Who am I

Who am I

Jumat, 21 Maret 2008

Anak-Anak Sejarah: Jejak Seni Rupa Semarang

“KtoK Project”: Dari Sejarah Komunitas ke
Alternative Art Space

I Ngurah Suryawan


“Sejarah komunitas” sebagai sebuah penuturan sejarah lisan, sejarah arus bawah, selayaknya kini mendapatkan tempat. Ini dilakukan tidak lain untuk memberikan ruang kepada masyarakat bawah dan kelompok-kelompok masyarakat lain untuk menulis sejarahnya sendiri.
Kita tentu bosan melihat catatan sejarah negara (baca: kekuasaan). Para wakilnya adalah para elite politik atau masyarakat kelas atas yang mencatatkan kekuasaan mereka dalam bentuk sejarah “kebenaran serta kemenangan” secara dominan tanpa memperhatikan kesaksian atau “sejarah-sejarah kecil” di tepi kekuasaan mereka yang otoriter.
Sejarah perlawanan terhadap kekuasaan ini bisa dianggap sebagai “sejarah baru” untuk menangkap kerumitan subjektiftas dan narasi-narasi kecil dalam pergolakan manusia. Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan, juga untuk menangkap pergolakan “sejarah-sejarah kecil” para kelompok subaltern kelompok yang “dipinggirkan” oleh struktur kekuasaan dan pengetahuan.
Kelompok subaltern dalam studi postcolonial diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Gayatri Spivak menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern (Subaltern Studies Group) mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai ”mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi ”menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok.[1]
Sejarah lisan memang secara politik diniatkan untuk menangkap pergolakan kelompok subaltern. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.[2]
Ide ini setidaknya bisa direlasikan dalam dimensi kesenian, dimana perdebatan seni tinggi (high art) dan seni rendah (low art) terus mengalami pergolakan terus-menerus dan pembongkaran secara pardigmatik dalam kritik kebudayaan kontemporer. “Kebudayaan tinggi” (high culture) dalam manifestasinya sebagai ekspresi “kesenian tinggi” (high art) dianggap sebagai penjelasan tentang kebudayaan yang sesungguhnya, mewakili kebudayaan kelas masyarakat terdidik—yang pada masanya—disebut masyarakat borjuis. Sedangkan “kebudayaan rendah” (low culture), sering juga dinyatakan sebagai “kebudayaan massa” (mass culture), adalah kebudayaan bagi dan diselenggarakan oleh orang kebanyakan (masyarakat umum) yang dianggap tidak terdidik, sehingga hasilnya dianggap tidak memenuhi standar hasil kebudayaan yang bersifat “memajukan”, “memperbaiki”, “mencerahi” kehidupan sesungguh-sungguhnya.[3]
Sebagai counter dari dikotomi tersebut, muncullah gerakan kritik dari generasi muda untuk mendobrak hegemoni infrastruktur dan wacana seni. Gerakan alternative ini secara tidak langsung juga menjadi respon dari perdebatan seni tinggi dan seni rendah tersebut, serta perlawanan terhadap sejarah kekuasaan. Reproduksi makna dari seni tinggi dilembagakan dalam bentuk infrastruktur, institusi dan jaringan produksi seni (seniman, curator, kolektor, media massa, kritikus, dll). Sehingga dengan halus menciptakan jejaring hegemoni dalam medan social seni rupa.[4]
Di tengah arus utama perkembangan seni yang semakin pesat, menjadi sangat penting untuk memikirkan soal institusi seni yang menggerakkan wacana seni tersebut. Hou Hanru mengungkapkan:

Untuk menyelenggarakan peristiwa (seni), institusi menjadi syarat fisik yang niscaya. Lebih penting lagi, institusi itu adalah landasan ideologisnya. Maka, yang lalu menjadi soal penting adalah: institusi macam apa yang harus dibangun? Ini karena institusilah unsure terpenting dalam system kekuasaan, atau mekanisme, yang mendefinisikan gagasan serta tapal batas seni rupa itu sendiri.[5]

Perspektif lain tentang alternative art space diungkapkan oleh Amanda Katherine Rath (2003). Ia mengungkapkan kepentingan seni alternative dan ruang seni alternative terletak pada strategi pertahanan hidup yang kadang mewujud menjadi strategi permanent seumur hidup. Amanda mengungkapkan bahwa sangat penting melihat kasus-perkasus bermacam sikap dari masing-masing ruang alternative untuk benar-benar bisa memahaminya sebagai contoh-contoh spesifik dalam satu rangkaian persoalan, serta apakah masing-masing rencana, strategi, dan taktiknya memenuhi atau tidak apa yang diimpikan pada awalnya.[6]
Sebagai sebuah gagasan untuk menyemai ide sejarah komunitas dan benih gerakan alternatitive art space, “KtoK (Kos to Kos) Project” memiliki arti yang penting. KtoK project telah melaksanakan 5 project, diantaranya: KtoK Project #1 Heorisme, Desember 2006, KtoK Project #2 Komedi Putar, Februari 2007, KtoK Project #3 Dark Brown Sofa, April 2007, KtoK Project #4 Sakit? Di Komix Aja Oktober 2007, KtoK Project#5 Senirupa Hidupku Semarang Kotaku KtoK Project Semangatku, Desember 2007.
Dalam masing-masing project menghadirkan satu tema dan memberikan kebebasan kepada para peserta untuk mengeksplorasinya. Di awal pelaksanaan project ini, KtoK mengambil tema tentang “Heroisme” yang memunculkan sikap kepahlawanan beserta penghargaan yang diterimanya. Tempatnyapun di rumah kos, yang disulap menjadi ruang seni di rumah kos banaran, Pesanggrahan, Temulawak, Jalan Raya Sekaran, Gunungpati, depan gerbang utama Kampus Unnes (Universitas Negeri Semarang).
M. Salafi Handoyo (2006) mengungkapkan, dari rumah kos seniman muda berproses. Ibarat dunia persilatan, media kecil ini jadi padepokan untuk mengasah kemampuan. Jika saatnya tiba, para seniman muda ini akan menyambangi ruang besar untuk unjuk kebisaan. Di rumah kos, seniman muda mencari pelbagai alternative pemikiran dan mengasah kekritisan. Spirit berkesenian tidak boleh mati dalam keterbatasan ruang.[7]
KtoK Project, oleh para penggagasanya disebutkan menjadi sebuah langkah awal dan sebagai tonggak perubahan seni rupa Semarang kearah yang lebih baik. Selain itu, latar belakang diadakannya proyek ini adalah sebagai solusi bagi permasalahan senirupa kota (Semarang) yang lemah dalam hal manajemen, dokumentasi, serta pendataan.

Kami juga mencoba belajar dalam bernegosiasi/komunikasi dengan segmen pendukung seni, dimana diharapkan seniman muda dan karyanya tak hanya dijadikan sebuah barang daganan. Harus ada yang bertanggungjawab terhadap perkembangan informasi, wacana, ketrampilan, kreatifitas, modal awal, manajemen, serta kemampuan bertahan hidup seniman muda ini…Sedangkan proyek seni ini (KtoK) difokuskan sebagai motovator dan daya tarik, menumbuhkan minat anak muda untuk mengeksplorasi bidang ilmu seni seluas-luasnya. Diharapkan mampu membantu seniman muda dalam berkonsentrasi menjadi seniman professional. Dan memunculkan banyak peluang untuk menentukan pilihan bernegosiasi dengan segmen seni. [8]

Seniman muda hanya mempunyai dua pilihan, pertama, yaitu mampu bernegosiasi dengan segmen seni. Inipun dengan catatan antara seniman dan segmen seni—segmen seni adalah institusi seni, diantaranya: pemerintah, museum, media massa, balai lelang, galeri, rumah seni intitusi pendidikan seni, ahli seni, kritikus, kolektor dalm komponen seni lainnya—tersebut harus saling menguntungkan. Inilah yang sulit terjadi. Kerap terjadi eksploitasi yang merugikan seniman.
Kedua, apabila tidak mau bernegoisasi dengan segmen tersebut, maka yang harus dilakukan adalah menciptakan ruang alternative sebagai tandingan. Kondisi ini juga memerlukan daya upaya ekstra besar karena harus mampu menggantikan fungsi segmen seni yang ada secara alternative dan mandiri.[9]
Karena itulah, KtoK project bagi saya menjadi penting posisinya dalam hal menarasikan sejarah komunitas para seniman-seniman muda. Dan yang penting juga diperhatikan, KtoK project menjadi penjaga dinamisasi art world di Indonesia. Karena seni merupakan gerak laju pergolakan pemikiran (kritik) kebudayaan. Agar seni tidak hanya menjadi wacana bagi yang elite (dominan), maka menyemaikan ruang-ruang alternative dengan sejarah-sejarah komunitasnya menjadi sangat penting. KtoK project menjadi salah satu gerakan seniman muda yang penting dalam konteks ini.


Denpasar, Bali 16 Februari 2008



Daftar Pustaka

Gandhi, Leela, 2001, Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta, Qalam.
Hartiningsih, Maria dan Ninuk Mardiani Pambudy, “Membaca Gayatri Chakravorty Spivak”, Kompas, Minggu 12 Maret 2006
Handoyo, M. Salafi, 2007, makalah “Senirupa Semarang: Aman Tertib lancer Asri dan Sehat”.
Loomba, Ania, 2003, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta, Bentang Budaya.
Rath, Amanda Katherinie, 2003, “Perihal Seni Alternatif dan Ruang Seni Alternatif” dalam Jurnal Karbon, Alternatif Space, No. 5-05/2003.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (ed), 2004, “Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial” dalam pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed), 2004, Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Kanisius.
Suryawan, I Ngurah, 2006, “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni (Pergolakan Seni dan Rezim Kekuasaan di Bali 1930-2005)”, manuskrip Program Tuhfah Yayasan Seni Cemeti 2005-2006.
------------, I Ngurah, 2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Penerbit Buku Baik dan Elsam.
Suara Merdeka, 16 Desember 2006, “Spirit berkesenian dari rumah kos”.
Zaelani, Rizki A, 2002, “Persoalan (Atas Nama) High Art” dalam Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Identitas dan Budaya Massa, Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti.



I Ngurah Suryawan, menekenuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali. Sempat mengenyam pendidikan di ISI Denpasar (2001-2002). Mantan anggota Klinik Seni Taxu dan pendiri Buletin Seni Visual Kitsch. Hingga kini memberikan perhatian terhadap penelitian seni rupa, khususnya tentang tema seni dan kekuasaan, pergolakan seniman muda, dan alternative art space. Meraih beasiswa penelitian dan penulisan seni rupa Yayasan Seni Cemeti 2005 dengan manuskrip: “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni: Pergolakan Seni dan Rezim Kekuasaan di Bali 1930-2005”. Kini sedang mempersiapkan buku kumpulan tulisan tentang “Mendobrak Hegemoni dan Klinik Seni Taxu”. Beberapa publikasinya: Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali (2005), Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007).
























[1] Lihat Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiani Pambudy, “Membaca Gayatri Chakravorty Spivak”, Kompas, Minggu 12 Maret 2006. Lebih detail tentang gagasan tentang subaltern dan poskolonial, lihat Gayatri Sipavak, Can the Subaltern Speak? (1988) dan Ranajit Guha dalam “On Some Aspects of the Historiography of Colonial India” (1982). Beberapa referensi tentang teori poskolonial, lihat Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Yogyakarta: Bentang, 2003), Leela Gandhi, Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, (Yogyakarta: Qalam, 2001), Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial , Soal Identitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
[2] Untuk pengantar komprehensif tentang sejarah lisan, lihat John Roosa, Ayu ratih dan Hilmar Parid, “Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial”, Pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir (Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004).
[3] Lebih lengkap lihat Rizki A. Zaelani, “Persoalan (Atas Nama) High Art” dalam Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Identitas dan Budaya Massa, (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002), hlm.77-91.
[4] Seperti kritik yang dilakukan oleh Kelompok Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar melalui event “Mendobrak Hegemoni” 23-24 Februari 2001. Lebih lengkap tentang genealogi seni dan kekuasaan di Bali, lihat I Ngurah Suryawan, “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni” (Pergolakan Seni dan Rezim Kekuasaan di Bali 1930-2005), Program beasiswa Tuhfah Yayasan Seni Cemeti, 2005-2006.
[5] Lihat Hou Hanru, “Saat Untuk Alternatif” dalam 15 Years Cemeti Art House, Exploring Vacum (tanpa tahun).
[6] Amanda Katherine Rath, “Perihal Seni Alternative dan Ruang Seni Alternative” dalam Jurnal Karbon, Alternative Space, No. 5-05/2003.
[7] Lihat “Spirit berkesenian dari Rumah Kos”, Suara Merdeka, 16 Desember 2006.
[8] Lihat tulisan M. Salafi Handoyo, “Senirupa Semarang: Aman tertib Lancar Asri dan Sehat” (2007).
[9] Ibid.

Tidak ada komentar: