Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Gerakan Mahasiswa Diantara Panggung Kekuasaan

“…Luka dan bisa kubawa berlari-rlari hingga hilang pedih peri
dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi”
(Chairil Anwar, Aku, Maret 1943)

Paling tidak sudah tujuh generasi besar dalam gerakan mahasiswa dan pemuda di Republik ini. Kalau dirunut generasi besar itu adalah 1908, 1928, 1945, 1966, 1974,1978 dan 1998. Ini tentunya belum tercatat gerakan perubahan sosial yang menjadi bagian dari setiap generasi tersebut. Tujuh generasi itu adalah secuil potret gerakan mahasiswa dan pemuda dalam sejarah pergerakan di republik ini.
Yang paling menjadi acuan dalam membentuk gerakan protes mahasiswa tentunya sejarah momentum 1966. Legenda yang membuat kita seakan berada dalam dua sisi yang sangat dilematis. Pertama, sangat yakin akan perjaungan dan gerakan moral mahasiswa. Kedua, keyakinan juga akan otokritik dan refleksi terus menerus akan gerakan protes mahasiswa. Keyakinan kedua ini tentunya berdasar pada bagaimana tahun tersebut—tahun 1950-1960-an—terjadi gerakan politisasi besar-besaran dari orde baru. Yang nyata terjadi adalah adanya kegairahan dalam membentuk pendidikan tinggi yang “diatur-atur” oleh negara. Seiring juga dengan gerakan penyeragaman politik masyarakat dengan berbagai bentuk mitos-mitos dan ideologi yang terus direproduksi orde baru. Salah satunya Pancasila, Pedoman penghayatan Pengamalan Pancasila (P4), stabilisasi dan birokrasi kampus. Pendidikan tinggi—universitas dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya—menjadi sasaran untuk politisasi gerakan massa ini. (Burhan D. Magenda, 1977)
Potret gerakan politik mahasiswa memang tidak bisa dilepaskan dari bangunan politik stuktur yang dibentuk oleh negara. Aktivisme mahasiswa tetap berada dalam kerangka besar kekuasaan politik negara. Sejarah telah membuktikan bagaimana politik mahasiswa pada akhirnya berkubang dalam lumpur kekuasaan saat 1966. Tragedi 66 yang kemudian melahirkan mitos besar mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), pembaharu, oposan yang loyal dan kesetiaannya pada perubahan.
Berbagai mitos-mitos “besar” yang disematkan didada mahasiswa yang jujur saja dibentuk dan disematkan oleh negara. Mitos yang kemudian memunculkan image suci dan pentingnya seorang mahasiswa dalam stuktur kekuasaan. Perannya—setelah dikonstruksi dan dicitrakan oleh kuasa—menjadi mitologi yang menjadi bayang-bayang abadi gerakan serta aktivisme mahasiswa.
Peran dan posisinya yang kemudian menjadi berkembang hanya sebagai penumbang rezim politik dengan gerakan-gerakan moralnya. Ah…apakah mahasiswa begitu naif mengatakan dirinya sebagai gerakan moral yang ternyata tanpa disadri teleh dibentuk oleh politik kuasa berikutnya menjadi gerakan kuasa. Dan tanpa sadar aktivis mahasiswa telah mengarahkan dirinya hanya sekedar menjadi penumbang rezim kuasa. Begitu seterusnya tanpa henti. Indonesia, telah membuktikan bagaimana kolaborasi gerakan mahasiswa dengan teknokrat dan Militer berhasil membuat Soekarno mundur. Juga tahun 1998, gerakan moral mahasiswa, berkolaborasi dengan kelompok”pro demokrasi” –atau lebih tepatnya tekanan internasional, kehancuran ekonomi—membuat Soeharto lengser.
Protes-protes mahasiswa tanpa henti, sambung menyambung dan terus menerus mencoba mencari bentuk gerakan protesnya terhadap kekusaan. Catatan kecil ini hadir untuk melakukan refleksi, otokritik dan menguraikan paradoks dan ironi gerakan politik, moral dan kuasa politik protes mahasiswa. Pada akhirnya deskripsi ini ingin memberikan ingatan pada mahasiswa akan gerakan protes politiknya. Dan dengan studi kebudayaan, apakah gerakan politik atau sebuah proyek besar membentuk sebuah gerakan perlawanan budaya (counter culture) dalam arti yang seluas-luasnya. Gerakan ini tentunya tanpa sadar dilakoni oleh mahasiswa. Dari mulai ngorol ngalur ngidul di kantin, membincangkan apa saja dan dilanjutkan dengan transformasi ide-ide perubahan tanpa sadar. Perlawanan yang terus dicitrakan sebagai sebuah kultur yang dibentuk dengan momen-momen kecil khas gaya mahasiswa. Melalui diskusi-diskusi apa saja, mimbar-mimbar bebas, tulisan-tulisan dan tentu saja media-media pers mahasiswa.

PANGGUNG MITOS GERAKAN (POLITIK) MAHASISWA
Sebagai generasi yang terpelajar dan hebat, sebuah mitos dan anggapan rakyat cilik bagi sosok mahasiswa. Sosok yang sangat luhur, terpuji sekaligus juga membawa beban tanpa disadari oleh mahasiswa. Sejarah republik ini mencatatkan bagaimana pengaruh pemuda dan mahasiswa dalam gerak langkah bangsa Indonesia. Kerangka sejarah yang telah diulang terus menerus melahirkan sebuah paham yang baku dan standar dari seorang mahasiswa dan pemuda. Kelompok progresif revolusioner yang berjuang untuk perubahan terus menrus tanpa henti.
Hari Pendidikan Nasional, Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Kemerdekaan Republik ini sampai pada gerakan-gerakan protes lainnya selalu disematkan didalangi oleh mahasiswa dan pemuda. Sebuah pencitraan dan sekaligus penandaan bahwa adalah mahasiswa yang seharusnya, selayaknya dan sepantasnya mengambil peran-peran seperti ini—gerakan-protes kuasa politik dan perlawanan akan hegemoni negara kolonial ataupun pasca kolonial.
Lalu bagaimana sinergi gerakan politik mahasiswa dengan gerakan rakyat disisi lain? Sebuah ironi untuk mendeskripsikan bagaimana gerakan politik mahasiswa selalu hanya berorientasi politik, tanpa berempati dan berposisi jelas pada realitas rakyat sebenarnya. Gerakannya menjadi sebuah gerakan yang ekslusif, seperti menara gading yang jauh dari gerakan yang dibelanya. Ini adalah kritik fundamental dari gerakan politik mahasiswa yang selalu menyatakan dirinya bergerak atas namarakyat.
Bukan tidak percaya atau meremehkan, dari mulai 1908, 1928 sejarah selalu mencerminkan pemuda sebagai pendobrak. Apakah itu benar adanya? Atau kita harus mempertanyakan sejarah? Karena pada hakekatnya sejarah adalah konstruksi, catatan bagi mereka yang menang? Dapatkah sejarah pemuda itu dipercaya? Atau jangan-jangan itu hanya konstruksi dari negara, dan kelompok-kelompok pemenang pembuat sejarah untuk memberikan tanda dan image pada pemuda dan mahasiswa?
Segudang pertanyaan sebenarnya pada sejarah. Apakah memang benar hanya tanggal 17 Agustus 1945 saja proklmasi kemerdekaan Indonesia itu? Apakah hanya Budi Utomo serta Dr. Soetomo saja sebagai tokoh mahasiswa dan pemuda. Dan apakah hanya Sumpah Pemuda bentuk ikrar pemuda yang terkenal itu. Ada apa dibalik sumpah pemuda sebenarnya? Serangkaian sejarah yang sebenarnya patut dipertanyaan dan digugat keberadaannya.
Bennedict R O’Anderson, Indonesianis Indonesia dari Cornell University, termasuk salah satu yang memberikan sumbangan image dan citra untuk gerakan protes mahasiswa dan pemuda. Revolusi Pemuda (1987), karya klasiknya, memberikan legitimasi kuat peran pemuda pertama kali dari Kebangkitan Nasional 1908 lalu Sumpah Pemuda 1928, dimana pemuda dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa, dan kemudian pada masa perang kemerdekaan, pemuda dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan dalam sebuah “revolusi yang dilakukan pemuda”
Berbagai sumbangan image itulah yang kemudian membuat gerakan (protes) mahasiswa terus melakukan refleksi dan otokritiknya. Pernah dengar istilah Back to Campus akhir tahun 1960-an. Sebuah refleksi mahasiswa pasca menjatuhkan Soekarno. Titik tolak refleksi ini adalah kegelisahan akan cap mahasiswa berorientasi kuasa. Maka menjadi kekuatan moral (moral force), adalah pilihan ketika itu. Pilihan yang sebenarnya berlatar pada keinginan menjadi oposan yang loyal serta menjadi “dewa” penyelamat bangsa ketika sedang kacau. Untuk ini, Arief Budiman (1976), menyamakan peranan mahasiswa sebagai resi dalam konsepsi kuasa dalam budaya feodal-kolonial Jawa. Jika resi hidup di lereng-lereng gunung terpencil sebagai tempat pertapaannya, maka mahasiswa berada di kampus-kampus universitas. Mahasiswa dan kaum terpelajar baru turun dari universitas jika terjadi ketidakberesan atau kekacauan di masyarakat, tentu saja dengan tugas melancarkan kritik sosial terhadap penguasa.
Identitas mahasiswa dengan perannya, saat ini memang menjadi milik pengusa. Selama lebih dari 30 tahun konstruksi ini dibentuk dan secara tidak sadar dimainkan oleh mahasiswa dalam panggung-panggung mitos negara dan kuasanya. Ide yang menggabungkan bagaimana begitu heroik dan berpahlawannya gerakan mahasiswa 1966 yang berhasil menumbangkan kekuasaan Soekarno. Ini kemudian digabungkan dengan bagaimana peran sosial politik yang dibentuk negara pada mahasiswa. Ya, sebagai agen pembaharu yang tentunya harus patuh pada aturan dan skenario kuasa yang diciptakan negara dengan perangkat kuasanya, termasuk tentara.
Janganlah heran, bahwa dalam kondisi yang paling terpuruk, mahasiswa adalah sosok yang paling menyedihkan dan akan diremehkan dalam masyarakat. Terpuruknya citra mahasiswa tentunya dibentuk dari laku mahasiswa serta perannya dalam kehidupan sosial politik rakyatnya. Dalam konteks gerakan perubahan sosial, posisi mahasiswa selalu menjadi bagian terpinggirkan dari mayoritas. Paling-paling hanya menjadi obyek dan alat dari ideologi dominan, kenapa ?
Sebuah kritik bahwa gerakan perubahan pada suatu saatnya nanti akan berbalik arah menjadi gerakan kekuasaan. Tentunya tanpa disadari oleh pelakunya.

Tidak ada komentar: