Who am I

Who am I

Kamis, 03 April 2008

Sebidang Kanvas di Tengah Dollar

Industri dan Kuasa Seni Rupa Di Bali

Rahasia! Cara terbaik untuk menguasai seniman
Jadikanlah seniman sebagai budak
Jadikanlah seniman sebagai mahluk jadi-jadian
Ciptakan cara tertawa budak
Ciptakan rasa tertawa mahluk jadi-jadian
Ciptakan rasa tertawa tuan tanah
Luncurkan “buku” kebanggaan seniman budak

(Widodo dalam Agus Wicaksono, Seni Rupa “Gorengan”, Spekulan dan Pahala Akal Bulus, Yogyakarta 20-29 Januari 2001)


Bisakah disamakan antara karya seni rupa dengan kondom? Banyak yang akan protes jika kedua benda ini disamakan. Tapi jangan salah, perkembangan dunia seni dan industri menjadi kabur. Mungkin diakui, juga tidak, secara tidak sengaja karya seni rupa menjadi mirip dengan kondom.
Tapi yang ingin disampaikan adalah masuknya lukisan menjadi brang industri yang bisa terus diproduksi layaknya sebuah kondom tadi, coca cola atau barang produksi lainnya. Lukisan kini telah menjadi barang industri yang terus bisa diproduksi sesuai dengan keinginan dan permintaan pasar—tentunya pasar seni rupa, kolektor, museum, galeri.
Bali telah menjadi ladang yang subur bagi bisnis seni rupa ini. Pelukis bali yang lugu dan sedikit romantis mendukung dominannya peran mafia dan preman seni rupa melancarkan bisnisnya di Bali. Tulisan sederhana ini setidaknya ingin memberikan catatan yang semoga kritis akan fenomena modal dan industri dalam seni rupa. Dan juga refleksi kritis akan sejarah panjang perjalanan modal dalam seni rupa Bali.

Metaksu-nya Modal
Secara tidak terduga, perjalanan panjang seni rupa Bali terjangikit tarik ulur kapitalisme dengan adat tradisi religius. Awalnya seni adalah media untuk pengungkapan rasa taqwa dan bentuk persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Maka seni menjadi metaksu (unsur magis yang punya kekuatan tertentu), punya nilai yang luar biasa bagi hubungan Sanghyang Widhi dengan manusia. Gaya-gaya lukisan tradisi Kamasan, Batuan, dan Ubud bisa ditekankan sebagai contoh bagaimana gaya-gaya tradisi ini berkembang. Dengan karya-karya berbentuk lamak, prada (semuanya kain-kain untuk upacara ritual di Bali) dan semua benda yang dipersembahkan untuk kepentingan upacara agama dan persembahan-persembahan alam-alam religius. Maka, semua karya dan nilai seni diletakkan dalam konteks seni adalah barang religius dan sangat mistis.
Cikal bakal kedua adalah munculnya pengaruh Pita Maha dan Young Artist dengan mengenalkan gaya dan teknik lukisan baru. Berdiri tahun 1927, kongsi dagang seni rupa ini mulai memperkenalkan bentuk dan cara industri dan promosi dalam berpameran. Jangan heran kegiatan kelompok kongsi dagang ini—mungkin bisa disamakan dengan VOC—adalah berpameran di luar negeri, promosi keeksotikan Bali dan seterusnya. Lewat tokoh Walter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smith, gerakan ini memulai melakukan memasukkan paham dan nilai seni orientalis kolonial. Seni menjadi barang yang ditentukan oleh kepentingan orientalis (Barat) dalam bingkai ekspansi kolonialisasi kultural. Seni di Bali menjadi seni yang terpahami sebagai sebuah nilai yang tercabut dari akar-akarnya. Menjadi seni yang terpahami atas pengaruh barat. Dan sangat kolonial orientalis.
Dan proses kapitalistik memulai pengaruhnya dengan memanfaatkan medium seni menjadi awal untuk memperkenalkan Bali di dunia internasional. Kita masih ingat bagaimana Spies membawa pelukis Bali pameran di luar negeri. Mungkin disini awal bagaimana Bali mengenal wacana besar industrialisasi seni sebelum perkembangan kebelakang tambah akut dan parah. Sampai disini seni menjadi magnitude yang amat kuat untuk mengembangkan citra Bali. Yang nanti dimanfaatkan untuk kepentingan seolah-olah pariwisata.
Perkembangan seni (rupa) memasuki tahap baru ketika putra-putra Bali bernostalgia dan beromantis untuk mendirikan SDI (Sanggar Dewata Indonesia) di Yogyakarta awal tahun 1980-an. Menuntut ilmu di ISI Yogyakarta, seniman Bali ini tertuntut untuk mengembangkan dan mengentalkan identitas ke-Bali-an. Dan mulailah bagaimana cerita “hebat” Sanggar Dewata menciptakan gaya-gaya khas ke-Bali-an dengan simbol-simbol, mitos dan nilai angker Bali yang (ketika itu ) masih ditakuti. Nilai jual itu (simbol Bali) menjadi senjata kuat untuk membuat terkenal kelompok yang melahirkan seniman besar macam Nyoman Gunarsa, Erawan, Sika, Made Wianta, serta banyak lagi angkatan terbaru.
Proses dan dialketika berkembang membawa SDI menjadi berkembang dan membentuk gurita-gurita kekuasaan dengan mengusung nama dan identitas Bali. Parahnya, mengitu kuatnya membentuk jaringan sehingga melahirkan anak-cucu yang sudah dibuatkan kekuasaan untuk terus berekspresi. Saat itu cengkeraman kapitalistik dan seni industri mencapai tahap kedua memperoleh respons yang positif. SDI menjadi punya semacam kongsi kapitalism untuk membentuk dan mempertahankan citra dan keagungan Bali. Saat itu Seni rupa Bali sebenarnya sudah terjual untuk kepentingan pasar dan industri.
Periode berikutnya adalah elegi dimana seniman Bali yang menuntut ilmu di lokal (STSI Denpasar, SMSR Batubulan) juga menjadi agen kepentingan pariwisata dan uang.
Mengikuti perkembangan di Yogya, seniman di Bali ternyata menjadi pendukung lahirnya benih seni untuk kapitalisme. Ya, karena mandeknya proses kreatif dan tuntutan untuk industri seniman menjadi mandek dan teralienasi oleh kapitalisme industrial.
Mandegnya kreativitas menghasilkan karya-karya seni yang berulang-ulang, yang tentu saja karena tuntutan pasar harus terus dihasilkan. Maka seni menjadi sebuah estetis untuk kepentingan dominasi penguasa estetis dan tentu saja modal. Dan seniman telah menjadi budak dari pembohongan estitas dalam dirinya sendiri. Lagi-lagi karena tuntutan pasar dan cengkeraman wacana kekuasaan seni rupa.
Maka ketika perjalanan seni rupa di Bali menjadi pengulangan yang menjemukan dan membosankan. Seakan perkembangan menjadi “adem-ayem” dengan perselingkungan semua pemain seni rupa untuk mengamankan dominasi kelompok tertentu dan tetap bisa berkuasa untuk menentukan dan mengatur pasar. Sampai disini seni menjadi sampah.
Maka terkejutlah komunitas dan pemain seni rupa di Bali, ketika “Mendobrak Hegemoni”, 23-25 Februari 2001 hadir untuk memberikan kritik tajam semua ketidakberesan dalam wacana dan aksi seni rupa Bali (Indonesia). Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI Denpasar hadir dengan menjungkirbalikkan semua nilai-nilai, pandangan estetis seni rupa yang dipaksakan kelompok tertentu kepada yang lain. Nilai estetis dominasi menutup ruang untuk terciptanya estetis tandingan yang mungkin saja tidak estetis sekalipun.
Juga bagaiamana semua pemain seni rupa diterabas habis telah menempatkan industrialisasi dan kapitalisme sebagai otoritas tertinggi untuk menentukan nilai dan estetika berkesenian. Seni diukur dengan uang, bukan untuk pembebasan estetis semua seniman. Disini seni menjadi sangat hegemonik.

Tidak salah jika Widodo dan Agus Wicaksono bikin geger dunia seni rupa Indonesia karena kritiknya yang sangat tajam pada mafia perdagangan seni yang menghilangkan estetis dan mengagungkan barang produksi repetisi seperti kondom misalnya. Karena pengaruh mahluk yang namanya kapitalisme, industrialisasi, dan materialisme yang mengagungkan proses produksi, barang-barang seni dibuat menjadi produksi. Dibuat terus-menerus tanpa pencarian estetis dan kreativitas yang menjadi ciri dari karya seni. Kapitalisme senjatanya adalah uang. Semuanya diatur oleh peredaran uang terhadap semua pemain-pemain seni. Uang menjadi begitu berpengaruh sehingga menggadaikan idealisme, pencarian estetis dan kreativitas.
Kerangka kritik terhadap kondisi seni rupa yang impoten ini adalah otoritas kapitalisme industrialisasi seni sebagai wacana. Lanjutan dari wacana itu adalah lahirnya dominasi kekuasaan seni rupa dengan lawannya kelompok seniman kiri dengan menggulirkan wacana alternatif. Kekuasaan otoriter kapitalisme industrialisasi telah menjadi pakem dan darah daging untuk menciptakan kekuasaan kesenian yang ditanam kuat terhadap para pemain seni rupa. Tentu saja pemilik modal atau pemain dominan akan menebarkan pengaruhnya, sekali lagi dengan uang dan kekuasaan, yang menguasai ide dan tindakan para pemain seni lainnya.
Pemain seni rupa lainnya mau tidak mau masuk dalam lingkaran hitam pragmatis kapitalis dan industrialis ini. Posisi ini mereka ambil karena tidak punya kekuatan untuk melawan dan melakukan oposisi terhadap dominasi ini. Sikap yang ambigu dan mendua dirasakan seniman yang lainnya. Antara tetap memelihara idealis atau tercebur menjadi kapitalis. Bukan hanya seniman, semua pemain seni (rupa) juga telah mempraktikkan industrialisasi, tapi mereka menolak menyebut dirinya kapitalis. “Kapitalisme Malu-malu”, meminjam istilah Arief Budiman.
Seniman sebagai kreator karya seni menjadi pemain pertama yang bergaya kapitalisme malu-malu ini. Sudah menjadi rahasia umum, jika perbincangan dan pergaulan seniman saat ini tidak lagi urusan pencarian jati diri estetis dan proses kreatif, seniman sangat asyik untuk membicangkan bagaimana perdagangan dan peta dominasi kapitalisme industrialisasi seni. Bagaimana cara melakukan trik-trik berdagang “produksi seni” dengan galeri, hubungan selingkuh dengan kurator dan membujuk kolektor berpengaruh untuk memunculkan karyanya. Sangat menyedihkan memang.
Akhirnya, memang pelukis sangat tergantung terhadap pasar, tentunya agar lukisannya laku diterima pasar dan pemegang dominasi perdagangan seni. Ada cerita menarik bagaimana seniman tidak begitu peduli terhadap begitu carut marutnya mafia-mafia seni yang berada diluarnya. Misalkan saja galeri, kolektor, kritikus, spekulan membentuk kongsi untuk menempatkan seniman sebagai kreator mesin produksi yang terus menerus merepetisi karyanya.
Maka pelukis yang berani menjilat kanan kiri dan mecik manggis (meyembah-nyembah) kepada semua pemain hegemoni akan cepat menjadi bintang dan karyanya laris manis. Ketika sudah menjadi laris, trend seperti abstrak ekspresionis Erawan, atau religiusitas mistis SDI (Sanggar Dewata Indonesia), sekali lagi karena peranan perdagangan seni kapitalistik, dibuat terkenal dan di-bikin promosi habis-habisan biar menyentuh akar pemain seni paling awal. Jadilah rekayasa ini menjadi kuat untuk mempengaruhi seniman pemula, yang mungkin saja miskin wawasan dan wacana seni rupa mencerdaskan.
Kunci dari semua penjelasan diatas adalah bahwa semua pemain seni telah menempatkan logika industrialisme kapitalis menjadi ideologinya. Ideologi ini telah memenangkan pertarungan setelah mengalahkan estetis dan kreativitas karya seni. Karena kapotalis menang, semua pemain seni rupa dibuat menjadi robot-robot produksi untuk satu tujuan, uang, keuntungan, dan kekuasaan.

Wacana Kritik (Industri) Seni
Maka menjadi penting menghadirkan wacana-wacana dan karya-karya untuk membongkar kembali semua kebusukan kolektor dominan yang menempatkan seniman dan pemain seni rupa lainnya menjadi robot produksi repetisi karya seni. Bukankah karya seni bukan kondom yang bisa dicetak ulang terus menerus tanpa memikirkan proses kreatif bahkan pencarian estetis.
Pemain seni rupa (galeri, kurator, wartawan, spekulan, dsb.) di Bali telah lama terjangkit sindrom besar kapitalis ini. Ditambah lagi dengan wacana dominasi yang intens terus ditularkan pada seniman muda. Disamping dominasi estetis dikuasai oleh seniman senior, kurator/kritikus, kini masalah lebih kompleks daripada sebelumnya adalah pengaruh kuat industrialisasi, kapitalisme, dan uang. Bingkai kapitalisme ini terus didorong dengan menciptakan hegemonik dalam semua elemen seni yang ada. Misalkan saja, seniman muda, lembaga akademik, museum, galeri, spekulan, dsb.
Karena menjadi bagian proses industrialisasi, seni menjadi bukan barang sakral lagi. Nasib seni, jika masih masuk lumpur kapitalisme industrialisasi, sama dengan kondom, sepatu Nike, susu kaleng dan barang produksi lainnya. Maka seni bukan lagi karya langka, estetis, kreatif, bahkan kata orang Bali metaksu.
Maka, permainan dan bisnis seni rupa melahirkan usaha untuk menciptakan ikon seni rupa terus menerus. Lahirlah wacana menggoreng. Seperti layaknya orang menggoreng, maunya sendiri dengan menambahkan apa yang mereka (pemegang dominasi) kehendaki. Goreng-menggoreng dalam dunia seni juga ada. Istilah ini sangat populer di Yogyakarta.
Proses menggoreng dimulai dari seniman senior yang menjadi panutan dan laris manis. Nyoman Gunarsa, Erawan, Wianta, Sika, untuk memberi contoh pelukis “panutan”yang laris manis di Bali. Karya-karya mereka selalu ditunggu dan menjadi rebutan kolektor. Masih ingat bagaimana Erawan diminta berkarya lagi, asalkan bertema Pralayamatra. Lukisannya sebelumnya laku keras sampai ada yang memesan ke rumahnya. Seniman dengan segala cara berusaha untuk merebut hati pasar yang dikuasai oleh kolektor berpengaruh yang mudah saja memainkan pasar. Tentunya seniman harus berusaha merebut hati pemain seni rupa lainnya (kolektor, galeri, kritikus berpengaruh). Seniman berkarya over produktif. Hubungan dengan seniman yang lain menjadi “aneh”, saling cemburu, bersaing, dan berlomba-lomba untuk menonjolkan diri.
Proses berlangsung mengakibatkan seniman tergantung bagaimana “gorengan” pasar terhadap dirinya. Tentunya menunggu reaksi dari kolektor berpengaruh (di Yogyakarta terkenal nama Agung Tobing atau di Magelang nama Oei Hong Djien). Pemain seni rupa inilah yang bertindak sebagai tukang goreng yang memainkan seniman sesuai dengan selera dan kehendak hatinya. Kolektor berpengaruh ini punya kongsi yang bisa sepakat untuk menaikkan harga seniman tertentu. Otoritas kolektor berpengaruh ini
Akhirnya, peta pasar menjadi kacau dibuatnya. Konsumen lain, yang berada diluar pemain dominasi tadi menjadi gamang dan tidak punya acuan tegas untuk menilai terhadap karya-karya yang ada. Konsumen minoritas ini mau tidak mau terpengaruh terhadap permainan industrialisasi sebesar-besarnya yang diterapkan oleh kolektor dominan tadi. Akhirnya, perkembangan seni menjadi kacau. Para pedagang seni menambahkan nilai kesan (image) yang luar biasa terhadap dagangannya.*

Tidak ada komentar: