk Prof. Dr. I Wayan Bawa), Denpasar, Program Pascasarjana S2-S3 Linguistik Universitas Udayana dan Penerbit Bali Mangsi.
Resbowo, Basuki
2005 Bercermin di Muka Kaca, Seniman, Seni, dan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Rinu, Ni Made
1993 Perkembangan Seni Lukis Wayang di Buleleng, Laporan Penelitian Program Studi Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana Bali.
Robinson, Geoffry
1995 The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.
2006 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta: LKiS.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor)
2004 Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Santikarma, Degung
2000 Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, dalam Kompas 1 September.
2003 Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal, dalam Kompas 1 Agustus.
t.t. Budaya, Kuasa, Pariwisata, Makalah tidak Dipublikasikan.
2001 Seni Melawan Seni, dalam Kompas 11 Maret.
2003 Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger, dalam Kompas 7 Desember.
Setia, Putu
2004 Ajeg Bali atau Ajeg Hindu, dalam Majalah Raditya No. 89 Desember.
Sidhi, Ipong Purnama
1995 Panorama Seni Lukis Bali Masa Kini: Tradisi dan Pertumbuhan, pengantar pameran Seni Lukis Tradisional Bali Gaya Ubud dan Batuan di Bentara Budaya Jakarta, 7-17 Juli.
Sika, Wayan
1998 Peranan Sanggar Dewata dalam perkembangan Seni Lukis Bali Masa Kini, Sambutan dalam Hari jadi Sanggar Dewata Indonesia ke-28.
Sudjojono
2000 Seni Lukis, Kesenian dan Seniman. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.
Sulistyo, Hermawan
2000 Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Gramedia.
Sunarta, Wayan
t.t Pita Maha dan “Sanur School, Dua Terminal Utama Seni Lukis Modern di Bali, Artikel tidak Dipublikasikan.
Supartono, Alexander
2000 Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Skripsi di STF Driyarkara.
Suryawan, I Ngurah
2005 BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
2005 Jejak-jejak Manusia Merah, Siasat Politik Kebudayaan Bali. Yogyakarta: Elsam dan Buku Baik.
2005 Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan. Yogyakarta: Kepel Press.
2000 Jejak Sang Maestro (Sejarah Perjalanan Seni Lukis Bali), Laporan KKN (Kuliah Kerja Nyata) Opsional Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
2001 Menuju Gerakan Seni Rupa Baru Bali, Membongkar Hegemoni Moral dan Kultural Seni Rupa, dalam Kompas 1 April 2001 juga dalam Katalog Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar, Februari.
2003 Budaya Taxu = Budaya Palsu (Membongkar Peta Pemikiran Seni dan Budaya Bali), pengantar katalog “Hati-Hati !!! Ada Upacara Taxu” Pameran Perdana Klinik Seni Taxu, Januari.
2004 Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan dalam Kompas 7 Januari. 2005 Bali yang Binal: Sebuah Subversi, Pengantar kuratorial pameran Bali yang Binal, Komunitas Pojok dan KSDD (Komunitas Seni di Denpasar), Gedung Art Centre Denpasar, 17-24 September 2005.
Susanto, Mikke
2003 Perihal “Kelompok” Seni Rupa (Melacak Pososo Kritis Sanggar Dewata Indonesia), tulisan dalam katalog pameran seni rupa 32 Tahun Kebersamaan Sanggar Dewata Indonesia, 25 Januari-3 Februari 2003 di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed)
2004 Hermeneutika Pasca Kolonial, Soal Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Vikers, Adrian
1989 Bali: A Paradise Cretated, Victoria Penguin.
Wirata, Putu
1996 Arie Smith Memburu Cahaya Bali. Denpasar: Museum Neka.
2005 Pengantar Kuratorial Pra Bali Bienalle 2005, Ruang dan Dimensi Keragaman dalam katalog Space & Scape, Visual Art Exhibition, Pre Bali Bienalle 2005.
Yasa, I Gde Mahendra Yasa
2002 Realita Kuantum atau Realitas Kuantitas?, dalam Buletin Kitsch Buletin Seni Rupa Klinik Seni Taxu, Agustus-September.
Yuliman, Sanento
2001 Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta: Kalam.



JURNAL/MAJALAH/KORAN/BULETIN/SELEBARAN/KATALOG
BASIS edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
Bali Post, 4 Maret 2001
Buletin Kitsch serta Katalog Pameran Perdana Klinik Seni Taxu, “Hati-Hati!!! Ada Upacara Taxu”, Januari 2003.
Katalog Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar, 23-24 Februari 2001 di Lapangan Puputan Badung.
Katalog Pameran Memasak dan Sejarah, Klinik Seni Taxu di Cemeti Art House 9 Juni-4 Juli 2004.
Katalog Pameran Tamarind...In Pursuit of Identity, 28 Agustus-28 September 2004 di Nava Gallery Bali.
Katalog Pameran ...Membaca Realisme, 5-19 Januari 2005 di Nava Gallery Bali.
Selebaran Kronologis Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi pameran Kontra PKB, Juni 2001.
KITSCH, Buletin Seni Rupa Klinik Seni Taxu edisi 8 Mei-Agustus 2004.
KITSCH, Buletin Seni Rupa Klinik Seni Taxu edisi Agustus-September 2002.
Majalah Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, edisi 21 November 2005.
Materi Musyawarah Besar (Mubes) Sanggar Dewata Indonesia, Wantilan Taman Budaya Denpasar 21 Februari 2003.
Majalah Suardi, edisi 17 Mei 2006.
Pamflet Industrialisasi Seni, Gde Mahendra Yasa dkk, Kamasra STSI Denpasar
Pamflet, Isu Paling Gress!!!, Kamasra STSI Denpasar 2001
Pamflet Pesta Kapitalisme Bali, Pemerintah Kolonial Bali, 16 Juni 2001.
Pleidoi Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar, Mendobrak Si Moni, 2001.
Radar Bali, 14 Februari 2001, Mendobrak Erawanisme Dll.
SEJARAH 9, Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, Masyarakat Sejarawan Indonesia.
SUAKA, Buletin Seni Mendobrak Hegemoni edisi Maret 2001.
Selebaran Krononologis Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi Pameran Kontra PKB, Juni 2001.
WACANA, Kekerasan dalam Masyarakat Transisi edisi IX/2002.


TENTANG PENULIS
I Ngurah Suryawan *) adalah peneliti dan penulis independen. Menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, pada tahun 2006 dengan skripsi “Bertutur di Balik Senyap (Studi Antropologi Kekerasan dan Pembantaian Massal Tragedi 1965 di Kabupaten Jembrana)” di samping sempat mengenyam pendidikan di ISI Denpasar. Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan. Menulis buku, BALI: Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Penundukan dan Perlawanan), 2005. Sedang melakukan penelitian tentang pergulatan kelompok subaltern Bali. Artikel ini adalah review dari manuskrip penelitiannya dalam program Tuhfah “Sejarah Senyap” Penelitian dan Penulisan Seni Rupa Yayasan Seni Cemeti 2006 dengan judul, “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni (Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali)”. Ia bisa dihubungi di email: ngurahsuryawan@gmail.com.



[1] Naskah ini review dari manuskrip Program Tuhfah “Sejarah Senyap”, Penelitian dan Penulisan Seni Yayasan Cemeti 2006. Secara keseluruhan manuskrip yang terdiri dari tujuh bab ini berjudul, Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni (Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali).
[2] Lihat Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun Ke-51, Januari – Febaruari 2002, hlm. 8- 21.
[3] Ibid, hlm.10-11.
[4] Lebih lengkap lihat I Gde Pitana, Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad (Denpasar: Bali Post,1999), hlm.10.
[5] Henk Schulte Nordholt, Penciptaan Bali Tradisional: Etnografi Kolonial dan Reproduksi Birokrasi, dalam Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 185.
[6] Bahan publikasi tentang Arie Smith banyak diterbitkan oleh Museum Neka, di mana pemiliknya Pande Wayan Suteja Neka adalah sahabat karib Arie Smith. Diantara publikasinya adalah, Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, (Gianyar: Museum Neka, 1996) dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, (Jakarta: Yayasan Seni Rupa AIA, 1993).
[7] Saya telah melakukan studi awal atas kongsi sejarah seni rupa Bali, sejak lahirnya perkumpulan bernama Pita Maha. Diantaranya adalah Jejak Sang Maestro (Sejarah Perjalanan Seni Lukis di Bali) dalam Laporan KKN (Kuliah Kerja Nyata) Opsional di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, 2000. Juga dalam beberapa bagian buku saya, Mensubversi Seni: Jejak Politik Kesenian di Bali dalam Sandyakalning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), (Yogyakarta: Kepel Press, 2005) dan Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), (Yogyakarta: Elsam dan Buku Baik, 2005).
[8] Pokok pikiran dikembangkan dari Sunaryo, Rasisme dalam Hasrat Kolonialisme dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 121-130.
[9] Lihat Haryatmoko, op.cit. hlm. 8- 21.
[10] Jean Cotteau, Wacana Seni Rupa Bali Modern dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2003), hlm. 122.
[11] Geoffry Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 8.
[12] Ibid. Selanjutnya Geoffry menjelaskan peran dari para sarjana kolonial untuk “membentuk” Bali sangat berpengaruh hingga kini—yang kemudian diyakini, dilembagakan dan diwarisi tanpa kritik oleh orang Bali sendiri dalam melihat kebudayaannya. Tradisi kesarjanaan, intelektual kolonial inilah yang disebut dengan “Baliologi” dengan tokoh sarjana yang sekaligus merangkap sebagai pejabat kolonial yaitu F.A Liefrink dan V.E Korn. Kedua sarjana ini meletakkan fondasi pengetahuan “ilmiah” tentang Bali melalui serangkaian kajian etnografi, filologis, hukum yang dilakukan sejak akhir abad ke-19 hingga dekade 1920-an. Kajian-kajian inilah yang kemudian menjadi “dasar” dalam terbentuknya citra dan inti kebudayaan Bali hingga kini, semisal dasar-dasar Hukum Adat Bali, pemahaman masyarakat bali tentang “keaslian, keotentikan” kebudayaannya. Sarjana dan seniman lainnya yang mengikuti Liefrink dan Korn adalah Margaret Mead, Gregory Bateson, Jane Belo, Walter Spies, Colin McPhee, Katherine Merson, Miguel Covarrubias, dan yang lainnya.
[13] Seluruh bagian tentang politik Balinisasi, Baliseering diambil dari Geoffry Robinson, op.cit, hlm. 74-76.
[14] Ibid, hlm. 78.
[15] Sangat jarang yang coba mengungkap sejarah seni rupa Lekra di Bali. Seolah sejarah mereka (di)hilangkan dalam perjalanan seni rupa Bali. Usulan penelitian dan penulisan Tuhfah ini mencoba untuk membahas dalam satu bagian tentang sejarah dan kiprah seniman Lekra di Bali dalam Mereka yang Dihilangkan (Kesaksian Kiprah Seniman Lekra di Bali) yang didapat dari hasil riset independen sebelumnya dengan melakukan wawancara dengan seniman Lekra yang masih hidup di Bali
[16] I Nyoman Darma Putra, Sastra dan Politik: Pertumbuhan, kejatuhan, dan Konflik Lekra dengan LKN di Bali 1950-1965 dalam Wibawa Bahasa (Persembahan untuk Prof. Dr. I Wayan Bawa), (Denpasar: Program Pascasarjana (S2-S3) Linguistik Universitas Udayana-Penerbit Bali Mangsi, 2004), hlm. 292-312. Darma Putra mengungkapkan hal ini dengan mengutip Laporan Lekra Bali pada Harian Rakjat 7 April 1962 hlm. 3.
[17] Ibid. hlm. 295.
[18] Seperti juga diturukan Raka Suasta (April 2004 dan Mei 2005), seorang seniman Lekra Bali yang melihat teman-temannya masuk menjadi anggota PKI. Tapi ia sendiri memilih untuk tidak masuk partai. Ia mengetahui bahwa Lekra secara organisasi tidak diharuskan untuk masuk PKI.
[19] Lihat studi dari Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000.
[20] Ibid.
[21] Nyoman Darma Putra, op.cit., hlm. 302-303.
[22] Ibid, hlm. 306.
[23] Wawancara dengan Raka Antara di studionya di Ubud, 26 April 2004. Sebagian ceritanya ditulis Muliana Bayak, Sejarah yang Terputus dari Perjuangan Seniman Lekra Bali, Buletin Kitsch Klinik Seni Taxu, edisi 8 Mei-Agustus 2004. Sangat sulit mencari jejak kiprah seniman Lekra di Bali kini yang masih hidup dan bersentuhan dengan dunia seni rupa.
[24] Seperti dituturkan Raka Antara di studionya 26 April 2004 dan Mei 2005.
[25] Ibid.
[26] Ibid
[27] Ibid.
[28] I Gde Pitana, Pelangi Pariwisata Bali (Denpasar: Bali Post, 1999), hlm. 19-20.
[29] Degung Santikarma, Budaya, Kuasa, dan Pariwisata. Makalah tidak dipublikasikan.
[30] Komunikasi pribadi dengan Degung Santikarma via email, Januari-Maret 2005. Seperti juga ditulis dalam Budaya, Kuasa, dan Pariwisata, sebuah makalah tanpa tahun.
[31] Jean Cotteau, op.cit, hal. 125-141 dalam ulasannya tentang gelombang modernis 1950-1990 dalam seni rupa Bali.

[32] Lihat Degung Santikarma, Seni Melawan Seni, Kompas 11 Maret 2001.
[33] Famflet Isu paling Gress!!! yang sangat sederhana dan menjadi awal dari gerakan Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar. Berisi pemaparan beberapa infrastruktur seni rupa dengan segala kritiknya. Diantaranya Media Massa: Kritikus seni cenderung sebagai agen promosi dan periklanan, atau Seniman: seniman terikat kontrak dengan galeri yang akhirnya membelenggu kemerdekaan berkreasi. Lainnya, ada pokok kritik untuk galeri, museum, art shop, kompetisi, dan spekulan seni. Karya yang paling mewakili semuanya tentunya adalah Manifesto Kebudayaan yang berisi kecaman pada jurnalis, kritikus juga dosen-dosen malas di STSI Denpasar dengan gaya kalimat plesetan dan bercanda. Yang lainnya diantaranya lukisan berjudul Potret Nyoman Erawan mirip gorila, Art Ne Pis (plesetan Art and Peace, proyek miliaran Made Wianta), Sangkar Dewata Indonesia (plesetan untuk Sanggar Dewata Indonesia), dll. Lebih lengkap lihat katalog Mendobrak Hegemoni, 2001.
[34] Buletin Suaka edisi Maret 2001 terbit setelah katalog Mendobrak Hegemoni. Isinya tentang Pembelaan dari Kamasra dalam Buku Putih Kamasra-gate, Kritik STSI Denpasar.
[35] Lihat paper Pleidoi Mendobrak Hegemoni Si Moni (Kamasra STSI Denpasar), dalam diskusi 30 Maret 2001 di kampus STSI Denpasar.
[36] Famflet Pesta Kapitalisme Bali, juga sub judul Pemerintah Kolonial Bali yang menyediakan dana kurang lebih 1 milyar rupiah untuk pesta yang membosankan dan layaknya seperti pasar malam ini. Selebaran ini juga tersebar saat berlangsungnya pembukaan PKB di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali 16 Juni 2001.
[37] Kronologis peristiwa perusakan karya saat Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi Pameran Kontra PKB, Juni 2001.
[38] Lihat terbitan perdana Buletin Seni Rupa Kitsch Agustus-September 2002.
[39] Lihat Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam I Ngurah Suryawan, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005.
[40] Wawancara Wayan Arsana, 26 Juni 2006.
[41] Catatan lapangan dan pengalaman sepanjang tahun 2004 dan 2005.
[42] I Wayan Seri Yoga Partha, Klinik Seni Taxu: Dari Persoalan Konteks ke Persoalan Bahasa Rupa, bahan awal tulisan pameran Klinik Seni Taxu di CP Art Space Jakarta, 2006 yang kemudian menjadi bahan tulisan Asmudjo J. Irianto, Klinik Seni Taxu 2006.
[43] Ibid.
[44] Putu Wirata Dwikora, Pengantar Kuratorial Pra Bali Bienalle 2005, Ruang & Dimensi Keragaman, dalam katalog Space & Scape, Visual Art Exhibition, Pre-Bali Bienalle 2005, hlm. 2. Kedelapan sub tema itu antara lain: Pilgrimage yang merujuk pada karya-karya yang diciptakan perupa asing yang telah lama bermukim di Bali; “Voyage menampilkan petualangan perupa nusantara di tanah Bali; “Echo” merujuk karya perupa Bali dengan gaya tradisi namun mengungkapkan masalah kontemporer; “Embodiment” mengangkat perupa Bali dengan gaya modern namun memaknai ulang tradisi; “Déjà vu” perupa dengan penjelajahan estitik baru dengan tema universal; “Edifice” menampilkan seni baru diluar patung dan seni lukis; “eksplorasi” mengangkat penjelajahan tematik dan material dari seniman patung; “Discourse” menampilkan karya perupa non Bali.
[45] Semua bagian pendapat AAGN Dwipayana ini dikutip dari, BALI: Sorga Bertepi Kekerasan, pengantar dalam buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), (Yogyakarta: Kepel Press, 2005) hlm.13-24.
[46]I Wayan Juniarta, Bali Biennale: Merayakan Keragaman dan Keterbukaan Bali, Kompas, 4 September 2005.
[47] AAGN Ari Dwipayana, Bali: Surga Bertepi Kekerasan, hal. 13-24 dalam pengantar buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Kepel Press 2005.
[48] Sebagai perbandingan lihat uraian lebih detail tentang kritik gerakan Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI/ISI Denpasar di Bab 5, Mendobrak Hegemoni: Membongkar Relasi Seni, Modal, Kebudayaan dan Kekuasaan dalam studi ini.
[49] Lebih detail mengenai uraian relasi kuasa ideologi “pariwisata budaya” dalam dunia seni di Bali, khususnya dalam kelahiran SDI (Sanggar Dewata Indonesia), lihat Bab 4, Ideologi “Pariwisata Budaya” dan Lahirnya Sanggar Dewata Indonesia dalam studi ini.

Tidak ada komentar: