Who am I

Who am I

Kamis, 24 April 2008

Catatan Perkembangan Seni Rupa Bali

Romantisme yang Dibangga-banggakan

(Catatan Perkembangan Seni Rupa Bali)

Bali, daerah yang selalu diidam-idamkan seniman manapun untuk berkarya. Bali, punya seniman khususnya pelukis yang punya bakat luar biasa untuk menggoreskan kuas di kanvasnya. Orang Bali menyebutnya “taksu” untuk daya tarik yang tidak bisa dijelaskan itu. Bahkan kritikus seni, Jim supangkat, menagatakan bahawa munculnya seniman di Bali punya selesksi tersendiri dengan daya bias pendidikan seni di bali.

Tentunya dengan iklim religius dan mistis yang nantinya dijadikan tema kuat pelukis bali. Dalam perkembangannya tema ini juga akan mendapatkan pemberontakan. Tuduhan ekstremnya adalah mengeksploitasi daya tarik Bali.

Sebenarnya sejarah perkembangan dan pendidikan seni lukis di Bali dimulai dari perkembangan gaya tradisi dari pelukis Bali. Gaya tradisi dengan tema-tema pewayangan juga digunakan sebagai alat upacara ritual yang mengandung unsur mistis yang kuat. Maka, wajar jika hasil karya ketika itu dihargai hanya sebatas penghargaan atas ketuhanan dan kesakralan ritus semata.

Perkembangan beranjut dengan munculnya pengaruh Barat. Tahun 1971, datang walter Spies, seorang Jerman. Disusul oleh Rudolf Bonnet, seniman pendidik asal Belanda. Tahun 1974, Spies, Bonnet dan Cokorde Raka Sukawati bersama Gusti Nyoman Lempad mendirikan kelompok “Pita Maha” yang nantinya menjadi titik tolak perkembangan seni lukis modern di bali.

Ada satu dimensi yang menarik dari kelompok Pita Maha ini, seniman yang bergabung dengan kekuatan masing-masing bersatu untuk mendidik seniman lokal. Misalkan Walter Spies. Spies datang ke Bali sebagai koreografer tari, sesekali melukis dan fotografi.

Satu hal yang menonjol dari kelompok Pita Maha ini adalah pemilihan tema yang sudah melepaskan diri dari tradisi dan pewayangan menjadi tema lingkungan dan kondisi sekitar. Kemudian lahir berbagai gaya lukisan seperti Batuan, Ubud, dan gaya Young Artist dengan tokohnya Arie Smith.

Setelah itu perkembangan seni lukis bali diwarnai dengan perpaduan gaya-gaya lukisan pelukis yang memperoleh pengalaman akademis. Perlu dicatat bahwa peranan pelukis yang menuntut ilmu di ISI Yogyakarta berpengaruh dalam perkembangan pendidikan seni lukis di Bali. Dengan Sanggar Dewatanya, anak muda Bali Bali membawa pengaruh abstrak ekspresionis dengan taksu dan tema ritual bali.

Ternyata, perkembangan anak muda Bali diYogyakarta tidak diikuti oleh anak muda Bali yang menuntut ilmu di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Batubulan, Gianyar dan STSI Denpasar. Tertinggalnya wawasan dan kreativitas mahasiswa seni rupa di Bali dengan anak muda Bali di Yogyakarta bisa dijelaskan dengan beberapa argumen.

Salah satunya adalah kualitas pendidikan dan suasana kritis dan wawasan mahasiswa tentang proses berkesenian. Yogayakarta sangat terbuka untuk melakukan dialog dan diskusi untuk berkarya. Sedangkan Bali terus terang saja masih bangga dan mungkin akan terus berbangga dengan romantisme kejayaan seni rupa masa lalunya selama belum ada perombakan radikal untuk mengubah pola pikir proses berkesenian konsumtif dan onani.

Lembaga pendidikan seni di Bali, sebenarnya harus diciptakan sebagai alat untuk terus melakukan kreativitas berkesenian itu. Bukan sebagai lembaga untuk menghasilkan tukang-tukang kesenian untuk memenuhi acara festival dan pekan seni yang tidak jelas kualitasnya. Yang harus dilakukan lembaga pendidikan seperti STSI dan SMSR adalah melakukan perdebatan dan proses pendidikan untuk menghasilkan seniman-seniman cerdas yang punya visi dan siap melakuakn pencarian berkesenian dengan berbekal wawasan dan visi tentang seni yang digeluti. Baik itu seni lukis, kriya maupun tari.

Lembaga pendidikan sangatlah bersalah dan turut andil untuk menciptakan seniman yang berorientasi pada uang. Tidak memikirkan kualitas dan dimensi estetik dari karya seni. Dan infrastruktur seni di Bali harus mampu untuk mendukung terlaksananya proses berkesenian yang berkualitas itu. Baik itu tenaga dosen, iklim persaingan dan sistem pendidikan dialogis dan kritik juga harus dibudayakan. Juga peningkatan mutu mata kuliah yang langsung tepat sasaran menuju spesialisasi.

Orientasi mahasiswa seni di Bali hanya beberapa kali pameran dan berapa lukisan terjual. Begitu juga berapa kali pentas dan sudah berapa kali “mengekor” ke luar negeri. Seakan tidak pernah memikirkan dialektika proses berkesenian, menerima kritik untuk proses kemajuan. Dan yang paling penting adalah menciptakan iklim kritik dan dialog untuk kemajuan berkesenian.

Satu lagi yang menjadi masalah adalah sudah terpakemnya pemikiran pengamat seni, dan penikmat seni rupa terhadap karya seni. Karya mahasiswa selalu dibandingkan atau berusaha untuk disamakan dengan generasi pendahulunya. Tidak pernah memikirkan bagaimana proses pencarian kreativitas yang diutamakan. Seperti argumentasi “seolah-olah epigon abstrak ekspresionisme Erawan.” Bisa dijelaskan bahwa pengikut gaya abstrak ekspresionis trend Erawan banyak oleh mahasiswa seni lukis di bali.

Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa pencarian kreativitas dan pencarian ide masing-masing seniman tentunya berbeda. Kalau sama itu sangat mustahil dan namanya seniman tanpa jati diri. Maka proses untuk melakukan perubahan dan terus mencari identitas dan pencarian karakter diperlukan oleh seniman lukis Bali saat ini. Gerakan-gerakan untuk memediakan dialog dan kritik atas pencarian ini perlu untuk digalakkan.

Maka terbentuknya sanggar-sanggar seni rupa, kelompok seni dan kegiatan berkesenian sangatpenting untuk dilakukan. Paling tidak untuk mendobrak antikritik yang melanda seniman lukis Bali.

Dan para seniman seni lukis Bali berkepentingan untuk terus melakukan proses pencarian berkesenian. Bukankah masyarakat tidak ingin karya seni yang dihasilkan oleh senimannya hanya itu-itu saja. Tidak ada peningkatan kualitas dan pencarian berkesenian. Apalagi dengan tuntutan pariwisata dan dunia atas kesenian Bali. Maka bangkitlah seniman muda Bali! Untuk berkreativitas dengan pencarian jati diri berkesenianmu. Tidak mengekor dan menjadi budak komersil dan menjadi bangga “hanya” karena bisa berpameran atau menari ke luar negeri. *

Tidak ada komentar: