Who am I

Who am I

Rabu, 09 April 2008

Johan Galtung

Minggu, 17 November 2002



LEBIH JAUH DENGAN
Professor Johan Galtung


SELAMA empat hari pada akhir bulan Oktober lalu, Professor Johan Galtung (72) berada di Jakarta atas undangan Forum Asia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penganjur Jurnalisme Perdamaian yang meyakini etika politik non-kekerasan Gandhi ini diminta menjadi narasumber dalam lokakarya mengenai penanganan konflik sosial. Pesertanya para aktivis resolusi konflik sejumlah negara di Asia Tenggara dan dari berbagai wilayah konflik di Indonesia.
Di tengah acara yang padat dan melelahkan, Galtung tidak kehilangan antusiasmenya mendengarkan dan berbagi pengalaman dengan peserta lokakarya. Apa yang ia sampaikan juga sangat menarik, baik materi maupun cara penyampaiannya. Ia menunjukkan kebolehannya bermonolog, menirukan tanya jawab yang pernah dilakukannya dengan seorang jenderal di Indonesia mengenai kasus-kasus kekerasan di berbagai daerah. Begitu persisnya sehingga peserta Indonesia bisa membayangkan siapa jenderal itu. Namun, ketika ditanya siapa jati diri sang jenderal, ia mengatakan, "rahasia, rahasia."
Galtung juga tampak energik. Orasinya di depan jurnalis dan para aktivis organisasi nonpemerintah pada Rabu malam tanggal 31 Oktober, sangat memukau. Berbicara dengan lantang mengecam kebijakan Amerika Serikat (AS) dalam perang melawan terorisme, Galtung "membacakan" isi surat yang dikirimkan kepada Presiden AS, George W Bush, di luar kepala.
Kata Galtung dalam surat itu, serangan teroris terhadap gedung kembar World Trade Center (WTC) di Manhattan, New York, pada tanggal 11 September 2001 merupakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa dan tidak bisa diterima. Pelakunya harus ditangkap dan dihukum berat. Namun, Galtung mengingatkan supaya AS mengubah kebijakan luar negerinya; meminta maaf karena sering mencampuri urusan negara lain, melanggar hukum internasional, dan tidak menghormati Islam. Ia juga meminta Bush menarik pasukannya dari Arab Saudi, membatasi akses AS terhadap minyak di negara itu dan mengakui negara Palestina.
"Saya tidak tahu apakah Bush membaca surat itu. Tetapi yang dilakukan Bush justru sebaliknya," ujarnya.
Di antara kesibukannya, Galtung masih melayani wawancara dengan sejumlah jurnalis. Wawancara pertama hanya berlangsung 10 menit. Esoknya, janji wawancara sempat diundur. Wawancara ini dilakukan pada malam terakhirnya di Jakarta. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan antusias sampai lupa bahwa ia harus bersiap menyampaikan orasi.
BAGAIMANA Anda melihat dunia saat ini?
Dunia saat ini ditandai dengan aliran-aliran fundamentalisme. Ada fundamentalisme agama, apakah itu fundamentalisme Islam, Kristen, Jahudi, atau Hindu. Bahkan, kaum Buddhis pun bisa berbuat kekerasan. Fundamentalisme selalu mendorong munculnya fundamentalisme lainnya. Namun, di luar fundamentalisme agama, ada fundamentalisme pasar, yang ingin memaksakan pasar bebas. Kalau Anda melihat peristiwa 11 September, serangan ke World Trade Center, serangan bom mobil ke Departemen Luar Negeri, saya kira menjadi cukup jelas. Mereka mampu menyerang apa saja. Namun, penyerangan itu pasti terkait dengan globalisasi atau kebijakan luar negeri AS; bukan terhadap demokrasi karena mereka tidak menyerang Gedung Kongres; tidak juga kebudayaan, karena mereka tidak menyerang Lincoln Memorial; juga tidak terkait dengan soal kebebasan karena mereka tidak menyerang Patung Liberty.
Dibandingkan serangan yang pernah dilakukan teroris, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Serangan AS terhadap Afganistan memenuhi kriteria tindakan teroris. AS memasukkan daftar 60 negara sebagai sasaran perang melawan terorisme dan menyatakan diri berhak melakukan operasi di negara-negara tersebut tanpa memberi tahu pemerintahan negara bersangkutan. Hukum-hukum internasional diabaikan.
Apakah tidak ada cara lain untuk memerangi terorisme selain cara yang ditentukan oleh Washington saat ini?
Sekarang mulai ada perpecahan di antara negara-negara Barat. Ini sedikit mirip dengan tahun-tahun awal perang Vietnam yang pada akhirnya menghentikan peperangan tersebut. Perang Vietnam berhenti terutama karena oposisi dari seluruh dunia.
Saya menduga dalam satu tahun AS akan berhenti dan akan mulai bernegosiasi sebab tidak ada jalan yang bisa ditempuh untuk mengalahkan apa yang mereka sebut teroris. Semakin besar terorisme negara yang dilakukan AS, semakin besar yang memberikan tempat persinggahan bagi para teroris.
Saya tidak heran bila nantinya akan ada impeachment terhadap Bush. Setidaknya ada tiga alasan besar untuk itu. Pertama, ia tidak sepenuhnya dipilih rakyat tetapi ditunjuk oleh pengadilan. Kedua, ia dipilih dalam pemilu yang diorganisasikan dengan melibatkan seorang saudara laki-lakinya. Ketiga, ia terlibat dalam skandal karena pemerintahannya telah mengetahui banyak hal tentang rencana penyerangan 11 September. Bila digabung jadi satu, ada alasan lebih kuat untuk melakukan impeachment terhadap Bush dibandingkan ketika Kongres melakukan impeachment terhadap Clinton karena kasus Monica.
Bila Bush jatuh, pemerintahan penggantinya akan mulai bernegosiasi. Dua hal yang harus dinegosiasikan. Pertama, soal perdagangan bebas. Kedua, soal penghormatan terhadap agama.
Mengapa Anda yakin bahwa perang melawan terorisme yang didominasi oleh kebijakan Washington tidak akan berhasil?
Saya mempunyai alasannya. Saya menghitung serangan 11 September menghabiskan dana sekitar setengah juta dollar AS. Perang di Afganistan menghabiskan dana sekitar 10 milyar dollar AS perbulan. Penembak jitu (sniper) di Washington menembakkan 13 peluru, 10 orang mati. Tiap peluru harganya 20 sen. Jadi hanya dibutuhkan dana sekitar 2,6 dollar AS. Dampaknya, bisnis di daerah tersebut drop 60 persen. Ini menunjukkan betapa murahnya operasi teroris. Sebaliknya, operasi melawan terorisme negara membutuhkan dana yang begitu besar karena harus menggerakkan seluruh mesin negara.
AS memiliki kekuatan luar biasa yang dapat menghancurkan dunia. Sebaliknya juga betapa mudahnya AS diserang. Jika mereka menggunakan kekuatan destruktif, mereka akan mengundang serangan. Sekalipun mereka memiliki kapal-kapal perang, pesawat tempur, dan rudal. Cepat atau lambat mereka akan melakukan negosiasi.
Apakah Anda pernah berbicara dengan pejabat Departemen Luar Negeri AS mengenai soal ini?
Belum, meski saya mengenal sejumlah orang di sana. Namun, saya telah lima kali berbicara mengenai masalah ini di depan publik di Amerika Serikat, dan saya akan kembali ke sana. Mungkin Anda tidak percaya, setiap selesai berpidato di depan 200 sampai 500 orang, mereka memberikan sambutan meriah. Standing ovation.
Mereka mengatakan, "Tuan Galtung, meski kami tidak setuju sepenuhnya dengan analisis Anda tetapi setidaknya ada analisis. Apa yang kami dapatkan dari Washington tanpa analisis sama sekali, selain pernyataan bahwa para pelaku penyerangan itu 'jahat'."
Hal lain yang menjanjikan adalah media. Ada sejumlah media terkenal seperti CNN, ABC, NBC, CBS, Washington Post dan New York Times. Akan tetapi ada banyak media yang lain. Belum lama ini saya diwawancara oleh televisi yang dikelola perusahaan Democracy Now. Jumlah pemirsanya sekitar empat juta orang, hampir sama dengan populasi di Norwegia. Dari media-media seperti itu Anda mendapatkan informasi yang ada di bawah. Ketika baru-baru ini 200.000 orang melakukan demonstrasi di Washington, itu tidak mungkin berkat CNN atau Washington Post. Itu semua ada di bawah permukaan dan berlipat ganda dengan Internet.
ILMUWAN kelahiran Norwegia dengan karier akademik internasional selama 40 tahun di lima benua-dengan lebih 12 posisi-dan menjadi Visiting Professor lebih dari 30 kali; menulis 70 buku, dan lebih 1.000 monograf yang diterbitkan ini, terkesan bukan tipe orang yang suka menonjolkan diri.
"Diri saya tidak penting," sergahnya, "Yang paling penting adalah bagaimana kita ikut mencari solusi atas berbagai persoalan kemanusiaan yang disebabkan oleh kekerasan dan teror."
Galtung yang pernah dikenal dengan teori dependensi dan teori strukturalisme ini mengembangkan pendekatan baru Ilmu Ekonomi dikaitkan dengan berbagai isu besar seperti perdamaian, pembangunan manusia dan lingkungan hidup. Meski memiliki kemampuan yang luar biasa di banyak bidang ilmu-ia juga ahli matematik-Galtung lebih dikenal secara luas sebagai seorang humanis, tokoh non-kekerasan dan penganjur perdamaian.
Upayanya di bidang kemanusiaan dan perdamaian memberinya banyak penghargaan. Ia adalah penerima Right Livelihood Award tahun 1987, suatu penghargaan alternatif untuk mengimbangi Penghargaan Nobel. Pada tahun 1988 ia menerima Norwegian Humanist Prize, pada tahun 1990 ia menerima Socrates Prize for Adult Education dan Bajay International Award for Promoting Gandhian Values pada tahun 1993. Ia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa dan Profesor Kehormatan dari sejumlah universitas terkemuka di dunia.
MENGIKUTI perkembangan terakhir, dunia seperti apa yang akan kita hadapi dalam waktu dekat ini?
Saya khawatir AS akan mencoba menduduki Irak dalam waktu dekat. Mereka telah mempersiapkan segalanya dan mencoba mendikte Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Akan tetapi, mereka kemudian juga mengatakan bahwa mereka akan melakukan sendiri, tentu dengan Inggris, bila PBB tidak melakukannya.
Aksi penyerangan terhadap Irak akan menjadi luar biasa. Tidak hanya terhadap 1,3 milyar orang Muslim dan 300 juta penduduk Arab, tetapi mungkin seluruh masyarakat di Barat, dipimpin Jerman dan Perancis, akan bereaksi. Akan ada aksi yang lebih besar daripada yang pernah diperkirakan Washington. Mungkin mereka akan mulai memboikot produk AS. Mereka mulai tidak membeli produk Exxon, Texacon, dan lain-lain. Mereka mulai tidak minum Coca Cola atau ke McDonald karena apapun yang berhubungan dengan AS terasa tidak enak. Reaksi ini akan berada di luar jangkauan pikiran para pemimpin AS.
Ada yang berpendapat, teroris merupakan kumpulan para psikopat. Menurut Anda?
Mungkin beberapa diantara mereka psikopat. Kita bisa melihatnya dari dua hal. Psikopat berbuat salah, megalomanian, narsisistik, dan mereka juga biasanya mengumumkan siapa diri mereka. Bahkan, mereka berharap diajukan ke pengadilan karena dengan demikian mereka memperoleh kepuasan. Mungkin penembak jitu (sniper) di Washington lebih merupakan psikopat.
Akan tetapi pelaku penyerangan 11 September bukan psikopat. Juga bukan mereka yang secara langsung melawan globalisasi. Serangan itu, menurut pendapat saya, seperti perilaku pendukung aliran Wahabi dari Arab Saudi. Mereka melakukan eksekusi dengan memenggal dua bangunan WTC.
Dengan mengatakan demikian, tidak berarti saya merima tindakan mereka. Saya hanya mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Ketika ditanya, termasuk di AS, saya selalu menjawab, "Tangkap pelakunya dan ubah kebijakan luar negeri AS". Bila perlu dengan mengganti rezim di AS melalui pemilu yang diawasi dunia internasional karena mereka gagal menyelenggarakan pemilu yang benar.
Apakah protes-protes antiperang akan efektif untuk menghentikan rencana penyerangan ke Irak? Bagaimana dengan pilihan pilihan antara non-kekerasan dan non-existence?
Saya tidak terlalu antusias dengan itu. Apa yang mereka lakukan baru sebatas memprotes perang. Saya mendorong agar mereka menjadi jembatan perdamaian antara AS dan Islam untuk melakukan dialog. Kekerasan, menurut saya, akan berkobar tetapi akan ada mekanisme untuk mulai menghentikannya. Itu yang akan terjadi dengan perang terhadap Irak, atau perlawanan terhadap globalisasi. Satu-satunya cara penyelesaian adalah melalui jalan non-kekerasan dan melalui solusi konstruktif.
Apa pendapat Anda tentang peristiwa peledakan bom di Bali?
Target yang diserang adalah sebuah kelab malam, tempat yang hanya diperuntukkan bagi orang kulit putih, dan mayoritas pengunjungnya orang Australia. Jadi, tidak terlalu sulit menebak latarbelakang pelakunya. Mungkin itu dilakukan oleh fundamentalis. Belum tentu fundamentalis Islam, bisa juga agama lainnya yang tidak suka kehadiran kelab malam. Mungkin juga dilakukan orang yang tidak menyukai rasisme, atau orang yang tidak suka dengan Australia. Tentu saja pelaku pemboman harus ditangkap dan diadili. Tetapi tindakan itu saja tidak cukup. Harus ada perubahan kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia, harus ada peraturan yang melarang keberadaan tempat-tempat eksklusif bagi kulit putih, dan harus ada pengaturan terhadap keberadaan kelab malam.
Ada hal lain yang berbeda dengan kasus Bali. Kasus pemboman Bali mendapatkan perhatian serius dari Barat karena korbannya adalah orang kulit putih. Ini semacam tindakan rasis. Pemboman terhadap orang-orang kulit putih di Bali adalah rasis tetapi sebaliknya reaksi Barat juga rasis.
Penanganan kasus peledakan bom di Bali dan terorisme di Indonesia potensial menimbulkan konflik-konflik baru di Indonesia. Apa yang harus dilakukan?
Indonesia saat ini berada pada situasi yang sulit. Anda benar bahwa ada elemen-elemen yang mengembangkan steriotip sendiri. Akan tetapi bila Anda tidak menunjuknya, Anda tidak akan menemukan solusi. Karena itu merupakan tanggung jawab media untuk mengalihkan debat tentang siapa dalangnya ke arah apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
Indonesia menghadapi begitu banyak konflik dan kekerasan pasca-Soeharto. Adakah jalan tanpa kekerasan untuk mengatasi berbagai soal selama masa transisi?
Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jawabannya tergantung pada apakah sebuah negara memilih opsi militer atau tidak. Ketika Anda memilih opsi militer, cepat atau lambat Anda akan menghadapi masalah. Itu yang terjadi dengan apa yang pernah dilakukan Jakarta terhadap Timor Timur. Kekerasan selalu memukul balik. Ini berlaku pula untuk Aceh dan Papua.
Yang kita hadapi sebenarnya adalah ketiadaan imajinasi. Para politisi hanya punya dua gagasan, yakni nation-state atau pemisahan dengan kemerdekaan. Tetapi yang terakhir ini tidak mereka sukai. Padahal, ada banyak pilihan di antara keduanya. Bisa federasi atau konfederasi. Sebenarnya, hubungan antara Timor Timur dan Indonesia lebih tepat dalam bentuk konfederasi. Dengan begitu hubungan tetap terjalin tetapi juga ada peluang rekonsiliasi untuk memperbaiki masa lalu.
Tidak satupun politisi Jakarta mendukung gagasan itu....
Itulah tugas jurnalis. Anda harus mengajari mereka, karena jurnalis memiliki akses lebih besar terhadap pengetahuan. Terbanglah ke Swiss dan negara-negara lain untuk menulis tentang negara federal. Jangan hanya yang positif tetapi juga yang negatif. Suatu saat akan ada politisi muda yang akan mengambil ide itu.
Peristiwa di Bali makin menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia. Berapa jauh?
Peristiwa di Bali diperkirakan akan menurunkan satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat anjloknya pemasukan dari turisme. Tingkat okupansi hotel di sana turun sampai satu digit. Tetapi ini tidak akan berlangsung lama. Orang akan segera melupakannya. Lihat peristiwa 11 September. Setelah tiga bulan lalu lintas penerbangan di dunia kembali normal, padahal peristiwa itu jauh lebih dahsyat dari Bali. Jangan terlalu apokalipstik dengan apa yang terjadi, kecuali ada peristiwa pemboman kedua, akan sangat buruk akibatnya.
Bali merupakan peristiwa yang tragis tetapi apa yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua tidak kurang menyedihkannya dan besar pengaruhnya bagi pemulihan ekonomi.
Namun, yang lebih menderita sebenarnya sektor pertanian akibat pasar bebas. Saat ini perekonomian dunia mendapat tekanan luar biasa dari AS. Akibat neoliberalisme, ratusan ribu orang akan mati karena tidak punya akses pada sandang, pangan, papan, karena subsidi dihapus. Cepat atau lambat ini juga akan terjadi di Indonesia. Ketika 25 persen orang mati karena tidak punya akses ke makanan, 75 persen lainnya mati karena penyakit. Itu karena klinik-klinik gratis dihapus akibat kebijakan IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Bagaimana jurnalis menanggapi persoalan ini?
Kita harus menghubungkan persoalan yang kita hadapi dengan hal-hal seperti ini. Anda memerlukan pendekatan jurnalisme damai dalam menulis ekonomi. Surat kabar saat ini terlalu banyak menulis tentang pasar modal. Itu penting, tetapi cukup 25 persen saja. Sisanya 75 persen tentang ekonomi di masyarakat. Kalau Anda melakukan hal ini, orang akan berpikir dengan cara berbeda tentang ekonomi.
Anda merasa terancam di Jakarta?
Jakarta tidak seburuk itu. Saya juga biasa tinggal di daerah-daerah yang rawan. Umur saya hampir mencapai 72. Lagi pula saya tahu kemana harus pergi. Hal buruk tentang Jakarta adalah persoalan asap. Sangat menekan. Anda tidak dapat melihat langit yang cerah dan matahari tidak terlihat dalam warna yang sesungguhnya.
Pewawancara: P. Bambang Wisudo, Maria Hartiningsih

Tidak ada komentar: