Who am I

Who am I

Rabu, 19 November 2008

Yang Dikalahkan dan Terhempas..

YANG DIKALAHKAN DAN TERHEMPAS: GENEALOGI KEKERASAN DALAM KESAKSIAN SUBALTERN [1]

I Ngurah Suryawan [2]

Karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan dengan tekad yang kuat oleh masyarakat-masyarakat desa selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu.

(March Bloch, Frech Rural History dalam James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah, 2000)

Pascakolonialitas harusnya tidak merupakan subjektifitas setelah pengalaman kolonial melainkan sebagai suatu subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana-wacana dan praktik-praktik imperialisme/kolonisasi (baca: subordinasi/subjektivasi) (Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, 2003).

Awal Kisah...

Siang itu, suatu hari di bulan November 2007, saya membuka awal kisah ini. Setelah melewati perjalanan melelahkan dari Denpasar menuju Kabupaten Buleleng, melewati jalan bekelok perbukitan, menembus dinginnya kawasan Bedugul yang menyayat tulang, saya akhirnya sampai di kabupaten di ujung utara Pulau Bali itu. Tangan yang menggigil, dan punggung yang terasa mulai kaku seakan hilang karena sebuah tujuan: kembali melihat sebuah desa di perbukitan, sebuah desa yang menyimpan banyak cerita: Desa Kayuselem (bukan nama sebenarnya). [3]

Desa Kayuselem selalu teringat dalam setiap langkah dan mimpi saya, bukan karena di desa ini terjadi tragedi kekerasan yang akan saya teliti, tapi saya masih mengingat-mengingat ketika pada suatu hari di tahun 1999, saya sempat berkunjung ke desa yang termasuk berada di kawasan perbukitan itu. Saat itu saya terdorong keinginan untuk mengetahui perusakan dan pembakaran rumah yang menimpa salah seorang warga, salah satu tokoh masyarakat Desa Kayuselem. Saat itu saya hanya melihat kerumunan orang berkumpul tanpa ada kesempatan untuk mengenal sosok tokoh masyarakat itu. Sementara di depan mata saya bongkahan bekas bangunan rumah telah rata menjadi tanah. Kelompok masyarakat berkerumun, dan saya berada di dalamnya.

Saya masih mengingat-ngingat desa itu, ketika motor butut membawa keinginan saya menuju Desa Telagawaja, desa yang masih bertetanggga dengan Desa Kayuselem. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya Desa Kayuselem berhasil saya temukan. Pengalaman pertama ketika berkunjung di tahun 1999 sudah terhapuskan. Saya bahkan sama sekali tidak ingat ruas-ruas jalan ke desa tersebut. Saya benar-benar lupa.

Memasuki Desa Kayuselem, saya harus melewati ruas jalan tanjakan. Di sisi kanan dan kiri jalan hanya bengang (hutan) tanpa berpenghuni. Saya masih harus melalui jalan tersebut hingga menuju pelosok sebuah hamparan tanah penuh rerumputan di sisi kiri dan kanan. Hingga sampailah saya di monumen desa bertuliskan, “Selamat Datang di Desa Kayuselem”.

Siang itu saya mengamati berbagai aktivitas warga menuju tegalan (ladang) dan carik (tanah pertanian) mereka. Di ujung desa, penduduk lalu-lalang di jalan desa dengan membawa cangkul dan sabit. Beberapa orang lainnya tampak sedang berada di warung dan pos kamling (pos keamanan lingkungan) yang saya lihat cukup banyak jumlahnya, antara dua hingga tiga pos. Selebihnya, setelah memasuki wilayah yang berdekatan dengan pusat desa, melalui jalan yang membelah—karena ada pelinggih (pura tempat pemujaan) di tengahnya—saya lihat penduduk tampak lengang. Laju motor saya mendapat perhatian beberapa warga yang duduk-duduk di warung dan pinggir jalan.

Merasa mendapatkan perhatian, saya hentikan laju sepeda motor. Saya bertanya kepada seorang warga, lelaki setengah baya yang jongkok di pinggir jalan sambil mengelus-ngelus ayam jago untuk metajen (sabung ayam). “Numpang metaken pak, uningin umah Pak Ketut Sorog sareng Pak Nyoman Nambregn ngih?” (Numpang mau bertanya pak, apakah mengetahui rumah Pak Ketut Sorog dan Pak Nyoman Nambreg ya?). Pertanyaan polos dan halus saya justru ditanggapi dingin oleh lelaki setengah baya tersebut. Ia berdiri sambil membawa ayam jagonya, dan menggerakkan tangan tanda tidak tahu sambil menjawab singkat, “Ten Uning.” (Tidak tahu).

Mendapat jawaban dingin itu, saya mulai menaruh curiga. Jangan-jangan semua warga tutup mulut dengan kejadian tragis yang menimpa kedua keluarga ini, Ketut Sorog dan Nyoman Nambreg. Tapi saya simpan dalam-dalam rasa curiga tersebut. Saya beranikan diri untuk bertanya kembali kepada warga yang lain.

Kali ini tujuan saya adalah pada generasi muda. Saya menemui beberapa anak muda Desa Kayuselem yang sedang berkumpul di warung-warung desa. Mereka berkumpul sebanyak empat orang sambil bercengkrama. Dua diantaranya bertelanjang dada, sementara yang lainnya duduk di kursi-kursi plastik membelakangi warung. “Swastiastu ngih, tiang metaken, uning rumah Pak Nyoman Nambreg sareng Pak Ketut Sorog ngih?” (Swastiastu—salam pembuka dalam tradisi Hindu—saya mau bertanya, apakah tahu rumah Pak Ketut Sorog dan Pak Ketut Nambreg ya?). Saya terkejut mendapatkan jawaban yang ketus dan sinis. “Sing ada dini, mekejang be pesu uli desa.” (Tidak ada disini, semuanya sudah keluar dari desa). Lanjutan dari jawaban mereka justru balik menginterogasi saya, “Gus saking napi? Wenten perlu napi ngih?” (Anda darimana? Ada perlu apa ya?). Saya kelabakan dan kemudian menjawab seadanya, “Tiang dari Unud (Universitas Udayana), wenten perlu sareng Pak Nambreg. Ngih, suksma bli,” ujar saya sambil kemudian bergegas meninggalkan sekelompok anak muda itu. (Saya dari Unud, ada perlu dengan Pak Nambreg. Mari, terimakasih).

Dalam perjalanan meninggalkan Desa Kayuselem, sambil sesekali berhenti melihat luasnya lahan pertanian yang kering kerontang, saya masih menyimpan pertanyaan tentang detail kejadian yang menimpa keluarga Ketut Sorog dan Nyoman Nambreg. Beberapa informasi awal saya kumpulkan dari kliping koran-koran dan informasi dari beberapa kawan. Keinginan tersebut saya simpan dalam-dalam. Bergegas saya meninggalkan Desa Kayuselem kembali menuju Denpasar, dengan suatu harapan suatu saat akan bisa menyibak misteri tragedi kekerasan yang menimpa dua manusia Bali ini (Ketut Sorog dan Nyoman Nambreg). Laju motor saya kemudian menembus kabut tebal di puncak bukit menuju Denpasar. Derasnya hujan menyertai perjalanan pulang ke Denpasar, dibarengi misteri dan keinginan besar menyibak misteri tragedi kekerasan politik di ujung utara Pulau Bali itu.

Lima bulan kemudian keinginan saya tercapai. Melalui beberapa kawan, keinginan untuk menemui Nyoman Nambreg dan Ketut Sorog akhirnya tercapai. Nyoman Nambreg yang menjadi saksi saat kedua anaknya menghembuskan nafas terakhir saat dikeroyok massa berhasil saya jumpai. [4]

Nyoman Nambreg, lelaki ringkih itu masih bermandi keringat ketika saya mengunjunginya di rumahnya yang beratap klangsah (anyaman dari janur) dan sumi (ilalang). Di hamparan sawah yang luas, sebagian besar masih kering kerontang, Nambreg mengayunkan cangkulnya tanpa lelah. Rumah Nambreg berdampingan dengan sawah garapannya, bukan miliknya karena ia hanya sebagai petani penggarap.

Di rumah beratapkan sumi tersebut Nambreg tinggal bersama istri, anak, cucu, dan menantunya. “Kubu tiang di desa sampun rate dados tanah. Tiang ten medue napi-napi malih. Niki wenten ne ngolasin tiang maang tanahne dadi tongosin,” ujarnya lirih. (Rumah saya di desa ( Kayuselem)—tempat Nambreg berasal sudah rata dengan tanah. Saya tidak punya apa-apa lagi. Ini ada orang yang mengasihani saya memberikan tanahnya untuk ditempati).

Nambreg adalah saksi sejarah keberingasan manusia Bali sesama saudaranya, krama (warga) satu desa di sebuah desa utara pulau Bali. Dua anak lelakinya tewas mengenaskan dikeroyok massa berseragam salah satu partai politik. Nambreg dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana massa manantang kedua anaknya, menyekap, untuk kemudian menghujaninya dengan pukulan, tusukan taji dengan beringas. Nambreg yang berusaha menghalangi bahkan dihujani pukulan hingga jatuh tersungkur.

Jelmane to-to dogen. Sing ade lenan. Tiang sampun uning. Tiang sing lakar engsap kanti mati,” tuturnya mantap. (Orangnya itu-itu saja. Tidak ada yang lain. Saya sudah tahu. Saya tidak akan pernah lupa sampai mati). Dengan senyum sinis dalam kepedihan dan amarah, Nambreg menuturkan:

Tiang jeg ngelah rasa sampe hati nyalanang keneh ene keto. Tiang men jani omongan tiang sing bakat been, tonden nyidang tiang mebakti mulih. Nomer satu gen tiang mebakti nuju odalan. Nah beneng tiang nyakupang lima, ade san ye di sampinge, tiang buung mebakti dadine. Amen sing ade ngelah keneh emosi, yen tiang kalah karwan be mati, kalah yen anak meyadnya buung. Keto perasaan tiang. Ampe jani tiang ten.

(Saya merasa sampai hati menjalankan keinginan seperti itu. Saya kalau sekarang diomongkan saya sudah tidak menghiraukan, belum bisa saya sembahyang ke rumah. Nomor satu saja saya sembahyang ke rumah di Desa Kayuselem saat odalan—ritual/upacara persembahan di pura keluarga. Nah, tepat saat saya mencakupkan tangan (saat sembahyang), ada orang (yang ikut membunuh anak saya) tepat disamping saya, akibatnya saya batal sembahyang. Ini kalau tidak perasaan emosi, kalau saya kalah sudah jelas mati, dan sudah kalah orang menyadnya (menghaturkan persembahan suci menjadi batal). Itu perasaan saya. Sampai sekarang saya tidak (ke Desa Kayuselem).[5]

Istri Nambreg juga mengungkapkan kepedihan dan ketakutannya kembali ke Desa Kayuselem:

Tiang sing bani mulih nginep kayang jani. Dugase to be gen kejadianya, tiang taen jumah dugas a bulan pitung dine (upacara satu bulan tujuh hari menurut penangggalan Bali setelah kematian kedua anaknya).

Saya tidak berani pulang (ke Desa Kayuselem) dan menginap hingga sekarang. Saat kejadiannya itu, saya sempat ke rumah saat upacara satu bulan tujuh hari (upacara satu bulan tujuh hari menurut penanggalan Bali setelah kematian kedua anaknya). [6]

Dalam keteguhan dan senyum sinisnya, Nambreg bersama keluarganya menyimpan amarah. Amarah Nambreg adalah sebuah bara yang kini masih tersimpan rapi di dalam relung hatinya. Kisah Nambreg menjadi cermin bahwa beberapa kelompok masyarakat menyimpan sebuah kepedihan tragedi politik dan kesaksian mereka tidak mendapatkan ruang untuk bertutur, bahkan “dihilangkan” tertelan berita para tokoh politik dan pejabat negara yang berbicara “mewakili” mereka. Cukup lama beberapa kelompok masyarakat ini dibungkam, dikalahkan, dan tidak bersuara. Kesaksian dan pergolakan hidup mereka luluh tertelan begitu banyak pentas-pentas politik yang membuat kisah mereka hilang disapu angin.

Sejarah Lisan dan Studi Subaltern

Dalam studi sejarah yang konservatif (do document no history), sejarawan sering sangat tergantung kepada “dokumen” yang mereka anggap sebagai “dewa kebenaran” dalam penyelidikan sejarah. Seolah apa yang terdapat dalam dokumen adalah fakta final yang tidak perlu untuk dikritik apalagi dikoreksi. Roosa dkk (2004) mengandaikan bahwa kepercayaan sejarawan pada ketepatan dokumen resmi pemerintah dan surat kabar sebagai “gudang kebenaran sejarah”.

Sejarah lisan hadir untuk memberikan ruh pada penulisan sejarah itu sendiri. Lucas (1989) dalam Peristiwa Tiga Daerah-nya memberi cermin bahwa sejarawan lisan mempunyai sebuah diktum: “Jika mau menulis sejarah, tulislah dari perspektif orang yang menghidupinya, bukan dari seperangkat prinsip ahistoris atau penilaian apriori.

Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.

Maka sejarah lisan bukan hanya teknik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dari rekaman tertulis. Arti pentingnya jauh lebih luas dari itu. Seperti ditulis Paul Thompson, sejarah lisan telah mengubah seluruh watak penulisan sejarah: dengan menampilkan bukti-bukti baru dari bawah, dengan memindahkan fokus (penyelidikan sejarah) dan membuka wilayah penyelidikan baru, dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian yang selama ini dipegang oleh sejarawan, dengan memperhatikan kelompok-kelompok orang yang selama ini diabaikan. Ruang lingkup penulisan sejarah sendiri telah diperluas dan diperkaya; dan pasa saat bersamaan pesan sosialnya pun berubah. Sejarah, dengan kata lain, menjadi lebih demokratik (Roosa dkk, 2004: 5).

Pergolakan dari “arus bawah” yang menghidupi sejarah itulah yang ditangkap oleh subaltern studies. Bertitik tolak dari studi pascakolonial—yang memungkinkan masyarakat terjajajah dan kelompok masyaraat tertindas untuk bersuara dan merumuskan identitas dirinya—subaltern studies berjuang keras untuk menampilkan sejarah-sejarah sosial dari mereka yang bukan elit.

Kata subaltern dilontarkan pertama kali oleh marxis Italia, Antonio Gramsci ketika mengklasifikasikan kondisi masyarakat Italia. Ia menyebutkan membicarakan kelas subaltern tidak bisa dilepaskan dari formasi negara. Dalam bahasa Gramsci, mereka adalah “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik”. Kelas dan kelompok inilah yang kemudian akhirnya biasa disebut kelas-kelas subaltern.

Gayatri Chakravorthy Spivak yang menampilkan subaltern studies mendapatkan inspirasi dari sejarah perjalanan intelektual India kritis yang tergabung dalam Subaltern Studies Group. Adalah Ranajit Guha, seorang sejarawan India yang kemudian mengambil dan mengembangkan gagasan Gramsci tentang subaltern untuk menulis ulang sejarah India. Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan di desa, yaitu rakyat. Yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan elite” dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).

Namun, dalam masyarakat pascakolonial, suara-suara masyarakat tertindas dalam kelas subaltern terfragmentasi dan berlapis-lapis seperti yang diungkapkan di atas. Suara-suara subaltern tersebar dalam subjektivitas-subjektivitas manusia dan pengalaman sejarahnya. Dalam studi pascakolonial identitas-identitas dan subjektivitas-subjektivitas manusia itu berubah dan terpecah-pecah. Sementara, sebagian kritikus dan sejarawan mendapati deskripsi tentang formasi subjek memudahkan pemahaman kita tentang kemungkinan give and take, negosiasi-negosiasi dan dinamika kekuasaan dan perlawanan dalam hubungan-hubungan kolonial. Namun, bagi yang lain, teori-teori tentang identitas terpecah dan tidak stabil seperti itu tidak memungkinkan kita mengkonseptualisasikan keagenan, atau mendefinisikan subjek-subjek yang merupakan pembuat-pembuat dari sejarah mereka sendiri (Loomba, 2003: 300-301).

Payung besar subaltern studies adalah studi pascakolonial. Edward Said dalam Orientalisme (1979, 2001)—yang menjadi dasar teori pascakolonial—melacak asal-usul proyek kolonialisme, yang kemudian melahirkan teori pascakolonial, dari sebuah kegagalan intelektual, akademik, sekaligus kemanusiaan. Said mengungkapkan orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologism dan epistemologis yang dibuat antara “Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occodent). Orientalisme didefinisikan sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur—berurusan dengannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan tentangnya, memberwenangkan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman dan memerintahya, pendeknya, Orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur.

“…Tanpa memeriksa Orientalisme sebagai suatu discourse, kita tidak akan mungkin bisa memahami disiplin yang sangat sistematis ini, dengan mana budaya Barat mampu mengatur—bahkan menciptakan –dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideology, saintifik, dan imajinatif selama masa pasca-Pencerahan. Disamping itu, demikian berwenangnya kedudukan Orientalisme hingga saya yakin bahwa tak seorang pun yang bisa menulis, berpikir mengenai, atau bertindak terhadap dunia Timur tanpa memperhitungkan pembatasan-pembatasan atas pikiran dan tindakan, yang digariskan oleh Orientaslisme. Singkatnya, karena Orientalisme maka dunia Timur dahulu (dan juga sekarang) tidak merupakan obyek pemikiran atau tindakan yang bebas. Ini tidak berarti bahwa Orientalisme secara sepihak menentukan apa yang dapat dikatakan tentang dunia Timur, tetapi ia berarti bahwa Orientalisme merupakan keseluruhan jaringan kepentingan-kepentingan yang secara tak terhindarkan dikaitkan dengan (dan karenanya selalu terlibat dalam) setiap kesempatan dimana entitas “dunia Timur” yang khas itu menjadi pokok perbincangan (Said, 2001: 4).

Jorge de Alva (dalam Sutrisno dan Putranto, ed, 2004: 11) mengungkapkan, pascakolonial diartikan sebagai subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana dan praktek imperialisme (subordinasi). Alva menawarkan pemikiran bahwa kita harus melepaskan makna pascakolonial dengan kondisi kolonial sebelumnya dan menghubungkannya dengan tonggak pascastrukturalis. Pemikiran Alva mencoba melepaskan pascakolonial dengan arti dekolonisasi formal. Sebab banyak orang yang hidup dalam negara-negara yang dijajah maupun menjajah tetap menjadi subjek dari penindasan yang dahulu diterapkan penguasa kolonial. Selain itu, bagi kelompok masyarakat yang berada pada kelas terendah, yang masih tetap berada pada posisi paling terpinggir, makna kolonisasi tidak pernah memasuki masa “pasca”.

Studi pascakolonial secara mendasar bisa diletakkan pada dua konteks utama yang saling berhubungan. Pertama, adalah sejarah dekolonisasi itu sendiri. Para intelektual dan aktivis yang berjuang melawan pemerintahan kolonial, dan para penerus mereka yang ingin menghadapi warisan kolonial yang masih berlanjut, dalam proses mengupayakan agar suara mereka itu didengar, telah mempertanyakan dan merevisi definisi-definisi dominant tentang ras, budaya, bahasa, dan kelas. Kedua, adalah revolusi, di dalam tradisi-tradisi intelektual “Barat”, dalam pemikiran tentang sebagian dari isu-isu yang sama—bahasa dan bagaimana ideology-ideologi bekerja, bagaimana subjektivitas-subjetivitas manusia dibentuk, dan apa yang mungkin kita maksudkan dengan budaya (Loomba, 2003: 26).

Mengurai Genealogi Kekerasan (Bali) dalam Perspektif Subaltern

Dengan menggunakan perspektif subaltern, sejarah lisan, dan cultural studies sebagai pisau untuk menguraikan praktik politik dan relasi kekuasaan, melacak genealogi kekerasan di Bali setidaknya akan lebih bernuansa. Setidaknya, fenomena kekerasan tidak hanya dijelaskan sebagai sebuah “kesalahan internal” atau sebuah patologi sosial, tapi sebuah hubungan diskursif antara warisan politik Bali pascakolonial dan relasi subjektivitas politik dan kekuasaan yang terus berubah-ubah. Bukan juga menjelaskan kekerasan sebagai sebuah ritus lingkaran hidup manusia yang given dan mendarah daging (memang ada dalam masyarakat Bali), tanpa menguraikan relasi-relasi yang membentuknya, membongkar mitologi-mitologi kekerasan dan memetakan hubungannya kini sehingga kekerasan begitu massif.

Semua metode, teori sosial baru yang dikembangkan ingin menjawab sebuah pertanyaan besar yang belum tuntas hingga kini: Mengapa kekerasan begitu membadan dan menjadi keakraban bagi Bali? Dan Mengapa manusia Bali begitu beringas melakukan aksi kekerasan bahkan membunuh sesama saudaranya?

Menjawab pertanyaan besar itu bisa dilakukan dalam berbagai perspektif. Paper ini mengajukan dua perspektif untuk berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, adalah membongkar kembali genealogi kekerasan dan praktik-praktik pewarisan kekerasan yang berlangsung di Bali. Kedua, bagaimana pemosisan kelompok subaltern dalam genealogi kekerasan tersebut.

Genealogi kekerasan di Bali sesungguhnya terjadi sejak bagaimana Bali “dibentuk” melalui praktik kolonisasi. Proyek “pentradisian” Bali yang dikenal dengan ideologi Baliseering menjadi roh dalam kehidupan politik kebudayaan Bali. Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya, berlangsung menjadi landasan praktek kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengekspolitasi Bali.

Dalam politik kebudayaan Baliseering, Picard (2006) menuliskan tujuannya bukanlah melindungi kebudayaan Bali yang ada, melainkan memulihkan apa yang disangka oleh mereka (rezim kolonial Belanda) merupakan keadaan aslinya.

Dengan demikian, tidak hanya sekadar mencoba melindungi orang Bali dari pengaruh-pengaruh luar, para orientalis dan pejabat Belanda di pulau itu mengajarkan pula bagaimana menjadi orang Bali yang sebenarnya: itulah tujuan dari kebijakan yang dikenal dengan nama baliseering atau ‘Balinisasi” yang diterapkan pada tahun 1920-an (Picard, 2006: 27).

Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kesadaran kaum muda atas kekayaan warisan budayanya, melalui pendidikan yang menekankan pelajaran bahasa, sastra dan kesenian tradisional, sambil di sisi lainnya secara aktif menekan wujud modernisme yang tidak selaras (dengan budaya Bali). Peninggalan-peninggalan masa lalu tidak dilupakan, bersamaan dengan itu karya-karya agung budaya Bali didaftar dan dikumpulkan, baik untuk diperlihaatkan kepada kaum sarjana dan para pengunjung, juga untuk mencegah penjualan kepada turis sebagai souvenir.

Praktik Balinisasi inilah yang kemudian dibekukan serta diwariskan pada rezim “Pariwisata Budaya” Orde Baru. Citra eksotis yang diproduksi rezim kolonial Belanda direproduksi kembali untuk mendatangkan gemerincing dollar para turis. Dalam bahasa Robinson (2006), citra “tradisional” Bali yang menjadi titik sentral ideologi Balinisasi diproduksi oleh industri pariwisata oleh rezim Orde Baru. Bali “tradisional” yang begitu disanjung-sanjung para pelancong maupun ilmuwan adalah sebuah fiksi historis, produk kalkulasi politis dan tujuan-tujuan politis konservatif. Citra popular tentang Bali ‘tradisional” sebagai “sorga terakhir” telah dilanggengkan dan dieksploitasi oleh sederet pemerintah, baik Belanda maupun Indonesia, dan oleh partai-partai dan para pemimpin politik yang berkepentingan melestarikan status quo atau menciptakan “tradisi” yang sepenuhnya baru dan lebih sesuai dengan kepentingan pribadi, politik atau kelas mereka. Citra ini digenjot oleh industri pariwisata multijutaan-dolar, yang menemukan skema yang menguntungkan dalam “tradisi” Bali (Robinson, 2006: 468).

Bujuk rayu bernama pariwisata itu membenamkan kenangan pahit ketika sesama krama Bali saling bunuh di tahun 1965. Di pulau seribu dewa ini, antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80.000 orang—atau sekitar 5 % penduduk yang berjumlah kurang dari 2 juta jiwa—ditembak, ditikam, ditebas sampai mati. Sejarah resmi Angkatan Darat, yang hampir dapat dipastikan merendahkan tingkat pembunuhan ini, menyodorkan angka 40.000 korban dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Dinas sejarah KODAM XVI/Udayana, Komando daerah Militer XVI/Udayana Dalam Lintasan Sejarah (Denpasar, 1982). Sejumlah orang Bali yang punya akses ke catatan militer dan pemerintahan provinsi kala itu menganggap angka 50.000 korban tewas sebagai “jelas kelewat rendah”, dan angka 100.000 korban tewas sebagai “mungkin” (Robinson, 2006).

Tapi pada rezim Orde Baru, ingatan kekerasan pembantaian 1965 berhasil dihempaskan dan tergantikan oleh jargon “Bergiat Menjadi Pahlawan Pembangunan”. Pembangunan dan pariwisata adalah dua kata sakti untuk membuat manusia Bali melupakan sejenak tragedi pedih masa lalunya. Bali kemudian berubah menjadi pulau yang paling terdepan dalam pembangunan infrastruktur pariwisata.

Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).

Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata (Pitana, 1999: 19-20).

Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan Bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali.

Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa di setiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat program-program pemerintah, ataupun lewat agensi manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga. Karena itulah kehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Santikarma (tt) mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik.

Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan dan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.

Karena alasan citra eksotis pulalah pasca Bom Bali 2002 dan 2005, image Bali pasca kekerasan terorisme harus dipompa kembali menjadi sebuah warisan citra yang abadi. Citra abadi tentang eksotisme Bali tersebut terasa ironis dan ahistoris. Ironis karena landasan pembentukan citra tersebut berlumuran kekerasan dan praktik kekuasaan oleh rezim kolonial Belanda dan kemudian diwariskan oleh manusia Bali dalam rentetan tragedi kekerasan berikutnya, diantaranya pembantaian 1965 dan kekerasan-kekerasan politik lokal pasca 1998. Ahistoris karena citra abadi tentang eksotisme Bali itu dianggap sebagai “warisan leluhur” yang memang ada begitu saja dan pantang mempertanyakan bagaimana itu ada.

Proyek ‘mengembalikan citra Bali” pasca Bom Bali 2002 dan 2005 menurut Santikarma (2003) dimulai dengan penggalian lapisan-lapisan stereotip dari beberapa zaman untuk memamerkan “arkeologi kekuasaan” yang secara selektif dipilih dari sejarah. Susunan yang pertama dalam pembentukan “image Bali” adalah konstruksi terhadap Bali yang diciptakan oleh rezim kolonial yang memuja Bali sebagai manusia demokrat sejati seperti dalam konsep “village republic” yang melihat institusi lokal, seperti banjar (desa), sebagai egaliter di mana semua pendapat dihargai dan konflik diredam atas nama harmoni sosial.

Kemudian diikuti oleh konstruksi antropolog Margareth Mead dan Goerge Bateson yang melihat orang Bali sendiri sebagai manusia yang “berkarakter halus dan anggun”, ‘emosi tanpa klimaks” dan “mengutamakan kerukunan”. Pandangan arkaik dan naif seperti ini dilestarikan untuk menambah kesan bahwa Bali terisolasi dari pergolakan politik kontemporer.

Image yang diciptakan untuk menggambarkan Bali sebagai pulau damai, kebal dari sejarah kekerasannya sendiri, menjadi sebuah komoditas untuk ekspor sekaligus bahan kebutuhan domestik. Kasus bom meletakkan masyarakat Bali dibawah sorotan masyarakat dunia. Orang Bali sadar mereka sedang diperiksa, diuji, dan diselidiki untuk direpresentasikan oleh media luar. Kehadiran pers asing berfungsi sebagai kamera pengawas, atau dalam bahasa Michel Foucault sebagai panopticon, yang me-“litus” gerak-gerik orang Bali. Kalaupun ada ketegangan antaretnis yang muncul pascabom, seperti “sweeping” KTP dan tertib administrasi terhadap penduduk pendatang. Ini harus disembunyikan di bawah kasur supaya masyarakat tidur nyenyak dan bermimpi gemerincing dollar pariwisata. Dari satu sisi, ledakan bom memang mengemboskan roda perekonomian Bali. Tetapi, dari sisi lain, tragedi Sari Club justru mempertebal rasa solidaritas orang Bali. (Santikarma, 2003)

Santikarma (2003) melakukan pembandingan antara peristiwa ledakan Bom di Legian Kuta 2002 dan tragedi pembantaian massal sesama manusia Bali pada tahun 1965. Dengan satir Santikarma menuliskan:

Dua ladang kekejaman di mana lebih dari dua ratus jiwa meninggal dunia. Yang satu menjadi pusat perhatian umum, bahkan ada rencana yang masih diperdebatkan untuk dijadikan monumen. Yang satu lagi menjadi dokumen terlarang dibaca, seperti "buku kiri" yang dikunci di belakang perpustakaan di zaman Orde Baru—meskipun tak ada dari pihak penguasa yang berani memahami tentang apa yang dilarang. Yang satu masuk ke jaringan media internasional, menjadi berita utama di seluruh dunia. Yang satu lagi terkubur, tanpa kabar, tanpa batu nisan, apalagi upacara. Yang satu punya saksi yang berjejer di ruang sidang untuk mengumumkan ingatan mereka. Yang satu lagi punya saksi tanpa pendengar dan pelaku yang tak hanya bebas tetapi dipanggil pahlawan. Yang satu menjadi tempat peziarah, destinasi "wajib" dikunjungi oleh setiap orang yang datang ke Bali. Yang satu lagi menjadi tempat tak tersebut dan terhapus dalam peta, dikunjungi hanya oleh seseorang yang masih berani setia pada ingatan kawan-kawan yang meninggal dengan cara yang begitu bengis (Santikarma, 2003).

Subaltern Studies dan Cultural Studies: Mengurai Struktur, Subjektifitas, dan Kuasa

Subaltern Studies sebagai sebuah kajian menempatkan bahwa kelompok masyarakat yang tertindas untuk diberikan ruang bersuara, bersaksi, menggugat “narasi resmi” dari kekuasaan. Dalam praktiknya, subaltern studies adalah politik pemihakan. Jika dilacak lebih jauh, kehadiran kelompok-kelompok inferior ini memilik sejarah panjang dalam perjalanan kolonialisme. Setelah proyek penjajahan tersebut berakhir—dalam bentuk fisik tapi tidak dalam bentuk ideologi dan praktik-praktik neo-kolonialisme—masih tersisa jejak-jejak, warisan kolonialisme yang dibekukan dan terus dipraktikkan oleh bangsa terjajah. Oleh karena itulah studi pascakolonialisme selain menekankan pada pembongkaran warisan rezim kolonial, juga menginspirasi kelompok-kelompok inferior, terpinggirkan dari masyarakat terjajah untuk bersuara dan mendefinisikan dirinya (Fanon, 2000).

Posisi subaltern jelas berada di tepi pusaran kekuasaan. Oleh karena berada di tepi, suaranya sering diabaikan. Dalam praktik kolonialisme, suara masyarakat terjajah dalam menunjukkan eksistensinya terbendung jejaring kekuasaan yang diciptakan oleh rezim penjajah. Setelah itu, posisi subaltern akan terus-menerus tersisih karena proyek penjajahan dilanjutkan oleh masyarakat terjajah lainnya yang mewarisi pola pikir kolonial. Oleh sebab itu, posisi subaltern akan terus ditekan dengan berbagai praktik-praktik penjajahan gaya baru yang terus direproduksi.

Menurut Gramsci, penulisan sejarah selanyaknya mengalihkan pandangannya kepada sejarah kelas-kelas subaltern ini. Karena dalam sejarah subaltern juga terdapat kompleksitas dan beragam relasi yang penting untuk dipahami. Tapi sayangnya menurut Gramsci, “sejarah yang tidak resmi” ini tertutup oleh “sejarah resmi” dari kekuasaan. Ini disebabkan karena kelompok subaltern tidak memilik akses ke pusat-pusat kekuasaan, kondisinya terpinggirkan dan terbungkam suaranya.

Sejarah kelompok subaltern tentu tidak akan tercatat dalam dokumen resmi negara. Sejarah, ingatan mereka termarginalkan yang berada di tepi dominasi politik kebudayaan. Tsing (1998) dalam kajiannya tentang marginalitas dan kelompok subaltern di Dayak Meratus mengungkapkan bahwa sangat penting untuk mempersoalkan posisi kelompok-kelompok masyarakat yang tersingkir dan terpuruk yang berada di tepi dominasi kebudayaan. Keterpinggiran dari kelompok subaltern ini menjadi tema yang penting untuk kembali merumuskan teori kebudayaan, bukan sekadar memberi ciri kebudayaan tertentu.

Dengan berdasar pada perspektif pascakolonial, Tsing menguraikan adanya perbedaan kebudayaan yang karena kekuasaan imperialisme Barat sekaligus perkembangan nasionalisme dan etnisitas yang dihasilkan oleh kekuasaan. Marginalistas—istilah Tsing dalam studinya tentang Dayak Meratus—menjadi pembuka jalan bagi suatu analisa kebudayaan (Tsing, 1998: 17-18).

Jika kajian budaya adalah sebuah politik dalam hal teoritik (Barker, 2004) maka subaltern studies adalah praktik keberpihak politik tersebut. Hubungan keduanya sangat berkaitan erat. Kajian budaya bagi Hall (dalam Barker, 2004: 6) selalu membincangkan hubungannya dengan kekuasaan dan politik dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi atas dan ‘bagi’ kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender dan ras.

Dengan demikian, cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa (Barker, 2004: 6).

Lahirnya kajian budaya berawal dari perlawanan terhadap objektifitas pengetahuan dalam arti luas. Sunardi (2003: 17-18) menilai kajian budaya lahir dari kehendak untuk melawan berbagai kemapanan, abstraksi, dan pemutlakan suatu sejarah yang merugikan rakyat banyak. Semangat perlawanan ini telah menghasilkan perluasan gagasan tentang budaya menjadi sesuatu yang biasa dari orang biasa (ordinary). Kajian budaya bukan sekadar mempelajari budaya melainkan juga membudaya. Secara teoritis-konseptual, kajian budaya memberikan kerangka bagi gerakan-gerakan perlawanan.

Jika cultural studies lahir akibat dari respon budaya yang elit dan ”tinggi”, maka subaltern studies jika dilacak lebih jauh berkaitan erat dengan kolonialisme dan pascakolonialisme. Lahir dari latar belakang berbeda, tapi bermuara pada pemihakan pada kelompok-kelompok marginal, tersisihkan.

Cultural studies tidak menyibukkan diri dengan nilai-nilai yang dipandang sebagai intrinsik, abadi, luhur dari suatu kebudayaan melainkan lebih pada relasi-relasi sosial-politis yang terkandung di dalamnya. Pandangan demikian menuntut pemahaman akan adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat, khususnya antara kelas elit yang biasanya ditandai dengan produk budaya yang diklaim “luhur” dan kelas bawah yang produk budayanya biasanya dipandang sebagai budaya kerakyatan (Wardaya, 2006).

Pemosisian subaltern dalam kajian budaya adalah sebagai agensi, subjektivitas dalam pergolakan politik kebudayaan dan kekerasan. Dalam cultural studies, tema subjektivitas dan agensi menjadi salah satu tema penting dalam bingkai politik identitas. Subaltern menjadi agensi dari produk identitas yang dikonstruksi secara diskursif dan disipliner. Subaltern dibentuk dari serangkaian subjektivitas yang dibentuk dari serangkaian praktik diskursif.

Dalam genealogi kekerasan, subjektivitas dari agensi juga sangat berperan penting disampingnya tentunya struktur sosial yang membentuk agensi tersebut. Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003: 8) menajamkan perspektif yang mempertentangkan beberapa dikotomi antara individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme. Bourdieu memperhitungkan bahwa posisi-posisi pelaku juga terkait dengan ruang dan memang riil ditempati. Ia mencoba menjelaskan dialektika antara pelaku dan sistem: struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan, dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya, pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih sangat kuat. Melalui konsep habitus, Bourdieu menyatukan kedua unsur tersebut dengan pendekatan yang disebut dengan strukturalisme genetik/generatif: analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan analisis asal-usul struktur-struktur sosial itu sendiri.

Dalam konteks genealogi kekerasan, posisi dan peran subaltern menjadi sangat sentral. Dari kelompok subaltern inilah beragam genealogi kekerasan terbentuk dan menciptakan struktur-strukturnya yang terus menerus bergeser, berubah-ubah sesuai dengan konteks zaman dan relasi kekuasaan yang membentuknya.

Bergulatnya agensi, subjektiftas yang bertarung dalam praktik kekerasan juga menimbulkan dampak yang merusak hubungan kemanusiaan. Santikarma (2008) menunjukkan bahwa tragedi kekerasan menimbulkan rusaknya relasi humanisme sesama manusia.

Salah satu hasil kekerasan yang paling menyakitkan justru hancurnya kepercayaan antar saudara dan antar tetangga mereka sendiri, seperti yang dirujuk oleh Veena Das sebagai “kesadaran beracun” (2000) bahwa kelompok sosial seperti banjar, desa dan keluarga adalah fiksi sosial yang gampang goyah di bawah tekanan kekerasan? (Santikarma, 2008: 214).

Pada posisi subaltern-lah dampak kekerasan yang menyakitkan itu ditimpakan. Karena itulah genalogi kekerasan menunjukkan bagaimana akar sejarah kekerasan politik berjalan, bergeser dalam konteks relasi kekuasaan tertentu, dan sudah tentu menghasilkan kelompok subaltern yang berbeda-beda pula.

Tapi dalam kelompok subaltern juga terdapat struktur kekuasaan yang harus diuraikan. Karena itulah, dalam mendengar suara subaltern, ada baiknya untuk memakai bahasa mereka, mendengar dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari. Dan yang tidak kalah untuk dilupakan adalah bagaimana kelompok subaltern ini memaknai kehidupan sehari-hari dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara mereka yang terpuruk.

Santikarma (2004) dengan meminjam Bourdieu mengungkapkan tidak ada subyek yang bebas dari ruang kekuasaan dan tidak ada ruang yang steril dari power.

Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan tidak cukup untuk mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai “suara alamiah perlawan” yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir “brahmana” diantara ribuan massa paria. Dunia sosial berhirarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas diantara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya (Santikarma, 2004).

Ubung-Denpasar, 18 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.

--------, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fanon, Frantz. 2000. Bumi Berantakan: Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang Mengubah Wajah Dunia. Jakarta: Teplok Press.

Gramsci, Antonio. 2000. Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Promethea.

Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault” dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

---------, “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu” dalam Basis edisi khusus Pierre Bourdieu, No. 11-12, Tahun ke- 52, November-Desember 2003.

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang.

Lubis, Dr. Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad. Denpasar: Bali Post.

Picard, Michel. 2006. Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta: KPG.

Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora. 2003. (Vol. 2 No. 4), Menulis Ulang Kajian Budaya, Yogyakarta, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Robinson, Geoffery. 1995. The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali. Cornell University Press.

-------- 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta: LKiS.

Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan. Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia

-------- dan Ayu Ratih. 2008. Sejarah Lisah di Indonesia dan Kajian Subjektivitas dalam Henk Schulte Nodholt dkk (ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, Larasan dan KITLV Jakarta

Said, Edward. 2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.

Sangarimbun, Masri (peny) dan Sofian Effendi. 1984. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Santikarma, Degung. 2002. “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”. Kompas Minggu 6 November 2002.

--------- tanpa tahun. “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”. makalah terbatas.

---------2000. “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”. Kompas 1 September 2000.

---------2003. “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”Kompas 7 Desember 2003.

---------2004. “Pentas Antropologi di Indonesia”. Kompas, 7 Juli 2004

---------2003. “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal”. Kompas, 1 Agustus 2003.

---------2004. “Sweeping” Bali, ‘Sekala” dan “Niskala”. Kompas, 7 April 2004.

Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sunardi, St. 2003. “Kajian Budaya: Pada Mulanya adalah Perlawanan…” dalam Jurnal Ilmu Humaniora Retorik Vol. 2 No. 4 2003, Menulis Ulang Kajian Budaya, Yogyakarta, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto (ed). 2004. Hermeneuitika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius.

Supartono, Alexander. 2000. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. (skripsi) di STF Driyarkara.

Suryawan, I Ngurah. 2004. “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004

---------2005. BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

---------2005. Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali). Yogyakarta: Buku Baik dan Elsam.

---------2005. “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, dalam Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.

---------2006. Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

---------2006. “Membicarakan “Can the Subaltern Speak?” (Gayatri Spivak dan Praksis Kajian Budaya), dalam Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 6 Juli 2006.

---------2006, “Bertutur di Balik Senyap (Studi Antropologi Kekerasan Pembantaian Massal Tragedi di Desa Tegalbadeng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali”, (skripsi) Sarjana Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

---------2007. Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal 1965 di Bali. Yogyakarta: Galang Press.

---------2007. Kesaksian Air Mata, Kisah-kisah Memecah Senyap. Denpasar: Larasan.

---------2008. Rintihan Negri Sorga: Pergolakan Manusia Bali Pasca Bom Bali 2002 dan 2005. Yogyakarta: Impulse dan Kanisius

Tsing, Anna Lowenhaupt. 1998. Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Vikers, Adrian. 1989. Bali: A Paradise Cretated. Victoria: Penguin.

Wardaya, Baskara T. 2006. “Epistemologi Cultural Studies dan Pemihakannya pada Budaya-budaya Terpinggirkan”. Bahan Kuliah Kajian Budaya Universitas Udayana Bali, 5 Agustus 2006.



[1] Makalah singkat dalam seminar sejarah di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja pada 20 November 2008.

[2] Peneliti sejarah sosial, kekerasan, dan politik kebudayaan. Beberapa publikasinya: Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali (2005) dan Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007). Bukunya, Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (segera terbit). Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com.

[3] Catatan lapangan awal ke Desa Kayuselem, 15-16 November 2007.

[4] Catatan lapangan 9-10 April 2008.

[5] Wawancara 20 April 2008

[6] Ibid.

Senin, 20 Oktober 2008

Anak Muda Bali dan Jagoan

Teruna Bali (Mimpi) Menjadi Jagoan
(Sebuah Etnografi Gaya Hidup)

I Ngurah Suryawan
Peneliti Independen

Abstrak

Artikel ini mencoba untuk mendeskripsikan pengalaman penulisnya melihat gelagat budaya anak muda Bali dan mimpi mereka menjadi jagoan lokal. Dengan menekankan studi etnografi gaya hidup, artikel ini menhadirkan studi kasus dua anak muda Bali, I Ketut Kapler yang bermimpi menjadi anggota pecalang (pengamanan desa) dan I Wayan Doblag yang sangat bangga menjadi jagoan dengan masuk salah satu organisasi massa. Meskipun studi budaya pemuda menunjukkan subversi dan resistensinya terhadap budaya dominan, kadang kala budaya pemuda mengadopsi benih-benih serta pola-pola kekerasan yang umum terjadi. Begitu sumringhnya anak muda Bali menjadi pecalang dan jagoan lokal menunjukkan indahnya mimpi mereka menjadi penguasa lokal, orang kuat lokal. Artikel ini menarasikan fenomena tersebut dengan detail melalui catatan lapangan.

Kata kunci: Budaya Pemuda, Cultural Studies, Gaya Hidup, Subkultur, Pecalang, Jagoan.

Bagi saya, pengalaman yang akan saya ceritakan ini meskipun sering dianggap sebagai “fenomena yang wajar”, tapi sangat berkesan. Cerita ini terjadi pada medio Agustus 2002 di sebuah kabupaten di selatan Bali. Saat itu dalam sebuah kesempatan bakti sosial mahasiswa. Saat 4 truk berisi ratusan mahasiswa baru akan memasuki lapangan desa pada siang hari yang terik. Puluhan pemuda desa sudah menunggu, pasang aksi duduk diatas sepeda motor. Mereka bergerombol sambil sesekali tertawa lepas. Duduk mereka melingkar, dan dalam lingkaran terdapat kurang lebih 5 botol bir dengan serakan kulit kacang dimana-mana. Benak saya berkata “Itu pasti arak atau tuak (minuman keras Bali).”

Beberapa diantara mereka kemudian menghidupkan sepeda motor dan memacunya dengan kencang melintasi jalan berpapasan dengan truk paling belakang yang masuk lapangan desa. Aksi mereka seolah menunjukkan keberanian dan kejagoannya dalam menaiki sepeda motor. Aksinya disambut dengan siulan, tepuk tangan dan ledakan tawa yang kembali menyanbut kedatangan saya dan teman-teman peserta baksi sosial.

Bisik-bisik teman setelah turun dari truk menyebutkan mereka pasti para brandes (brandalan desa), sekelompok pemuda desa yang sering bikin ulah dengan perkelahian, mabuk-mabukan dan seringkali menjadi pemicu perkelahian antar pemuda desa lainnya. Para brandes ini sebagian besar adalah anggota sekaa teruna (organisasi pemuda) di desa masing-masing.
Kisah tidak terhenti, tapi baru awal dari pengalaman saya melihat aksi para brandes ini. Ulah mereka pada hari-hari selanjutnya selama bakti sosial sangat meresahkan kalau tidak disebut menjengkelkan. Beberapa mahasiswa perempuan digoda, dan mahasiswa laki-laki dipaksa untuk menenggak arak atau tuak. Karena dipaksa beberapa mahasiswa laki-laki tidak berani menolak, sedangkan mahasiswa perempuan memilih untuk kembali ke posko di lapangan desa dan mengadu pada panitia bakti sosial.

Pada hari penutupan, yang diakhiri dengan malam inagurasi, aksi para brandes ini mencapai puncaknya. Mereka—para brandes ini—meminta jatah untuk melakukan aksi penggojlokan pada mahasiswa baru. Padahal panitia bakti sosial hanya akan memberlakukan malam inagurasi yang disertai dengan pembekalan jati diri mahasiswa dan pikiran kritis, bukan teror penggojlokan dengan melibatkan hukuman fisik. Terang saja permintaan para brandes ini ditolak oleh panitia baksi sosial. Di sinilah sempat terjadi ketegangan, bahkan ancaman kekerasan. Para brandes yang sudah dalam pengaruh minuman keras arak dan tuak berteriak-teriak malam itu, membunyikan motornya keras-keras menunjukkan protesnya “tidak dilibatkan”

Kisah tentang para anak muda Bali yang sering disebut brandes ini juga saya dapatkan dari seorang kawan, sebutlah namanya Made. Made menjadi saksi bagaimana para gerombolan anak muda ini dikoordinir oleh orang kuat lokal yang berpengaruh di desa. Para brandes ini—yang biasanya adalah pemuda penganguran, anak sekolahan atau teruna desa (anak muda desa)—akan “diberdayakan” untuk tenaga kampanye partai politiknya orang lokal tersebut, pemasang bendera partai politik, juga menjadi salah satu barisan paling dominan dalam melakukan aksi kekerasan. Made menyaksikan sendiri para brandes ini paling beringas melakukan perusakan terhadap rumah seorang warga adat yang kasepekang (dimusuhi warga desa), yang menjadi sasaran amarah warga. Made melihat para teruna desa yang masih mengenyam pendidikan ikut melempar-lempar batu ke rumah tetangga mereka sendiri satu krama (warga) desa. Bahkan, teriakan paling keras, “Benyahin...!!! Benyahin...!!!” Made lihat diteriakkan oleh anak muda beranjak dewasa. Made memperkirakan teruna tersebut baru menginjak bangku kuliah.
Dari catatan lapangan tersebut menunjukkan geliat anak muda dari berbagai aksinya menjadi sebuah fenomena yang menarik dalam ranah cultural studies. Menarik untuk dikaji karena mencermati gerak-gerik dan tingkah polahnya mencerminkan sebuah representasi dari sebuah “sub-budaya” anak muda. Fenomena mereka luput ditangkap oleh studi-studi “budaya tinggi dan adiluhung”, budaya dominan yang selalu memberikan tempat kepada “puncak-puncak budaya” yang sering disebutkan sebagai pencapaian olah pikir manusia yang paling tinggi.

Nah, siapa yang akan sudi menempatkan fenomena teruna Bali yang melakukan aksi kekerasan dalam fenomena adat Bali kesepekang? Atau tingkah polah anak muda Bali menjadi brandes dan jagoan desa dalam sebuah “puncak-puncak” pencapaian budaya tinggi manusia? Atau begitu berebutnya teruna Bali menjadi satuan pecalangan (pengamanan adat) untuk melakukan penertiban penduduk, dan kesempatan untuk “jalan-jalan” pada perayaan Nyepi?

Disinilah peran cultural studies untuk memberikan ruang dan melakukan pendalaman studi-studi tentang fenomena ini. Ini karena cultural studies merupakan sebuah studi politik untuk melakukan kritik terhadap “budaya-budaya tinggi” yang salah satunya menghasilkan disiplin ilmu yang mengabdi untuk melakukan studi-studi kesuksesan pembangunan, cerita megah ritual agama, potret pemuda pelopor pembangunan atau hanya sekadar cerita sukses para gubernur yang sumringah program KB (Keluarga Berencana) berjalan lancar di daerahnya.

Artikel ini berusaha untuk melakukan studi permulaan tentang fenomena teruna Bali dan kekerasan secara umum. Pada bagian awal akan diuraikan beberapa perspektif tentang studi budaya anak muda dan hubungannya dengan jagoan. dan kekerasan. Bagian ini menjadi sebuah titik berangkat, untuk kemudian memahami posisi penting budaya anak muda sebagai representasi perlawanan dan menumbuhkan budaya tersendiri di kalangan mereka.

Selanjutnya, dua studi kasus sebagai sebuah etnografi gaya hidup menghadirkan mimpi-mimpi teruna Bali menjadi pecalang metaksu (pengamanan adat yang berkarisma) dan jagoan lokal. Studi kasus ini dihadirkan untuk memberikan sebuah gambaran bagaimana fenomena mimpi anak muda Bali menjadi jagoan-jagoan.

Subkultur Pemuda dalam Cultural Studies: Sebuah Gaya Hidup Jagoan?
Studi tentang budaya pemuda (youth culture) memiliki catatan sejarah yang penting dalam cultural studies. Gelombang pertama pascasarjana di Centre for Contemporary Cultural Studies (CCS) Birmingham, Inggris—Hebdige, Clarke, Cohen, McRobbie, Willis, Grossberg, dan lain-lain—adalah generasi yang menjadi bagian dari generasi rock babyboomer.
Budaya pemuda menjadi bagian penting dari perkembangan budaya pop yang menjadi sumber tema-tema penting dari cultural studies. Dalam budaya pop terangkum beberapa tema-tema penting diantaranya: pertama, klasifikasi budaya orang-orang ke dalam sejumlah kategori sosial (pemuda), kedua, demarkasi kelas, ras, gender, ketiga, pertanyaan tentang ruang, gaya selera, media dan makna (misalnya pertanyaan tentang kebudayaan), keempat, tempat bagi konsumsi di dalam masyarakat konsumen kapitalis dan kelima, adalah pertanyaan yang cukup menganggu tentang “perlawanan”.
Tapi dalam cultural studies cenderung lebih tertarik untuk mengeksplorasi budaya pemuda yang lebih spetakuler, yang lebih kentara, nyaring, berbeda, gaya pemuda garda depan yang berdiri tegak dan menghendaki perhatian. (Barker, 2004: 333-334).
Dalam konteks cultural studies tentang budaya pemuda, cenderung lebih tertarik untuk mengangkat terminologi bernama subkultur. Konsep subkultur adalah suatu konsep yang terus bergerak dan membangun objek studi. Ini adalah suatu terminologi klasifikatoris yang coba memetakan dunia sosial dalam suatu tindakan representasi. Subkultur tidak hadir sebagai suatu objek autentik melainkan dikemukakan oleh para teoretisi subkultur.

Bagi cultural studies, budaya dalam subkultur mengacu kepada ‘seluruh cara hidup’ atau ‘peta makna’ yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya. Kata ‘sub’ mengandung konotasi suatu kondisi khas dan berbeda dari masyarakat dominan atau mainstream. Jadi, istilah subkultur tergantung kepada pasangan biner ini, yaitu tentang budaya dominan atau budaya mainstream yang diproduksi massal....Atribut yang mendefinisikan ‘subkultur’, pada gilirannya, terletak pada bagaimana akses diletakkan pada perbedaan antara kelompok sosial/budaya tertentu dengan kebudayaan/masyarakat yang lebih luas. Titik berat diletakkan pada variasi dari kolektivitas yang lebih luas yang diposisikan secara sama, namun tidak problematik, sebagai sesuatu yang normal, rata-rata dan dominan. Subkultur, dengan kata lain, dipandang rendah dan atau menikmati satu kesadaran tentang ‘liyan’ atau kesadaran akan perbedaan. (Barker, 2004:337-338).

Konsep subkultur juga sering diasosiasikan dengan lapis bawah atau bawah tanah. Subkultur sebelumnya dipandang sebagai ruang bagi budaya menyimpang untuk mengasosiasikan ulang posisinya untuk meraih tempat bagi dirinya sendiri. Sehingga pertanyaan tentang “perlawanan” menjadi sangat penting.
Studi subkultur dalam kajian budaya perlu memperhatikan beberapa perspektif penting diantaranya adalah perbedaan budaya pemuda tidak selalu merupakan perlawanan, perbedaan adalah klasifikasi kekuasaan dan perbedaan selera. Juga teori subkultur terletak pada oposisi biner yang tidak abadi, yaitu mainstream subkultur, resistensi-penerimaan, dominan-subordinat.
Terdapat hubungan yang penting antara budaya pemuda dan media, karena budaya pemuda tidak dibentuk diluar bertentangan dengan media, tapi justru budaya pemuda dibentuk di dalam dan melalui media. Juga budaya pemuda tidak menyatu namun ditandai dengan perbedaan internal (Barker, 2004: 352).
Budaya pemuda sebagai salah satu bagian dari studi subkultur dieksplorasi sebagai bentuk perlawanan penuh gaya terhadap budaya hegemonik. Budaya pemuda dibentuk melalui artikulasi ganda oleh budaya kelas pekerja orang tua dan oleh budaya dominan.

Dalam kaitannya dengan hegemoni kelas berkuasa, kelas pekerja, berdasarkan definisinya, adalah suatu bangun budaya dan sosial yang menempati posisi subordinat...Tentu saja, kadang-kadang, hegemoni begitu kuat dan kohesif, dan kelas subordinat melemah, tidak berdaya dan mengalami mara bahaya. Namun, dia, menurut definisinya, tidak bisa hilang. Dia tetap sebagai struktur subordinat, yang seringkali terpisah dan resisten, namun masih dipenuhi dengan keseluruhan aturan dan dominasi kelas berkuasa. Kelas subordinat telah mengembangkan budaya korporatnya sendiri, bentuk hubungan sosialnya sendiri, institusi, nilai, cara hidup yang menjadi ciri khasnya. (Barker, 2004: 341).

Tidak bisa dihindari bahwa studi tentang subkultur pemuda berelasi kuat dengan terbentuknya sebuah habitus gaya hidup di kalangan budaya pemuda sendiri. Budaya konsumen yang kemudian menjadi hidup tercermin jelas pada perilaku dan benda-benda ekonomi yang menjadi simbol gaya hidup budaya pemuda.
Pierre Bourdieu (dalam Featherstone, 2001: 209-210) menguraikan bahwa selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Bourdieu mencoba untuk menggambarkan bidang sosial dari selera berbeda dalam praktik budaya “tinggi” yang disahkan (mengunjungi museum, menyaksikan konser, membaca) dan juga selera pada gaya hidup dan pilihan konsumsi. Oleh karena itu, baik budaya dalam pengertian “tinggi” maupun budaya dalam pengertian antropologis digambarkan pada ruangan sosial yang sama. Namun demikian, berbagai oposisi dan ketetapan relasional mengenai selera menjadi lebih jelas ketika ruang gaya hidup dilapiskan pada peta struktur kelas/pekerjaan yang prinsip struktur dasarnya adalah volume dan komposisi (ekonomi dan budaya) kapital yang dimiliki oleh kelompok itu.
Salah satu gaya hidup pemuda—selain tentunya tentang punk, underground, rap, atau gaya hidup pemuda lainnya—adalah gaya hidupnya yang “sok jagoan”. Gaya hidup jagoan pada budaya pemuda sangat terpengaruh dari bayangan mereka tentang gagah dan perkasanya menjadi jagoan lokal yang disegani. Dengan bergaya menjadi jagoan, atau bergabung dalam sebuah organisasi massa, memberikan legitimasi bahwa label jagoan telah disematkan dalam dirinya.
Jagoan memiliki perjalanan sejarah panjang, terutama hubungannya dengan kekerasan dan kekuasaan. Jago adalah orang kuat lokal setempat baik secara fisik maupun spiritual dikenal kebal. Seoarang jago dapat menghimpunpengikut, dan kekuatannya bergantung pada jumlah anak buah. Pada masa prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat para penguasa.
Gejala jago berhubungan erat dengan tidak adanya negara sentral (pusat) yang kuat dan institusionalisasi kekuasaan. Pada zaman prakolonial, negara masa lampau terlalu mendasarkan diri pada kharisma raja dan penguasa setempat. Penguasa tradisional biasanya akan memilih dan memelihara orang terkuat dalam masyarakat sebagai jago. (Onghokham, 2002: 101-102).
Onghokham (2003) mengungkapkan bahwa gejala jagoan ini tujuan awalnya adalah untuk memelihata tata tentrem, “keamanan dan ketertiban” yang diinginkan para penguasa pada zamannya. Dalam menjaga keamanan negara itulah banyak praktek kekerasan yang digunakannya.
Dalam perjalanan zaman-zaman kerajaan di Indonesia, banyak raja-raja yang awalnya mempunyai habitus jagoan, atau akarnya adalah dari kelompok massa jagoan lokal. Fenomena ini berlanjut hingga kini ketika pada para wakil-wakil rakyat awalnya berasal dari kelompok-kelompok massa jagoan pada wilayahnya masing-masing. Dari keseharian menjadi “tukang pukul” berubah menjadi “pejabat negara”. Maka tidak heran jika praktik-praktik sebagai jagoan juga disahkan ketika menjadi pejabat negara.
Soemarsaid Moertono (dalam Onghokham, 2003) pernah menyebutkan bahwa salah satu teori pemerintahan adalah “menangkap maling dengan maling”.

Bekas penyamun sering dipakai untuk kedudukan bupati dan kolektor pajak. Kalau misalnya di suatu daerah ada seorang perampok terkenal, maka daripada sukar untuk ditindas perampok ini dijadikan bupati (pengumpul pajak). Dengan kata lain, penggunaan kekerasan yang legal dan ilegal untuk menganggu tata tentrem praja adalah dua hal yang batasannya sangat samar dalam masyarakat masa lampau. (Onghokham, 2003: 280).

Cermin jago dalam sejarah yang diungkapkan Onghokham dan Soemarsaid Moertono mempunyai konteksnya hingga kini. Banyak jagoan-jagoan yang kemudian menjadi pejabat negara. Untuk memaksakan kekuasaannya, praktek kekerasan—yang menjadi keakrabannya saat menjadi jagoan—tanpa canggung akan diterapkan.
Sementara negara sebagai sebuah institusi pelingdung rakyatnya malah menyebar teror dengan praktik para pejabat negaranya yang sebelumnya adalah seorang jagoan lokal.Akhirnya para jagoan lokal ini menjadi orang kuat lokal yang sangat disegani di daerah tersebut. Para orang kuat lokal ini biasanya akan menjadi tokoh partai politik, organisasi massa yang berhubungan secara informal dengan kekuasaan. Bagi para jagoan yang telah “tobat” dan termakan usia, ia akan menjadi tokoh agama, religius yang memberikan “penutur kejernihan” pada rakyatnya.
Orang kuat lokal (Migdal dalam Sidel, 2005) berhasil melakukan “kontrol sosial” yang efektif pada negara-negara dunia ketiga.

Mereka (orang kuat lokal) berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan yang dilonatarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau oleh pelaksana peraturan yang kuat. (Migdal dalam Sidel, 2005:73).

Migdal (dalam Sidel, 2005) menyebutkan, orang kuat lokal tumbuh subur pada masyarakat mirip jaringan. Model masyarakat ini digambarkan sebagai “sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan “kontrol sosial” yang efektif terpecah-pecah. Berkat struktur sosial marip jaringan ini, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat yang digambarkan sebagai “segitiga penyesuaian”.
Orang kuat lokal juga juga melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan “strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Maka, orang kuat lokal bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan diantara penduduk lokal tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan.
Keberhasilan orang kuat lokal “menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai kebijakan. Secara keseluruhan, orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara “dalam menjalankan tujuan reorientasi perubahan sosial serta memperbesar “ketakterkendalikan” dan “kekacauan”. (Migdal dalam Sidel, 2005: 73-74).
Bos (orang kuat) lokal meskipun terkesan menjadi “penghambat” lajunya pemerintahan, tapi sesungguhnya bertindak sebagai pelayan pertumbuhan ekonomi, memfasilitasi pengalihan tanah dan penindasan buruh serta memungut keuntungan sangat besar sebagai pialang lahan dan sektor bangunan.
Para mafia lokal di Indonesia juga mengawasi industri di kota-kota besar dan penggalian sumber daya alam kehutanan dan pertambangan yang berlimpah di seluruh nusantara. “Orang kuat lokal” yang sering diremehkan sebagai musuh pembangunan akhirnya lebih tampak sebagai agen terdepan perkembangan kapitalis yang tidak diakui. (Sidel, 2005: 102).

Studi Kasus 1: I Ketut Kapler dan Mimpinya Menjadi Pecalang Metaksu
Sebutlah namanya I Ketut Kapler, masyarakat sering memanggilnya Kapler. Ia berasal di sebuah desa di pinggiran Denpasar. Setamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Kapler memutuskan untuk berhenti sekolah. Kondisi keluarganya yang morat-marit, sementara kedua adiknya sedang membutuhkan biaya untuk bersekolah. Ayahnya yang seorang buruh bangunan, dan ibunya penjual jaja Bali (kue Bali) di pasar sangat keberatan untuk menanggung biaya sekolahnya.
Sempat menganggur selama dua bulan, Kapler menghabiskan waktunya dengan memunyah (mabuk-mabukan) dan kumpul-kumpul bersama teman SMAnya dulu. Sebagian temannya memang melanjutkan sekolah. “Banyak yang sekolah beberapa bulan untuk kapal pesiar. Tapi modalnya gede,” tuturnya. Di tengah rasa frustasi melihat teman-temannya kuliah dan melihat masa depan yang cerah, Kapler larut dalam mabuk-mabukan dan hidup luntang-lantung.
Tapi selama dua bulan itulah Kapler berkenalan dengan banyak teman-teman yang lain, hasil dari kumpul-kumpul dan memunyah tersebut. Sampai pada sebuah kesempatan, Kapler menuturkan bertemu seorang sesepuh “pendekar” yang disegani pada zamannya, yang kebetulan adalah kerabat temannya sesama perkumpulan memunyah. Pendekar ini sangat terkenal sebagai tokoh masyarakat, jagoan yang banyak mempunyai “anak buah”. Dan kini, ia menjadi ketua satuan pecalang di desanya.
Pertemuannya dengan Kapler pun tanpa sengaja. Saat sedang ngumpul dengan teman-temannya, memunyah bareng-bareng, Kapler dikagetkan dengan bunyi sirene mobil Parum Pecalang Desa (Persatuan Pecalang Desa) yang membelah runyamnya acara kumpul-kumpul Kapler dan teman-temannya. Sesaat kemudian, si pendekar turun mobil pintu depan dibarengi dengan enam anak buahnya di mobil bagian belakang. Mereka lengkap dengan pakaian pecalang dengan kain poleng (hitam putih), destar, menentang walkie talkie dan keris. “Ade ape ne kumpul-kumpul?, Bubar, Bubar!!!” (ada apa ini kumpul-kumpul, bubar-bubar!!!), hardik anak buah si pendekar mengacaukan barinsan lingkaran Kapler dan teman-temannya. Ada yang lari terbirit-birit dan yang lainnya memilih untuk diam dengan kepala menunduk.
Saat suasana gaduh, si pendekar kemudian menyela, “Mulih-mulih, jumah kanggoang minum,” dengan suara berat menghentak yang dilanjutkan dengan menggerakkan tangannya yang memegang keris menandakan komando untuk pulang. (pulang, pulang di rumah saja minum (mabuk). Situasi yang sempat memanas itu kemudian mencair ketika teman Kapler yang datang melihat kegaduhan ternyata masih satu kerabat dengan si pendekar. Saat itulah Kapler tidak akan melupakan perkataan si pendekar, “Memunyah dogen, nyak ajak Bli dadi pecalang?” ungkapnya singkat. (mabuk saja, mau jadi pecalang bersama kakak?).
Sejak saat itulah Kapler selalu membayangkan bagaimana enaknya menjadi pecalang metaksu (barisan pengamanan desa yang disegani). Tanpa canggung-canggung, Kapler kemudian mendaftar menjadi satuan pecalang di desanya, dan tanpa kesulitan berarti Kapler diterima menjadi pecalang desa.
Saat ini, ia masih teringat kata-kata si pendekar. Kapler terobsesi untuk menjadi pecalang berpengaruh di desanya. Berbagai tugas-tugas yang dibebankan padanya selalu ia jalankan dengan sungguh-sungguh. Untuk menambah kekar penampilan tubuhnya, Kapler ikut serta dalam fitnes body building di desanya. Koleksi tato ditubuhnya juga ditambah pada bagian lengan dengan gambar kawat-kawat berduri yang melingkar. Keseharian di rumahnya ia selalu menggunakan kaos lengan pendek, singlet, agar kelihatan kekar tubuhnya dan memamerkan tato-tato di sekujur tubuhnya. Beberapa teman dengan nada menyindir sering menjulukinya “Ade Rawon”, plesetan dari binaragawan asal Bali, Ade Rai.
Bukannya setelah menjadi pecalang kebiasaan Kapler memunyahnya hilang, bahkan tambah menjadi-jadi. Kapler tidak takut lagi suatu saat akan digerebek oleh pecalang, karena ia sendiri adalah pecalang-nya.
Dengan pengaruhnya itulah Kapler menghimpun para pecalang yang lain untuk seide dengannya. Pengaruh yang paling nyata dari Kapler adalah pada diri anggota sekaa teruna (organisasi kepemudaan desa) di desanya. Karena dianggap sebagai tetua (sesepuh) sekaa teruna—karena usianya yang sudah menjelang 30 tahun—Kapler sering dimintakan pendapat terhadap berbagai kegiatan sekaa teruna. Kapler tanpa ragu juga royal untuk menghabur-hamburkan uangnya untuk sekadar membelikan satu krat bir saat melihat anak-anak muda anggota sekaa teruna sedang kumpul-kumpul di pinggir jalan desa. Dalam pikiran Kapler, si pendekar yang jadi mentornya, sosok ideal seorang pecalang baginya, penting untuk menanamkan pengaruh dan mempunyai anak buah.
Menjadi pecalang bagi Kapler adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Imbalan uang rokok dan begadang saat melakukan razia penduduk pendatang, bukanlah tujuan utama Kapler. Ia sudah hidup berlebihan dari usaha rent car keluarga dan bisnis kos-kosan.
Kapler adalah satu dari sekian banyak anak muda Bali yang menjadi pecalang. Para pecalang ini akan selalu terlihat berjaga-jaga, lengkap dengan busana kebesarannya, kain poleng (hitam putih), menggunakan udeng (ikat kepala), bersenjatakan keris dan walkie talkie saat berlangsung ritual agama atau menjaga konser musik dangdut dan menjaga parkir pasar . Para jagoan lokal ini akan berlagak seperti orang berkuasa, orang kuat local, yang mempunyai kewenangan dan menunjukkan aksinya secara vulgar di masyarakat. Contoh saja misalnya pecalang yang melakukan razia penduduk pendatang, atau para jagoan/tameng yang melakukan pencatatan “orang komunis” yang harus dibunuh, memberi cap “kene garis” untuk cap/tanda harus dibunuh. Para jagoan inilah yang menjadi pelaku terpenting dari penyebaran terror, cap-cap yang terus diproduksi untuk kekuasaan dan kepentingan tertentu.
Sebagai “polisi adat”, pecalang menjadi barisan berkeris yang bersiap siaga untuk selain mengamankan kegiatan ritual keagamaan, juga melakukan “penertiban penduduk pendatang”, di bawah perintah dari Desa Pakraman.
Kehadiran pecalang sebagai penjamin “kelestarian budaya” sekaligus keamanan dan kenyamanan, sebagai syarat pariwisata terus mendapatkan pujian. Sebuah kutipan dari tokoh kerajaan di Bali menyebutkan:

Pecalang berbeda dengan dengan Dulangmangap yang merupakan tentara kerajaan. Pecalang itu penjaga keamanan swakarsa yang dimiliki setiap desa adat (Desa Pakraman). “Tetapi, etos kerjanya serupa, sama-sama siap mekatik ambu (diikat enau), siap mati dalam membela kebenaran,” katanya. Pakaian pecalang biasanya didominasi warna hitam atau putih. Ciri khasnya, bunga pucuk bang (kembang sepatu merah) yang diselipkan di telinga atau di destarnya dan kain poleng, bermotif serupa papan catur dengan warna hitam putih, putih dan abu-abu lambang ketegasan untuk memisahkan kebaikan dan kejahatan.(Kompas, 28 November 2000)


Selain merangkap menjadi petugas razia penduduk pendatang, di samping tugas utamanya mengamankan pelaksanaan ritual keagamaan, pecalang juga bersedia menerima “jasa pengamanan” untuk konser musik, menjaga sabung ayam (tejen), menerima tugas keamanan toko-toko, pesta perkawinan, dan acara-acara hotel berbintang di Bali. Kadang banyak juga yang menggunakan jasa rangkap, pecalang dan juga polisi. Perusahaan, khususnya hotel-hotel di Bali sejak lama menggunakan jasa pecalang untuk mengamankan lingkungan sekitar hotel. Ada juga pada acara-acara khusus yang berskala besar. Seperti penuturan salah seorang humas hotel di kawasan Nusa Dua yang mengungkapkan menggunakan jasa pecalang selain aparat keamanan negara jika ada tamu negara. Ia mengungkapkan ini sebagai bentuk kerjasama hotel dengan masyarakat sekitar dan selain itu juga, pecalang terbukti efektif, karena mereka berasal dari lingkungan desa sekitar hotel, sehingga dirasa faham betul mengenai kondisi dan orang-orangnya. (Ibid).
Tugas pecalang sebagai “penjaga” rasa aman masyarakat Bali untuk melakukan ritual memberikan kesan bahwa pecalang adalah yang “unik” dan tradisional. Ini karena adat dan sejarahnya (pecalang) memang telah ada dari dulu, atau juga “diada-adakan” untuk menguatkan latar belakang sejarah kemunculan pecalang. Seperti yang dituliskan oleh Santikarma (2004) untuk memberikan gambaran awal tentang bagaimana konstruksi pecalang sebagai yang “penjaga tradisi”:

Lepas dari ketiadaan konsensus mengenai sejarah pecalang, semua orang yang saya ajak bicara sepakat dengan gagasan yang sering muncul di media massa atau keluar dari mulut pejabat bahwa pecalang adalah sesuatu yang “tradisional.” Walaupun mereka sadar bahwa tidak pernah ada yang disebut pecalang di desa mereka sebelumnya, mereka mampu meyakinkan seolah-olah pecalang bagian dari warisan situs kuno yang baru saja digali. Dengan memakai wacana “tradisional” Bali, pecalang mampu menghapuskan dengan sukses ke-modern-an mereka. Dengan memakai predikat “penjaga tradisi”, sekaligus mereka menjadi “penjaga tradisional”. (Santikarma, 2004).

Setelah masyarakat “mengada-adakan” sejarah pecalang yang sebenarnya tidak ada sebelumnya di desa mereka, keberadaannya semakin dilembagakan melalui Peraturan Daerah (Perda) Bali No. 3, 2001 tentang Desa Pakraman yang mengesahkan keberadaan tugas dan wewenang pecalang yaitu:
1. Pecalang menjaga keamanan di wilayah desa pakraman.
2. Pecalang mempunyai tugas dan wewenang dalam urusan adat dan agama.
3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh paruman desa atau musyawarah desa.
Dalam peraturan tersebut kata “desa adat” diganti dengan “desa pakraman” karena istilah adat sendiri berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab. Ini seiring dengan proyek “Balinisasi” yang sedang sibuk mencari akar ke-asli-an dari setiap praktek yang dipilih secara selektif oleh pemerintah untuk diawetkan. Dalam konteks ini pecalang merupakan produk wacana negara modern terkesan seperti ramuan “zaman batu” yang tak pernah lentur oleh perubahan, disertai kesepakatan komunal tanpa gugatan. (Santikarma, 2004).
Saya menjadi heran, mengapa mereka merasa bangga menjadi pecalang? Cerita Kapler diatas sedikit tidaknya memberikan jawaban awal. Atau bahkan fenomena ketika saya melihat bagaimana anak muda Bali berduyun-duyun berkumpul di pinggir jalan, tertawa, bahkan bisa bersikap sangar dan kasar jika ada yang menggangu keamanan yang sedang mereka jaga.

Pecalang juga berpatroli saat hari raya Nyepi untuk memperingatkan setiap orang, baik Hindu maupun non-Hindu untuk tidak keluar dari rumah dan tidak menyalakan lampu di malam hari. Mereka juga mencegat setiap kendaraan yang melewati wilayah kekuasaan mereka. Bagi beberapa pecalang, Nyepi bukan merupakan praktek ritual kontemplatif, seperti dianjurkan oleh para pendeta, melainkan kesempatan untuk mengekspresikan identitas etnis dan teritorial. Seperti diucapkan oleh seorang anggota pecalang, “Saat Nyepi kita tidak hanya meyetop orang lewat dari luar desa atau luar Bali, militer pun kami stop kalau lewat.” Sambil tersenyum kecut dia berkata, “sayang Nyepi hanya sehari.”(Santikarma, 2004).

Motivasi orang ikut pecalang juga beraneka ragam. Setiap banjar wajib menugaskan beberapa krama (warga) untuk ikut menjadi anggota pecalang desa. Kebanyakan orang yang ikut pecalang adalah mereka yang banyak punya waktu luang karena belum berkeluarga, tidak mempunyai pekerjaan tetap, atau pensiunan polisi dan TNI. Menjadi anggota pecalang memberi jaminan sedikit “uang rokok”, disamping kebanggaan dan kekuasaan atas kelompok marginal seperti pemulung, pelacur, pedagang kaki lima, pedagang acung, dan buruh yang kebanyakan berasal dari luar Bali. (Santikarma, 2004).
Mengapa anak muda Bali begitu tertarik bahkan bangga menjadi pecalang? Cerita Kapler mungkin sedikit kisah kecil, tapi menjadi satuan polisi adat ini, penjaga keamanan pelaksanaan ritual, menjadi primadona dan mendapat perhatian utama generasi muda Bali tahun Oktober 1998. Saat itu adalah pelaksanaan pertama Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merekomendasikan Megawati Soekarnoputri menjadi calon presiden. Bali sudah terkenal sebagai basis pendukung partai bersimbol kepala banteng tersebut. Para satuan pecalangan ini berjaga-jaga di sekitar lokasi kongres, menghardik simpatisan partai yang ugal-ugalan menaiki motor.
Tidak jelas darimana munculnya kata pecalang, namun menjadi bagiannya pada tahun tersebut menunjukkan kewibawaan bahkan kekuasaan melebihi polisi. Saat pelaksanaan apel akbar sebelum kongres, pawai kampanye PDIP mengandalkan jasa pecalang untuk menertibkan para simpatisan dengan berbagai ulah. Di perempatan kawasan Sanur, Kota Denpasar, para pecalang ini menyebar berada di setiap sisi jalan, menggunakan baju kaos warna merah bertuliskan, “Pecalang Kongres PDIP”. Menggunakan pluit dan pentungan, pecalang akan menertibkan simpatisan peserta kampanye. Di sisi lainnya, ada yang sibuk memainkan walkie-talkie.
Sejak saat itulah, pecalang mendapat perhatian karena berperan penting dalam suksesnya Kongres PDIP. Dengan berpakaian adat, pecalang menjadi sebuah “mahluk unik”, yang akhirnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Hindu Bali. Kesuksesan momentum politik Kongres PDIP Oktober 1998 memang tidak dapat dilepaskan dari jasa pecalang. Tapi, bagi sebagian “penggali nilai adat dan tradisi” Bali, mulailah dikemukakan berbagai sumber dari kehadiran pecalang hingga kini di Bali. Maka dimulailah project pencarian “akar tradisi” pecalang yang ada dalam kebudayaan Bali. Kesimpulannya adalah pecalang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Hindu Bali. Munculnya institusi adat di Bali bernama Desa Adat, kini bernama Desa Pakraman, adalah titik awal munculnya pecalang. Tugasnya adalah sebagai satuan Jagabaya Desa, satuan pengamanan desa.
Pecalang berasal dari kata bahasa Bali celang, yang berarti tajam inderanya. Karena itu pecalang adalah orang yang mempunyai indera tajam melebihi ketajaman masyarakat yang lain. Dalam konteks kekinian ada yang berpendapat pecalang adalah krama (warga) Desa Pakraman yang dipilih melalui paruman (rapat) desa, cakap lahir batin, dipasupati (disucikan dengan ritual) dan diberikan tugas melancarkan kegiatan adat dan upacara agama serta menjaga ketertiban dan keamanan Desa Pakraman.(Widnyani dan Widia, 2003: 59).
Banyak nama lain dari pecalang ini, diantaranya yang pernah dikenal adalah sikep, dolap, sambangan, poleng, dan nama lainnya sesuai daerah masing-masing. Tapi pada setiap zaman, pecalang atau satuan milisi pemuda mempunyai konteks dan dinamikanya masing-masing. Misalkan pada zaman penjajahan kolonial Belanda dikenal istilah prayoda, sebagai satuan milisi pemuda untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa, juga bila diperlukan dapat dimobilisasi atau digerakkan sesuai dengan kepentingan penjajah. (Ibid: 56)
Pasca kemerdekaan 1945, di Bali terkenal gerombolan LOGIS (Lanjutan Organisasi Gerilya Indonesia Seluruhnya), sebagai barisan mantan tentara dan gerilyawan yang tidak puas pada satuannya. Mereka melakukan aksi kekerasan dengan melakukan pembunuhan terhadap para tentara yang berkhianat pada republik, tapi mendapatkan posisi terhormat. Berlanjut di tahun 1960-an, untuk melakukan pembersihan, pembantaian kepada orang-orang Bali yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) terkenal nama barisan Tameng. Barisan milisi ini terdiri dari pemuda desa yang direkrut oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan dukungan dari satuan militer dan jagoan-jagoan lokal yang anti komunis.(Robinson, 2005; Cribb, 2003). Satuan besar barisan milisi menentang komunis ini terkenal dengan nama “Front Pancasila Mengganyang Komunis”.
Barisan milisi semakin menguat di Bali saat konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru. Banyak juga anak muda Bali yang menjadi barisan Hansip untuk menterjemahkan ideologi “keteraturan dan ketertiban”, dan pengawasan terhadap gerak-gerik rakyat oleh kekuasaan. Negara dan piranti kekuasaannya menciptakan barisan milisi-milisi yang kuat, yang berasal dari kekuatan masyarakat sendiri. Maka lahirlah program negara dengan jargon “keamanan swakarsa” melalui Pos Kamling (Pos Keamanan Lingkungan Lingkungan). Pengayom serta pusat kendali kekuasaan keamanan berada pada institusi kepolisian dan militer yang merasuk hingga ke pelosok desa. Sebut misalnya nama-nama seperti Koramil, Babinsa pada satuan tentara dan Binmas (Pembinaan Masyarakat) dari Kepolisian. Lembaga inilah selama rezim Orde Baru melakukan penertiban untuk menciptakan “stabilitas keamanan” yang selalu diucapkan dalam setiap pidato dari pejabat pusat hingga kepala desa.
Euforia reformasi 1998 serta otonomi daerah dan ledakan Bom Bali 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005, membawa semangat kembali pada tradisi dan kekuatan Bali. Semangat otonomi daerah diperkuat dengan sentimen penguatan tradisi adalah bahasa dari masyarakat Bali untuk melawan globalisasi. Selanjutnya bertransformasi menjadi lahirnya satuan keamanan yang berasal dari “tradisi” kebudayaan Bali bernama pecalang. Dan sentimen menjaga Bali membuat pecalang terjun melakukan penertiban penduduk (sweeping) yang dilakukan kepada penduduk pendatang yang berasal dari luar Bali—orang Bali sering menyebutnya, nak jawa—yang diduga akan “merusak Bali” dengan melakukan peledakan bom-bom berikutnya.(Suryawan, 2005).
Pecalang, sebagai satuan dari “tradisi dan akar kebudayaan Bali” menguasai otoritas “ketertiban dan keamanan” di bawah payung institusi adat bernama Desa Pakraman. Barisan pecalang menenggelamkan otoritas kekuasaan negara dalam institusi militer dan kepolisian. Barisan tradisi inilah sekarang yang bereinkarnasi, dengan meniru gaya dan otoritas lembaga negara untuk mengatur masyarakatnya sendiri. Insitusi kekuasaan negara melalui birokrasi pemerintahan dan kepolisian kini berlindung di balik jargon, “pembina” dan “fasilitator” masyarakat. Cara berpikir, praktek, bahasa, institusi, dan kebijakan kekuasaan negara diwarisi oleh satuan pecalang dan Desa Pakraman untuk mengawasi dan menertibkan diri mereka sendiri. Mungkin ini yang menterjemahkan pernyataan bahwa kekuasaan menyebar dan produktif, ditiru dan direproduksi dalam berbagai bentuk.
Meskipun dengan giat melakukan penertiban penduduk, ledakan Bom Bali 1 Oktober 2005 tak terhindarkan. Bali kembali menangis. Dan aksi penertiban penduduk semakin gencar dilakukan. Selain dilakukan oleh satuan pecalang, kini setiap Desa Pakraman membuat Tim Pendataan Penduduk. Bahkan kini terdapat sebuah satuan baru bernama BANKAMDES (Bantuan Keamanan Masyarakat Desa) yang tetap berada di bawah Desa Pakraman. Satuan ini mendapatkan dana operasional dari pengusaha-pengusaha di lingkungan desa dan bertugas melakukan razia setiap malam untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa.
Para anggota dari barisan BANKAMDES ini bukanlah orang baru. Mereka biasa merangkap-rangkap posisi, dari menjadi pecalang, Satpam bahkan polisi hingga menjadi anggota BANKAMDES. Seperti diceritakan Kadek Monog. Untuk menghidupi keluarganya, di pagi hari ia bekerja sebagai Satpam di sebuah bank swasta di Denpasar. Jika kebagian tugas, malam harinya jam 10 ia sudah bersiap-siap memakai seragam BANKAMDES dan melakukan patroli keliling desa. Dan menjelang perayaan Nyepi akhir Maret 2006 nanti, ia yakin mendapat tugas sebagai pecalang.
Kaburnya jejak sejarah pecalang seolah hilang dengan semangat bagaimana “mentradisikan” barisan pengamanan penjaga kebudayaan Bali ini. Proyek pentradisian pecalang diungkapkan Santikarma (2004) dari hasil pengalamannya berbicara dengan banyak orang:

Lepas dari ketiadaan konsensus mengenai sejarah pecalang, semua orang yang saya ajak bicara sepakat dengan gagasan yang sering muncul di media massa atau keluar dari mulut pejabat bahwa pecalang adalah sesuatu yang “tradisi.” Walaupun mereka sadar bahwa tidak pernah ada yang disebut pecalang di desa mereka sebelumnya, mereka mampu meyakinkan seolah-olah pecalang bagian dari warisan situs kuno yang baru saja digali. Dengan memakai predikat “penjaga tradisi,” sekaligus mereka menjadi “penjaga tradisional.”(Santikarma, 2004).

Pecalang menjadi kata sakti dan jaminan keamanan Bali. Serta merta setelah melihat keberhasilan pecalang dalam mengamankan kongres PDIP I 1999 dan kembali diulangi pada kongres ke-II 2005, desa-desa adat seluruh Bali seperti keranjingan membuat satuan-satuan pecalang. Lebih daripada itu, pecalang bahkan dibuatkan posko, dibelikan peralatan lengkap dalam tugas, bahkan disediakan mobil patroli oleh desa adat. Pecalang juga bertugas melakukan patroli keamanan desa. Dalam wilayah kekuasaan Desa Pakraman, toko-toko diwajibkan menyumbang untuk dana jaga baya (uang keamanan) untuk operasi satuan pengamanan tradisional ini. Pecalangpun menjadi tenaga keamanan dalam razia penduduk pendatang, sweeping, bahkan untuk menjaga pesta perkawinan dan konser-konser musik. (Suryawan, 2005, 2008).
Awal munculnya pecalang untuk kepentingan (politik) pengamanan kongres ternyata berbuah manis. Pecalang menjadi berkembang tugasnya dalam banyak sisi. Lalu bagaimana tugas pecalang secara adat? Para penekun adat pernah menyatakan bahwa tugas pecalang adalah untuk mengamankan pelaksanaan upacara adat di desanya. Selain pecalang, dulu ada istilah sikep, dolap untuk pengamanan adat ini. Tapi kini, maraknya pecalang melakukan razia juga mendapat pembenar; “Pecalang bertugas untuk menjaga adat dan budaya Bali dari pengaruh luar yang bisa merusak keutuhan Bali”. Pecalang akhirnya bergulat dalam kepentingan yang sama, bagaimana mempertahankan dan menjaga kebudayaan Bali dari pengaruh luar. Dengan kehadiran pecalang diperkuat oleh wacana Ajeg Bali, yaitu sebuah gerakan kembali ke “tradisi” dan menguatkan serta melestarikan kebudayaan Bali. Dengan demikian, pecalang hadir sebagai satuan pengamanan “tradisional” yang bertugas untuk menjaga usaha untuk menguatkan, mengokohkan, dan yang terpenting menjaga kebudayaan Bali tetap lestari, indah dan damai.(Suryawan, 2004, 2007).
Satuan pengamanan, berikade, milisi dalam setiap partai dan organisasi massa adalah perangkat yang tidak bisa dilepaskan. Kehadiran pecalang menjadi menarik karena masuknya simbol adat dan kebudayaan (Hindu-Bali) yang diperankan oleh pecalang. Busana pecalang mencerminkan bagaimana simbol adat, kebudayan dan politik menjadi relasi yang sangat kuat. Pecalang bukan Satgas (Satuan Tugas) partai dengan pakaian kebesaran layaknya milisi tempur. Tapi pecalang adalah pengamanan tradisional dengan busana adat dan budaya Bali.
Pecalang dalam Kongres PDIP menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan terhadap Bali. Pecalang menjadi wacana menarik, khususnya dalam konteks politik, keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan dalam partai atau pertarungan kelompok geng dan preman. Pecalang menjadi satuan petarung pengamanan yang pasti ada dalam setiap areal konflik dan sengketa di Bali.
Pecalang sering dikritik berlaku arogan dan seenaknya untuk menutup jalan. Pecalang juga sering memantik konflik dengan peringai mereka yang kasar dan sok kuasa. Ini dirasakan sekali saat pecalang melakukan pengamanan untuk upacara adat. Bukannya untuk mengamankan, tetapi malah menimbulkan masalah untuk diamankan. Pecalang sebagai satuan pengamanan tradisional memang tidak siap dan memang tidak dilatih untuk melakukan pengamanan yang biasa dilakukan oleh polisi.
Kesan pecalang sebagai penjual jasa keamanan terlihat jelas dari kepentingan desa pakraman untuk memungut biaya penduduk dinas (pendatang). Ini juga dilema yang dihadapi desa pakraman. Mereka jelas berorientasi untuk materi untuk menghidupi kegiatan-kegiatan adat dan budaya di desa. Sementara mereka juga harus berlaku keras dengan merazia penduduk yang membludak datang ke daerah mereka. Pecalang menjadi senjata utama untuk melakukan razia tersebut dibantu oleh Tim Pendataan Penduduk Pendatang di masing-masing desa. Aksi mereka inilah yang banyak dikeluhkan oleh penduduk pendatang. Saat malam-malam, mengedor rumah untuk memeriksa KTP dan sikap keras dan arogannya.
Pecalang juga kata sakti untuk melakukan pengamanan di daerah-daerah “basah”, rawan konflik dan pertarungan preman serta jagoan-jagoan lokal. Daerah-daerah seperti pasar, terminal, kafe-kafe juga telah mempekerjakan pecalang di samping Satpam (Satuan Pengamanan). Saya melihat dengan jelas di sebuah rumah makan siap saji di Denpasar, pecalang bersanding dengan Satpam untuk mengatur kendaraan yang parkir penuh di rumah makan tersebut. Begitu juga dengan pasar dan terminal. Para preman serta jagoan-jagoan local ini biasanya dengan mudah mengubah dirinya menjadi pecalang dengan simbol adat untuk menguasai daerah kekuasaan mereka dari para jagoan yang lainnya.
Peran hampir mirip dilakoni oleh para milisi, organisasi massa yang kadang juga menjadi pecalang di desanya. Tempat-tempat strategis dan potensial untuk perebutan sumber ekonomi ini bisa di terminal, tempat-tempat keramaian dan hiburan seperti kafe-kafe, diskotik menjadi sasaran dari para milisi dan organisasi massa ini. Bisa juga pasar tradisional bahkan yang lumrah terjadi pengerahan kelompok/organisasi kekuatan massa untuk kepentingan politik saat pesta demokrasi pemilu, kampanye dan Satuan Tugas (Satgas) partai politik. Para kelompok massa—yang biasanya dikomandoi oleh orang kuat lokal dengan sejarah perkelahian dan kekuasaannya—biasanya memilih untuk menjadi tenaga pengaman dalam sebuah aktivitas partai politik. Kampanye Pemilu 2004 lalu di Bali memberikan gambaran bagaimana pertarungan jasa pengamanan dari kelompok organisasi massa ini. Bukan hanya pertarungan elite politik saja yang mendapat tempat, tapi juga tenaga pengaman, satuan jagoan, para milisi yang ditugaskan untuk menjaga para elite partai dan mensukseskan kegiatan partai politik tersebut. Jadi bukan hanya jasa dari pecalang saja, tapi jasa para milisi dan organisasi massa juga berperan sangat penting.
Selain organisasi massa, pecalang, satu pemain penting lainnya yang tidak boleh dilupakan adalah satuan petugas keamanan dan ketertiban yang berada di bawah pemerintah. Satuan Tramtib juga berebut lahan “basah” ini. Dengan berbekal Peraturan Daerah, Surat Perintah, dan lainnya, Satgas ini akan melakukan sidak-sidak ke tempat-tempat hiburan malam, pedagang kaki lima, atau hanya sekadar memungut “uang keamanan”.
Seperti yang terjadi di sebuah kawasan di Kota Denpasar. Lima Oknum Tramtib ditangkap pecalang setelah menagih uang cuk (uang keamanan) di tempat lokalisasi PSK. Bahkan kelima anggota tramtib tersebut sempat dibawa ke Bale Banjar (balai desa) untuk diadili oleh para pecalang. Pemicunya apalagi kalau bukan perebutan lahan untuk menagih cuk “uang keamanan” antara desa pakraman dan Dinas Tramtib.(Bali Post, 20 Januari 2003).
Wewenang pecalang dan Desa Pakraman yang berani melakukan penertiban dan menarik “uang keamanan” di wilayah desanya berdasar pada kesepakatan bersama. Kesepakatan itu ditandatangani bersama oleh Forum Kepala Desa/Lurah dengan Parum (Perkumpulan) Desa Pakraman se-Kota Denpasar di Taman Budaya Denpasar, 10 Oktober 2002.(Bali Post, 11 Oktober 2002). Inti kesepakatan tersebut adalah untuk bersama-sama menertiban, membina, dan mengontrol penduduk pendatang. Kesepakatan tersebut ditandatangani masing-masing pihak yakni Ketua Forum Kepala Desa/Lurah Kota Denpasar, I Nyoman Sudira dan Manggala (Ketua) Parum Bendesa Desa Pakraman Kota Denpasar Drs. AA Ngurah Putra Dharma Nuraga. Surat kesepakatan juga diketahui dan ditandatangani Wali Kota Denpasar Drs. Puspayoga.
Manggala Parum Desa Pakraman, AA Ngurah Putra Dharma Nuraga mengatakan, keterlibatan desa pakraman dalam menertibkan penduduk pendatang karena rasa kepedulian.Visi desa pakraman dalam konteks ini, guna mewujudkan desa pakraman sebagai suatu kesatuan yang bertumpu pada konsep Tri Hita Karana. Sedangkan misinya meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan mengembangkan potensi desa pakraman. (Bali Post, 11 Oktober 2002).

Selain itu, keterlibatan desa pakraman adalah membantu pemerintah dalam pembangunan. Berdasarkan visi dan misi itu, lanjutnya tidak salah desa pakraman bergandengan tangan dengan pemerintah daerah dalam mewujudkan tertib administrasi kependudukan. (Bali Post, 11 Oktober 2002).

Dalam tingkatan operasionalnya, ada kesepahaman di dalam mendata, membina, dan menertibkan penduduk pendatang secara administrative. AA Ngurah Putra Dharma Nuraga mengharapkan dalam operasional dan pelaksanaannya di lapangan, telah dibentuk tim di masing-masing banjar adat. Untuk di tingkat kecamatan dibentuk tim pengawas, dan di tingkat kota dibentuk tim pembina. (Bali Post, 11 Oktober 2002).
Atas dasar kesepakatan itu, masing-masing desa pakraman di Denpasar khususnya membentuk tim pendataan penduduk dengan otoritas penuh. Seperti yang dilakukan oleh sebuah desa pakraman di Kota Denpasar. Karena alasan bahwa penjagaan keamanan wilayah memerlukan dana, desa pakraman merasa perlu untuk memberlakukan dana jagabaya (dana keamanan) untuk patroli keamanan wewidangan (wilayah) sekeliling desa.

Berdasarkan surat edaran tertanggal 12 Januari 2003 yang ditandatangani Bendesa Pakraman Panjer I Gusti Made Anom, S. Ag, keputusan ini sudah merupakan hasil paruman sembilan prajuru adat dan dinas. Dalam surat edaran ini juga dituangkan klasifikasi A Rp. 75 ribu, klasifikasi B Rp. 60 ribu, klasifikasi C Rp.50 ribu, klasifikasi D Rp. 40 ribu dan klasifikasi E Rp. 20 ribu. ( Bali Post 31 Januari 2003)


Sementara untuk pedagang kaki lima yang berjualan di Desa Pakraman Panjer juga dikenai retribusi jagabaya Rp. 2.000 per sekali berjualan. Langkah pemungutan dana jagabaya ini dilakukan berdasar keputusan Desa Pakraman Panjer No. 02/SK/DPP/2003. Dan pemungutan dana ini dilakukan oleh barisan Satgas (Satuan Tugas) yang ditunjuk oleh desa pakraman.

Studi Kasus 2: I Wayan Doblag dan Mimpinya Menjadi Jagoan
I Wayan Doblag berasal dari sebuah desa di bumi kering di selatan Bali. Sejak menginjak bangku Sekolah Dasar (SD), Doblag dan keluarga merantau ke Denpasar. Kedua oangtuanya mengadu nasib menjadi buruh kasar di sebuah pasar tradisional. Sementara Doblag hanya mampu menamatkan pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Selanjutnya hari-hari Doblag banyak dihabiskan di pasar tradisonal tempat kedua orangtuanya berkerja. Berbagai pekerjaan dilakoninya, dari mulai penjaga WC pasar, tukang parkir, hingga menjadi anak buah para rentenir sebagai penarik piutang. Selama hampir enam tahun hidup di lingkungan pasar membuat Doblag memahami seluk-beluk “penguasa informal” di pasar tersebut.
Pelan tapi pasti, Doblag berhasil masuk dalam lingkungan peguasa pasar. Tugasnya adalah menjadi “pengaman bayangan” di dalam pasar. Disamping pengamanan yang dibentuk oleh Perusahaan Daerah (PD) Pasar, yang merupakan institusi pemerintah, Doblag bergabung bersama kelompok informal yang mempunyai akses pada ketua PD pasar dan pejabat penting di wilayah pasar tersebut.
Kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh Doblag adalah melakukan pungutan “uang keamanan” diluar retribusi resmi dari pemerintah. Jaminan yang diberikan tentunya tempat berjualan yang strategis serta kemudahan untuk mengurus berbagai keperluan untuk berdagang di pasar. Dari tugasnya tersebut Doblag mendapatkan gaji yang dibayar oleh sosok “penguasa informal” yang sering dia panggil Bos. Si bos juga mempunyai kewajiban untuk memberikan “uang izin” kepada para pejabat-pejabat daerah yang dalam tugas pemerintahannya berhubungan dengan keadaan pasar tradisonal tersebut.
Doblag juga mempunyai pekerjaan sampingan menjadi satgas (satuan tugas) partai politik bos-nya, juga semua pekerjaan yang berhubungan dengan kampanye salah satu partai terbesar di Bali itu diambilnya. “Pas kampanye tiang mupu maan tugas masang bendera ajak bareng kampanye,” tuturnya. (Saat kampanye saya laris mendapatkan tugas memasang bendera dan ikut dalam kampanye).
Dengan menjadi anak buah si bos, Doblag bermimpi suatu saat bisa mewarisi kewibawaan bosnya. Doblag mulai menjadi “tangan kanan”, orang kepercayaan si bos. Ia sering diajak untuk bertemu tokoh-tokoh penting partai politik dan bertemu “bapak-bapak” pejabata penting pemerintahan. Si bos begitu banyak mempunyai relasi.
Sampai suatu ketika, si bos berencana untuk mebentuk sebuah organisasi masyarakat yang begerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Doblag-pun ditunjuk menjadi pejabat penting organisasi tersebut. Tak canggung-canggung, Doblag menjelma menjadi tokoh penting yang pekerjaannya menjadi jagoan di pasar tradisional. Baginya, bekerja di pasar kini hanya sekadar iseng-iseng saja, tidak banyak penghasilan yang didapatkannya. Tapi, ikut menjadi orang penting organisasi kemasyarakatan, mendapatkan job-job sampingan itulah yang menjadi fokusnya.
Kiprah Doblag inilah yang pantas disebut sebagai jagoan informal yang menggerogoti berbagai tempat-tempat publik yang “basah” mendatangkan uang. Tidak hanya terjadi pada kisah kecil Doblag, tapi berlaku umum di Indonesia. Aksi mereka biasanya akan berhubungan dengan orang kuat lokal, pejabat pemerintahan atau satuan kepolisian dan tentara.
Cobalah berjalan-jalan ke mana saja di negeri ini, akan mudah diketemukan orang-orang, gedung-gedung, hingga kendaraan-kendaraan yang secara fisik mendekatkan diri dengan nuansa militeristik. Ada stiker berbunyi, “We Are the Big Family Kopassus”. Ada kaos loreng (“Army Look,” demikian istilah perancang busana) yang dikenal remaja-remaja, bertuliskan, “Indonesian Army, Yes!”
Lalu, masuklah ke warung-warung tegal, biasanya akan terpampang foto berbingkai seorang pria gagah beruniform militer, lengkap dengan tanda pangkatnya. Jika kita tanyakan ke si pemilik warung, siapakah mereka, jawabannya, ”Ini lho mas, supaya preman ngaak macem-macem.” (Gunawan dan Patria, 2000: 1-2).
Kehadiran kelompok organisasi massa dan barisan milisi-milisi local bagai jamur di musim hujam. Angin demokratisasi dan otonomi daerah menguatkan kehadiran para “jagoan-jagoan local” ini dengan alasan “memberdayakan potensi masyarakat”. Kelompok-kelompok kekerasan ini hadir memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Kehadiran mereka tak jarang menebar terror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan di kalangan pihak tertentu yang berkepentingan.(Masaaki dan Rozaki, 2006: ix-xxi).

Peran kelompok kekerasan ini seolah “mengunci” peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah masyarakat. Jejaring mereka menembus tapal batas kuasa politik di ranah negara dan masyarakat. Kondisi ini tidak mengherankan karena kelompok-kelompok kekerasan ini memiliki akar tradisi sejak Indonesia modern belum lahir. Dinamikanya terkadang mengalami fase pasang dan surut, tergantung konstelasi politik yang berkembang. Aktor utamanyapun dapat saja mati menemui ajalnya, entah karena ter(di)bunuh atau melalui proses hukum alam. Namun demikian, karena tradisi dan habitatnya belum punah maka seperti pepatah yan berkembang di masyarakat, patah tumbuh hilang berganti, dalam arti ritus kekerasan itu selalu melahirkan aktor-aktor baru seiring dengan fase zamannya yang terus bergerak. (Masaaki dan Rozaki, 2006: ix-x).


Karakter kekerasan, represi, dan terror itulah yang membentuk watak system social kemasyarakatan di Indonesia. Yang sangat kentara sekali adalah saat Orde Baru berkuasa. Di penghujung 1990-an, menjelang kejatuhan Soeharto, negara memanfaatkan peranan milisi untuk mengelola konflik yang terjadi di masyarakat. Untuk mempertahankan kekuasaannya, negara justru melempangkan jalan bagi didirikannya pasukan-pasukan partikelir bersenjata dengan tujuan melahirkan konflik-konflik horizontal di masyarakat. Untuk sekadar contoh ada baiknya melihat fenomena kelahiran dan kehadiran banyaknya milisi-milisi yang mempergunakan sentimen agama, kelompok, dan golongan pada decade 1990-an ini. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah Pam Swakarsa saat Sidang Istimewa November 1998 serta Front Pembela Islam pada Sidang Umum MPR, Oktober 1999, atau Jihad Fisabillilah, dan Furkon. (Gunawan dan Patria, 2000: 9).
Selain milisi-milisi yang dibentuk oleh ormas-ormas tertentu dengan pendanaan dan fasilitas oleh elite-elite politik dan militer, maka pemerintah secara formal juga membentuk Rakyat Terlatih (Ratih) dan Kamra yang kehadirannya dilegalisasi secara juridis berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. (Gunawan dan Patria, 2000: 10).
Tumbuh suburnya kelompok milisi ini, dan juga legalisasi dari pemerintah menunjukkan bahwa rezim otoritarian Orde Baru menerapakan praktik kekerasan dengan “mempersenjatai” rakyat untuk kepentingan kekuasaannya. Atau dalam bahasa (Alm) Munir, rezim Orde Baru adalah rezim yang “yakin benar bahwa kekerasan adalah metode yang paling pas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat”.

Sebuah rezim yang yakin bahwa harmoni dan kepatuhan masyarakat hanya bisa dikontrol lewat alat-alat represif sehingga kekuatan-kekuatan represif terdorong untuk berfungsi. Termasuk memobilisasi kekuatan-kekuatan masyarakat untuk menjadi kekuatan represi. Sebelum Ratih dan Kamra adalah Hansip dan aktivitas Siskamling di setiap kampung. Karakter semacam ini bukan khas atau dominasi rezim Orde Baru, tapi yang pasti Orde Baru telah sukses menerapkannya selama 30 tahun sehingga membuat kita lupa bahwa kultur social itu dibangun lewat represi. (Gunawan dan Patria, 2000: 8).

Penyebar ketakutan itu adalah para jagoan, orang kuat local, para preman, dan kelompok-kelompok kriminal yang “dipakai” jasanya oleh negara dan kekuasaan untuk menyebarkan teror ketakutan ini. Para “jagoan local” ini akan beraksi sesuai dengan perintah dan target dari “si dalang”. Situasi akhirnya berbalik ketika para jagoan lokal ini juga menjadi korban berikutnya dari target “si dalang” untuk membersihkan kelompok-kelompok kriminal ini.
Sejarah mencatat bahwa peranan jagoan dan kelompok kriminal ini selalu memberi warna yang penting.

Seorang kriminal, selalu berada di tepian masyarakat Indonesia namun tak pernah berada di luarnya. Sama sekali bukan orang asing, mudah dijumpai dalam wacana politik Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan sosoknya yang cocok dengan konteks pemikiran tentang “rakyat”. Kata rakyat dalam sebagian besar masyarakat Indonesia menunjuk pada pengikut seorang pemimpin. Mereka, pada mulanya, adalah para hamba sahaya yang dihidupi oleh para pemegang otoritas politik lokal. (Siegel, 2000: 4-5)

Siegel (2000) melanjutkan, kekuasaan bisa diakses para pejabat negara untuk kemudian menghasilkan satu tipe penjahat baru.

Bagi negara, ancaman adalah sebuah daya tarik. Inilah kekuatan mematikan yang ingin dipunyai negara. Tesis saya adalah negara itu sendiri yang mengambil bentuk seorang kriminal dalam rangka mendapatkan kekuatan ini….Dalam pembantaian-pembantaian tersebut orang-orang yang saling menyerupai itu berusaha membuat sasarannya menjadi orang lain. Mengikuti sebuah proses yang sudah sering dipaparkan di tempat lain, kita bisa katakan bahwa mereka berusaha menjadikan bagian dari mereka sebagai orang asing agar bisa menyingkirikannya dan tinggal mereka sendiri yang “murni” secara etnis. Mengenai para penjahat di Indonesia, sebaliknya, negara meniru penjahat, berusaha menjadi sepertinya. (Siegel, 2000: 13)

Dengan memelihara hantu ketakutan tersebut, dan keinginan negara menjadi “penjahat tipe baru”—berkolaborasi dengan jagoan local, kelompok massa dan kriminal—beragam kasus-kasus kekerasan muncul silih berganti tanpa henti.
Onghokham mencatat para milisi, jagoan, dan kelompok-kelompok kekerasan sudah akrab dalam sejarah Indonesia. Istilah yang umum dipakai adalah “tukang pukul”, atau jago. Namun ada beragam istilah dalam sejarah untuk menyebutkan para satuan kekerasan ini yaitu brandal, weri, blater. Berbagai istilah ini bergantung pada daerah, waktu, dan fungsi yang dipegang. (Onghokham, 2002: 101-106).
Geneologi kelompok jagoan ini dalam catatan Nordholt (2002) sudah ada sejak zaman kolonial, di mana terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan masyarakat desa seperti pencurian sapi, pemerasan, penyelundupan candu, kekerasan, dan terutama intimidasi sebagai fenomena sehari-hari. Pelaku-pelaku yang paling penting dalam hal ini adalah para jagoan. Istilah jagoan tidak hanya merujuk suatu kebudayaan yang menekankan maskulinitas, kejantanan, keahlian dalam berkelahi, dan kekuasaaan yang diperoleh secara ‘magis’, melainkan juga suatu kategori baru ‘orang kuat’ lokal yang beroperasi di sisi kelam pemerintahan kolonial.
Pekerjaan mencuri milik lembaga-lembaga lokal yang menyediakan pekerjaan untuk banyak orang, dan untuk beberapa orang merupakan kesempatan untuk menanam modal, dan menawarkan keuntungan-keuntungan bagi para pelindung kelompok jagoan ini. Tak ada pemimpin desa yang menganggap desanya aman dan beres, jika ia tidak memelihara sekurang-sekurangnya seorang pencuri/maling atau biasanya beberapa orang yang bekerja di bawah komando maling tua dan bijaksana, yang disebut ‘jagoan’.
Khususnya di Bali, untuk melihat sejarah organisasi massa pemuda tidak bisa dilepaskan dengan kolonialisme. Robinson (2005) mencatat organisasi milisi yang melibatkan pemuda-pemuda desa sebagai satuan pengamanan terlihat jelas saat pendudukan colonial Jepang. Khususnya di Bali dan mungkin sebagain besar daerah di Indonesia.

Organisasi massa pertama dan terbesar yang berdiri di Bali adalah seinendan atau perkumpulan Pemuda, yang dikendalikan oleh jawatan propaganda Jepang, sendenbu. Merekrut lelaki berusia antara 12 dan 30 tahun mulai akhir 1943, cabang-cabangnya pertama terbentuk di Denpasar, Gianyar, dan Negara pada November 1943. Cabang-cabang lainnya menyusul, dan memasuki 1944, kesatuan-kesatuan Seinendan telah benar-benar terbentuk di seluruh distrik dan desa di pulau Bali di mana, mereka resminya bertugas sebagai pasukan keamanan local dan penjaga desa. (Robinson, 2006: 133).

Inisiasi dan latihan organisasi milisi pemuda ini bersifat militeristik, namun anggota tidak diperbolehkan menyandang senjata kecuali bambu runcing, yang belakangan jadi symbol romantic perjuangan pemuda melawan Belanda.
Freek Colombijn (2005) mengungkapkan selama Revolusi Indonesia (1942-1945), jagoan-jagoan memiliki kesempatan luas untuk membangun reputasi sebagai orang kejam. William Frederick mengemukakan kisah-kisah yang mendirikan bulu roma mengenai kekerasan oleh orang Indonesia terhadap orang Belanda tetapi juga pada orang Indonesia sendiri. Pada akhirnya, apa yang paling mengerikan adalah bukan kebrutalan itu sendiri tetapi kenyataan bahwa pemimpin sipil dan militer Indonesia senang sekali menggunakan jagoan-jagoan: kekerasan yang ekstrim cenderung dilihat dari sisi manfaat praktis terlebih dahulu dibandingkan dari sisi moral. Kekerasan dan ketakutan yang ekstrim merupakan alat yang berguna dan secara moral dapat diterima, meski barangkali berpotensi berbahaya.(Colombijn, 2005: 281-308).
Pengalaman kolonial memberikan pelajaran bahwa kejahatan, aksi-aksi kriminalitas dengan negara, pemerintahan, ternyata saling memperkuat. Negara mempunyai formasi dan sistem untuk menggerakkan pemerintahan, tapi seiring sistem dan formasi itu macet, muncullah kelompok-kelompok massa, milisi dan para jagoan ini untuk menawarkan jasa pengamanan “membantu” pemerintah. Negara dan kejahatan berelasi kuat dan menciptakan sebuah jaringan mafia kejahatan. Sungguh sulit membedakan mana kelompok jagoan, para milisi dengan “aparat berwajib”.
Pada masa kini, masyarakat sering menyebutnya sebagai “preman”. Preman berasal dari dari kata ‘vrij-man’ yang berarti orang yang bebas dari kerja paksa. Arti ini kemudian berubah dari ‘prajurit berpakaian sipil’ serta ‘agen dalam samaran’ menjadi ‘perantara kekerasan politik’(Nordholt, 2002). Dalam istilah genealogi, preman adalah ‘cucunya’ jagoan. Dari jagoan, preman belajar ‘bisnisnya”. Negara dan kajahatan menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Di dalamnya terdapat pertarungan memperebutkan akses dan keuntungan ekonomi politik yang tak terhindarkan. Dalam kasus Bali, munculnya kelompok massa para milisi dan jagoan ini saling menguatkan dengan negara, antar keduanya terdapat “hubungan manis”.
Praktik “hubungan manis” dan “pelenyapan” negara (kekuasaan) dengan para organisasi milisi serta para jagoan ini terlihat jelas pada saat rezim Orde Baru berkuasa. Pada masa itu stabilitas politik menjadi syarat mutlak dan musuh-musuh negara sebisa mungkin dapat dibabat habis. Lembaga yang berwenang untuk itu adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Jagoan yang berkeliaran juga menjadi sasaran operasinya. (Masaaki dan Rozaki, 2006: xiv).
Pemerintah Orde Baru memiliki dua pola pedekatan terhadap jago; perangkulan dan penindasan.

Perangkulan: Pemerintah Orde Baru mencoba merangkul jago-jago dengan melembagakan mereka. Jika dirangkul dan dilembagakan, jago-jago, menurut pandangan pemerintah, lebih gampang diawasi, diatur, dan dikontrol. Mereka yang berhadapan dengan massa ketika ada demonstrasi mahasiswa atau demo buruh. Tentara dan polisi berada di belakang mereka. Salah satu lembaga yang paling menonjol adalah Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh Yapto. PP memiliki cabang di seluruh Indonesia dan menjaga keamanan di tempat hiburan malam dsb.

Penindasan: Jagoan-jagoan tidak mungkin dirangkul semua oleh pemerintah dan masih tetap saja ada jagoan yang berkeliaran di jalanan. Ketika Orde Baru memulai, usaha pengamanan swasta untuk industri, tempat hiburan, pasar dlll. Pun bermunculan. Pertumbuhan usaha tersebut menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara mereka dan tidak terkendali. Ketika Laksamana Soedomo menjabat sebagai Panglima Kopkamtib, Kopkamtib membubarkan segala bentuk usaha swasta di bidang pengamanan dan membubarkan gang-gang anak muda. Pada pertengahan 1980-an juga ada penindasan terhadap preman. Ribuan preman ditembak mati di tempat secara misterius.( (Masaaki dan Rozaki, 2006:xxvi; Suryawan, 2007).

Pernyataan dan kesan yang serupa juga diungkapkan oleh Joshua Barker. Dalam Vigilantes and the States (tanpa tahun), Ia mengungkapkan sungguh rumit untuk menguraikan secara sederhana telah terjadi “kekerasan negara” tanpa kemudian menjelaskannya secara mikro dalam hubungan-hubungan yang sangat rumit antara vigilante violence ke state violence, atau antara barisan milisi dan polisi. Semuanya tidak bisa dijelaskan secara hitam putih, hubungan mereka “Blurred” dan kita harus memeriksa relasi yang membentuk hubungan tersebut dan kepentingan yang mendasarinya. Lebih lanjut Berker (tt) menuliskan:

The myth of state power during the New Order was that all these micro-level machines and their routine forms of violence were part of a giant whole that was pyramidal in shape and unified in form and content. In the realm of policing, this myth was enshrined in official and unofficial government policies and practices that sought to co-opt vigilante groups and put them to work for the rulling party, the police, or the army. There is no denying that theses policies had real effects. When I conducted research on urban policing during the mid-1990s , I found a security “system” in which neighborhood watches, preman, and private security guards worked in close collaboration with the ruling party, the army and the police. In most cases these groups offered themselves up to be cultivated and supported by elements within the New Order regime. However, even then there were many cases in which such groups acted relatively independently of the regime, occasionally standing in outright defiance of its authority. (Barker, tt; Suryawan, 2007).

Dalam konteks Bali, salah satu faktor penting munculnya kelompok massa para jagoan ini menunjukkan relasi penting dari Bali sebagai destinasi “sorga pariwisata”. Pariwisatalah yang memungkinkan lahir beragam infrastruktur pendukungnya seperti diskotik, jaringan prostitusi, bisnis narkotika, traffiking, dan bentuk kriminalitas lainnya, di samping ideologi, wacana, dan cara berpikir manusia Bali. Tapi di tengah gempuran fenomena globalisasi tersebut, selalu muncul reaksi kembali ke tradisi, mencari celah keaslian untuk menjawab tantangan globalisasi. Munculnya satuan pecalang sebagai ikon “tradisi Bali” menunjukkan bagaimana derasnya globalisasi ditanggapi dengan “memberdayakan adat”. Salah satu bagian penting dari “tradisi dan adat” tersebut adalah satuan pecalang sebagai penjaga kebudayaan Bali.
Kelompok milisi dan para jago bermain dalam ruang-ruang kehidupan intim masyarakat. Kalau pecalang berbendera “adat dan tradisi”, kelompok milisi seperti yang dijelaskan di atas menjadi barisan broker kekerasan, yang masuk dalam jejaring akses kekuasaan dan modal. Pecalang pun tidak bisa dipisahkan hanya sebagai “penjaga tradisi” saja. Ia telah masuk dalam ruang-ruang kekuasaan dan modal yang dilakukan Desa Pakraman. Gerakan “penertiban penduduk” menunjukkan bagaimana lahan uang bernama “penertiban” menghidupi biaya operasional satuan pecalang ini. Dengan “kekuasaan tradisi” inilah pecalang menghidupi dirinya.
Saling melindungi, begitulah posisi antara kekuasaan dan para jagoan lokal ini. Sejarah para jagoan dan kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan dari perebutan ruang-ruang ekonomi dan pengaruh politik. Genealogi preman terbentuk dari mengganasnya kriminalitas dan politik kepentingan kekuasaan. Maka jangan salahkan jika para satuan pengamanan terlatih dan resmi seperti tentara dan polisi menjadi pembina dari kelompok-kelompok preman ini. Akhirnya preman menjadi sebuah kekuatan yang bisa tumbuh sumbur dan disemai benihnya oleh kekuatan-kekuatan pemerintah untuk kemudian dijadikan kepentingan politik kekuasaan. Kasus para militia saat pembantaian massal PKI di Bali menunjukkan hal itu. Para tameng--barisan pemuda dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang dilatih tentara untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI—dijadikan bemper untuk mengadu domba rakyat, sementara tentara menyaksikan bagaimana brutalnya pembantaian dilakukan tanpa kejelasan dan alasan yang tepat. Sentimen, masalah pribadi, masuk menjadi benang kusut yang kemudian menjadi antitesis pembantaian ’65 bukanlah sebuah genocide yang terencana tapi juga hasil sebuah pertarungan dan politik kepentingan ritual, status, tanah dan segala macam konflik yang lama terpendam. Setelah tameng melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI, selanjutnya para tameng ini yang dibunuh oleh tentara karena mereka juga menjadi daftar hitam serta melenyapkan jejak-jejak kesaksian. (Suryawan, 2007)
Berperannya para jagoan, milisi dengan gaya teror dan kekerasan di depan mata diakomodasi oleh negara untuk melakukan tekanan kepada masyarakatnya. Negara menjadi bagian yang sangat diuntungkan dalam konteks seperti ini. Negara akan dengan senang hati menaungi para kelompok jagoan ini untuk kemudian melakukan pelenyapan terhadap gerakan kritis lainnya. Politik adu domba dan menghorizontalkan konflik adalah gaya pemerintah untuk menyaksikan dengan gembira bagaimana konflik dan kekerasan terjadi di antara kelompok preman dan masyarakat. Padahal negara menjadi sebuah kontestan yang penting sebagai dalang dari sebuah skenario tadi. Tapi, memang tidak mudah untuk menjelaskan teori kuasa negara yang begitu konspiratif dan “besar”. Ada baiknya untuk mengurai dan mendetailkan kembali bagaimana operasi bekerjanya para jagoan, milisi dan preman tadi dalam kontestasi politik yang ada dalam konteks lokal. Operasi mereka tentu menyentuh pada kepentingan politik dan ekonomi yang menaungi mereka seperti menjadi “peliharaan bupati”, tukang pukulnya tokoh elite politik, atau yang lainnya.
Di tengah-tengah silang sengkarut kepentingan itulah, teruna Bali menjadi salah satu agen terpenting dari masih abadinya jagoan dan organisasi massa. Mimpi teruna Bali ini terhadap begitu berwibawa dan garangnya menjadi pecalang dan jagoan lokal menunjukkan itu semua. Oleh sebab itulah praktik kekerasan akhirnya begitu membadan, hingga berelasi kuat dengan gaya hidup dan keseharian para anak muda Bali. Gaya hidup anak muda Bali dalam praktik-praktik kekerasan—seperti yang ditunjukkan oleh I Ketut Kapler dan I Wayan Doblag—di satu sisi menunjukkan budaya pemuda yang mengadopsi praktik kekerasan pada budaya mereka sendiri. Jika disebutkan budaya pemuda menjadi subkultur dari budaya dominan yang hegemonik, maka pada kasus Kapler dan Doblag, budaya pemuda (jagoan dan kekerasan) justru diadopsi menjadi sebuah habitus dari budaya pemuda.


Daftar Pustaka


Anwar, Dewi Fortuna, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor)
2005 Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Barker, Joshua,
tanpa tahun (tt) “Vigilantes and The State”, makalah tidak dipublikasikan.

Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah
2004 Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.
Bali Post
2004 Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Penerbit Bali Post.

2001 K. Nadha Sang Perintis, Denpasar, Penerbit Bali Post.

Barker, Chris
2004 Cultural Studies, Teori dan Praktek, Yogyakarta, Kreasi Wacana.

2005 Cultural Studies, Teori dan Praktek, Yogyakarta, Bentang.

Cribb, Robert (editor)
2003 The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Colombijn, Freek
2005 Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia, Pelajaran dari Sejarah, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor), 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Featherstone, Mike
2001 Posmodernisme dan Budaya Konsumen (terjemahan: Misbah Zulfa Elizabeth), Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

ISAI Tim Togi Simanjutak (Editor) FX Rudi Gunawan dan Nezar Patria
2000 Premanisme Politik, Jakarta, ISAI.

Nordholt, Henk Schulte
2002 Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Masaaki, Okamoto dan Abdur Rozaki (Editor)
2006 Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

Onghokham
2002 Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

2003 Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, Jakarta, Tempo, Freedom Institut dan LSSI

Robinson, Geoffery
1995 The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

2006 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.

Santikarma, Degung
2004 Pecalang Bali: Siaga Budaya dan Budaya Siaga dalam I Nyoman Darma Putra (editor), Bali: Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Denpasar, Pustaka Bali Post.

2000 “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas 1 September 2000.

2003 “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”, Kompas 7 Desember 2003.

Sidel, John T.
2005 Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia: Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang “Orang Kuat Lokal” dalam John Harriss, Kristian Stokke dan Olle Tornquist (editor), Politisasi Demokrasi, Politik Lokal Baru, Jakarta, Demos.

Siegel, James T,
2000 Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta, LKiS.

Suryawan, I Ngurah,
2002 “Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali”, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.

2005 “Pecalang Politik dan Para Milisi”, dalam Kompas 17 April 2005.

2004 “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004

2005 BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

2005 Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.

2005 Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan, Yogyakarta, Kepel Press.

2005 “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.

2006 Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

2007 Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965, Yogyakarta, PUSdEP dan Galang Press.

2007 Kesaksian Air Mata: Kisah-kisah Memecah Senyap, Denpasar, Pustaka Larasan.

2008 Rintihan Negri Sorga: Pergolakan Manusia Bali Pascabom Bali 2002 dan 2005, Yogyakarta, Impulse dan Penerbit Kanisius.


Widnyani, Nyoman, S.Ag dan I Ketut Widia, S.H.
2003 Ajeg Bali Pecalang dan Pendidikan Budi Pekerti, Denpasar, Penerbit SIC


Koran, Jurnal, dan Majalah
Bali Post, 20 Januari 2003, Soal Oknum Tramtib Ditangkap Pecalang, banjar Tak Mau Damai Sebelum Astawa Minta Maaf.
Bali Post, 11 Oktober 2002, Surat Kesepakatan Bersama Ditandatangani, Kini Desa Pakraman bisa Mendata Pendatang.
Bali Post, 9 Oktober 2002, Ormas, Forum Peduli dan LSM “Dadakan” Itu, Forum-forum Pemuda, Janganlah Arogan!, Forum-forum yang Melakukan Aksi Massa 2000-Juni 2002, Antara Naluri dan Habisnya Kesabaran.
Bali Post, 31 Januari 2003.
Kompas, Tanpa Kehadiran “Pecalang”, Bali Sudah Rusuh, 28 November 2000.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Pecalang Pulanglah, No. 31 Oktober 2002.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Sudahi Kelahi Sesami Bali, No. 44 Desember 2003.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Titah Latah Ajeg Bali, No. 43 November 2003.


Tentang Penulis

I Ngurah Suryawan
Peneliti independen dan antropolog. Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan. Menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 2006. Kini mahasiswa Program Magister Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Publikasinya yang terbaru: Rintihan Negri Sorga: Pergolakan Manusia Bali Pascabom Bali 2002 dan 2005 (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008). Saat ini sedang melakukan penelitian tentang genealogi kekerasan dan pergolakan subaltern Bali. Alamat emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com.