Who am I

Who am I

Senin, 14 April 2008

Jerat-Jerat Stigma

Jerat-jerat Stigma
(Politik "Di-komunis-kan", Teror, dan Kekerasan Pembentukan Bali)
[1]
I Ngurah Suryawan

Ancaman kekerasan tidak lagi dating dari negara, jelasnya kedua negera super-power, Amerika dan rusia, yang bisa jelas diidentifikasikan, tapi dari kelompok yang sama sekali tidak bisa diidentifikasikan. Toh mereka telah menjadi kekuatan real yang mengancam. Sementara, setelah 11 September, masyarakat sendiri dicekam oleh kengerian, bahwa terror sewaktu-waktu bisa dating. 11 September telah berlaku. Kekerasan terror tak bakal lagi datang dari masa yang silam, atau bahkan masa sekarang. Tapi dengan memperingati 11 September, mereka justru khawatir dan dibayang-bayangi dengan kekerasan yang akan datang dari masa depan.
(Sidhunata, Terorisme Bawah Sadar, 2005)


Tidak ada lagi yang bisa diharapkan oleh Wayan Narda. Saat itu tahun awal 1980-an, baru saja Ia bisa menghirup udara kebebasan setelah hampir 15-an tahun mendekam di terali besi. Ya, Wayan Narda adalah salah satu manusia Bali yang terjerat “kene garis”, masuk daftar orang-orang yang berafiliasi serta bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Narda adalah seorang petani biasa. Ia juga tidak ikut BTI (Barisan Tani Indonesia), organisasi petani yang berafiliasi pada PKI dan Petani (Persatuan Petani Indonesia) yang mendukung PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Singatnya, beberapa kegiatan untuk memprotes tanah untuk petani, program kampanye land reform, memang sempat diikutinya, itupun hanya sekadar melihat-lihat orang yang melakukan demonstrasi yang dilakukan oleh BTI. “Tiang hanya milu-milu tuung (ikut-ikutan) kemanten”, ujarnya. Saya hanya ikut-ikutan saja.
Tapi sial bagi Narda, namanya telah dicatat menjadi “peserta” demonstrasi land reform yang dilakukan oleh BTI. Menginjak akhir tahun 1966, namanya telah masuk daftar orang-orang yang harus “diamankan”. Memang kategori untuk dirinya hanyalah simpatisan biasa, tidak menjadi tokoh kunci, aktor yang ada dalam daftar nama tersebut. Karena itulah Narda juga bersyukur “hanya ditahan”, tidak dilenyapkan nyawanya.
Nasib orang seperti Narda mungkin ratusan jumlahnya di negeri ini. Sudah pasti kisahnya tidak terdapat di buku Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah, atau mulutnya akan terkunci untuk menuturkan perjuangan hidupnya saat rezim Orde Baru berkuasa. Cerita dari Narda dianggap akan membuat “narasi lain” dari kebenaran tunggal yang dibuat pemerintah tentang tragedy 1965.
Tapi, siapa sudi yang membendung ingatan, membekukannya? Ia akan terus terpelihara menjadi sebuah dokumen yang suatu saat akan muncul kepermukaaan. Sangat sulit menghilangkan ingatan, jejak, apalagi kenangan yang begitu meyakitkan dan menyesakkan bagi manusia Bali. Stigma “sampah masyarakat” dan “pengkhianat” begitu menyakitkan ketika menghadapi tahun-tahun gelap pembantaian massal 1965-1966 terhadap orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Kenangan, ingatan, jejak-jejak masa kelam pembantaian sesama saudara di Bali itu disimpan rapi dalam selimut tebal bernama politik “Pariwisata Budaya”, sebuah ideologi yang mengawali ideologi pembangunan dan stabilitas keamanan ala orde baru. Tahun 1966 di mulai dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. Komunisme, PKI menjadi barang terlarang dan haram untuk dibicarakan. Suara-suara kritis serta kehidupan politik menjauh dari citra Bali. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat menginjak bangku sekolah menengah.
Secepat kilat pariwisata mempengaruhi seluruh denyut nadi dan hembusan nafas serta kehidupan manusia Bali. Daerah-daerah yang tadinya kerong kerontang, tidak terjamah manusia, secepat kilat menjadi tempat yang digunakan untuk penginapan, kedai minuman ataupun toko-toko penjual souvenir. Manusia Bali yang miskin karena tanahnya kering kerontang menjadi terkejut saat pengusaha kaya dari Jakarta ataupun wisatawan, para turis, ingin membeli tanahnya. Pariwisata tumbuh menjadi roh, ideologi, dan solusi dari pengembangan pariwisata Bali.[2]
Oleh rezim otoritarian Orde Baru, "keamanan" dan "ketertiban" masyarakat adalah segala-galanya. Jika tidak, pendekatan "keamanan" dan kekerasan adalah senjata untuk kelompok masyarakat yang mengkritik rezim Orde Baru dan mesin kekuasaannya (tentara, birokrasi, dan agency masyarakat). Mereka yang tidak tunduk terhadap kekuasaan akan diberikan stigma, "Dasar PKI, Pengkhianat" atau dituduh sebagai "Bahaya Laten Komunis". Politik teror dan stigma komunis terbukti ampuh untuk menyumbat setiap gerakan kritis. Para survivor Tragedi 1965 hanya bisa bungkam dan memendam ingatan mereka atas rekayasa sejarah yang dilakukan Soeharto. Stigma komunis yang "berkhianat" dan melakukan kudeta seolah pantas untuk dibasmi. Bagaimana dengan arus balik pembersihan dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI pasca G30S 1965? Yang dilakukan oleh tangan-tangan Soeharto dan pembentuk rezim Orde Baru (tentara, birokrat opurtunis, politisi, dan masyarakat). Tidak ada yang menggugat dan menyuarakannya ketika itu.
Akhirnya semuanya berjalan “harmonis” selama 30 tahun lebih oleh kendali kekuasaan Orde Baru. Bali direproduksi menjadi pulau tempat destinasi pariwisata dan daerah “olah budaya” di negeri ini. Sampai terjadi ledakan dahsyat Bom Bali 12 Oktober 2002. Pasca Bom Bali 12 Oktober 2002 dan dilanjutkan dengan Bom Bali 1 Oktober 2005, banyak terjadi keresahan akan kehancuran dan keterpurukan Bali. Terutama kekhawatiran masyarakat Hindu Bali akan keutuhan kebudayaan mereka setelah dua kali bom mengguncang pulau mereka.
Maka untuk menjaga kebudayaan mereka dari pengaruh yang buruk yang merusak Bali, salah satu caranya adalah dengan melakukan razia/sweeping penduduk pendatang yang masuk ke Bali. Setiap Desa Pakraman (organisasi desa adat di Bali) membentuk Satgas (Satuan tugas) “Penertiban Penduduk Pendatang” yang terdiri dari pemuka desa, barisan pecalangan (satuan pengamanan/milisi adat), sekaa teruna (organisasi pemuda) dan satuan Hansip (pertahanan keamanan).[3]
Persepsi sebagian besar masyarakat Hindu Bali, penduduk pendatanglah yang menjadi sebab yang membuat Bali hancur. Nak Jawa atau Nyama Dauh Tukad (istilah untuk menyebut pendatang dari luar Bali)[4] ini dikuatkan dengan tertangkapnya Amrozy, Imam Samudra, dan tokoh teroris lainnya yang terlihat di televisi menjadi otak dari peledakan Bom Bali. Mereka semuanya berasal dari luar Bali, dan alasan ini semakin menguatkan pandangan masyarakat Bali bahwa nak jawalah yang merusak Bali dengan meledakkan dua kali bom di Legian Kuta dan Jimbaran.
Situasi panik seperti ini seolah membuat masyarakat Bali terkejut. Tidak biasanya Bali menerima teror dan ketegangan seperti ini. Dahulu, saat orde baru, ideology keamanan, kedisiplinan, dan ketertiban begitu mendarah daging. Jangan salahkan jika rezim pemikiran Orde Baru masih melekat kuat bagi sebagaian masyarakat, tidak terkecuali di Bali.
Keinginan melakukan pendekatan keamanan masih tertanam kuat di masyarakat. Ini tidak terlepas dari bayangan harmoni “keamanan” dan “diamankan”, ciri khas pendekatan rezim Orde Baru, sementara masyarakatnya dibuat apolitis dan bungkam. Depolitisasi menyeruak ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara dan kekuasaan telah menyebar dalam bentuk operasinya yang massif, efektif, dan produktif dalam bentuk bahasa, institusi, kebijakan, bahkan orde baru dan kuasanya telah masuk pada keakraban bahasa-bahasa kita sehari-hari.
Kehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik.[5]
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dolar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan pariwisata dan kebudayaan memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.
Di balik semua itu, cita-cita utopis politik kebudayaan Bali ketika itu memang diarahkan untuk menggerakkan bidang yang potensial bernama kebudayan untuk mendukung pariwisata. Seperti diungkapkan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, peletak dasar ideologi pariwisata budaya, yang menyatakan modal dasar kebudayaan Bali berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normative peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan. Secara operasional, kebudayaan juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberikan petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan bagi pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Dan kebudayaan di sini bukan hanya berfungsi untuk dinikmati, tetapi juga sebagai media untuk membawa saling pengertian dan hormat-menghormati.[6]
Perspektif utopis dan “harmonisasi” dalam melihat relasi pariwisata, budaya, pembangunan, dan kekuasaan itulah yang melandasi politik kebudayaan Bali 30 tahun lebih lamanya. Tidak terhindarkan memang, yang terjadi kemudian adalah menyebarnya operasi kekuasaan dari jejaring budaya, pembangunan, dan negara (baca: kekuasaan) tersebut dengan alamiah, seolah tanpa sadar, dan terkelabui oleh cita-cita luhur untuk membangun pariwisata budaya di Bali yang berkelanjutan. Operasi kekuasaan yang produktif itulah yang menghasilkan pembudayaan wacana “Pariwisata Budaya” menjadi kitab dalam politik kebudayaan Bali pasca 1965. Depolitisasi berlangsung hampir menyentuh seluruh kehidupan masyarakat. Maka yang terlahir kemudian adalah generasi apolitis, pragmatis, bermental kerja dan penurut.
Awal dari institusionalisasi kekuasaan melalui pariwisata budaya itu adalah ditetapkannya Peraturan Daerah, Perda 3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda 3/1991 tentang “Pariwisata Budaya”. Legitimasi ini sebenarnya hanya stempel saja. Sebelumnya penyebaran “ideologi” pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang-ruang privat kehidupan masyarakat.
Bagaimana misalnya sibuknya perempuan Bali yang mempercantik dirinya untuk tampak manis di hadapan Tim Penilai Lomba Desa Adat. Gengsi dan glamour ritual itu seolah menunjukkan bagaimana telah terlaksananya pemberdayaan adat untuk mendukung pariwisata Bali. Padahal di balik semua itu terdapat landasan yang rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali.
Begitulah pentas politik kebudayaan Bali diciptakan oleh rezim kekuasaan. Depolitisasi, harmonisasi, dan penyeragaman dilakukan untuk membentuk “manusia Indonesia seutuhnya“ dan manusia Bali berguna dan berdaya untuk pariwisata. Harmonisasi dan keamanan adalah persyaratan mutlak bagi daerah destinasi pariwisata seperti Bali. Karena Bali harus aman, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan. Dari itulah lahirnya manusia-manusia “orde baru” yang etno-nasionalis, konservative, fundamentalis, dan yang terpenting apolitis. Hal ini diwujudkan dengan semakin menguatnya politik etnis seiring berjalannya pariwisata. Wacana kapitalistik dan industrial seperti pariwisata melahirkan wacana hak milik kebudayaan bagi masyarakat Bali.
Politik identitas “pariwisata budaya Bali”, yang diikuti dengan penguatan identitas etnis, menyertai perkembangan pariwisata. Pariwisata, kebudayaan, dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Karena hanya itulah yang menjadi senjata sakti dan “jualan” dari “pariwisata budaya” di Bali. Ini diwujudkan dengan klaim dan citra, “budaya Balilah yang eksotik dan asli”[7] Selain pariwisata, kata “memberdayakan adat” juga menjadi kata sakti untuk memelihara kebudayaan pada kekuasaan.Yang menjadi pemegang otoritas dan kekuasaalah yang bisa menterjemahkan program pelestarian adat tersebut, untuk kemudian semakin meneguhkan citra Bali yang eksotik, kokoh, dan lestari.

Stigma “Manusia Merah”[8] Bali
Genealogi politik kekerasan sejatinya ada seiring peradaban manusia Bali zaman dulu kala yang terkenal barbar. Sejarah pelenyapan anak manusia menjadi catatan sejarah dari pulau yang dulunya menjadi sumber budak belian. Bahkan Bali mempunyai ritual untuk bunuh diri saat berperang melawan penjajah Belanda. Itu terjadi tahun 1906, dimana sebagian daerah Bali Selatan diduduki penjajah Belanda. Laporan-laporan resmi mengatakan 400 jumlah korban nyawa. Malah, para korban dinyatakan bertanggung jawab sendiri karena konon mereka ikut berpartisipasi dalam apa yang disebut “upacara bunuh diri”, yang dinamakan puputan atau pengakhiran. Bisa jadi jumlah korban 1100 lebih dan bukan 400 jiwa, yang mana sebagian besar mereka dibunuh oleh peluru penjajah.[9]
Wajah beringas manusia Bali saat membunuh saudaranya sendiri menyisakan kepedihan, tangis, kehilangan, dendam, dan ingatan yang tak terlupakan. Sejarah kelam manusia Bali itu hadir dalam bilik-bilik ingatan para saksi sejarah yang puluhan tahun terbungkam. Suara-suara senyap mereka adalah harta berharga untuk membongkar konstruksi politik kebudayaan Bali yang hingga kini terwarisi.
Kejamnya manusia Bali saat hari-hari pembantaian 1965-1966 adalah cermin perilaku politk mereka sebenarnya. Konflik, persaingan, ketegangan politik, agama, pribadi akhirnya melahirkan sebuah penghilangan nyawa manusia terkeji dalam sejarah peradaban manusia Bali dan Indonesia. Beragam analisa mencoba menjawab akar masalah manusia Bali saling bantai tahun 1965-1966. Pertanyaannya tentu saja, bagaimana operasi dan stimulasi konflik, persaingan politik, kasta, ritual, sentimen pribadi itu bekerja sampai membuat orang saling membunuh? Dan bagaimana kekuatan “negara”, lewat propaganda partai politik, militer, birokrasi sampai mempengaruhi orang untuk saling membunuh? Atau kedua pemilahan itu sudah kabur dan keduanya saling berelasi untuk membuat manusia Bali saling membunuh? Atau bahkan cara berpikir seperti “negara” dengan kewaspadaan dan ajakan “mengganyang komunis sampai ke akar-akarnya” telah diserap dan diterapkan manusia Bali untuk membunuh saudaranya. Tidak dapat dibedakan mana “rekayasa politik negara”, konspirasi, pertarungan politik atau yang lainnya, karena semua pemilahan-pemilahan, kategori itu telah melebur menjadi satu dalam amuk massa penyembelihan manusia.
Dalam situasi seperti ini, manusia Bali adalah satu kontestan terpenting. Ingatan kekerasan dari para survivor dan saksi sejarah dalam buku ini menunjukkan bagaimana beringasnya manusia Bali untuk menghilangkan saudaranya sendiri atas nama politik, persaingan, atau apapun namanya. Kenapa manusia Bali bisa melakukan itu semua? Konspirasi besar ketegangan politik kelas tinggi, pertarungan ideologi politik dan lainnya, mungkin jauh dari bayangan para ninja temeng yang melakukan pembantaian. Politik kelas tinggi itu bukan penyebab yang kuat untuk berlangsungnya pembantaian. Politik “besar” itu diturunkan menjadi politik-politik lokal, subyektifitas local manusia Bali serta sejarah-sejarah konflik lokal.
Kiprah manusia Bali dalam jejak sejarah pembantaian 1965-1966 adalah pertarungan memperebutkan klaim otoritas dalam sejarah, konflik dan kuasa lokal. Berbagai ketegangan politik “besar”, sejarah “negara” bertransformasi dalam beragam pertarungan-pertarungan lokal, sejarah dan konflik antara manusia Bali. Pertarungan sejarah lokal ini berelasi kuat pada perilaku dan otak manusia Bali yang telah berwajah “negara”. Akhirnya, ketegangan politik termanifestasi dalam dua wajah perilaku politik manusia Bali, pertama menyerap perilaku serta ideologi negara, dan kedua menjadi salah satu kontestan dalam pertarungan konflik lokal. Keduanya saling mengalami gugatan, berelasi dalam ajang konstestasi yang disebut Soe Hok Gie sebagai penyembelihan manusia Bali besar-besaran yang dilakukan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu (tahun 1965-1966).[10]
Dalam gugatan dan kontestasi inilah manusia Bali dengan sejarah dan konflik lokalnya mempunyai subyektifitas lokal yang begitu lentur dan bisa tertarik-tarik. Subyektifitas itulah yang mendasari setiap gugatan dan perilaku manusia Bali dalam politik. Tapi subyektifitas lokal manusia Bali juga sangat mudah terseret menjadi wajah obyektifitas “negara” yang menjadikan manusia Bali sebagai agen-agennya. Kontestasi subyektiftas lokal dalam pembentukan sejarah harus bertarung dengan operasi “negara” yang sangat kuat membentuk karakter manusia Bali, dan keduanya saling berelasi dan berubah wujud.
Pembantaian manusia Bali 1965-1966 adalah salah satu relasi, pertarungan, dan gugatan dari “subyektifitas lokal” dengan “operasi politik negara”. Subyektifitas lokal ditunjukkan dengan ketegangan politik, sosial, ekonomi, ritual, sentimen pribadi dan konflik internal manusia Bali sesamanya, dan ini telah lama ada. Sedangkan politik negara beroperasi dalam pertarungan ideologi partai politik dan perebutan kekuasaan. Konflik ini bertemu dan kemudian melahirkan kebrutalan.
Manusia Bali adalah bagian konflik dan kebrutalan itu. Saat pembantaian terjadi, banyak yang menyebutkan semuanya adalah buah dari pertarungan ideologi politik antara PKI yang komunis dengan PNI yang nasionalis. Dalam kasus Bali, pembantaian “manusia merah” itu sering disebutkan karena konflik kasta antara desa A yang waysia dan sudra, dan karena itu disebut PKI dengan desa B yang brahmana dan ksatria dan karena itu ia adalah PNI. Dengan mengkonstruksi konflik seperti itu, seolah-olah subyektifitas manusia Bali dalam konfliknya menjadi hilang. Segala macam kerumitan dan diskursifnya konflik, yang bisa menyebar dalam berbagai macam bentuk dan pertarungan, menjadi hilang tersapu jargon dan konstruksi besar konflik kasta atau mengkastakan konflik. Justru konstruksi inilah yang akan berakibat pada penyederhanaan kerumitan yang menyertai perilaku beringas manusia Bali tahun 1965-1966.[11]
Beragam analisa dan argumentasi muncul, tapi belum ada yang memuaskan untuk menjelaskan kenapa manusia Bali bisa saling bunuh sesama saudaranya di tahun 1965-1966? Mungkin saja, salah satu penyebabnya adalah beragam analisa itu terperangkap untuk membingkai kejinya manusia Bali dengan jargon-jargon yang besar dan membuat konflik kekerasan sungguh rasional hanya karena berbeda ideologi dan kepentingan politik. Konflik dikesankan canggih dan pelakunya terlibat secara rasional. Pokoknya harus berbeda, mepapas, adalah jargon dangkal untuk membungkus subyektifitas manusia Bali yang penuh dengan pertarungan, kepentingan dan relasi-relasi politik. Kecanggihan konflik kadang menenggelamkan narasi-narasi kecil, pergolakan manusia dengan hidupnya.
Degung Santikarma, antropolog Bali, dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan dengan jargon-jargon besar itu, konflik dan kekerasan terkesan canggih dan anggota banjar (desa adat/pakarman) yang terlibat terkesan semuanya rasional. Dengan membungkus konflik dengan jargon-jargon seperti mengkastakan konflik dan kekerasan akan mendepersonalisasikan konflik. Subyektifitas dan kerumitan internal menjadi lenyap.[12]
Manusia Bali dalam “tahun-tahun yang hilang” dalam sejarah peradabannya, tahun 1965-1966, adalah pergulatan penuh dengan kepentingan, konflik dan sejarah lokal dengan subyektifitas internal para manusianya. Semuanya termanifestasi dalam segala macam pertarungan politik lokal, ritual, kelas/kasta, tanah, sentimen pribadi, dan segala macam kerumitan manusia Bali. Peristiwa ’65 menjadi titik kulminasi, sebuah pentas untuk bertemunya segala macam konflik dan kepentingan lokal manusia Bali, yang telah lama tumbuh dan tersemai dalam beragam peristiwa kekerasan dengan penetrasi politik negara bahkan internasional dalam pertarungan politik antara komunisme dengan kapitalisme.
Pertarungan dan pentas sejarah kekerasan 1965-1966 memakan korban saudara sendiri, sesama manusia Bali. Kurang lebih 80.000 “manusia merah” di Bali terkubur dalam ladang-ladang pembantaian, di tanah pesisir pantai yang kini telah berubah menjadi hotel berbintang dan diskotik tempat wisatawan berjingkrak-jingkak ditemani pelayan berpakaian adat serta memakai ketu batik. Kenangan, ingatan, jejak-jejak masa kelam pembantaian sesama saudara di Bali itu disimpan rapi dalam selimut tebal bernama politik “Pariwisata Budaya”, sebuah ideologi yang mengawali ideologi pembangunan dan stabilitas politik dan keamanan ala rezim otoritarian orde baru.
Tahun 1969 dan menginjak awal tahun 1970-an, setelah pembantaian praktis terhenti, mulailah proyek mengubur kenangan kelam masa lalu dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. “Komunisme, PKI, pengkhianat bangsa” menjadi senjata untuk menyumbat suara kritis manusia Bali yang mencoba tidak seragam dengan keinginan negara. Gerakan rakyat, apalagi komunisme, adalah barang terlarang untuk dibicarakan. Suara-suara kritis dalam kehidupan politik hanyalah akan merusak citra Bali sebagai pulau sorga yang aman dan damai. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat menginjak bangku sekolah menengah atas

Antropologi Kekerasan: Bertutur Di Balik Senyap
Jerat-jerat stigma tertuduh komunis dan pengkhianat bangsa terang sangat menyakitkan bagi sebagian besar masyarakat Bali yang tersangkut Peristiwa 1965. Tapi, ada usaha yang bisa dilakukan. Sebuah buku yang mengesankan, karya Urvashi Butalia berjudul Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence memberikan banyak inspirasi. Sebuah karya “subyektif” yang jujur, dan sudah pasti terdapat keberpihakan penulisnya dalam menuturkan ingatan kepedihan, kegetiran dan pergulatan manusia dalam tragedi Pemisahan India dan Pakistan.[13]
Urvashi memberikan kita cermin bagaimana ketajaman, sensitifitas dan keberpihakan seorang peneliti dan penulis untuk melihat dan menggali suara-suara terbungkam, kisah pedih manusia dalam sebuah pentas sosial politik bernama pemisahan sebuah bangsa. Di dalamnya terdapat segudang narasi bagaimana penuturan ingatan manusia, sebuah kisah yang “kecil” yang diberikan ruang untuk bertutur dan berbagi. Urvashi dengan tegas dan jujur menyatakan dirinya tidak bisa bernaung dibawah jargon karya “objektif” dalam pakem akademik yang kaku. Urvashi tidak memilih untuk berkutat dalam bahasa-bahasa “tinggi” konflik politik pemisahan. Ia lebih tertarik untuk menggambarkan semuanya tidak dengan bahasa-bahasa sulit yang sering digunakan kalangan akademik, ataupun kerangka teoritik yang rumit tapi tidak menjejakkan kakinya. Ia menuliskan dengan detail bagaimana cerita-cerita rakyat biasa yang menjadi korban dari peristiwa Pemisahan itu. Ia meminjam suara lirih dan pedih rakyat kecil untuk menjelaskan bagaimana konflik Pemisahan bisa berakibat pada perubahan kehidupan, rasa kehilangan dan kepedihan rakyat biasa.
Sebuah sikap yang mengagumkan adalah argumentasinya untuk berpihak pada “suara-suara yang lama dicampakkan”. Suara pedih itu mungkin tidak akan dihiraukan oleh kalangan elite, dianggap sebagai cerita biasa, yang kalah dari cerita elite politik dan masyarakat. Suara-suara dan penuturan rakyat yang “dikalahkan” inilah yang menjadi kekuatan dan fokus penulisan Urvashi. Dari penuturan kisah-kisah itu, semua data dan catatan lapangan yang diperolehnya tentu sangat subyektif. Ia mengakui itu semuanya dan mencoba lepas dari hantu bernama objektifitas.
Ingatan yang terpelihara di masyarakat terhadap suatu peristiwa akan diturunkan terus-menerus pada generasi berikutnya. Karena itulah, menelisik ingatan-ingatan itu, sampai pada keengganan manusia mengingatnya, sampai pada kesenyapan dibalik ingatan manusia, menggugah para peneliti, akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk bersama-sama belajar menyentuh alas dan dasar setiap persoalan sosial kemanusiaan yang terjadi. Bagi saya, semuanya didapat bukan dengan kerumitan bahasa akademisi yang melangit dan melakukan penelitian dibelakang meja, tapi dengan mendengar penuturan dan membuat rakyat kecil “bersuara” dengan penulisan hasil penelitian yang telah dilakukan. Memang tugas terberat intelektual dan akademisi adalah bagaimana suaranya bisa dimengerti rakyat kecil. Mungkin kata “merubah” terlalu utopis, tapi sangat mungkin terjadi jika para intelektual dan akademisi ini bisa menjejakkan kakinya bersama rakyat, membuat apa yang disampaikannya dimengerti rakyat kecil, berempati, dan bersikap membela rakyat yang “dikalahkan”.
Tapi sebagian besar intelektual dan akademisi, khususnya para antropolog yang fokus kajiannya pada pergulatan manusia dan kebudayaannya, seakan lepas dari “bumi” yang menjadi pijakannya—kisah-kisah manusia dengan problematikanya. Bahkan sangat banyak para antropolog yang menjadi tim ahli pemerintah daerah untuk membangun hotel megah di tengah perkampungan kumuh. Karena itu, rakyat kecil harus digusur dan mengalah pada gerakan pembangunan infrastruktur pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Di Bali, para antropolog dan intelektual beramai-ramai berebut proyek pemerintah untuk “memberdayakan rakyat” dengan program-programnya. Wacana pemberdayakan rakyat itu terbangun dalam sebuah ideologi pembangunan, yang menggunakan tenaga-tenaga para antropolog dalam pelaksanaannya. Tahun 1980-an, saat pariwisata di Bali menemukan kemapanannya, studi antropologi pembangunan dan pariwisata begitu trendy. Perguruan tinggi memberikan porsi besar pada fokus studi ini. Antropologi pada akhirnya berelasi kuat dengan kekuasaan, ketika pariwisata dan pembangunan menjadi urat nadi kajian para antropolog. Yang menjadi “jualan” mereka adalah sebuah hak milik bernama “kebudayaan” (Bali). Maka terciptalah sebuah kurikulum pendidikan dan paradigma antropologi, dengan bagaimana mencari-cari “nilai-nilai luhur kebudayaan” yang bisa disumbangkan untuk pembangunan dan pariwisata.[14]
Lapisan elite para antropolog ini mengais rezeki dari proyek-proyek penelitian pembangunan dan pariwisata, dimana mereka bertugas melakukan survei kelayakan masyarakat menerima produk-produk industri, atau dibangunnya sebuah pabrik dan hotel. Akar ilmu antropologi kembali pada awal perkembangannya, saat kolonisasi antar bangsa berlangsung. Antropologi menjadi panopticon dan sekaligus mengkonstruksi karakter masyarakat yang dikoloni. Hal yang sama dilakukan sebagian besar para antropolog kini di Bali dan juga di Indonesia dengan mendikte” masyarakat yang sedang ditelitinya, dijadikan sebagai sebuah “harta sosial dan budaya” untuk mendukung pembangunan pariwisata, khususnya di Bali.
Tidak jarang para antropolog yang hingga kini berkubang dalam “proyek-proyek pelacuran” ini. Mereka turun ke lapangan, sementara kepala mereka telah terkonstruksi bagaimana “memanfaatkan” masyarakat, kalau perlu “diberdayakan” dengan digusur, disediakan RSS (Rumah Sangat Sederhana), sementara di tanah mereka berdiri menjulang tinggi mall atau kompleks pertokoan dan perumahan. Atau para antropolog di Bali, tahun 1980-1990-an yang keranjingan mendapatkan proyek respon masyarakat Bali terhadap pembangunan pariwisata budaya. Isi kajian tersebut adalah puja-puji keberhasilan pembangunan pariwisata meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali. Dan terakhir, saat para “antropolog 2 P” (Pariwisata dan Pembangunan) ini mengikuti survei respon dampak bom Bali Oktober 2002 pada kehidupan masyarakat kecil di Bali. Hasil akhirnya sudah pasti recovery pembangunan pariwisata yang “memberdayakan” masyarakat kecil. Disinilah pengkhianatan antropologi pembangunan dan pariwisata terjadi, bukan menggunakan suara rakyat, tapi memanipulasinya.[15]
Semuanya menunjukkan bagaimana relasi kuasa antropologi dan pembangunan bekerja, khususnya pariwisata di Bali. Saya masih curiga, hingga kini sisa-sisa peninggalan antropologi kolonial itu masih terasa kuat dan bahkan dijadikan acuan pokok dalam setiap perkuliahan di universitas yang membuka jurusan antropologi. Khususnya di Bali, akademisi Universitas Udayana masih menjadi think-thank staf ahli pembangunan “berwawasan budaya” di kota Denpasar. Dalam sejarahnya, para antropolog dan akademisi dari kampus inilah yang melakukan studi-studi kelayakan pembangunan di Bali, penelitian berlangsungnya industri pariwisata pasca 1966 saat orde baru berkuasa. Tapi sebelumnya kampus ini juga memberlakukan screening “Tidak Terlibat G30S/PKI” bagi tenaga dosen dan pegawai. Institusi pendidikan dan ilmu menunjukkan relasinya dengan kekuasaan, rezim pariwisata budaya yang terjadi di Bali.
Paradigma antropolgi yang “elite” dan berjarak adalah warisan dari perspektif antropologi kolonial. Sementara massa rakyat yang “dikorbankan” dari pembangunan dan pariwisata, sebuah sebuah kuasa struktur sosial terabaikan. Inilah cermin pergulatan antropologi orde baru, di tengah para antropolog sibuk dengan proyek-proyek konsultan-konsultan pembangunan.
Saya lebih sepakat—dan ini terus menjadi perdebatan para antropolog—, bahwa antropologi bukanlah ajang pemetaan teoritik yang melambung tinggi, pergulatan wacana otonomi daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan manusia dengan grafik dan hitungan keberhasilan. Yang diperlukan antropologi dan para antropolog adalah sikap berpihak pada rakyat yang “dikorbankan” oleh struktur kekuasaan. Karena itulah, sensitifitas dan kepekaan untuk menangkap suara-suara senyap dan bungkam ini menjadi kekuatan bertutur serta sekaligus empati bagi para antropolog. Tentu ini dengan sebuah kesadaran bahwa suara-suara yang terpinggirkan dari rakyat kecil juga mempunyai hirarkhi dan struktur kuasa sendiri. Justru operasi kuasa inilah yang ingin dibongkar ole antropolog, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah karya yang menggugah dan inspiratif. Paling tidak ini bisa menjadi alternatif untuk menjawab bagaimana antropologi menjelaskan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Dan juga sebuah etika bahwa antropologi adalah ruang bertutur bagi rakyat kecil. Karena itulah dengan empati dan etika, para antropolog tidak akan terbuai dengan kontes-kontes konferensi yang megah dan produksi publikasi serta ketenaran dengan melupakan rakyat kecil yang ditelitinya. Dengan tindakan etis dan humanis, selayaknya antropologi menjadi sebuah ruang kesaksian dan bertutur bagi rakyat kecil, yang tidak kemudian dilupakan, tapi dijadikan ruang dan relasi pemihakan bagi para antropolog. Karena dengan menentukan sikap akan menunjukkan pemihakan atau pengkhianatan antropologi di Indonesia.
Antropologi bekerja pada sisi senyap ingatan manusia. Beberapa bagian dalam buku ini adalah hasil dari catatan lapangan, sebuah lukisan, deskripsi dari kuburan massal dan ingatan sosial yang ditinggalkan para survivor dan saksi sejarah yang tersingkir dari sejarah kekuasaan. Dengan melakukan catatan etnografi, kita berusaha untuk menghadirkan catatan-catatan detail dari sebuah sejarah kekerasan yang berlangsung di negeri ini, khususnya di sebuah pulau bernama Bali. Karena itulah antropologi berhutang pada suara-suara kaum papa korban dari kekuasaan dan kekerasan structural yang terjadi.
Paradigma antropologi dan fieldwork itu bertemu dengan metode oral history, sejarah lisan, yang menjadi ganre baru sejarah. Metode ini lahir dari kritik terhadap metode sejarah positivistik, no document no history, yang hingga kini masih kuat pengaruhnya di Indonesia. Dengan sejarah lisan, hadir penuturan-penuturan dari “arus bawah”, masyarakat biasa yang yang menjadi pemenang dan korban pertarungan sejarah dan kekuasaan.
Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.[16]

Terori, Kekerasan, dan Pembentukan Bali
Terorisme kini menjadi senjata sakti di dunia ini. Dan setiap aksi kekerasan selalu dibarengi dengan kekerasan. Pokoknya intinya hanyalah kekerasan, dan korbannya adalah mereka yang tak bersalah, siapapun juga orangnnya. Resep untuk melawannya sudah jelas, war on terrorism, perang melawan terorisme.[17] Tapi perang melawan terorisme akhirnya bias menjadi penyebaran ketakutan dan terror yang meluas tanpa bisa terkendali.

Begitulah, tak jelas siapa musuh saya. Tak pula saya tahu, dari mana asal terror yang nanti bakal datang. Semuanya tidak jelas. Yang jelas, bahwa semua ketakutan dan ancaman kekerasan itu telah menjadi peristiwa bawah sadar saya, dan mempengaruhi serta menjadikan bawah sadar saya. Dengan bawa sadar saya, saya membuat pertahanan terhadap kekerasan, padahal dengan demikian saya merusak bawah sadar dengan kekerasan. (Sindhunata, 2005)

Di sinilah orang masuk ke dalam lingkaran setan kekerasan, terror dan represi. Atas nama perang melawan terorisme, semua kekerasan kekerasan bisa dilakukan. Dan si pelaku terror juga boleh melakukan kekerasan, juga atas nama terror, karena hanya dengan cara ini mereka merasa bisa melawan terror yang disasarkan pada diri mereka. Suatu proses balas dendam dan kekerasan yang berkepanjangan. Di sinilah terjadi, bahwa masyarakat atau warga merasa membangun pertahanan baru, padahal dengan demikian menghancurkan seluruh system pertahanannya sendiri. Dan itu terjadi setiap kali, tanpa disadari. (Sindhunata, 2005).
Menelisik beroperasinya terorisme dan kekerasan pada alam bawah sadar, membuat saya teringat pada apa yang terjadi di Bali pasca Bom Bali 2002 dan juga Oktober 2005. Reaksi yang juga bertajuk perang melawan teroris, tapi di Bali mungkin lebih spesifik, sweeping dan kewaspadaan terhadap the other, para pendatang yang ingin merusak Bali. Pada akhirnya tercipta sebuah penciptaan identitas bahwa “Orang Bali Cinta Damai” dan menyatakan perang terhadap teroris.
Tapi di balik semuanya aksi sweeping dan razia penduduk pendatang juga mendatangkan terror dan represi gaya baru. Sebuah pertahanan untuk menangkal terror yang dibuat dengan gaya terror baru. Teror yang mereka (masyarakat Bali) terima seolah sudah menjadi keseharian dan keakraban, sehingga masyarakat Bali hidup dalam alam bawah sadar terror dan represi. Sikap kewaspadaan, siaga, dan mengulangi perilaku kekerasan akhirnya menjadi keakraban dalam keseharian orang Bali.
Melacak genealogi terror dan kekerasan yang terjadi di Bali tidak bisa dilepaskan dari pembentukan citra dan image Bali. Di dalamnya juga terdapat bius kekerasan dan terror simbolik yang dilekatkan pada negeri seribu pura ini. Image yang selalu membuat masyarakat Bali bangga dengan beragam citra yang “baik-baik”, puja-puji yang membuat masyarakatnya terlena menjadi pulau yang “berbudaya” dan steril dari cerita pedih, getir, dan kemuraman. Saat mentari dan kicauan burung di pagi hari bersinar adalah sorga yang hanya ditemukan di hamparan sawah yang hijau di Desa Tegalalang, Gianyar. Bali akhirnya terbentuk sebagai sebuah pulau sorga dunia, dimana segala keindahan, keramahan dan kesksotikan alamnya dicari-cari orang.
Padahal dibalik citra—yang dibentuk oleh warisan kolonial dan dilanjutkan serta dipelihara oleh masyarakat Bali sendiri—eksotik dan “pulau sorga” itu tersimpan kemuraman yang sebenarnya menjadi keakraban dalam cerita keseharian masyarakat di Bali. Tapi sayang, saat kolonisasi terjadi, rezim kolonial memberangus semua catatan pembantaian manusia Bali dalam penjajahan, penindasan dalam kerja paksa, penjualan budak, dan “perang saudara” dalam Tragedi 1965-1966 menjadi sebuah sisa bayangan kelam di pulau tropis yang eksotis bagi para pelancong.
Konstruksi tersebut diamini oleh masyarakat Bali dan terpelihara dalam berbagai rezim kebenaran dari kekuasaan. Dari warisan kolonial itulah terbentuk industri-industri pembentukan manusia Bali yang luar biasa canggih, produktif, dan efektif. Saat zaman pembangunan pariwisata budaya, di Bali terbentuk manusia Bali yang manis, sopan dan penurut karena mendukung program pembangunan berkelanjutan melalui pariwisata budaya. Tapi dibalik semua kisah manis dan sopannya manusia Bali itu, ternyata menyimpan kegetiran dan kisah kekerasan.
Pembantaian manusia Bali tahun 1965-1966 adalah sisi kelam yang tersimpan rapi dibawah selimut pembangunan dan pariwisata budaya. Ingatan kelam para saksi sejarah dan survivor peristiwa itu harus terbungkam dan menjadi stigma subversif yang menodai gerakan pembangunan. Sisi kelam akhirnya terbungkus rapi gemerlap rencana pembangunan dan gairah pariwisata yang menjamur di Bali awal tahun 1980-an.
Saat gemerlap pariwisata itu perlahan-lahan runtuh karena pondasi yang rapuh, dentuman Bom Bali 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 serta krisis ekonomi, membuat Bali dan Indonesia menjadi panik dan gelagapan menghadapi kondisi ini. Indah dan nikmatnya pembangunan pariwisata yang semu itu menjadi cerita muram dan kelam dari kepanikan manusia Bali. Senja kala di Kuta menjadi sepi dari turis-turis yang berderet menyaksikan sunset dan keindahan pesona Bali. Yang ada hanyalah ibu-ibu tua tukang pijat atau pedagang asongan yang menjerit karena turis takut datang ke Bali. Banyak anak muda Bali yang menganggur karena hotel-hotel kosong melompong dan tidak kuat lagi membayar gaji karyawan. Saat itulah kemuraman Bali benar-benar dirasakan, yang sebenarnya sudah ada sejak dulu, tapi ditutup-tutupi oleh rekayasa kemegahan budaya untuk pembangunan pariwisata.
Dari keterpurukan itulah lahir sebuah semangat persatuan sekaligus tekad. Yang menghidupi Bali selama ini adalah budayanya. Orang datang ke Bali karena ingin melihat kekhasan tradisi dan budaya manusia Bali. Yang mengikat budaya adalah agama Hindu. Semua masyarakat Bali akan mengangguk setuju jika ia masih merasa beragama Hindu dan tinggal di Bali. “Siapa yang rela budaya Bali dan agama Hindu tercabik-cabik?” Tekad itu adalah sebuah modal untuk kembali menggugah kepedulian masyarakat Bali di tengah keterpurukan dan muramnya kondisi yang sangat memukul sendi kehidupan ekonomi.
Masalah-masalah kependudukan akan bisa diatasi jika masyarakat Bali di setiap desa adat ketat dengan razia dan penertiban penduduk pendatang di wilayahnya. Pengaruh budaya dari luar bisa juga dihadapi dengan pelestarian dan mengokohkan nilai-nilai tradisi kebudayaan Bali. Dengan segalak-seguluk, bersatu-padunya masyarakat Bali akan bisa kuat menghadapi perubahan yang tak terhindarkan itu.
Bergegas kemudian mengkristallah sebuah gerakan bernama Ajeg Bali, sebuah seruan untuk bersama-sama menjaga Bali dengan melestarikan dan mengokohkan, menguatkan kebudayaan Bali. Dengan Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005, maka dipandang sudah sepantasnyalah untuk merenung, refleksi diri apa yang akan terjadi pada Bali di kemudian hari jika daerah ini terus dihantam bencana. Kesadaran masyarakat Bali saat ini adalah bagaimana bisa survive dengan pertahanan terakhir bernama adat, budaya dan tradisi. Hanya dengan pertahanan terakhir itulah masyarakat Bali mempunyai “harga” dan harkat untuk bisa menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri.
Hanya dengan modal budaya dan agama Hindulah benteng pertahanan masyarakat Bali, yang perlahan namun pasti terdesak ke pinggir. Berlangsungnya pariwisata adalah contoh riil bagi masyarakat Bali bagaimana budaya, termasuk di dalamnya kesenian dan ritual-ritual keagamaan, menjadi aset yang menjanjikan untuk pariwisata. Berbagai pentas-pentas seni tari dan kerawitan banjir order ke hotel-hotel berbintang yang megah, sementara mereka diangkut dengan truk. Begitu juga saat ritual-ritual keagamaan berlangsung. Masyarakat Bali sangat bangga dan menunjukkan tingkah polah “paling Bali” ketika para pelancong menjepretkan kilatan blitz kameranya. Ini dengan harapan foto itu nanti tersebar di luar negeri, tentang bagaimana masyarakat Bali menjunjung tinggi agama dan kebudayaannya.
Ajeg Bali menjadi sebuah penawar baru di tengah kebingungan masyarakat Bali. Ia menjadi rayuan dan gemerlap glamour baru yang juga palsu dan pada dasar yang keropos. Ajeg Bali menyimpan relasi kuasa dari warisan industri pembentukan manusia zaman kolonial yang terjadi di Bali. Industri pembentukan manusia itulah yang kemudian kini menciptakan manusia-manusia Bali yang sangat sensitive, beringas, bahkan kadang rasis. Dengan industri pembentukan nilai bernama Ajeg Bali, manusia Bali berlindung dengan nyaman dibalik budaya dan agama yang mereka anggap menjadi hak milik mereka, dan dengan demikian sangat pantas untuk dipertahankan.
Industri nilai bernama Ajeg Bali sebenarnya bukan barang baru. Dalam perkembangannya, wacana ini begitu lentur dan tidak steril dari kekuasaan, sebagaimana seruan moral gerakan ini untuk “menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali”. Dalam pentas “Mengajegkan Budaya Bali” bertarung banyak relasi kuasa dan kepentingan manusia Bali. Di dalamnya begitu banyak kompleksitas masalah yang dengan gampang akan disebutkan untuk mengajegkan kebudayaan Bali. Tapi di tengah kompleksitas itu, ada juga gugatan terhadapnya. Ada penentangan, tapi juga usaha penyeragaman dan penundukan masyarakat yang mencoba mengkritisinya.
Bulan madu pariwista (baca: pembangunan) dengan kebudayaan melahirkan “pariwisata budaya”. Di sini kebudayaan dilihat sebagai hak milik, possession dan modal/kapital. Hal ini menyebabkan klaim “kebudayaan Bali hanya milik orang Bali”. Klaim ini oleh sang kuasa dianggap sah. Karena itulah menjadi penting untuk selalu mencitrakan dan meyakinkan orang Bali bahwa “hanya kebudayaan Balilah yang unik”. Klaim dan siasat inilah yang digunakan oleh duet sang wisata dan sang kuasa. Dengan pernyataan “jagalah kebudayaan Bali yang indah itu”. Untuk menjaga modal (baca: kebudayaan) tersebut, Bali harus aman, diamankan dengan pendekatan keamanan. (Degung Santikarma, 2001). Adat dan kebudayaan adalah dua “hak milik” tersisa yang dimiliki manusia Bali. Kebudayaan dan tradisi dalam perspektif manusia Bali telah menjadi hak milik, dan karena itulah harus dilestarikan, dijaga dan disterilisasi dari pengaruh dan ancaman pihak luar.
Masalah razia penduduk pendatang bisa disebutkan untuk menjaga budaya Bali dari Nak Jawa, Nyama Dauh Tukad, sebutan untuk orang luar Bali, yang datang mengadu nasib ke Bali dengan segala dampak negatifnya. Maka, diberlakukanlah gerakan untuk waspada dan siaga bagi penduduk pendatang yang dianggap melahirkan masalah kriminalitas dan kemiskinan di pulau seribu pura ini. Stigma ikon “teroris” dalam televisi ikut menyulut sentimen anti pendatang. “Kamu jual bakso saja ya, jangan jual bom,” hardik satuan pengamanan adat, pecalang, yang saya dengar saat razia penduduk pendatang di pinggiran kota Denpasar.





















[1] Awal naskah ini adalah paper wakil dari KRAMA (Kerabat Mahasiswa Antropologi) Universitas Udayana, Bali pada Sarasehan Jaringan Kekerabatan Mahasiswa Antropologi Indonesia (JKAI), di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, 20-26 Februari 2006. Versi lain dari naskah ini terdapat dalam manuskrip, Bali: Dari Eksotis ke Esensialis (Genealogi Politik Kebudayaan). Terdapat beberapa perbaikan dalam naskah awal hingga menjadi bagian buku ini.
[2] Istilah Marie-Francoise Lanfant yang menyebutkan, dalam dilema pariwisata—tanpa pariwisata Bali terkutuk, dengan pariwisata Bali akan hancur—Bali menemukan solusi berupa doktrin “pariwisata budaya”. Dikutip dari Nyoman Darma Putra, Pariwsata Budaya, antara Polusi dan Solusi: Pengalaman Bali, paper dalam Lokakarya Internasional Penyelamatan Warisan Budaya, 1997.
[3] Situasi panik dan munculnya ide penertiban penduduk pendatang mulai hadir pada November- Desember 2002 pasca peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002 di Lagian, Kuta. Sejak itulah hampir seluruh desa di Bali melakukan aksi penertiban penduduk pendatang, terutama di pintu-pintu masuk ke Bali. Catatan lapangan, Desember 2002.
[4] Catatan lapangan dan wawancara penduduk Hindu Bali, November- Desember 2002 dan Maret-April 2003. Istilah Nak Jawa hanya untuk mempermudah sebutan untuk para pendatang dari daerah mana saja, termasuk dari Pulau Jawa. Istilah ini untuk membedakan antara masyarakat Hindu Bali dengan orang luar Bali yang tidak beragama Hindu. Nyama dauh tukad menunjukkan penduduk pendatang yang datang dari seberang sungai/lautan.
[5] Degung Santikarma, Budaya, Kuasa, dan Pariwisata. Makalah tidak dipublikasikan.
[6] Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Landasan Kebudayaan Bali, hal. 35 (Denpasar: Dharma Sastra, 1996)
[7] Komunikasi pribadi dengan Degung Santikarma via email, Januari-Maret 2005. Seperti juga ditulis dalam Budaya, Kuasa, dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan.
[8] Untuk judul yang sedikit sama lihat buku saya, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), (Jakarta: Buku Baik dan Elsam, 2005).
[9]Henk Schulte Nordholt, Speel Of Power, 1996 via Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002) hlm. 6.
[10] Catatan Soe Hok Gie, op.cit, tentang pembantaian besar-besaran di Bali dalam essaynya, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali (161-169).
[11] Komunikasi pribadi via email dengan Degung Santikarma, Mei 2005.
[12] Ibid.
[13] Lihat Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence, (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2002).
[14] Degung Santikarma melukiskan dengan tajam bahwa antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa berfungsi sebagai juragannya. Lebih lengkap lihat, Pentas Antropologi di Indonesia, Kompas, 7 Juli 2004.
[15] Relasi antropologi dengan kekuasaan (pariwisata budaya) terlihat jelas saat booming industri ini di Bali tahun 1980-an. Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Udayana menjadi sumber dari lahirnya para “antropolog-antropolog pariwisata ini”. Mereka biasanya sibuk dengan proyek-proyek penelitian dari pemerintah dengan dampak pariwisata terhadap kehidupan masyarakat Bali.
[16] John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Parid, Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial, Pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, (Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004) hlm 2.
[17] Lebih lengkap lihat Sidhunata, Terorisme Bawah Sadar dalam Basis Edisi Khusus Derrida, No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005.

Tidak ada komentar: