Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Imperium Bali Post dan Ajeg Bali: Kuasa Budaya dan Industri Media

Melalui sebuah situs media massa lokal Bali, saya membaca sebuah berita yang menarik. Seorang ketua partai politik dengan tegas mengatakan akan mendidik satgas dan kader partainya untuk mengamankan dan meng-ajegkan Bali. Pernyataan ini ia lontarkan sejak mulai panasnya suhu politik di Bali dan berujung pada kasus Petandakan dan Bantuning Buleleng yang menelan dua nyawa. “Saya seruakan kepada seluruh kader partai tanpa kecuali untuk bersama-sama mengajegkan Bali,” katanya tegas. Dalam halaman koran seminggu kemudian, saya membaca sebuah sekolah dengan murid-muridnya, ditemani oleh guru dan orang tua siswa akan studi banding ke luar negeri. Pimpinan rombongan mengatakan, selain program pendidikan, mereka akan mensosialisasikan konsep Ajeg Bali.

Pasca Bom Kuta, 12 Oktober 2002, berbagai macam reaksi orang Bali. Tuduhan pertama langsung menunjuk pada cap teroris yang dijadikan musuh bersama dari rangkaian teror yang dilakukan di Bali. Kelanjutannya adalah dilakukannya razia penduduk liar di seluruh wilayah di Bali. Penduduk yang datang ke Bali tanpa dilengkapi identitas akan dipulangkan dengan paksa ke daerah asalnya. Bali adalah daerah bebas teroris. Maka lahirlah jargon-jargon Mari Bersama Jaga dan Amankan Bali, De Koh Ngomong (Jangan Malu Bicara), untuk memprovokasi orang Bali untuk tidak malu-malu bicara.” Dalam diskursus kebudayaan yang melibatkan dan mempermaikan asli dan non-asli Bali, pernah ada jargon, “Disini Pemulung Dilarang Masuk” atau “Masuk Wilayah ini, Anda Harus Dilengkapi Identitas Diri dan Melapor Dalam 1 X 24 Jam.”

Kebudayaan bagi orang Bali dulu dan kini adalah apa yang mereka sering lakukan sehari-hari. Diskursus tentang kebudayaan—dalam perspektif orang Bali---adalah rutinitas sehari-hari orang Bali yang kemudian dibentuk dalam kajian intelektual menjadi sebuah term “kebudayaan” Bali. Lihat saja misalnya bagaimana rutinitas yang harus dilakukan oleh seorang kakek pencari bunga untuk pertunjukan barong di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar. Seminggu dua kali, kakek renta ini, mengumpulkan bunga-bunga segar untuk pertunjukan Barong Dance di Banjarnya. Kegiatan ini dilakukan tentu tidak berepretensi untuk melihatnya sebagai sebuah kebudayaan, tapi kemudian sarjana asing dan intelektual Bali melaihatnya sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi kebudayaan Hindu Bali. Padahal mungkin saja dalam benak si kakek, apa yang ia lakukan untuk penunjukan rasa bakti pada Tuhannya, atau mungkin hanya sekadar untuk mencukupi makan sehari-harinya.

Seperti juga begitu sederhananya jargon kebudayaan Ajeg Bali yang entah nanti mau “dilarikan” kemana. Tapi paling tidak saat ini—lewat propaganda dari media massa, dan terutama elektronik—diskurus ini dengan mudah saja bisa diamini dan diterima sebagai bentuk sikap untuk nindihin (membela sampai mati) Bali yang paling gampang untukl dilakukan. Dalam obrolan di warung-warung desa di Bali, Bom Bali dan teroris adalah Kala (mahluk jahat) yang bisa menghancurkan Bali. “Tiang (saya) siap nindihin (membela sampai mati) Bali melawan teroris, “kata warga masyarakat di warung desa. Nindihin bagi masyarakat Bali adalah sebuah pembelaan, sebuah sikap wujud kecintaan pada tanah air Bali. Sebelumnya, saat perang kemerdekaan 1942-1945, Bali sangat terkenal dengan semangat puputannya (perjuangan melawan penjajah sampai titik darah penghabisan). Kini, semangat puputan ditunjukkan dengan sikap nindihin Bali bukan melawan kolonial Belanda dan Jepang, tapi melawan teroris dan orang-orang yang merusak kebudayaan Bali.

Salah satu senjata yang kini bisa dipakai lagi—selain kebudayaan—adalah mengajegkan Bali. Maka dimulailah berbagai roadshow keliling ke kabupaten-kabupaten untuk meminta komitmen kepala daerah, bupati dan walikota di Bali untuk mengajegkan Bali. Tidak hanya itu, mereka—para pejabat dan elite politik ini—diserahi spidol untuk menandatangani prasasti ajeg Bali. Mulai saat itulah, jargon Ajeg Bali menjadi sebuah kata angker yang paling benar saat ini di Bali.Keberadaannya kini lebih daripada sekadar pejabat yang membawahi beberapa anak buahnya.Bahkan dalam penyampaian visi dan misi Gubernur Bali, apara calon gubernur disumpah apabila menjabat nanti siap dan siaga dalam mengajegkan Bali. Dalam perbincangan di paruman bale banjar, lomba desa, sampai pada obrolan warung didesa-desa, ajeg Bali kemudian tersebar menjadi sebuah politicly correct bagi para pengacaunya. Lalu apa dibenak mereka bentuk dari mengajegkan Bali ini?

Yang paling sederhana untuk dilihat adalah sebagai sebuah usaha untuk pemurnian identitas ke-Balian. Selama beberapa dekade, identitas ke-Balian (garis hubungan darah, geneologis) adalah sebuah ilusi yang terpelihara kuat dalam pikiran orang Bali. Disaat sedang terpuruknya semua kondisi kehidupan, satu cara defensif yang paling mungkin dilakukan adalah memelihara kebersamaan (identitas). Cara ini secara nyata dipraktekkan orang Bali ketika menghdapi desakan dari hotel tutup, pekerjaan tidak ada dan satu-satunya lowongan yang ada hanyalah menjadi penganguran ataupun pecalang serta preman. Kondisi ini, semakin diperkuat oleh semakin terdesaknya orang Bali asli dalam perebutan sumber dan akses-akses untuk politik, hukum, ekonomi dan tentu saja budaya. Suasana penat dan “kekalahan” dalam pertarungan kehidupan sementara dilupakan oleh orang Bali. Yang kemudian dilakukan adalah menghimpun diri untuk membentuk identitas soroh (hubungan darah), dan kemudian saling unjuk kekuatan. Akhirnya, lahirnya banyak perhimpunan soroh-soroh di Bali. Maha Semaya Warga Pande (untuk soroh Pande) atau Mahagotra Sanak Pasek Sapta Rsi (soroh Pasek) untuk menyebur beberapa contoh. Ini adalah pertahanan terakhir orang Bali, jika berbicara Ajeg Bali. Karena dalam perspektif berpikir beberapa orang Bali, Ajeg Bali adalah pemurnian Bali dalam hal pemurnian ras, idenitas dan soroh. Ini sebenarnya potensi konflik dan kekerasan secara horizontal. Karena jika merunut sejarah, Bali adalah hasil dari pertarungan dan pembersihan soroh-soroh. Dan sampai saat ini soroh-soroh yang ada di Bali, sebenarnya menyimpan konflik dan kekerasan yang terpedam. Tentu saja pemicunya adalah persaingan antar Puri (tempat Raja di Bali yang sekarang masih ada di Bali) ataupun pendobrakan kelas-kelas Sudra (Pasek, Pande dll) terhadap kelas Tri Wangsa (Brahamana, Ksatria dan Waisya) dan teori Kelas dan Kasta di Bali.

Yang paling kontemporer tentunya adalah soal Ajeg Bali dalam kartu identitas kependudukan dan polemik penduduk asli dan tidak asli Denpasar ataupun asli dan bukan asli Bali. Dalam terminologi ini, politik KTP (Kartu Tanpa Penduduk) sangat jelas terlihat. Institusi tradisi oligarkhi seperti desa adat/pekraman dengan perangkat pecalang, sekaa teruna (organisasi pemudanya) menjadi semacam pemegang komando dalam penertiban ini. Politik kependudukan yang sangat terlihat sangat diskriminatif. Ini adalah bentuk defensif dan proteksi yang luar bisa dari orang Bali. Sehingga sebagai ekspresinya diwujudkan dalam politik KTP pada orang dura negara (orang luar negeri) atau nyama dauh tukad (saudara seberang kali/orang luar Bali) yang datang ke Bali. Tentu ini tidak bermaksud menyederhanakan, tapi jika lebih diskursif melihatnya, tentu masalahnya jauh lebih kompleks. Dimana politik KTP ini juga sangat berelasi dengan kepentingan politik institusi adat untuk menunjukkan eksistensi dan identitas asli Bali. Juga dalam relasi ekonomi dimana orang Bali merasa terdesak atas pengaruh dan datangnya orang luar Bali yang merebut lahan-lahan perkerjaan mereka. Sungguh ini begitu sederhana, tapi pencarian eksistensi dan identitas ke-Balian jelas menumpang pada wacana politik KTP ini.

Selain itu adalah hubungan masyarakat Bali dengan politik pariwisata kini yang ambruk di Bali. Jika kita bertanya apa harapan masyarakat Bali kini, jawabannya bisa dipastikan rata-rata, pulihnya kembali pariwisata. Ini memang tidak bisa disalahkan, dimana diskursus pariwisata masuk sangat dalam dan mengusai urat nadi kehidupan dan juga kebudayaan Bali. Kini politik pariwisata Bali adalah berusaha dengan cara apapun untuk mengembalikan citra Bali dan mendatangkan tamu. “Ini adalah untuk kehidupan mayoritas orang Bali,” kata seorang pekerja pariwisata yang hotelnya telah ditutup di wilayah Tanjung Benoa, Nusa Dua. Memang hanya inilah harapan bagi orang Bali: pemulihan pariwisata. Sehingga yang paling ampuh untuk dilakukan adalah mendomplengkan pemulihan pariwsata pada kebudayaan Bali. Bahwa saat ini—dalam perjalanan konsep pariwisata budaya dan orde baru sampai kini--, memang kebudayaan Bali punya hubungan yang saling menguntungkan dengan pariwisata. Dimana pariwisata memanfaatkan kebudayaan sebagai nilai jualnya dan kebudayaan memakai jalan pariwisata untuk memoderenkan dan mendinamiskan dirinya. Dalam sejarah kebudayaan Bali, kebudayaan memang menjadi bagian tidak terpisahkan dari pariwisata, sehingga ada yang menyebutkan pariwisata adalah bagian dari kebudayaan Bali. Ajeg Bali dalam diskursus ini adalah bagaimana politik pariwisata kini berpihak pada orang Bali, dimana arah dan laju pariwisata ditentukan oleh orang Bali. Sehingga nantinya kolaborasi yang “manis” antara pariwisata dan kebudayaan bisa berlangsung baik-baik saja, seperti ketika rezim orde baru sukses menjadikan Bali sebagai laboratorium dan contoh terbaik dari “konsep pariwisata budaya”. Ajeg Bali memang sangat tendensius dan berpretensi untuk mengembalikan citra “aman dan damai” pariwisata Bali dengan berbagai cara.

Tidak dapat dihindarkan memang, jargon Ajeg Bali telah melahirkan berbagai institusi, lembaga tradisonal dan adat, organisasi pemuda, media massa bahkan organisasi preman sebagai penjaga Ajeg Bali ini. Kehadiran lembaga ini, seakan memfasilitasi dan memberikan rasa aman disatu sisi kepada masyarakat yang diuntungkan dari Ajeg Bali dan sebagai teror kekerasan bagi masyarakat yang mencoba kritis dan tidak diuntungkan dari Ajeg Bali ini. Jujur harus diakui bahwa jargon dan propaganda ini, memang menjadi teror yang luar biasa bagi para pendatang di Bali.

Pada konteks ini, kontestasi orang kuat local yang menjadi pioneer penjaga kebudayaan Bali tumbuh dan berada dalam kehidupan sehari-hari orang Bali. Kini, tidak ada lagi “perlawanan” yang begitu kuat dengan sentral atau pada sebuah musuh bersama yang disebut negara. Kini, orang kuat-orang kuat itu lahir dalam diri individu masyarakat Bali sendiri. Akhirnya yang terjadi memang menyebarnya “kekuasaan”—mengikuti Foucault—pada individu orang Bali. Kini kontestasi negara sebagai pemilik sah kekerasan dan kekuasaan, beralih pada masing-masing individu masyarakat Bali yang berkrama (berwarga) desa adat/pekraman, menjadi pecalang ataupun menjadi preman. Kini satuan pecalang desa adat/pekraman di Kota Denpasar, sudah memiliki mobil patroli tersendiri. Mereka menjadi “orang kuat” yang menjadi petugas keamanan toko-toko di pusat kota Denpasar. Setiap malam, satuan pecalang ini melakukan patroli menggunakan mobil, vespa diruas-ruas jalan utama kota Denpasar. Atau juga menjadi “berkuasa” dan memacetkan jalan-jalan dengan membawa layang-layang.

Desa adat/pekraman dengan barisan pecalangnya adalah ujung tombak pelaksanaan Ajeg Bali. Memang sungguh sangat kompleks, selain aparat pemerintahan,/walikota dan Bupati yang sudah sumpah setia mengajegkan Bali, masyarakat juga menjadi pengikut setianya. Kini dimulai lagi lomba-lomba desa dengan penilaian mengajegkan Bali dalam Tri Hita Karana (tiga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, sesama manusianya dan alam). Dalam sebuah pembinaan lomba desa, ketua tim pemibinaan dengan lantang berujar, “Siapa yang lagi yang diharapkan untuk mengajegkan Bali selain krama-krama (warga adat) banjar. Kita adalah ujung tombak mengajegkan Bali,“ katanya berapi-api diambut tepukan riuh krama banjar. Memang selain hubungan itu, masyarakat kecil, petani atau buruh-buruh bangunan tidak peduli dengan Ajeg Bali ini. Bagi mereka perlawanan terhadap apa sih Ajeg Bali dilakukan dengan memparodikannya, mengejeknya, bahkan mengacuhkannya. “Mangkin (sekarang) biarpun ajeg, tiang tetap tidak punya uang. Ajeg Bali bagi tiang hanya cukup makan saja,” ujar wanita setengah baya, petugas kebersihan sebuah kampus negeri di Bali. Selain siaganya desa adat/pekraman dengan satuan pengaman pecalangnya, elemen masyarakat lainnya juga turun berperan aktif dalam “menjaga Bali”. Khusus untuk kota Denpasar, berdiri FPD (Forum Peduli Denpasar), organisasi sosial dibawah perlindungan Walikota Denpasar. Organisasi ini terdiri dari pekerja dan sopir di Terminal Ubung, anggota DPRD Kota Denpasar, komponen pariwisata dan masyarakat umum. Di Kabupaten Karangasem berdiri DPM (Dewan Perwakilan Massa) dengan komposisi anggota kurang lebih sama dengan FPD, dikoordinir anggota DPRD Kabupaten Karangasem. Kiprah lembaga-lembaga inilah yang kemudian menjadi penjaga dari berlangsungnya ejegnya kebudayaan Bali dari perusuh-perusuh kebudayaan.






I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Sedang melakukan penelitian Politik Kekerasan di Bali: Pecalang, Satgas Partai Politik dan Preman untuk KITLV dan Universitas Amsterdam Belanda.

Tidak ada komentar: