Who am I

Who am I

Sabtu, 08 Maret 2008

Dari Balinisasi ke Ajeg Bali

Dari Balinisasi ke Ajeg Bali
(Membongkar Kuasa Identitas ke-BALI-an)


I Ngurah Suryawan


Sebagai kebijakan kultural, Baliseering menghasilkan ditampilkannya kembali gaya busana, bentuk arsitektural, tarian, dan tata krama berbicara “tradisonal”
(Geoffry Robinson, 2006)

Atas nama pariwisata budaya telah menjadikan orang Bali sadar akan budayanya. Begitu budaya Bali diistimewakan dan diagungkan oleh wisatawan, dia juga diobjektifkan dan dijaraki oleh orang Bali dan dipasarkan kepada bangsa lain.
(Michel Picard, 2006)

Ajeg Bali juga mengandung gerak “pemurnian budaya”, yang ingin memilah antara yang “asli” dan yang “luar”. Ini tidak hanya karena benda yang “asli” punya nilai komersil yang tinggi, seperti barang antik di artshop, tetapi juga karena manusia yang “asli” bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali.
(Degung Santikarma, 2003)


Pendahuluan
Dalam sebuah konferensi akhir tahun 2007 di sebuah universitas ternama Jakarta, saya ditanya seorang kawan dari Papua. “Setiap membicarakan Bali, saya tidak bisa begitu saja melepaskan citra kedamaian dan eksotika budaya serta pariwisatanya. Saya yakin kini pasti semuanya berubah, tapi saya sebagai orang luar tidak mudah untuk melupakan semuanya. Berbagai iklan media massa dan cerita yang terus diulang-ulang membuat saya bimbang.”Seorang kawan dosen universitas negeri di Aceh melanjutkan, “Banyak harapan pihak luar tertuju pada Bali sebagai destinasi pariwisata dengan keunikan budaya, tapi kita lupa untuk melihat bagaimana orang Bali bereaksi terhadap pulaunya yang berubah sekarang.” Lanjutnya, “Bali terlalu berat menanggung citra yang terbentuk padanya dan terus disebarkan seperti yang kita terima begitu saja hingga kini.”
Perdebatan beberapa kawan tentang Bali itu seolah membuktikan bahwa “Sorga Dunia” tidaklah ada begitu saja, tapi “diadakan” oleh berbagai kepentingan dan relasi kuasa yang berkepentingan pada Bali. Beberapa kawan yang kritis terhadap Bali dan para sarjana asing yang membongkar “sorga rekayasa”, meminjam karya mengesankan Adrian Vickers (1989) ini sadar, proyek “puja-puji” dan perekayasaan Bali menghadirkan “kebenaran citra” yang kemudian dibekukan dan diwariskan. Konstruksi pembentukan Bali dianggap ilmiah, dan jika perlu diilmiahkan dengan berbagai cara. Ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa semuanya adalah warisan leluhur yang diterima sebagai wahyu dan harus dilestarikan.
Proyek pembekuan itu diterima sebagai warisan rezim kolonial Belanda dalam membentuk Bali. Praktek-praktek rezim colonial dalam mendesain Bali kemudian diwariskan dan diterima keberadaannya sebagai sesuatu yang wajar dalam posisi pewarisan budaya. Bahkan praktek-praktek kolonisasi ini dilestarikan dan direproduksi terus-menerus melalui cara-cara baru oleh masyarakat Bali sebagai warisan rezim colonial.
Praktik kuasa ini dilangsungkan dalam berbagai pentas politik kebudayaan dan jargon-jargon “pentradisian”. Warisan dari proyek pentradisian rezim colonial melalui ideology Balinisasi, Baliseering (pentradisian) Bali dilanjutkan dengan pariwisata budaya yang ingin mengemas tradisi dan budaya untuk disajikan dalam bisnis industri pariwisata.
Begitu hegemonicnya “rezim eksotika” Bali ini hingga memasuki urat nadi serta pola pikir manusia Bali, sehingga warisan rezim colonial diadopsi, bahkan terjadi proses pengulangan, peniruan (mimikri) praktek-praktek warisan colonial ini dalam bentuk pelestarian warisan budaya, penjagaan tradisi dan praktik kebudayaan kini dalam bentuk gerakan kebudayan Ajeg Bali.
Artikel ini berusaha untuk menelusuri dan membongkar praktik kekuasaan dengan mendasarkan argument dari analisis tentang opresifnya kuasa dan pengetahuan dari Foucault menganalisis konstrusi citra Bali. Untuk membongkar praktik-praktik pewarisan kuasa rezim colonial Belanda, artikel ini mendasarkan pada pemikiran postkolonial untuk membongkar praktik dan warisan kuasa rezim colonial yang masih terselubung dalam politik kebudayaan Bali kini.

Landasan Teoritik dan Metodologi
Dalam sebuah pentas konstruksi kebudayaan, menarik melihat bagaimana operasi kekuasaan ini yang dalam pandangan Michel Foucault dapat “menciptakan realitas” serta objek dan ritual kebenaran yang dijunjung tinggi, dibekukan, dan diwariskan dalam relasi kekuasaan. Karena itu kemudian praktik kekuasaan dapat melahirkan objek pengetahuan baru yang menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Lebih detail Foucault mengungkapkan:

Melihat kekuasaan sebagai penindasan, pembatas atau larangan tidak memadai lagi. Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran...Pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan. (Medan Sarup, 2003: 124-128).

Bagi Foucault kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus menerus. Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah: kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.

Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominant, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi. Dengan demikian kekuasaan tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang, dalam suatu institusi tertentu, atau melekat pada aparat Negara. Kekuasaan itu ada dimana-mana menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat. (Haryatmoko, 2002: 8-21)

Metode arkeologi dan genealogi adalah alat untuk membongkar kekuasaan yang diungkapkan oleh Foucault. Metode ini hendak memikirkan ulang bagaimana pengetahuan sering terjebak kepada prosedur-prosedur “kebenaran” yang sarat dengan relasi kuasa. Foucault mengungkapkan bahwa “kebenaran” harus dipahami sebagai suatu system prosedur-prosedur yang teratur bagi produksi, pengaturan, distribusi, sirkulasi dan operasi pernyataan-pernyataan. “Kebenaran” dihubungakan dalam relasi sirkular dengan system-sistem kuasa yang menghasilkan dan mempertahankannya dan dihubungkan pada efek-efek kuasa yang dipengaruhinya” suatu “rezim kebenaran”.
Metode arkeologi berlandaskan pada praktek diskursif dalam rangka memproduksi pernyataan-pernyataan. Dengan berdasar pada praktek diskursif ini, menurut Jurgen Habermas, Foucault ingin mengembalikan “dokumen-dokumen” yang bisa berbicara pada “monument-monumen” yang bisu dalam keadaan yang dibebaskan dari konteksnya untuk membuka jalan bagi suatu penulisan strukturalis. Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen” oleh Habermas di sini adalah fakta-fakta dan kejadian-kejadian histories yang telah diinterpretasikan dalam totalitas dan finalitas yang jelas. Sedangkan “monument-monumen” adalah fakta-fakta dan kejadian-kejadain histories yang belum diinterpretasikan. Arkeologi berusaha untuk sampai pada “monument-monumen” itu dan berusaha membentuk seri-seri secara baru (Petrus Sunu Hardiyanta, 1997: 12-13).
Sedangkan tentang genealogi, Foucault mengungkapkan perhatiannya adalah pada hubungan timbal balik antara system kebenaran dan mekanisme kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu “rezim politis” memproduksi kebenaran). Genealogi tidak mencari asal-usul (seperti ditunjukkan oleh historiografi tradisional), melainkan menemukan awal-awal dari npembentukan diskursus, menganalisis pluralitas sejarah kemunculan mereka secara factual, dan melepaskan diri dari ilusi identitas.(Petrus Sunu Hardiyanta, 1997: 14).
Dalam konteks Bali untuk membongkaran warisan colonial, metode yang diungkapkan Foucault tentu sangat penting untuk dipraktikkan. Dan jangan dilupakan juga bahwa kesadaran membongkar warisan colonial ini berdasar pada arus pemikiran pascakolonial dari gerakan perumusan identitas diri dan ekspresi ketertindasan dari negara-negara bekas koloni (jajahan).
Mariana Amirudin (tanpa tahun) mengungkapkan salah arti penting studi postcolonial adalah menempatkan paradigma penggugatan berbagai macam konstruksi dan relasi kuasa yang terjadi dalam selubung-selubung penjajahan, warisannya serta pelanggengan warisan tersebut oleh masyarakat koloni. Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi colonial yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Postkolonial lemudian membongkar (dekonstruksi) kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan.
Bagi sejumlah teoritikus postkolonial, usaha mendekonstruksi, menelanjangi ideology dan asumsi yang terselubung dibalik wacana yang dominant, masih dirasakan perlu. Sumbangan Edward Said dalam Orientalisme (2001) sangat penting untuk diajukan. Said bertolak dari konsep awal Foucault yang mencakup bukan hanya teks verbal, tetapi akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan.(Melani Budianta, 1994)
Edward Said bisa disebutkan menjadi tonggak awal dari kelahiran studi-studi postcolonial. Tesis utama buku yang menggunakan pendekatan Michel Foucault tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan adalah bahwa studi-studi ilmiah Barat mengenai Timur (Orientalisme) tidaklah terutama didorong oleh kepentingan pengetahuan, melainkan kepentingan penguasaan (Mudji Soetrisno dan Hendar Putranto, 2004: 155-171)
Mariana Amirudin (tanpa tahun) mengungkapkan Edward Said dalam ide postcolonial melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan’ dengan paradigma orientalisnya di tahun 1978.

Katanya, Timur adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan oleh Barat. Said menguliti orientalisme sevagai wacana ilmiah yang didorong oleh motif-motof kekuasaan yang amat buas (kolonialisme). Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari “negeri terjajah”, maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang terjajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Ini semakin menunjukkan bahwa postkolonialisme selain satu nafas dengan feminisme, ia juga bersanding dengan postmodernisme. (Mariana Amiruddin, tanpa tahun)

Mariana kemudian menunjukkan argumentasi tentang ide Michel Foucault bahwa kekuasaan ibarat sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Maka bukan lagi kekuasaan berbentuk vertical: penguasa di atas dan yang tertindas di bawah, melainkan berlaku dari dank e segala arah. Untuk menggambarkan ide postcolonial ini ada istilah black face, white mask, yaitu orang yang dijajah meniru peringai penjajah. Maka si black face, white mask adalah penjajah itu sendiri.
Oleh Frantz Fanon, seorang tokoh postcolonial, mengemukankan gagasannya bahwa kolonialisme sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebagai benda. Warna kulit hitam, cokelat atau kuning menunjukkan bahwa rakyat terjajah itu bukan hanya mereka yang kerjanya dirampas, tetapi juga mereka yang dalam jiwanya diciptakan kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya local mereka. Kompleksitas inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat koloni (Mudji Soetrisno dan Hendra Putranto, 2004; Frantz Fanon, 2000). Maka studi-studi pascakolonial diantaranya menaruh perhatian pada tema-tema kolonialisme dan imperialisme, wacana, oposisi biner, gender dan feminisme serta ideology dan identitas untuk menyebut sedikit contoh.
Linda Tuhiwai Smith (2005) mengajukan sebuah tesis yang menyegarkan untuk melakukan dekolonisasi metodologi dalam studi-studi pascakolonial. Dalam studinya, Linda menggunakan cara pandang bangsa terjajah yang secara sadar Ia istimewakan. Cara penelitian dengan metodologi orientalisme yang dilakukan oleh intelektual Barat merupakan penyumbang dampak negative kolonialisme, menciptakan sejarah serta realitas yang menikam rasa kemanusiaan paling dalam.

Ketika ada orang mengukur “kemampuan” bangsa terjajah dengan cara memasukkan biji-biji padi ke dalam tengkorak leluhur bangsa terjajah, lalu membandingkan jumlah biji-biji padi tersebut dengan kapasitas pemikiran dan mental bangsa terjajah, tentu saja hal tersebut melukai perasaan bangsa terjajah tentang apa dan siapa sesungguhnya bangsa terjajah. Lebih menyakitkan lagi, para peneliti dan intelektual Barat berasumsi mengetahui segala hal terntang bangsa terjajah hanya dari perjumpaan sesaat dengan salah seorang bangsa terjajah. (Linda Tuhiwai Smith, 2005: xv-xvi).

Cara pandang imperialisme ini diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan: menghimpun penduduk bangsa terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara Barat, lalu lewat kaca mata Barat dikembalikan lagi kepada bangsa terjajah. Edward Said menyebut proses ini sebagai wacana Barat tentang “yang lain” (other), yang didukung institusi, penghargaan akademik, kosa kata, perumpamaan, doktrin, bahkan juga birokrasi colonial dan gaya kolonial. (Linda Tahuwai Smith, 2005: xvi).

Balinisasi Bali: Jejak-jejak Kolonialisme
Sebagai jejak awal memeriksa relasi kuasa kolonialisme di Bali, bagian ini akan menguraikan jejak-jejak kolonisasi yang dilakukan rezim colonial Belanda melalui ideology Balinisasinya.
Perjalanan panjang politik kebudayaan Bali adalah pentas kuasa yang menjadi salah satu bidang pertarungan dalam praktek kolonisasi yang kemudian menimpa Bali. Kehidupan kesenian, seni lukis wayang, pertunjukan misalnya berkembang dengan landasan kebudayaan dan agama Hindu Bali yang kental. Ritual memang bukan satu-satunya citra yang membentuk Bali, tapi juga sejarah pertarungan dan perebutan kekuasaan politik dari raja-raja di Bali dalam menanamkan pengaruhnya.
Karena itulah perang saudara, pemberontakan, dan perebutan kekuasaan raja-raja di Bali menjadi catatan sejarah permulaan abad ke-20. Selain itu, dari abad ke-17 hingga ke-19 ekspor utama Bali adalah budak Bali. Sebanyak 2.000 budak Bali diekspor per tahun selama abad ke-17. Daerah tujuannya adalah Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Barat, Afrika Selatan, dan di penjuru pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Di Batavia pada pertengahan abad ke-17, dimana populasi budaknya kira-kira 18.000 jiwa, sekitar separuhnya adalah orang Bali (Geoffry Robinson, 2006: 33-35)
Cengkraman kekuasaan kolonial yang membentuk Bali dimulai dari sebuah momen puncak kekuasaan tahun 1920-an, yang kemudian dilanjutkan dengan program “pemberdayaan” tradisi. Dari hasil catatan lapangan pejabat kolonial, maka dibuatlah penggambaran bahwa masyarakat Bali adalah orang yang mempunyai minat pada seni, budaya, agama, tari, musik, lukis, ukir, upacara, festival ketimbang “politik” (Robinson, 2006: 8)
Setelah sekian lama dijajah oleh Belanda, baru pada 1908 berhasil menegakkan aparatur negara kolonial yang meliputi keseluruhan pulau di Bali, dan masa perdamaian dan ketertiban yang kasatmata pun dimulai. Pada 1929, otoritas Belanda mengizinkan keturunan yang ditunjuk dari raja terdahulu di tiap-tiap kerajaan untuk menyandang gelar kebesaran lama (Anak Agung, Cokorda, Dewa Agung). Orang yang ditunjuk itu resminya disebut negara-bestuurder (penguasa) di dalam kerajaan lama leluhurnya, yang kini disebut negara. Pada 1938, negara-bestuurder diberi status raja atau zelfbestuurder (penguasa otonom) dengan suatu kadar wewenang nyata di dalam wilayah kerajaan masing-masing (Robinson, 2006: 38). Di Bali berdiri delapan zelfbestuurder landschappen (swapraja).
Dengan tangan-tangan kekuasaan di raja-raja ini, ditambah dengan para pedagang, kaum bangsawan, dan pemuka masyarakat, rezim kolonial mengatur sistem pemerintahan dan menjadi penyambung beroperasinya kekuasaan di tangan-tangan negara kolonial dan rakyat kecil. Rezim kolonial menjadi dalang di balik layar dari bertarungnyaa sesama masyarakat Bali untuk memperebutkan kekuasaan dan mengabdi pada pemerintah kolonial. Rakyat dikeruk harta dan hasil buminya melalui tangan-tangan kaum bangsawan, pedagang, dan raja-raja yang memperebutkan pengaruh. Sementara itu ketertiban dan keharmonisan terus dipelihara untuk memperlancar penghisapan harta dan sumber daya pada masyarakat Bali.
Tapi semuanya tidak berjalan mulus. Henk Schulte Nordholt mencatat kebijakan negara jajahan terhadap Bali bersifat khas, yakni sangat kontradiktif sekali. Lebih lanjut Ia menyatakan:

Pihak Belanda ingin melindungi pulau ini terhadap pengaruh-pengaruh buruk seperti nasionalisme, agama Islam, agama Nasrani, dan “dekadensi” Barat, dengan jalan mempertahankannya dalam bentuk setradisional mungkin. Akan tetapi, pada waktu yang sama, Bali telah diserap masuk ke negara kolonial yang menyebabkan hujan peraturan-peraturan administrative dan jasa, yang makin lama makin besar jumlahnya. Lambat laun menjadi jelas bahwa salah satu kekuasaan yang paling berbahaya ialah pemerintahan pusat itu. (Henk Schulte Nordholt, 2002: 180-181).

Musuh bersama pemerintahan pusat kolonial Belanda membuat beralihnya kekuasaan kepada raja dan keluarga yang berkuasa, dengan pemerintah kolonial Belanda tetap berada di belakang layar kekuasaan. Dalam menjalankan pemerintahan itulah banyak terjadi kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Akibatnya banyak terjadi keresahan, ketegangan yang melibatkan masyarakat Bali.
Tapi masalah belum berakhir dengan diberikannya kekuasaan kepada kerajaan-kerajaan di Bali. Justru yang terjadi adalah persaingaan yang hebat antara kerajaan dan puri-puri di Bali. Karena itulah feodalisme semakin menguat melalui tangan-tangan kekuasaan puri-puri.
Geoffry Robinson mencatat, kembalinya kekuasaan pada feodalisme puri-puri yang tidak lepas dari campur tangan Belanda. Karena itulah otoritas Belanda menyadari bahwa ada lawan-lawan kebijakan mereka di kalangan kaum kaum muda terpelajar Bali dan khususnya para guru. Tapi, mereka dengan bijak meyakini bahwa Bali tradisional yang baru, gagasan “aneh” atau “asing” para biang kerok ini tidak akan mengakar (Robinson, 2006: 72)
Karena itulah politik citra Bali sebagai “museum hidup” itulah yang menjadi nilai jual yang sangat berharga bagi pariwisata. Dan sejarah pariwisata di Bali tidak bisa dilepaskan dari bagaimana intervensi kolonial Belanda dalam mempromosikan Bali, dan setali tiga uang di dalamnya membentuk bayangan atas pulau dewata ini.
Dalam catatan sejarah pariwisata Bali, perkembangan derasnya terjadi setelah perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij), di tahun 1920-an mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Namun sebelumnya telah datang seorang anggota parlemen Belanda, Heer H. van Kol, yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902. Kol dianggap sebagai wisatawan pertama yang datang ke Bali. Setelah mengunjungi Bali, Kol menulis buku Uit Onze Kolonien yang diterbitkan di Leiden, Belanda pada 1902. Dalam buku setebal 826 halaman tersebut, 123 halaman menceritakan tentang Bali. (Gde Pitana, 1999: 10).
Melalui kongsi dagang pelayaran inilah, promosi kepariwisataan Bali menjadi terlembaga. Praktis seteleh itu KPM mulai menarik penumpang-penumpangnya untuk menawarkan kunjungan wisata ke pulau tropis nan indah bernama Bali. Untuk mendukungnya, maka dibuatlah brosur-brosur pariwisata yang pembuatannya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Kekuasaan ini didapat karena Bali sebagai negara jajahan telah secara keseluruhan dikuasai Belanda mulai tahun 1913. Book Guide tentang Bali diterbitkan oleh VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), badan pariwisata pemerintah Belanda yang didirikan di Batavia, kini Jakarta. Badan ini bertugas untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, terutama Jawa dan Sumatera. Selain sebagai lembaga pengembangan pariwisata pemerintah, badan ini juga berfungsi sekaligus sebagai tour operator dan travel agent. Pada tahun 1914, KPM menerbitkan brosur pertama tentang Bali untuk menarik wisatawan. Dalam brosur yang dihiasi foto-foto keindahan alam Pulau bali tersebut, Bali dipropagandakan sebagai Garden of Eden. (Gde Pitana, 1999: 10)
Selain itu, yang lebih detail diungkapkan juga citra akan watak manusia Bali. Sebuah studi yang cukup berpengaruh membentuk pemahaman dan keyakinan masyarakat Bali tentang wataknya sendiri hingga kini. Gregory Bateson dalam sebuah karangannya mengatakan watak masyarakat Bali sebagai “Keadaan yang Mantap.” “Keadaan Mantap” demikian—kondisi emosional orang Bali—berciri khas perubahan yang seimbang dan “non-progresif”.(Henk Schulte Nordholt, 2002: 185).
Di Bali selatan, Jean Cotteau mencatat dominasi asing dan komodifikasi kesenian berlangsung secara tiba-tiba. Pada waktu puputan, perang sampai titik darah penghabisan, Badung dan Klungkung (1906-1908), kapitalisme sudah menerjang budaya lokal. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu, begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideology konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi. (Picard, 2006; Jean Cotteau, 2002). Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun image Bali. Salah satunya adalah pesanan dari jaringan rezim kolonial atas karya-karya seni Bali yang dianggap eksotik, asli dari dunia timur yang “asing”, “mistis” dan sorga bagi warga dunia di barat. Pandangan orientalis ini menjadi pondasi berubahnya citra terhadap Bali. Landasan sosial religius seni lukis Bali lama tergerus dengan pesanan karya-karya yang mereproduksi eksotika Bali dalam lukisan pewayangan dan citra akan dunia pewayangan dan “mistik” seperti bayangan para pelancong dan rezim kolonial.
Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya, berlangsung menjadi landasan praktek kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengekspolitasi Bali.
Proyek perombakan budaya dan pentradisian Bali itu terkenal dengan nama Baliseering (Balinisasi). Menurut pihak Belanda, orang Bali harus berbusana “Bali”; teknik-teknik konstruksi modern, tak peduli betaapapun praktis atau menariknya bagi para pemakainya, ditetapkan sebagai “buruk” secara estetis, dan karena itu harus dihindari.
Bahasa Bali digalakkan, dan pengawasan ketat terhadap kode-kode statusnya dikuatkan sebagai hukum adat. Dalam konteks “pencerahan” udaya Bali yang disponsori oleh rezim kolonial, pemakaian celana panjang oleh laki-laki atau kebaya oleh perempuan menjadi tindakan yang subversif. Yang diutamakan adalah pencarian “keaslian” dan “ketradisionalan” Bali yang kemudian tunduk dibawah pengawasan, ketertiban, dan keharmonisan yang dijaga oleh rezim kolonial Belanda.
Cikal bakal ideology “pentradisian” Bali ini tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa pemerintah kolonial Belanda dalam menciptakan dan membayangkan Bali. Citra tentang Bali yang harmonis, eksotik, dan apolitis secara luas diterima akhir dekade 1920-an. Ini bertepatan dengan proyek besar promosi Bali dalam industri pariwisata dan sebelum berdirinya Pita Maha.
Saat akhir dekade 1920-an inilah kekuasaan kolonial Belanda berada dalam puncaknya. Restorasi “tradisi” Bali menjadi ciri sentral strategi kolonial Belanda konservatif bagi pemerintahan tidak langsung. (Robinson, 2006: 8). Tanpa sengaja, ideology “konstruksi romantis” yang menimpa Bali, terutama dengan pernyataan yang terkenal “semua orang Bali adalah seniman”, beriringan berjalan dengan terbentuknya Pita Maha dan semakin massifnya industri pariwisata dan kesenian di Bali.
Di awal dekde 1030-an, memorandum birokratis para pejabat kolonial Belanda, mulai menyerukan bahwa rakyat Bali memiliki pembawaan yang lebih berminat kepada seni, budaya, agama—tari, musik, lukis, ukir, upacara, pestival dan seterusnya—ketimbang “politik”.

Asumsi yang umumnya diam-diam diterima di lingkaran kolonial (komunitas artistic dan antopolog asing di Bali) adalah bahwa “budaya” dan “politik” merupakan kategori yang sama ekslusifnya dan bahwa rakyat yang “berbudaya” tidak bisa sekaligus “politis”. Sepanjang “budaya” Bali tetap kuat, demikian kelanjutan dalih ini, pengaruh “politis” akan lemah. Persepsi ini sangat kuat mempengaruhi kebijakan kolonial di Bali sejak sekitar tahun 1920 hingga runtuhnya kekuasaan Belanda 1942. (Robinson, 2006).

Selanjutnya Geoffry Robinson menjelaskan peran dari para sarjana kolonial untuk “membentuk” Bali sangat berpengaruh hingga kini—yang kemudian diyakini, dilembagakan dan diwarisi tanpa kritik oleh orang Bali sendiri dalam melihat kebudayaannya. Tradisi kesarjanaan, intelektual kolonial inilah yang disebut dengan “Baliologi” dengan tokoh sarjana yang sekaligus merangkap sebagai pejabat kolonial yaitu F.A Liefrink dan V.E Korn. Kedua sarjana ini meletakkan fondasi pengetahuan “ilmiah” tentang Bali melalui serangkaian kajian etnografi, filologis, hukum yang dilakukan sejak akhir abad ke-19 hingga dekade 1920-an. Kajian-kajian inilah yang kemudian menjadi “dasar” dalam terbentuknya citra dan inti kebudayaan Bali hingga kini, semisal dasar-dasar Hukum Adat Bali, pemahaman masyarakat bali tentang “keaslian, keotentikan” kebudayaannya. Sarjana dan seniman lainnya yang mengikuti Liefrink dan Korn adalah Margaret Mead, Gregory Bateson, Jane Belo, Walter Spies, Colin McPhee, Katherine Merson, Miguel Covarrubias, dan yang lainnya.
Citra “keseimbangan” dan “harmoni” diciptakan oleh serangkaian relasi kuasa kolonial, yang melibatkan produksi bahasa, tingkah laku, dan citra yang tanpa sadar menjadi cikal bakal terbentuknya Bali hingga kini. Citra eksotika Bali muncul beriringan dengan dengan konstruksi “pentradisian” Bali tersebut, yang kemudian berimbas pada bidang kesenian, terutama munculnya lukisan realis yang mengeksploitasi eksotika Bali di tahun 1950-an.
Bagi pandangan eksotika kolonialis ini, “keseimbangan”, “harmoni”, “tatanan”, dan “kebahagian” terkandung dalam budaya dan organisasi social di Bali. Tanda-tanda ketegangan atau disharmoni—“kegilaan” penari yang kesurupan atau fenomena “kalap”—pada hakikatnya dipahami sebagai mekanisme yang berfungsi integrative dari sebuah masyarakat “tradisoonal” yang “teratur”. Tema-tema tersebut menjadi sokoguru citra eksotik tentang Bali. (Robinson, 2006: 9).
Penciptaan Bali ini dalam ideology Baliseering terutama terjadi dalam kebijakan edukasional. Baliseering berarti pelejaran seni tari, seni patung, seni musik, bahasa dan aksara tradisional Bali. Bagi kaum terpelajar Bali, terang saja kebijakan ini sangat controversial dan ditentang penuh. Kaum terpelajar ini turut mengusahakan agar masalah pendidikan dan kebudayaan menjadi focus utama wacana nasionalis Bali sepanjang revolusi dan menyambut era Soekarno. (Robinson, 2006: 74-76).
Pemberlakuan sebuah negara Belanda dengan kebijakan hegemonik dalam ideology Baliseering ini ini menghasilkan perubahan mendalam di masyarakat Bali. Perubahan tersebut membangkitkan konflik politik dan social jenis baru, bahkan ketika pemberlakuan kebijakan tersebut tampak melestarikan aturan pribumi “tradisional” serta harmoni politik dan social tinggi yang semu. Geoffry Robinson mengungkapkan bahwa motivasi politik konservatiflah yang mendorong langkah untuk memulihkan “tradisi” di Bali, walaupun langkah itu membuahkan perubahan signifikan dalam hubungan social dan politik di Bali. (Robinson, 2006: 78)
Politik kebudayaan Baliseering terutama diterapkan dalam bidang pendidikan, termasuk di dalamnya adalah bidang kesenian. Politik Baliseering dengan focus ekslusifnya dalam bidang budaya, bahasa, dan sejarah Bali bertujuan jelas untuk memberikan ciri identitas Bali. Penekanan pada restorasi budaya dan identitas Bali adalah konsisten dengan strategi politik yang lebih besar untuk mendorong otonomi politik berbagai komunitas religius dan cultural yang berbeda-beda di Hindia sebagai tandingan Republik di Jawa.
Proyek “pentradisian” Bali ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kekuasaan kolonial Belanda yang berbeda dalam cara penaklukan terhdap Bali. Bali Utara (Buleleng) tidak langsung mendapatkan serangan dari berbagai macam segi dari pihak kolonial Belanda. Sangat berbeda dengan Bali Selatan (Klungkung, Badung) yang secara langsung melakukan perlawanan keras terhadap penjajahan kolonial Belanda. Karena itu pulalah sejarah awalnya evolusi seni rupa dimulai di Buleleng (Bali Utara). Pada awal abad ke-19 di Buleleng sudah dibuat gambar dari kertas yang hanya berisi satu adegan saja dan bukan narasi yang lengkap yang menampilkan serentet aneka adegan naratif. Jean Cotteau mengungkapkan pada akhir abad ke-19 di Singaraja, seorang ahli lingusitik Belanda, Van Der Tuuk, memesan beberapa gambar pada beberapa informannya, dan gambar tersebut sudah memperlihatkan awal dari strukturasi ruang, menggantikan penempatan unsur ikonik secara sejajar, baik horizontal maupun vertical. Pada awal abad ke-20 pematung-pematung Buleleng sudah menempatkan unsure tematik baru—misalnya orang bersepeda—dalam ukiran relief puranya. Hal-hal ini sudah memperlihatkan meresapnya unsur-unsur baru pada tatanan seni rupa Bali. (Cotteau, 2002: 107)
Berbeda dengan Bali Selatan (Denpasar, Klungkung, Gianyar) yang berhadapan langsung dengan penjajahan kolonial. Setelah selesai Puputan Badung (1906-1908) kapitalisme sudah siap menerjang budaya local. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan-tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pen gkonsumsian budaya itu disertai upaya idelogi konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi, dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi.
Pengaruh besar pem-Bali-an dalam tradisi Bali, dengan mengkonsumsi dan mengkomodifikasi keseniannya terlihat jelas dari mulai terbukanya pasaran dunia seni rupa. Pra tahun 1920-1930-an, seiring dengan masuknya pariwisata dan kebijakan Baliserring dari pemerintah kolonial Belanda pasaran seni rupa tidak lagi membutuhkan simbol-simbol agama. Oleh sebab itulah tema-tema langsung berubah. Berdirinya kantor pariwisata di Kota Singaraja, Buleleng Bali Utara menambah produksi benda-benda kerajinan seni seperti ukir-ukiran. (Cotteau, 2002: 107). Ini menunjukkan sebelum pengaruh langsung dari seniman Barat pada zaman Pita Maha, pra kondisi dari produksi dan pasaran seni begitu derasnya terjadi. Sekali lagi masuknya pariwisata, ditambahkan dengan kebijakan politik kebudayaan kolonial (Balinisasi) sangat memungkinkan jejak awal industri dan persentuhan seni dan industri terjadi di Bali.
Elemen penting dalam bidang kesenian yang disasar oleh politik kebudayaan Baliseering pemerintah kolonial Belanda adalah menanamkan pengaruh langsung dalam bidang pendidikan. Jean Cotteau menuliskan pengaruh pendidikan kolonial Belanda khususnya pada pelukis akademis realis membawa loncatan kualitatif. Berbeda dengan orang Bali tradisional yang menganggap “aji” (pengetahuan) sebagai bagian dari agama dan menyalurkannya melalui buku-buku langka yang dinilai sacral/magis. Pendidikan Bali tradisonal—sebagai akibat penanaman ideology Baliseering—menawarkan akses gaib pada kosmos, sedangkan pendidikan Belanda menawarkan akses operasional pada dunia nyata. Dengan kata lain, penyajian pengetahuan modern mengubah pandangan dunia dan langsung mempengaruhi mentalitas para seniman.(Cotteau, 2002: 121).
Proses perubahan dari pendidikan tradisional ke pendidikan modern muncul relatif lebih belakangan di Bali daripada di Jawa. Sekolah-sekolah pertama didirikan di Singaraja pada akhir abad ke-19. Di Bali selatan jaringan sekolah dasar baru mulai melebar ke pelosok-pelosok pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Lebih lanjut Jean Cotteau mengungkapkan sekolah jelas bukan satu-satunya sumber dari realisme modern.

Pada waktu yang sama seluruh tatanan politik, ekonomi, dan cultural dirombak berdasarkan prinsip rasional dan organisasional serupa. Terbentuklah lapisan sosiologis modern, dan bahkan “modernis”, yang menghendaki penerapan rasio dalam segala bidang kehidupan, termasuk seni rupa. (Cotteau, 2002: 121).

Selain perubahan structural tersebut terdapat juga pengaruh perorangan. Orang Eropa di Bali, baik anggota administrasi kolonial maupun wisatawan ikut memboyong dunia visual yang baru melalui buku, majalah, surat kabar, foto, dan lainnya. Demikian juga orang Jawa yang didatangkan dalam jumlah cukup besar ke Bali untuk tugas administrasi dan pekerjaan umum Belanda.. Mereka tidak hanya lebih dulu mengenal pendidikan modern, tetapi juga telah membangun sejak abad ke-19, suatu realisme popular naïf yang mencerminkan pemoderan awal di dunia seni mereka.


Pariwisata dan Reproduksi Pentradisian: Bujuk Rayu Pariwisata Budaya
Bagian ini akan membongkar bagaimana munculnya sebuah rezim kekuasaan baru, dengan pemikiran yang sangat terkenal dengan “Pariwisata Budaya” di Bali menjadi kelanjutan dari proyek Balinisasi yang diterapkan rezim colonial. Dalam rezim tersebut terkandung gerakan untuk “melestarikan” dan “menggalakkan” adat, tradisi dan kebudayaan sebagai modal untuk mengembangkan serta meningkatkan laju pertumbuhan pembangunan dan pariwisata.
Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.(Gde Pitana, 1999: 19-20)
Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan Bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali.
Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa di setiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat program-program pemerintah, ataupun lewat agency manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga. Karena itulah ehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik. (Degung Santikarma, tanpa tahun)
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.
Di balik semua itu, cita-cita utopis politik kebudayaan Bali ketika itu memang diarahkan untuk menggerakkan bidang yang potensial bernama kebudayan untuk mendukung pariwisata. Seperti diungkapkan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, peletak dasar ideology pariwisata budaya, yang menyatakan modal dasar kebudayaan Bali berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normative peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan. Secara operasional, kebudayaan juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberikan petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan bagi pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Dan kebudayaan di sini bukan hanya berfungsi untuk dinikmati, tetapi juga sebagai media untuk membawa saling pengertian dan hormat-menghormati. (Ida Bagus Mantra, 1996: 35)
Perspektif utopis dan “harmonisasi” dalam melihat relasi pariwisata, budaya, pembangunan, dan kekuasaan itulah yang melandasi politik kebudayaan Bali 30 tahun lebih lamanya. Tidak terhindarkan memang, yang terjadi kemudian adalah menyebarnya operasi kekuasaan dari jejaring budaya, pembangunan, dan negara (baca: kekuasaan) tersebut dengan alamiah, seolah tanpa sadar, dan terkelabui oleh cita-cita luhur untuk membangun pariwisata budaya di Bali yang berkelanjutan. Operasi kekuasaan yang produktif itulah yang menghasilkan pembudayaan wacana “Pariwisata Budaya” menjadi kitab dalam politik kebudayaan Bali pasca 1965. Depolitisasi berlangsung hampir menyentuh seluruh kehidupan masyarakat. Maka yang terlahir kemudian adalah generasi apolitis, pragmatis, bermental kerja dan penurut.
Awal dari institusionalisasi kekuasaan melalui pariwisata budaya itu adalah ditetapkannya Peraturan Daerah, Perda 3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda 3/1991 tentang “Pariwisata Budaya”. Legitimasi ini sebenarnya hanya stempel saja. Sebelumnya penyebaran “ideologi” pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang-ruang privat kehidupan masyarakat.
Bagaimana misalnya sibuknya perempuan Bali yang mempercantik dirinya untuk tampak manis di hadapan Tim Penilai Lomba Desa Adat. Gengsi dan glamour ritual itu seolah menunjukkan bagaimana telah terlaksananya pemberdayaan adat untuk mendukung pariwisata Bali. Padahal di balik semua itu terdapat landasan yang rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali.
Begitulah pentas politik kebudayaan Bali diciptakan oleh rezim kekuasaan. Depolitisasi, harmonisasi, dan penyeragaman dilakukan untuk membentuk “manusia Indonesia seutuhnya“ dan manusia Bali berguna dan berdaya untuk pariwisata. Harmonisasi dan keamanan adalah persyaratan mutlak bagi daerah destinasi pariwisata seperti Bali. Karena Bali harus aman, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan. Dari itulah lahirnya manusia-manusia Orde Baru yang etno-nasionalis, konservative, fundamentalis, dan yang terpenting apolitis. Hal ini diwujudkan dengan semakin menguatnya politik etnis seiring berjalannya pariwisata. Wacana kapitalistik dan industrial seperti pariwisata melahirkan wacana hak milik kebudayaan bagi masyarakat Bali.
Politik identitas “pariwisata budaya Bali”, yang diikuti dengan penguatan identitas etnis, menyertai perkembangan pariwisata. Pariwisata, kebudayaan, dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Karena hanya itulah yang menjadi senjata sakti dan “jualan” dari “pariwisata budaya” di Bali. Ini diwujudkan dengan klaim dan citra, “budaya Balilah yang eksotik dan asli”
Politik puja-puji terhadap Bali juga mewarnai bagaimana strategi Orde Baru untuk menaklukkan seni dan kebudayaan di Bali. Politik pujian ini dimulai dari rezim kolonial dalam membentuk citra dan budaya Bali. Istilah setiap orang Bali adalah seniman”, “manusia Bali mencintai kedamaian”, dan “Bali adalah pusat kreatifitas Indonesia” dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai investasi untuk menyedot datangnya dollar dalam bentuk “pariwisata budaya”. Gambaran etnografi yang dibuat oleh orang luar ini pun terus dihembus-hembuskan dan dijadikan suatu sertifkat bukti diri dan kebanggaan ke-Bali-an mereka. Degung Santikarma menuliskan:
Bagi beberapa orang yang diuntungkan oleh kucuran dollar industri pariwisata, gambar ini bukan lagi sebuah bikinan tetapi sebuah gambaran keramat yang tidak boleh diutak-atik. Gambaran ini bahkan perlu dijaga oleh barisan pecalangan (satpam desa adat). Gambaran ini tidak boleh dikritik karena telah dia telah terbukti sebagai modal yang telah mendatngkan banyak devisa. Sekalipun begitu panjang perjalanan sejarah seni di Bali, cikal bakal sejarahnya dicoba untuk dihapus dari gambaran tersebut untuk menunjukkan seni bali sebagai ekspresi otentisitas etnis mereka.(Degung Santikarma, 2003).
Bagian sebelumnya menguraikan bagaimana relasi kuasa rezim kolonial dalam menjadikan Bali “museum hidup” kebudayaan, dan yang lebih mendasar adalah “menciptakan” dan “menyelamatkan” kebudayaan Bali. Politik kebudayaan Baliserring, Balinisasi, “pentradisian” kebudayaan adalah salah satu kebijakan rezim kolonial yang diikuti dalam berbagai bidang kehidupan yang paling intim bagi orang Bali. Hukum adat, budaya, pendidikan, seni, ritual, bahasa, pendidikan, hingga cara berpikir tidak bisa dilepaskan dari jejaring kuasa kolonial ini. Dari imaji konstruksi kebudayaan Bali itulah kemudian kita warisi hingga kini menjadi “budaya Bali” yang adiluhung, yang kita terima sebagai warisan yang harus dijaga, dipelihara, atau dalam bahasa rezim Orde Baru “pemberdayaan” kebudayaan.
Warisan kebudayaan kolonial diterima dengan tanpa kritik, taken for granted, seolah sebagai warisan leluhur yang benar-benar murni, bebas dari kuasa kolonial. Yang kemudian oleh masyarakat Bali dibela mati-matian dibalik wacana “pelestarian dan membangkitkan” nilai-nilai budaya yang tertinggal. Ideologi “pentradisian” Bali sebagai warisan dari rezim kolonial inilah yang kemudian dibekukan, dikembangkan menjadi ideology “pariwisata budaya” yang merasuk pada keseharian dan keakraban orang Bali 30 tahun lebih. Saat itu bagaimanapun usahanya, agar “kebudayan” bisa bernilai jual, “diberdayakan” sebagai senjata utama industri pariwisata yang menghidupi Bali. Dunia kesenian menjadi salah satu sendi utama beroperasinya relasi antara budaya, kuasa dan pariwisata ini.
Bagian ini ingin menguraikan bagaimana wacana tersebut—“pentradisian” Bali dengan menguatkan nilai-nilai kebudayaan—secara samar-samar mulai mengkristal menjadi gerakan kebudayaan pasca 1998 dan semakin berkembang hebat pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Sebelumnya, di tahun-tahun jayanya pariwisata, gerakan kebudayaan untuk “kembali ke tradisi” dan gerakan penguatan kebudayaan juga mulai terjadi. Tidak sehebat di tahun 2000-an, gerakan kebudayaan di masa tersebut masih terbendung oleh otoritas negara rezim Orde Baru yang begitu kuat. Kebudayaan harus tunduk kepada otoritas negara untuk mendefiniskannya.

Ajeg Bali dan Operasi Pembekuan Identitas Kebudayaan
Pada bagian ini akan berusaha untuk menelisik kembali usaha reproduksi nilai-nilai serta cara berpikir rezim colonial tentang pentradisian dan pelestarian budaya melalui versi lainnya yaitu gerakan kebudayaan Ajeg Bali.
Tentu banyak varian yang berbeda, dan relasi kontekstual yang baru dari gerakan kebudayaan ini, tapi coba kita melihat semangat dan relasi kuasa politiknya dalam melihat kebudayaan Bali. Terminologi Ajeg Bali, seperti yang diungkapkan Degung Santikarma berasal dari bahasa Bali biasa yang mempunyai arti “kokoh, tegak, tegar, kekal, kencang, kuat, dan stabil”.

Merunut pemikiran yang ada dalam wacana Ajeg Bali, walaupun Bali mengalami guncangan ledakan bom yang dahsyat, kebudayaan Bali tetap berwibawa , tak tergoyahkan, berdiri tegak, kokoh dan tegar. (Degung Santikarma, 2003).


Dengan bahasa Ajeg Bali yang berasal dari bahasa local yang biasa, Degung melihat tersimpan maksud untuk mempromosikan diri sebagai wacana populis untuk membayang-bayangi otoritas elite tradisional, yaitu kaum Brahmana, aristokrasi, dan kekuasaan negara yang memakai bahasa Sansekerta sebagai tanda legitimasi atas peradaban seperti dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Panca Dharma Wanita, dan Sapta Pesona.
Namun di balik bahasa akrab Ajeg Bali tersembunyi ketidaksetaraan gender dan keperkasaan. Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Melalui program “Bali Lestari”, pemerintah Orde Baru meneruskan cita-cita sang penjajah yang sama-sama melihat kebudayaan Bali sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” yang harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya.(Degung Santikarma, 2003). Tapi pasca lengsernya rezim Orde Baru, wacana politik kebudayaan Ajeg Bali bergeser dari arah wanita cantik ke lelaki berotot dan bertubuh kekar dengan semboyan Nindihin Bali, yang siap menjaga Bali dari ancaman pihak-pihak luar yang ingin merusak dan merongrong kebudayaan Bali yang adiluhung.
Munculnya slogan Ajeg Bali mulai riak-riak terdengar setelah Bom Bali Oktober 2002 berdentum di Legian, Kuta. Dari mulai pencalonan Gubernur, penguatan kebudayaan manusia Bali untuk melawan globalisasi, agenda setting Bali kedepan, penguatan basis ekonomi manusia Bali, wacana Ajeg Bali terasa simpang siur pasca Bom Bali Oktober 2002. Hingga tanggal 16 Agustus 2003, setelah harian Bali Post menerbitkan edisi khusus ulang tahun yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita” (2004).
Ternyata Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran. Pada tataran individu, Ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri cultural (cultural confidence), sifatnya kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisik semata. Pada tataran lingkungan cultural, Ajeg Bali dimaknai sebagai terciptanya sebuah ruang hidup budaya Bali yang besifat inklusif, multicultural dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Pada tataran proses cultural, diartikan sebagai interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai cultural dan kearifan local serta memiliki kesadaran ruang (spatial) serta waktu yang mendalam. (Nyoman Wijaya, 2004: 154-179).
Nyoman Wijaya menunjukkan, juru bicara Ajeg Bali berkeyakinan persoalan yang dihadapi Bali dapat diatasi melalui beberapa langkah: pembaharuan otonomi khusus di daerah tingkat I (propinsi) guna mencegah terjadinya fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar daerah tingkat II; pembaharuan atas berbagai kontrak social dan cultural untuk mencapai jalan tengah baru yang mampu meminimalisasi berbagai otoritas atas ruang budayanya, seperti banjar atau desa adat; dan melakukan perkuatan atas berbagai institusi yang selama ini yang menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar, desa adat, dan pura, baik dengan memberinya peran yang baru maupun dengan memperluas peran yang sudah ada. Selanjutnya adalah dengan melakukan pencanggihan dan pencerdasan atas institusi-institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar dan kliannya (ketua adatnya), serta berbagai warisan budaya manusia Bali, sehingga mampu menghadapi godaan banak atau keganasan modernitas; pembuatan produk-produk legislagi budaya yang bertujuan menjaga eksistensi ruang budaya, ruang religius maupun modal budaya manusia Bali.
Secara tidak langsung, gerakan Ajeg Bali ini, menurut juru bicaranya, terdapat sebuah ancaman yang harus “diwaspadai” untuk menjaga ketahanan budaya Bali. Dengan melihat berbagai lontaran wacana Ajeg Bali, Nyoman Wijaya (2004) mengungkapkan nada bicara dan semangat juru bicara Ajeg Bali menunjukkan tidak jauh berbeda dengan konsep lestari yang di zaman Orde Baru menjadi dictum, pernyataan resmi pemerintah atau bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan. Dari sini lahir berpuluh-puluh proyek pelestarian budaya Bali dan banyak yang mendapat cipratan rejeki darinya.
Tidak lama setelah wacana Ajeg Bali menghangat, diluncurkanlah stasiun televisi swasta Bali TV milik dari jaringan korporasi bisnis media terbesar di Bali yaitu Bali Post. Setelah menyiarkan rangkaian peristiwa Bom Bali di diskotik Sari Club dengan mayat-mayat yang bergelipangan, Bali TV kemudian menyuarakan pentingnya kebersamaan pada semua orang Bali untuk menjaga Bali. Melalui media Bali Post, mengerucutlah sebuah wacana, atau lebih tepatnya sebuah tekad untuk melindungi Bali dari “teroris”, dari para pendatang yang merusak Bali dengan meledakkan bom.
Maka tersemailah bibit-bibit sentimen etnis, kewaspadaan, dalam pendataan penduduk pendatang yang masuk ke Bali. Di tengah kepanikan untuk menjaga Bali itulah muncul angin segar untuk merangkul masyarakat Bali bernama ajakan untuk Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut.
Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.
Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang Ajeg Bali.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).
Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu.
Sebuah majalah Media Hindu dalam edisi “Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali” (2005), dalam satu artikelnya dari Ngakan Made Madrasuta berjudul “Ajeg Bali, Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali” (21 November 2005) secara gamblang mengungkapkan bahwa sumber utama dari budaya Bali adalah agama Hindu. Bila Hindu tidaka ada, budaya Bali seperti sekarang ini tidak akan pernah ada. Maka untuk mewujudkan “Ajeg Bali” terlebih dahulu yang harus diwujudkan adalah “Ajeg Hindu” di Bali.
Mengkristalnya gerakan kebudayaan Ajeg Bali terlihat dari berbagai pernyataan yang menghubungkan antara Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. Majalah Hindu Raditya memulainya dengan tajuk “Ajeg Bali atau Ajeg Hindu”. Putu Setia sebagai pendiri majalah tersebut menulis apapun dikaitkan dengan Ajeg Bali. Ia mencontohkan di daerah Pupuan dibangun masjid baru, di pinggir jalan, besar, dan dalam pengerjaan. Putu Setia (2004) menulis dengan mengutip perkataan kawannya mengungkapkan masjid ini nantinya akan jadi contoh bagaimana tempat suci itu bersih, punya halaman luas. Pokoknya sesuai dengan konsep Ajeg Bali, karena kita hidup di Bali tentu kita sangat mendukung konsep Ajeg Bali”
Putu Setia melanjutkan mereka bicara tentang Ajeg Bali, kata yang begitu popular. Apapun dikaitkan dengan Ajeg Bali. Barangkali umat Kristiani di Dalung, Tuka, Palasari dan tempat-tempat lain juga punya pandangan serupa bahwa mereka sebagai penduduk sah di Pulau Bali akan ikut menjaga dan menegakkan Ajeg Bali. Siapa yang membantah bahwa mereka bukan orang Bali? Karena mereka orang Bali maka adat dan budaya yang mereka pakai adalah adat dan budaya Bali.
Sikap hidup yang sesuai dengan Tri Hitan Karana dijalankan umat lain melebihi apa yang dilakukan oleh umat Hindu. Bahkan hubungan antar sesama manusia, melebihi perilaku orang Bali yang selalu bicara Tri Hita Karana. Umat Kristiani gencar membangun Panti Asuhan, umat Muslim gencar membantu temannya yang berdagang baik di kaki lima maupun di pertokoan (ditambah bantuan perbankan yang modern), umat Budha juga solidaritasnya tinggi. Sementara umat Hindu, justru anak-anak mereka masuk ke panti Asuhan umat lainnya.

Ajeg Bali itukah yang akan dilanggengkan di Bali? Ajeg Bali di mana setiap tahun jumlah umat Hindu berkurang dalam komposisi penduduk Bali. Prosentasi pemeluk Hindu terus menurun setiap tahun di bali, baik karena populasi yang rendah maupun karena ada yang pindah agama. Bagi saya, ini menyedihkan. Karena itu saya lebih setuju berbicara tentang Ajeg Hindu di Bali, bukan Ajeg Bali. Dengan Ajeg Hindu, maka pertama-tama yang dibuat Ajeg adalah kehidupan orang Bali. Cegah orang Bali pindah agama dengan memberikan pendidikan agama Hindu sejak dini kepada anak-anak. Cegah orang Bali menjual tanahnya dengan menanamkan konsep bhakti kepada leluhur sehingga warisan harus dipertahankan. Bwndung misi agama lain dengan segala cara, jika perlu termasuk membatasi pendirian tempat ibadah umat non-Hindu di kantong-kantong umat Hindu sesuai dengan aturan yang ada. Sucikan pura dari segala bentuk perjudian, dan sucikan pura dengan menjaga kebersihannya. Ajarkan Manusa Yadnya dengan konsep menolong sesama, bukan cuma dengan membuat banten (sesajen). (Putu Setia, 2004)

Harapan Putu Setia tentu jauh dari ideal. Yang terjadi sekarang justru wacana Ajeg Bali telah jauh bergerak tanpa kendali, bahkan mengarah pada pengentalan dan sentimen budaya yang tanpa disadari. Karena begitu lenturnya, sungguh sulit untuk mengharapkan suatu yang ideal dari wacana ini. Yang terjadi dan dapat kita lihat kemudian adalah bagaimana operasi dari wacana Ajeg Bali ini menyentuh dalam alam bawah sadar “penguatan” kebudayaan seperti juga yang dicita-citakan Putu Setia. Gerakan esensialisme kebudayaan ini berawal dari konstruksi “pentradisian” budaya Bali dari kebijakan politik kebudayaan kolonial. Eksotisme Bali dengan penduduk yang sopan santun dan rasa toleransi yang tinggi mulai dipertanyakan. Pasca otonomi daerah dan bom meledak dua kali di Bali, bayangan eksotisme sopan santun dan toleransinya manusia Bali ternyata terbukti menjadi discourse yang dipergunakan rezim pembangunan Orde Baru melalui program “Pariwisata Budaya” untuk mendatangkan dollar dari industri pariwisata. Kebudayaan dipelihara untuk pariwisata, dan masyarakat Hindu Bali hanya menjadi manusia-manusia eksotik yang dimuseumkan.
Sebagai akhir, ada baiknya saya kutipkan sebuah narasi yang ironis yang dituliskan dengan sangat mengesankan oleh IBM Dharma Palguna.

Silahkan datang dan jalan-jalan ke desa kami. Kalu bisa lebih baik datanglah sebagai turis. Karena kami lebih menghargai turis daripada pendatang musiman. Akan kami tunjukkan apa sejatinya harmoni itu. Kami sama-sama mahir bicara keharmonisan. Kemampuan berbicara keharmonisan di sini menjadi pertanda intelektualitas dan keperdulian social seseorang.
….
Banyaknya ancaman dan banyaknya ritual adalah dua kenyataan yang belum jelas kami ketahui silsilahnya. Hubungan keduanya baik-baik saja. Buktinya, sampai sekarang keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Di sana ada ritual penuh harmoni, di sini ada keberingasan penuh ironi. Atau sebaliknya. Begitu silih berganti. Atau bersamaan. (Dharma Palguna, 2006).


Sungguh ironis…








Daftar Pustaka


Adam, Asvi Warman
2004 Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Ombak.

Anwar, Dewi Fortuna, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor)
2005 Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Barker, Joshua
tanpa tahun “Vigilantes and The State”, makalah tidak dipublikasikan.

Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah
2004 Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.

Bali Post
2004 Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.

2001 K. Nadha Sang Perintis, Denpasar, Penerbit Bali Post.

Budianta, Melani
1994 Yang Memandang dan Yang Dipandang, Potret Orang Kecil dan Wacana (Post) Kolonial” dalam Kalam edisi 2-1994.

Cribb, Robert (editor)
2003 The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali
1965- 1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Colombijn, Freek
2005 Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia, Pelajaran dari Sejarah, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor), 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Collins, Elizabeth Fuller
2002 Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan, diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko, pernah dimuat dalam Asian Survey Vol. XIII No. 4 Juli/Agustus 2002, hlm. 582-604.

Cotteau, Jean
2003 Wacana Seni Rupa Bali Modern dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti.

Dwipayana, AAGN
2005 Bali: Surga Bertepi Kekerasan, Pengantar buku I Ngurah Suryawan, 2005, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Yogyakarta, Kepel Press.

Eklof, Stefan
2003 Pembunuhan-pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (ed), Order Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, LKiS.

Fanon, Frantz
2000 Bumi Berantakan, Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang mengubah Wajah Dunia, Jakarta, Teplok Press.

Geertz, Clifford
2000 Negara Teater, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Gie, Soe Hok
1995 Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Hardiyanta, Petrus Sunu
1997 Michel Foucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Indivisu Modern, Yogyakarta, LKiS.

Huskeen, Huub de Jonge (eds)
2003 Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, Penerbit LKiS.

Haryatmoko
2002 Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Nordholt, Henk Schulte
2002 Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus
1996 Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Dharma Sastra.

Masaaki, Okamoto dan Abdur Rozaki (Editor)
2006 Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

Moeljanto, DS dan Taufiq Ismail (ed)
1999 Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk), Jakarta, Penerbit Mizan dan HU Republika.

Palguna, IBM Dharma (ed)
2006 Bom Teroris dan “Bom Sosial”, Narasi dari Balik Harmoni Bali, Perspektif Korban dan Relawan, Denpasar, Yayasan Kanaivasu.



Pitana, I Gde
1999 Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, Denpasar, Bali Post.

Picard, Mchel
2006 Bali, Pariwisata Budaya dan Budya Pariwisata, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

Robinson, Geoffery
1995 The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

2006 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.

Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor)
2003 Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia

Said, Edward
2001 Orientalisme, Bandung, penerbit Pustaka.

Sarup, Medan
2003 Post-Structuralism and Postmodernism, Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta, Jalasutra.

Santikarma, Degung
2002 “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”, Kompas Minggu 6 November 2002.

tt “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”, makalah terbatas.

2000 “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas 1 September 2000.

2003 “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”,Kompas 7 Desember 2003.

2001 ”Seni Melawan Seni”, dalam Kompas 11 Maret 2001.

2004 “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas, 7 Juli 2004

1994 “Bali Sebuah Dekonstruksi”, Nusa Tenggara, 22 Oktober 1994.

2006 “Bulan Ingatan dan Pelupaan di Bali”, Kompas, 1 Oktober 2006.

Setia, Putu
2004 Ajeg Bali atau Ajeg Hindu, dalam Majalah Raditya No. 89 Desember 2004.
Smith, Linda Tuhiwai
2005 Dekolonisasi Metodologi, Yogyakarta, Insist Press.

Sulistyo, Hermawan
2000 Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Jakarta, Gramedia.

Supartono, Alexander
2000 Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Skripsi di STF Driyarkara.

Suryawan, I Ngurah
2002 “Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali”, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.

2005 “Pecalang Politik dan Para Milisi”, dalam Kompas 17 April 2005.

2004 “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004

2005 BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

2005 Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.

2005 Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan, Yogyakarta, Kepel Press.

2005 “Mass Grave Fieldwork”, Kompas 2 Juli 2005.

2005 “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.

2006 Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

2007 Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965, Yogyakarta, Galang Press.

2007 Kesaksian Air Mata (Kisah-kisah Memecah Senyap), Denpasar, Pustaka Larasan

2007 “Tangan Politik Media dan Pembentukan Industri Kebudayan” dalam Jurnal Kajian Budaya Volume 4 Nomor 8 Juli 2007.


Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed)
2004 Hermeneutika Pasca Kolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

Vikers, Adrian
1989 Bali: A Paradise Cretated, Victoria Penguin.

Widyarsono, A
2000 Hubungan Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, dalam Jurnal Driyarkara Tahun XXIII No. 4.

Wijaya, Nyoman
2004 Melawan Ajeg Bali: Antara Eksklusifitas dan Komersialisasi, dalam Jurnal Ilmu Sejarah, Tantular, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali Edisi No. 2 Tahun 2004.


Koran, Jurnal, dan Majalah
Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002
Basis, No. 09, 10 September-Oktober 2002.
Bali Post, 28 September 2003.
Bali Post, 20 Januari 2003, Soal Oknum Tramtib Ditangkap Pecalang, banjar Tak Mau Damai Sebelum Astawa Minta Maaf.
Bali Post, 11 Oktober 2002, Surat Kesepakatan Bersama Ditandatangani, Kini Desa Pakraman bisa Mendata Pendatang.
Bali Post, 9 Oktober 2002, Ormas, Forum Peduli dan LSM “Dadakan” Itu, Forum-forum Pemuda, Janganlah Arogan!, Forum-forum yang Melakukan Aksi Massa 2000-Juni 2002, Antara Naluri dan Habisnya Kesabaran.
Kompas, Tanpa Kehadiran “Pecalang”, Bali Sudah Rusuh, 28 November 2000.
Driyarkara Jurnal No. XXIII No. 4
Media Hindu, Majalah, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya dan Tanah Bali, Edisi 21 November 2005.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Pecalang Pulanglah, No. 31 Oktober 2002.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Sudahi Kelahi Sesami Bali, No. 44 Desember 2003.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Titah Latah Ajeg Bali, No. 43 November 2003.
WACANA, Kekerasan dalam Masyarakat Transisi edisi IX/2002.
SEJARAH 9, Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Majalah Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, edisi 21 November 2005.

Tidak ada komentar: