Who am I

Who am I

Minggu, 27 April 2008

Catata Akhir Tahun 2005

Catatan Akhir Tahun (1)


Mengurai Benih-benih Fundamentalis

Masih terngiang dan terasa jelas bagaimana reaksi masyarakat Bali pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Seluruh masyarakat panik tindakan apa yang mesti dilakukan. Seluruh desa merapatkan dirinya untuk menjaga keamanan lingkungan masing-masing. Suasana ini sejalan karena ketika itu sudah muncul tawaran untuk otonomi daerah, mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Maka lengkaplah sudah, setiap desa pakraman tidak perlu lagi menunggu pemerintah pusat untuk bertindak. Mereka bisa bertindak sendiri. Dan juga dengan otonomi daerah, pemerintah pusat bisa berlindung dibalik semangat desa-desa untuk mengurus dirinya sendiri. “Pemerintah hanya sebagai fasilitator,” begitu nyaring pernyataan pemerintah dalam setiap kasus-kasus di desa.

Diberikan kekuasaan, desa-desa pakraman di Bali mengkonsolidasikan dirinya. Seluruh aparat desa diharapkan bersatu untuk menjaga daerahnya. Aparat keamanan dan tenaga satuan tugas disiapkan untuk melakukan razia penduduk di sekitar wilayah kekuasaan desa. Bom meledak adalah malapetaka bagi masyarakat Bali. Tersiar berita di televisi, pelakunya adalah para “teroris” yang berasal dari luar Bali.

Telah lama sebenarnya masyarakat di desa-desa pakraman di Bali resah dengan desakan pendatang yang masuk ke Bali bagai air bah. Hitungan jumlah penduduk di masing-masing desa, khususnya di kota-kota besar seperti Denpasar, Badung, Buleleng, dan Gianyar terus bertambah. Khususnya Denpasar dan Badung, tanpa terasa jumlah penduduk pendatang terus merambah naik, dan kini hampir menyamai penduduk lokal yang sudah lama tinggal di Bali, dengan terikat di desa-desa pakraman. Tentu perkiraan statistik ini menimbulkan bias dan generalisasi, orang yang datang ke Bali hanya menikmati sari-sari Bali, tanpa menjaga keamanan dan kebudayaannya.

Tapi persepsi itu kental terasa di pikiran manusia Bali. Para “teroris” yang mereka bayangkan ikonnya adalah para tokoh-tokoh jihad yang sering mereka saksikan di televisi. Tapi “pengancam kebudayaan” mereka adalah para penduduk pendatang yang tidak peduli dengan Bali, sementara mereka, para manusia Bali yang terikat dengan tradisi memikul beban berat untuk “melestarikan” ritual dan budaya mereka.

Awal sikap dan persepsi ini menimbulkan sebuah reaksi dan benih dari semangat “anti teroris” dan semua pihak yang mengancam kebudayaan Bali. Padahal dibalik semua semanangat dan nasionalisme “penjaga kebudayaan Bali” itu, tersimpan relasi dan reproduksi kekuasaan akan citra Bali yang dibentuk kolonial dan menenggelamkan cerita-cerita kekerasan, perlawanan, dan gugatan manusia Bali terhadap perdebatan politik dan kebudayaan. Semuanya “diharmoniskan” oleh kolonial untuk membentuk sebuah bayangan akan pulau yang sorgawi dan nir dengan kekerasan, gugatan dan perlawanan.

Karena itulah manusia Bali selalu bangga dengan beragam citra yang “baik-baik”, puja-puji yang membuat masyarakatnya terlena menjadi pulau yang “berbudaya” dan steril dari cerita pedih, getir, kekerasan dan kemuraman. Saat mentari dan kicauan burung di pagi hari bersinar adalah sorga yang hanya ditemukan di hamparan sawah yang hijau di Desa Tegalalang, Gianyar. Bali akhirnya terbentuk sebagai sebuah pulau sorga dunia, dimana segala keindahan, keramahan dan kesksotikan alamnya dicari-cari orang.

Padahal dibalik citra—yang dibentuk oleh warisan kolonial dan dilanjutkan serta dipelihara oleh masyarakat Bali sendiri—eksotik dan “pulau sorga” itu tersimpan kemuraman yang sebenarnya menjadi keakraban dalam keseharian masyarakat di Bali. Tapi sayang, saat kolonisasi terjadi, rezim kolonial memberangus semua catatan pembantaian manusia Bali dalam penjajahan, penindasan dalam kerja paksa, dan “perang saudara” dalam Tragedi 1965-1966 menjadi sebuah bayangan pulau tropis yang eksotis bagi para pelancong.

Konstruksi tersebut diamini oleh masyarakat Bali dan terpelihara dalam berbagai rezim kebenaran dari kekuasaan. Dari warisan kolonial itulah terbentuk industri-industri pembentukan manusia Bali yang luar biasa canggih dan produktif. Saat zaman pembangunan pariwisata budaya, terbentuk manusia Bali yang manis, sopan dan penurut karena mendukung program pembangunan dan pariwisata budaya. Tapi dibaik semua kisah manis dan sopannya manusia Bali itu, ternyata menyimpan kegetiran dan kisah kekerasan.

Pembantaian manusia Bali tahun 1965-1966 adalah sisi kelam yang tersimpan rapi dibawah selimut pembangunan dan pariwisata budaya. Ingatan kelam para saksi sejarah dan survivor peristiwa itu harus terbungkam dan menjadi stigma subversif yang menodai gerakan pembangunan. Sisi kelam akhirnya terbungkus rapi gemerlap rencana pembangunan dan gairah pariwisata yang menjamur di Bali awal tahun 1980-an.

Saat gemerlap pariwisata itu perlahan-lahan runtuh karena pondasi yang rapuh, dentuman Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005 dan krisis pariwisata, Bali menjadi panik dan gelagapan menghadapi kondisi ini. Indah dan nikmatnya pembangunan pariwisata yang semu itu menjadi cerita muram dan kelam dari kepanikan manusia Bali. Senja kala di Kuta menjadi sepi dari turis-turis yang berderet menyaksikan sunset dan keindahan pesona Bali. Yang ada hanyalah ibu-ibu tua tukang pijat atau pedagang asongan yang menjerit karena turis takut datang ke Bali. Banyak anak muda Bali yang menganggur karena hotel-hotel kosong melompong dan tidak kuat lagi membayar gaji karyawan. Saat itulah kemuraman Bali benar-benar dirasakan, yang sebenarnya sudah ada sejak dulu, tapi ditutup-tutupi oleh rekayasa kemegahan budaya untuk pembangunan pariwisata.

Dari keterpurukan itulah lahir sebuah semangat persatuan sekaligus tekad. Yang menghidupi Bali selama ini adalah budayanya. Orang datang ke Bali karena ingin melihat kekhasan tradisi dan budaya manusia Bali. Yang mengikat budaya adalah agama Hindu. Semua masyarakat Bali akan mengangguk setuju jika ia masih merasa beragama Hindu dan tinggal di Bali. “Siapa yang rela budaya Bali dan agama Hindu tercabik-cabik?” Tekad itu adalah sebuah modal untuk kembali menggugah kepedulian masyarakat Bali di tengah keterpurukan dan muramnya kondisi yang sangat memukul sendi kehidupan ekonomi.

Masalah-masalah kependudukan akan bisa diatasi jika masyarakat Bali di setiap desa adat ketat dengan razia dan penertiban penduduk pendatang di wilayahnya. Pengaruh budaya dari luar bisa juga dihadapi dengan pelestarian dan mengokohkan nilai-nilai tradisi kebudayaan Bali. Dengan segalak-seguluk, bersatu-padunya masyarakat Bali akan bisa kuat menghadapi perubahan yang tak terhindarkan itu.

Bergegas kemudian mengkristallah sebuah gerakan bernama Ajeg Bali, sebuah seruan untuk bersama-sama menjaga Bali dengan melestarikan dan mengokohkan, menguatkan kebudayaan Bali. Dengan keterpurukan saat Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005, maka dipandang sudah sepantasnyalah untuk merenung, refleksi diri apa yang akan terjadi pada Bali di kemudian hari jika daerah ini terus dihantam bencana. Kesadaran masyarakat Bali saat ini adalah bagaimana bisa survive dengan pertahanan terakhir bernama adat, budaya dan tradisi. Hanya dengan pertahanan terakhir itulah masyarakat Bali mempunyai “harga” dan harkat untuk bisa menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri.

Hanya dengan modal budaya dan agama Hindulah benteng pertahanan masyarakat Bali, yang perlahan namun pasti terdesak ke pinggir. Berlangsungnya pariwisata adalah contoh riil bagi masyarakat Bali bagaimana budaya, termasuk di dalamnya kesenian dan ritual-ritual keagamaan, menjadi aset yang menjanjikan untuk pariwisata. Berbagai pentas-pentas seni tari dan kerawitan banjir order ke hotel-hotel berbintang yang megah, sementara mereka diangkut dengan truk. Begitu juga saat ritual-ritual keagamaan berlangsung. Masyarakat Bali sangat bangga dan menunjukkan tingkah polah “paling Bali” ketika para pelancong menjepretkan kilatan blitz kameranya. Ini dengan harapan foto itu nanti tersebar di luar negeri, tentang bagaimana masyarakat Bali menjunjung tinggi agama dan kebudayaannya.

Ajeg Bali adalah satu gerakan untuk mengkonstruksi politik kebudayaan Bali pasca kolonial. Tapi konstruksi politik kebudayaan Bali melupakan kemuramannya, salah satunya adalah tahun yang gelap dalam sejarah kebudayaan Bali, 1965-1966, saat 80.000 hingga 100.000 manusia Bali tewas di tangan saudaranya sendiri. Cerita pedih itu lama tersimpan. Kalau ada yang bercerita, dianggap “perusak pembangunan” dan “pengkhianat Bali” yang sedang menatap masa depan yang lebih cerah. Dan hingga masa kini, warisan kekerasan itu lama tersimpan, bahkan bereinkarnasi menjadi kekerasan-kekerasan politik dalam setiap pentas perebutan kekuasaan di Bali, atau bahkan dalam beringasnya masyarakat adat pada krama, warganya sendiri.

Ajeg Bali menjadi sebuah penawar baru kebingungan masyarakat Bali. Ia menjadi rayuan dan gemerlap glamour baru yang juga palsu dan pada dasar yang keropos. Ajeg Bali menyimpan relasi kuasa dari warisan industri pembentukan manusia zaman kolonial yang terjadi di Bali. Industri pembentukan manusia itulah yang kemudian kini menciptakan manusia-manusia Bali yang sangat sensitive, beringas, bahkan kadang rasis. Dengan industri pembentukan nilai bernama Ajeg Bali, manusia Bali berlindung dengan nyaman dibalik budaya dan agama yang mereka anggap menjadi hak milik mereka, dan dengan demikian sangat pantas untuk dipertahankan.

Industri nilai bernama Ajeg Bali sebenarnya bukan barang baru. Dalam perkembangannya, wacana ini begitu lentur dan tidak steril dari kekuasaan, sebagaimana seruan moral gerakan ini untuk “menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali”. Dalam pentas “Mengajegkan Budaya Bali” bertarung banyak relasi kuasa dan kepentingan manusia Bali. Di dalamnya begitu banyak kompleksitas masalah yang dengan gampang akan disebutkan untuk mengajegkan kebudayaan Bali. Tapi di tengah kompleksitas itu, ada juga gugatan terhadapnya. Ada penentangan, tapi juga usaha penyeragaman dan penundukan masyarakat yang mencoba mengkritisinya.

Masalah penduduk pendatang bisa disebutkan untuk menjaga budaya Bali dari Nak Jawa, orang Jawa, yang datang mengadu nasib ke Bali dengan segala dampak negatifnya. Maka, diberlakukanlah gerakan untuk waspada dan siaga bagi penduduk pendatang yang dianggap melahirkan masalah kriminalitas dan kemiskinan di pulau seribu pura ini.

Ajeg Bali di dalamnya juga terdapat usaha menyediakan ruang bagi pengentalan etnis menuju rasisme yang dialami manusia Bali. Dengan Ajeg Bali bersinonim dengan agama Hindu, maka muncullah kelompok-kelompok fundamentalis yang memperjuangkan kokohnya budaya Bali dan sekaligus eksistensi agama Hindu. Di dalamnya, dengan melestarikan dan penguatkan budaya, mulailah masyarakat Bali mengais-ngais kembali romantisme asal-usul, keturunan, garis darah dari zaman Majapahit dan Empu Kuturan. Gerakan-gerakan ritual keagamaan dan kemeriahan upacara juga berlangsung meriah di desa-desa adat di Bali.

Tapi sebenarnya, ditengah kompleksitas masalah itulah manusia Bali tercipta dengan segudang ironi dan kontradiksinya. Ajeg Bali tidak dengan mudah kemudian disebut sebagai gerakan kebudayaan dengan identitas ke-Balian-an yang kental, meskipun dalam operasinya itu terjadi. Tapi kontestasi banyak pihak dalam wacana Ajeg Bali, yang melibatkan hampir sebagian besar seluruh komponen masyarakat di Bali, adalah perantara dan agensi-agensi yang mengkonstruksi budaya sebagai sebuah modal sosial dan politik. Agen-agen manusia Bali itulah yang dengan lantang mengkampanyekan gerakan Ajeg Bali.

Pelopor gerakan Ajeg Bali, sebuah industri media terbesar dan berpengaruh Bali Post Group, tidak bisa dilepaskan peranannya dalam pentas perebutan kekuasaan dan pelenyapan manusia Bali tahun 1960-an. Ia bermain dengan menggunakan sentimen cair bernama “menjaga budaya Bali” yang langsung disambut sumringah masyarakat Bali yang sedang terpuruk pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Karena kompeksitas masalah, Ajeg Bali menjadi tong sampah yang menampung semua masalah yang menimpa Bali. Menjaga Bali” perlu dilakukan dengan langkah apapun yang bermuara pada mengembalikan kekuatan masyarakat untuk mencoba survive.

Dengan melacak benih-benih akar fundamentalis itulah kita bisa mengerti bagaimana gerakan-gerakan pemurnian dan esensialisme agama, politik dan kebudayaan Bali lahir kini. Itu diwujudkan dengan bermunculannya agensi-agensi manusia fundamentalis dalam gerakan-gerakan berbasis kebenaran agama dan kebudayaan. Juga disertai dengan sentimen dan provokasi menyudutkan agama lainnya. Jejak panjang dan benih gerakan ini terciptra melalui sebuah pergulatan panjang kesepakatan dan perlawanan terhadap kekuasaan. Dan kini, kekuasaan bereproduksi menjadi sebuah gerakan fundamentalis memperjuangkan agama dan kebudayaan. Bali mengalami itu semua, yang lahir dari sebuah proses perjalanan panjang bagaimana politik kebudayaaan, agama dan kekuasaan beroperasi. Dan kini mungkin yang ada dalam referensi kita adalah Ajeg Bali dan gerakan fundamentalis agama. Bukankah keduanya saling bereleasi dan merepdoduksi nilai?

Tidak ada komentar: