Who am I

Who am I

Jumat, 21 Maret 2008

Merawat Keberagaman dari Bumi Makepung Jembrana

Indonesia Kecil Bumi Makepung
Dari Bali Merawat Keberagaman


ABSTRAK

Jembrana sebagai sebuah kabupaten di barat Pulau Bali, berbatasan langsung dengan Pulau Jawa lewat Pelabuhan Gilimanuk, menjadi wilayah “Indonesia Kecil” di Bali. Wilayah geografis dan jejak sejarah menunjukkan Jembrana sebagai daerah multietnis. Ini bisa dilihat dari tersebarnya kantong-kantong kebudayaan, agama dan “bangsa-bangsa” yang beragam. Keberadaan berbagai agama dan “bangsa-bangsa” ini justru terkait erat dengan agama Hindu Bali. Ini dibuktikan dari perpaduan kebudayaan Bali pada agama-agama mereka. Maka dikenallah sebutan Nyama Selam (saudara Islam) atau Nyama Kristen (saudara Kristen).
Setiap komunitas yang beragam ini tentu mempunyai cerita sejarah tentang kehadiran mereka di Jembrana, dan kemudian berbaur dengan masyarakat Hindu. Setelah hidup bertahun-tahun lamanya, realitas keberagaman mereka bukan menjadi pembatas untuk saling berbaur dalam hal adat dan budaya. Bukti-bukti menunjukkan terjadi penyerapan tradisi dan budaya Hindu Bali pada komunitas mereka (Kristen dan Muslim).
Studi ini berkeinginan untuk mengelaborasi inisiatif-inisiatif local untuk merawat keberagaman tersebut. Karena itulah penting untuk melacak jejak genealogi sejarah masing-masing agama dan "bangsa" tersebut hadir di Jembrana. Kemudian bagaimana realitas-realitas local menunjukkan perbauran dengan kebudayaan Hindu Bali? Bagaimana inisiatif-inisiatif budaya local untuk merawat keberagaman tersebut?
Dengan demikian, studi ini ingin memberikan cermin sekaligus potret bagaimana “Menjadi Indonesia” bisa dipahami lewat “hal-hal kecil”, keseharian, yang menunjukkan persaudaraan, toleransi, dan penghormatan antar sesama dalam sebuah wilayah tertentu. Studi ini mengungkapkan bagaimana konstruksi identitas yang plural, majemuk, lahir dari proses persaudaraan dan pembauran untuk saling mempengaruhi, menghormati bukan penindasan dan penghilangan secara dominatif.



Indonesia Kecil Bumi Makepung
Dari Bali Merawat Keberagaman

Latar Belakang
Cita-cita masyarakat madani yang menghargai keberagaman memang tidak utopis. Dari sejarah panjang kekerasan dan integrasi nasional pantas membuat kita pesimis. Arogansi masing-masing daerah yang meluap akibat kekuasaan otonomi daerah, mengguncang keberagaman dalam satu ikatan bangsa Indonesia. Represi sentralitas kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru membuat ekspresi-ekspresi budaya, kekayaan alam local diperas oleh “kolonisasi Jakarta”.
Ben Anderson dalam Imagined Communities (1991, 2001) mengungkapkan,

”...Bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain merenggut nyawa sendiripun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.[1]

Karena itulah, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan bahwa Indonesia bukan bangsa. Indonesia itu nation, terdiri dari bangsa-bangsa. Jawa itu bangsa, Batak bangsa, Aceh bangsa. Ini disusutkan jadi suku bangsa. Ini artinya tidak menghargai sistem nilai masing-masing. Bangsa Indonesia itu tidak ada, yang ada nation Indonesia. Itu saja tidak pernah dikoreksi sampai sekarang. Padahal akibatnya (terjadi) pelecehan terhadap sistem nilai setempat.
Pram mengangap Soekarno adalah tokoh penting dibalik pembentukan Indonesia sebagai suatu bangsa. “Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah.” Tapi bagi Pram ada satu ironi yang dialami Indonesia kini, yakni terkait dengan dominasi jawasentris. “…Indonesia, yang secara politis dan administratif dipersatukan oleh Soekarno tanpa pertumpahan darah--sebuah fenomena khusus dalam sejarah umat manusia--harus dipertahankan persatuan dan kesatuannya dengan tradisi kolonial, yaitu dua macam export dari Jawa: pembunuh bayaran berbedil dan orang Jawa berpacul.[2]
Nilai-nilai setempat (local) yang dimaksud Pram, dalam konteks bangsa, bukan suku bangsa inilah yang kini perlu diungkap. Bagaimana realitas-realitas local mencipta dan merawat keberagaman. Inisiatif-inisiatif budaya local untuk menerima keberagaman, dan sejarah panjang membuktikan bagaimana mereka menemuka budaya tersendiri untuk menjaga dinamika hubungan keberagaman diwilayah mereka.
Banyak inisiatif budaya-budaya local yang menunjukkan hal tersebut. Bukan bermaksud untuk mensterilkan budaya dari relasi kuasa politik, tapi inisiatif budaya local untuk merawat keberagaman juga sebuah agenda politik kebudayaan. Studi Clifford Geetz (1980, 2000) menunjukkan bagaimana politik kebudayaan Bali diciptakan melalui serangkaian simbolik-simbolik kebudayaan dalam ritual dan adat yang menunjukan hirarki kekuasaan pada tuan dan hambanya. Geoffry Robinson (1995, 2005) kemudian melakukan studi genealogi kekerasan politik yang mengesankan tentang Bali. Ia menunjukkan bagaimana konstruksi pembentukan Bali dari zaman colonial hingga Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kolonisasi citra, keteraturan, kekerasan, dan reproduksi “harmonisasi” Bali terjadi silih berganti dalam pentas kekuasaan.[3]
Karena itulah, studi ini berkeinginan untuk mengelaborasi inisiatif local untuk merawat keberagaman tersebut. Keberagaman, multikulturalisme, di Indonesia bergerak dari pengawasan dan pendisiplinan keberagaman yang dikendalikan oleh politik sentralitas kekuasaan (Orde Baru) menuju persoalan mayoritas dan minoritas yang sangat rentan di negeri ini.
Ahmad Fedyani Saifudin (2006) mengutip Bikhu Parekh (2001), mengungkapkan bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni Pertama, terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Kedua, nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi.[4]
Jembrana sebagai sebuah kabupaten di barat Pulau Bali, berbatasan langsung dengan Pulau Jawan lewat Pelabuhan Gilimanuk, menjadi wilayah “Indonesia Kecil” di Bali. Wilayah geografis dan jejak sejarah menunjukkan Jembrana sebagai daerah multietnis. Ini bisa dilihat dari tersebarnya kantong-kantong kebudayaan agama dan “bangsa-bangsa” yang beragam. Keberadaan berbagai agama dan “bangsa-bangsa” ini justru terkait erat dengan agama Hindu Bali. Ini dibuktikan dari perpaduan kebudayaan Bali pada agama-agama mereka. Maka dikenalkah sebutan Nyama Selam (saudara Islam) atau Nyama Kristen (saudara Kristen).
Berbagai macam bentuk perpaduan budaya mereka adalah kaum Kristen Katolik dan Protestan masih menggunakan nama-nama Bali. Dalam perayaan natal mereka menggunakan adat-istiadat Bali, dan melakukan ritual-ritual Hindu Bali di gereja Desa Palasari dan Blimbingsari. Bentuk arsitektur kedua gereja mereka juga style Bali (gaya Bali).
Persebaran komunitas mereka sangat banyak di Jembrana. Contoh saja komunitas Kristen Katolik di Desa Palasari, Kristen Protestan di Desa Blimbingsari, Muslim Bugis di Desa Loloan dan sudah tentu masyarakat Hindu Bali yang tersebar dalam berbagai desa di Kabupaten Jembrana dengan ibukota Negara ini.
Desa Palasari misalnya adalah kampung umat kristen katolik di Bali. Di sana terdapat Gereja Katolik Hati Kudus Palasari. Gereja ini adlaah symbol semangat pembebasan yang ditanamkan oleh Pater Simon Buis SVD. Pater Simon masuk ke Bali sebagai misionaris atau pastor katolik pada 1936. Sembilan tahun
Setiap komunitas yang beragam ini tentu mempunyai cerita sejarah tentang kehadiran mereka di Jembrana, dan kemudian berbaur dengan masyarakat Hindu. Setelah hidup bertahun-tahun lamanya, realitas keberagaman mereka bukan menjadi pembatas untuk saling berbaur dalam hal adat dan budaya. Bukti-bukti menunjukkan terjadi penyerapan tradisi dan budaya Hindu Bali pada komunitas mereka (Kristen dan Muslim).
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kisah sejarah terbentuknya Jembrana secara umum dan komunitas Kristen dan Muslim di Kabupaten Jembrana (Studi kasus Desa Palasari, Blimbingsari, dan Loloan)?
2. Mengapa dan Bagaimana terjadinya pengaruh tradisi dan budaya Bali terhadap praktik pelaksanaan ritual agama mereka?
3. Bagaimana mereka kini menyikapi dan merawat keberagaman?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui perpaduan studi etnografi (catatan lapangan/fieldwork) dan oral history (sejarah lisan) Observasi partisipasi dilakukan untuk menangkap suara-suara keseharian masyarakat dengan melakukan wawancara mendalam.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Arsip-arsip tentang sejarah Jembrana dan komunitas Kristen serta Muslim dikumpulkan untuk informasi awal. Kemudian dilakukan catatan lapangan dan wawancara dengan subyek penelitian. Hasil-hasil data tersebut kemudian dianalisis dalam bingkai multikulruralisme.
OUTLINE PENELITIAN
PENDAHULUAN
BAB I: SEJARAH BUMI JIMBARWANA
Menguraikan tentang sejarah terbentuknya daerah Jembrana. Bab ini bersumber pada studi pustaka yang menguraikan tentang perspektif historis dari kelahiran daerah Jembrana.
BAB II: NYAME SELAM LOLOAN
Bagian ini menguraikan tentang sejarah, kehidupan, dan budaya Desa Loloan. Desa ini mempunyai sejarah tersendiri dari di Jembrana. Banyak penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan berasal dari Bugis dan beragama Islam.
BAB III: NYAME KRISTEN PALASARI DAN BLIMBINGSARI
Menguraikan sejarah, kehidupan dan budaya di dua desa yaitu Desa Palasari dan Blimbingsari sebagai basis komunitas Kristen Katolik dan protestan di daerah Jembrana.
BAB IV: MERAWAT KEBERAGAMAN: PERKAWINAN BUDAYA DAN INISIATIF LOKAL
Bab ini berusaha untuk menguraikan bagaimana tradisi dan budaya masyarakat Kristen dan Islam tersebut (kasus: Desa Loloan, Palasari dan Blimbingsari) yang berhubungan dengan budaya Hindu Bali. Bagaimana sejarah dan lahirnya tradisi tersebut. Kemudian bagian ini juga menguraikan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan budaya tersebut dirawat dan dipertahankan menjadi sebuah budaya yang berciri khas daerah tersebut--yang tentunya berciri khas budaya Hindu Bali. eperti misalnya ke gereja menggunakan pakaian adat Hindu Bali, bentuk arsitektur gereja, dan tradisi ngejot (memberikan makanan) pada saat hari-hari raya agama Kristen, Hindu, dan Islam.
BAB V: POLITIK MULTIKULTURAL
Bab ini sebagai refleksi teoritik bagaimana melihat politik keberagaman dalam suatu masyarakat. Dimana didalamnya terdapat relasi kuasa antara mayoritas dan minoritas dan "penundukan antar budaya" dalam masyarakat. Dengan refleksi teoritik ini akan berusaha untuk menganalisis potret multikultur yang ada di daerah Jembrana, Bali.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lihat Daniel Dhakidae, “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-komunitas Terbayang”, hlm.xix dalam pengantar Ben Anderson, Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001).
[2] Lebih lengkap lihat kutipan wawancara dan artikel tentang Pramoedya Ananta Toer, "Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan", Suara Independen, No. 03/1, Agustus 1995. Lebih Jauh dengan Pramoedya Ananta Toer, Kompas 2003. Lihar artikel Pramoedya Ananta Toer, “Maaf: Atas Nama Pengalaman” Majalah Progres No. 2 1992.
[3] Lebih lengkap lihat Clifford Geertz, NEGARA, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980) yang kemudian diterjemahkan, Negara Teater, Kerajaan-kerajaan Bali Abad kesembilan Belas (Yogyakarta: Bentang ,2000). Geoffry Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, (Cornell: Cornell University Press, 1995) yang kemudian diterjemahkan, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, (Yogyakarta: LKiS,2005).
[4] Lihat Ahmad Fedyani Saifudin, “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”, Kompas, Sabtu 21 Januari 2006.

Tidak ada komentar: