Who am I

Who am I

Sabtu, 08 Maret 2008

Dari Balinisasi ke Ajeg Bali

Sisi Di Balik Sorga
(Melacak Jejak Teror dan Sweeping di Bali)
[1]

I Ngurah Suryawan
[2]


Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar, benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar
(Pramoedya Ananta Toer, Sekali Persitiwa di Banten Selatan, 2004)


Pendahuluan
Suatu hari di bulan Maret 2004, saya sebagai anggota sekaa teruna (organisasi pemuda), berniat ikut menyaksikan dari dekat bagaimana razia penduduk yang sudah sejak dua bulan ramai dibicarakan masyarakat desa. Saya penasaran apa saja yang dilakukan dalam razia tersebut.
Diseimuti gelap malam dan dingin menyengat, puluhan orang masih tetap berkumpul setia, berjongkok-jongkok, bergerombol dan menunggu. Pakaian mereka rapi, menggunakan kamen (kain) dan udeng (ikat kepala). Mereka berkumpul di banjar (balai desa) menjelang tengah malam, jam 22.00 Wita. Para warga yang berkumpul tersebut bukan untuk menggelar pesangkepan (rapat desa) seperti biasanya, tapi mereka kini bersiaga penuh. Mereka akan melakukan razia, sweeping karena ada situasi gawat yang mengancam dan merusak citra daerah mereka.
[3]
Para krama (warga) masyarakat adat di pinggiran kota Denpasar itu gerah. Daerah tempat kelahiran mereka sangat identik dengan tempat pelacuran, daerah kumuh, sarang pendatang liar dan lahan basah pertarungan para preman lokal. Menyebut daerah mereka adalah citra sarangnya pelacuran dan preman. Maka kinilah saatnya masyarakat adat seluruhnya tanpa kecuali menunjukkan tajinya dengan memberantas citra buruk di tempat leluhur mereka itu.
Saya yang berada dalam rombongan tersebut melihat bagaimana sigap dan ganasnya para pecalang (satuan pengamanan tradisional Bali) bersama Hansip (Pertahanan Sipil) dan belakangan pada akhir tahun 2006 dibentuk satuan Bankamdes (Bantuan Keamanan Desa) serta puluhan krama adat lainnya merazia tempat yang mereka curigai melakukan praktek prostitusi. Belakangan setelah beberapa aksi razia penduduk pendatang rutin dilaksanakan, maka dibentuklah Tim Pendataan Penduduk Pendatang Desa.
Maka mulailah barisan razia ini melakukan penyisiran ke beberapa jalan-jalan bersemak yang dicurigai menjadi tempat pelacuran. Dan benar saja, dalam semak-semak pohon, berhamburanlah perempuan dan laki-laki. Mereka panik dihardik para pecalang dan krama adat yang melakukan razia menggunakan pakaian adat Bali.
Selanjutnya saya mendengar cerita, bukan hari itu saja, tapi tiga hari berturut-turut hal itu dilakukan. Dan akan meluas tidak hanya merazia tempat-tempat pelacuran, tapi juga sampai merazia rumah-rumah penduduk di sekitarnya, memeriksa identitas diri dan menanyakan pekerjaan. Jika tidak bisa menunjukkan identitas, “penduduk liar” ini akan dibawa ke banjar, disuruh membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk), membayar iuran surat tinggal sementara dan kembali dibebaskan.
Seminggu kemudian saya kembali ikut dalam rombongan razia. Kali ini, meskipun udara malam dingin menyengat, saya rasakan ada suasana panas. Saya mendengar kabar dari seorang pecalang kemungkinan malam ini akan terjadi bentrok. “Hati-hati saja,ada preman yang bekking (dekking, memback up, menjamin, menolong) lokalisasi,“ saran pecalang tersebut sambil lalu. Ia sudah siap dengan tongkat panjang dari kayu dan pentungan plastik terselip di pinggangnya. Saya sempat takut.
Tim razia merangsek masuk ke sebuah gang kecil menuju sebuah rumah semi permanen dengan cahaya lampu remang-remang. Rumah inilah yang diduga sebgai tempat lokalisasi paling ramai Tanpa diduga di depan rumah tim razia telah dihadang 4 laki-laki bebadan tegap bertato lengkap dengan pentungan. Mereka berteriak-teriak menantang. Suasana saat itu sempat gaduh. Terdengar semua anggota tim razia dikumpulkan. Setelah sempat saling tegang antara tim razia dan 4 laki-laki ini, muncullah laki-laki setengah baya dari dalam rumah. Semua anggota tim razia terkejut. Yang keluar tersebut adalah anak seorang tokoh masyarakat di wilayah desa tersebut. “Siapa yang berani, maju! Semua merasa diri paling suci,“ umpat lelaki yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans itu keluar. Selanjutnya ia berceloteh menyebut kebobrokan para para tetua desa yang suka berselingkuh tapi menolak lokalisasi dan yang paling mencengangkan adalah umpatannya perihal korupsi yang dilakukan tokoh-tokoh desa pada dana-dana pendataan penduduk pendatang yang tidak sedikit jumlahnya. Semua anggota tim razia dan warga yang menyaksikan kegaduhan itu diam membisu.
Cerita-cerita razia penduduk pendatang, penggerebekan seperti itu—dan mungkin banyak peristiwa lain lagi di seluruh pelosok Bali—sering kita dengar dan baca di media-media lokal di Bali pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Selama hampir 5 tahun lebih, aksi yang diistilahkan oleh pemerintah daerah Bali seperti yang diikuti oleh tokoh-tokoh adat di Bali adalah “penertiban penduduk”, “pendataan penduduk pendatang“ dirasa penting untuk memulihkan keamanan di Bali.
Pasca Bom Bali, masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (warga tamu/pendatang).
[4] Akses dan perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia dan penggerebekan tadi.
Tapi ironi terjadi saat aksi penggerebekan harus dilakukan pada warga desa yang menjadi “dalang“ bahkan pemilik modal dari bisnis prostitusi di desa tersebut. Seperti catatan lapangan yang saya kisahkan sebelumnya. Banyak warga desa tersebut juga bekerja di tempat lokalisasi sebagai tukang parkir, penjual minuman dan rokok serta petugas kebersihan. Dan perlu juga dilacak kemana arah uang hasil razia penduduk pendatang itu? Benarkah untuk membiayai ritual dan sisanya untuk pembangunan balai banjar (balai desa) serta biaya kegiatan-kegiatan di desa? Karena itulah razia penduduk pendatang menjadi ladang pendapatan desa untuk membiayai rutinitas keberlangsungannya dengan berbagai aktivitas dan keperluan akan keuangan. Jika demikian adanya, razia penduduk pendatang menjadi ruang ekonomi politik desa adat untuk memenuhi kebutuha-kebutuhannya di satu sisi dan di sisi lain berdalih “menjaga Bali“ dari pengaruh para outsider (pendatang) yang mendatangkan masalah bagi bagi sekaligus juga rejeki.
Paper ini mengeksplorasi sisi di balik Bali yang megah, indah, glamour. Sisi itu adalah jejak teror dan kekerasan. Genealogi teror dan kekerasan yang terjadi setidaknya memberikan gambaran tentang pergolakan Bali dalam menentukan arah politik kebudayaan dan kebertahanan (Hindu?) Bali sebagai identitas budaya, dan juga bagaimana pertarungannya dalam perebutan akses ekonomi politik secara nasional maupun global yang menimpa Bali.

Memelihara Hantu: Teror untuk Kekerasan, Sweeping demi Kewaspadaan
Memelihara hantu, itulah tuduhan yang sering dialamtkan saat rezim Orde Baru yang berusaha dengan segala cara untuk melenyapkan semua “musuh-musuhnya”. Diantaranya oleh apa yang disebutkan oleh James T. Siegel (2000) adalah kriminalitas dan komunis.
[5] Berbagai macam cara dilakukan oleh Orde Baru untuk menyebarkan ketakutan dan kewaspadaan tersebut. Salah satunya dengan menyebar stigma-stigma “penjahat” dan “antek-antek komunis” untuk meraba-raba siapa kiranya “hantu” yang perlu diwaspadai itu.

Setidaknya setelah tahun 1980-an, tokoh-tokoh politik Indonesia berkoar tentang Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) ketika menyebut dugaan adanya upaya kebangkitan kembali komunis. Segala cara ditempuh negara untuk terus-menerus mengawasi bukan saja orang-orang komunis yang dibebaskan setelah meringkuk bertahun-tahun di penjara, tetapi juga keturunan mereka. Ini jelas menunjukkan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak bisa mereka ketemukan, sekalipun mereka tahu betul mana si komunis dan mana anak laki-laki atau perempuan si komunis. Menyatakannya dengan cara lain, mereka tidak bisa menemukan seraut wajah atau sebuah nama bagi ketakutan-ketakutan mereka. Orang-orang yang menakutkan mereka tampak seperti orang kebanyakan dan mirip dengan mereka sendiri dan, oleh karena itu, membutuhkan banyak dan makin banyak kewaspadaan agar tidak lengah. (Siegel, 2000:8)


Siegel mengungkapkan bahawa bangsa Indonesia masa kini merasa perlu untuk merespons sesuatu yang kehadirannya dalam masyarakat Indonesia mereka rasakan tetapi tidak bisa diidentifikasikan. Kadang-kadang ketakutan itu dibiaskan melalui para penjahat, seperti mereka yang dibabat pada tahun 1983-1984, lain waktu melalui golongan komunis atau lain-lainnya lagi. (Siegel, 2000: 10). Dalam arti lain, “hantu-hantu” tersebut diciptakan sendiri untuk kemudian dibasmi. Tujuannya hanyalah satu: menyebarkan ketakutan secara bersama-sama.
Salah satu yang menjadi tenaga penyebar ketakutan itu adalah para jagoan, orang kuat local, para preman, dan kelompok-kelompok kriminal yang “dipakai” jasanya oleh negara dan kekuasaan untuk menyebarkan teror ketakutan ini. Para “jagoan local” ini akan beraksi sesuai dengan perintah dan target dari “si dalang”. Situasi akhirnya berbalik ketika para jagoan lokal ini juga menjadi korban berikutnya dari target “si dalang” untuk membersihkan kelompok-kelompok kriminal ini.
Sejarah mencatat bahwa peranan jagoan dan kelompok kriminal ini selalu memberi warna yang penting.

Seorang kriminal, selalu berada di tepian masyarakat Indonesia namun tak pernah berada di luarnya. Sama sekali bukan orang asing, mudah dijumpai dalam wacana politik Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan sosoknya yang cocok dengan konteks pemikiran tentang “rakyat”. Kata rakyat dalam sebagian besar masyarakat Indonesia menunjuk pada pengikut seorang pemimpin. Mereka, pada mulanya, adalah para hamba sahaya yang dihidupi oleh para pemegang otoritas politik lokal. (Siegel, 2000: 4-5)

Pada poin inilah menarik untuk mengajukan tesis Siegel tentang ketakutan dan hantu pada citra diri kita sendiri (masyarakat Indonesia) yang dioperasikan, atau lebih tepatnya digunakan oleh negara untuk menyebarkan ketakutan pada masyarakatnya. Orang Indonesia membunuh siapa saja yang mereka lihat dalam citra (image) diri mereka sendiri. Di sisi lain, target impuls membunuh mereka punya spectrum historis sendiri, orang komunis berbeda dengan penjahat. Tetapi dibalik wajah-wajah komunis dan kriminal terdapat kesamaan dalam hal ancaman, asal-usul yang tidak bisa ditemukan dalam peristiwa-peristiwa sejarah dan harus dicari dalam formasi cultural. (Siegel, 2000: 12-13).
Siegel melanjutkan, kekuasaan bisa diakses para pejabat negara untuk kemudian menghasilkan satu tipe penjahat baru. Bagi negara, ancaman adalah sebuah daya tarik. Inilah kekuatan mematikan yang ingin dipunyai negara. Tesis Siegel adalah negara itu sendiri yang mengambil bentuk seorang kriminal dalam rangka mendapatkan kekuatan ini….Dalam pembantaian-pembantaian tersebut orang-orang yang saling menyerupai itu berusaha membuat sasarannya menjadi orang lain. Mengikuti sebuah proses yang sudah sering dipaparkan di tempat lain, kita bisa katakan bahwa mereka berusaha menjadikan bagian dari mereka sebagai orang asing agar bisa menyingkirikannya dan tinggal mereka sendiri yang “murni” secara etnis. Mengenai para penjahat di Indonesia, sebaliknya, negara meniru penjahat, berusaha menjadi sepertinya. (Siegel, 2000: 13)
Selain penjahat dan kriminal sebagai pelaku terror, terorisme secara umum pada ujungnya adalah menghalalkan tindak kekerasan dengan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Inti dari kegiatan terror adalah kekerasan, dan korbannya adalah mereka yang tak bersalah, siapapun juga orangnnya. Resep untuk melawannya sudah jelas, war on terrorism, perang melawan terorisme.
[6] Tapi perang melawan terorisme akhirnya bias menjadi penyebaran ketakutan dan terror yang meluas tanpa bisa terkendali.

Begitulah, tak jelas siapa musuh saya. Tak pula saya tahu, dari mana asal terror yang nanti bakal datang. Semuanya tidak jelas. Yang jelas, bahwa semua ketakutan dan ancaman kekerasan itu telah menjadi peristiwa bawah sadar saya, dan mempengaruhi serta menjadikan bawah sadar saya. Dengan bawah sadar saya, saya membuat pertahanan terhadap kekerasan, padahal dengan demikian saya merusak bawah sadar dengan kekerasan. (Sindhunata, 2005)

Di sinilah orang masuk ke dalam lingkaran setan kekerasan, terror dan represi. Atas nama perang melawan terorisme, semua kekerasan kekerasan bisa dilakukan. Dan si pelaku terror juga boleh melakukan kekerasan, juga atas nama terror, karena hanya dengan cara ini mereka merasa bisa melawan terror yang disasarkan pada diri mereka. Suatu proses balas dendam dan kekerasan yang berkepanjangan. Di sinilah terjadi, bahwa masyarakat atau warga merasa membangun pertahanan baru, padahal dengan demikian menghancurkan seluruh system pertahanannya sendiri. Dan itu terjadi setiap kali, tanpa disadari.
[7]
Menelisik beroperasinya terorisme dan kekerasan pada alam bawah sadar, membuat saya teringat pada apa yang terjadi di Bali pasca Bom Bali 2002 dan juga Oktober 2005. Reaksi yang juga bertajuk perang melawan teroris--di Bali mungkin lebih spesifik— sweeping dan kewaspadaan terhadap the other, para pendatang yang ingin merusak Bali juga telah mempraktekkan kekerasan dan terror. Pada akhirnya tercipta sebuah penciptaan citra dan identitas bahwa “Orang Bali Cinta Damai” dan menyatakan perang terhadap teroris, padahal di balik semua penciptaan citra tersebut Bali mengadopsi cara-cara terror dan kekerasan.
Di balik semua aksi terror dalam bentuk sweeping dan razia penduduk pendatang juga mendatangkan terror dan represi gaya baru. Sebuah pertahanan untuk menangkal terror yang dibuat dengan gaya terror baru. Teror yang mereka (masyarakat Bali) terima seolah sudah menjadi keseharian dan keakraban, sehingga masyarakat Bali hidup dalam alam bawah sadar terror dan represi. Sikap kewaspadaan, siaga, dan mengulangi perilaku kekerasan akhirnya menjadi keakraban dalam keseharian orang Bali.
Di Indonesia lewat wacana kebudayaan, praktik kekerasan dan kekuasaan diterjemahkan dalam bentuk peminggiran kaum lemah. Keseharian dari mereka yang terpinggirkan inilah tersimpan perjuangan sehari-hari hidup mereka sebagai sesuatu yang tidak punya nilai, sebagai cermin peradaban. Cultural studies bisa mencoba menyulap system penilaian tersebut dan menciptakan definisi baru kebudayaan.

Tapi menurut Bourdieu, kekuasaan juga berfungsi lewat habitus orang, praktik-praktik yang terbadankan yang mengandung trace of structural violence atau jejak kekerasan structural yang melekat dalam hubungan social sehari-hari. Kalau Bourdieu benar, tidak ada subjek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang social yang steril dari power. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tidak cukup mengambil mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai “suara alamiah perlawanan” yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir “brahmana” diantara ribuan massa paria. Dunia social berhierarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggu.
[8]

Melacak genealogi terror dan kekerasan yang terjadi di Bali tidak bisa dilepaskan dari pembentukan citra dan image Bali. Di dalamnya juga terdapat bius kekuasaan dan kekerasan serta terror simbolik yang dilekatkan pada negeri seribu pura ini.

Tangan-tangan Teror: Tameng, Pecalang dan Para jagoan Lokal
Dari cerita para survivor tragedi pembantaian massal 1965, masih lekang dalam ingatan mereka bagaimana bengisnya para satuan jagal bernama tameng, setan hitam berbaret merah, milisi sipil yang bertugas melakukan pembasmian sampai ke akar-akarnya sisa komunis. Satuan milisi sipil, organisasi massa partai politik anti komunis inilah yang dilatih oleh tentara untuk melakukan persiapan-persiapan pembantaian.
Tangan-tangan teror para tameng itu adalah manusia Bali yang rela membunuh saudaranya sendiri hanya karena beda aliran politik: barak, merah mengacu pada PKI (Partai Komunis Indonesia) dan selem, hitam mengacu pada PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Pertentangan dan persaingan politik yang berbuntut pada peristiwa “penyembelihan massal“, meminjam kata Soe Hok Gie yang menelan jiwa 80.000 “manusia merah“ di Bali. (Soe Hok Gie,1995)
Kejamnya manusia Bali saat hari-hari pembantaian 1965-1966 adalah cermin perilaku politk mereka sebenarnya. Konflik, persaingan, ketegangan politik, agama, pribadi akhirnya melahirkan sebuah penghilangan nyawa manusia terkeji dalam sejarah peradaban manusia Bali dan Indonesia. Manusia Bali adalah subjek, kontestan terpenting dalam tragedi tersebut. Konspirasi besar, “wacana besar” ketegangan politik kelas tinggi, pertarungan ideologi politik dan lainnya, mungkin jauh dari bayangan para ninja temeng, milisi sipil berpakaian serbahitam yang melakukan pembantaian. Yang para tameng pikirkan adalah bagaimana melaksanakan perintah atasan, membunuh siapapun yang ada kaitannya dengan PKI, atau bias membalaskan dendam karena sentiment pribadi seperti pacar direbut, kehilangan warisan, saling ejek dan lain sebagainya.
Jagoan lokal dan kiprahnya menjadi broker kekerasan tentu sangat penting untuk dilihat. Para pecalang ini akan selalu terlihat berjaga-jaga, lengkap dengan busana kebesarannya, kain poleng (hitam putih), menggunakan udeng (ikat kepala), bersenjatakan keris dan walkie talkie. Para jagoan local ini akan berlagak seperti orang berkuasa, orang kuat local, yang mempunyai kewenangan dan menunjukkan aksinya secara vulgar di masyarakat. Contoh saja misalnya pecalang yang melakukan razia penduduk pendatang, atau para jagoan/tameng yang melakukan pencatatan “orang komunis” yang harus dibunuh, memberi cap “kene garis” untuk cap/tanda harus dibunuh. Para jagoan inilah yang menjadi pelaku terpenting dari penyebaran terror, cap-cap yang terus diproduksi untuk kekuasaan dan kepentingan tertentu.
Sebagai “polisi adat”, pecalang menjadi barisan berkeris yang bersiap siaga untuk selain mengamankan kegiatan ritual keagamaan, juga melakukan “penertiban penduduk pendatang”, di bawah perintah dari Desa Pakraman.
Kehadiran pecalang sebagai penjamin “kelestarian budaya” sekaligus keamanan dan kenyamanan, sebagai syarat pariwisata terus mendapatkan pujian. Sebuah kutipan dari tokoh kerajaan di Bali menyebutkan:

Pecalang berbeda dengan dengan Dulangmangap yang merupakan tentara kerajaan. Pecalang itu penjaga keamanan swakarsa yang dimiliki setiap desa adat (Desa Pakraman). “Tetapi, etos kerjanya serupa, sama-sama siap mekatik ambu (diikat enau), siap mati dalam membela kebenaran,” katanya. Pakaian pecalang biasanya didominasi warna hitam atau putih. Ciri khasnya, bunga pucuk bang (kembang sepatu merah) yang diselipkan di telinga atau di destarnya dan kain poleng, bermotif serupa papan catur dengan warna hitam putih, putih dan abu-abu lambang ketegasan untuk memisahkan kebaikan dan kejahatan.
[9]


Selain merangkap menjadi petugas razia penduduk pendatang, di samping tugas utamanya mengamankan pelaksanaan ritual keagamaan, pecalang juga bersedia menerima “jasa pengamanan” untuk konser musik, menjaga sabung ayam (tejen), menerima tugas keamanan toko-toko, pesta perkawinan, dan acara-acara hotel berbintang di Bali. Kadang banyak juga yang menggunakan jasa rangkap, pecalang dan juga polisi. Perusahaan, khususnya hotel-hotel di Bali sejak lama menggunakan jasa pecalang untuk mengamankan lingkungan sekitar hotel. Ada juga pada acara-acara khusus yang berskala besar. Seperti penuturan salah seorang humas hotel di kawasan Nusa Dua yang mengungkapkan menggunakan jasa pecalang selain aparat keamanan negara jika ada tamu negara. Ia mengungkapkan ini sebagai bentuk kerjasama hotel dengan masyarakat sekitar dan selain itu juga, pecalang terbukti efektif, karena mereka berasal dari lingkungan desa sekitar hotel, sehingga dirasa faham betul mengenai kondisi dan orang-orangnya. (Kompas, 28 November 2000).
Tugas pecalang sebagai “penjaga” rasa aman masyarakat Bali untuk melakukan ritual memberikan kesan bahwa pecalang adalah yang “unik” dan tradisional. Ini karena adat dan sejarahnya (pecalang) memang telah ada dari dulu, atau juga “diada-adakan” untuk menguatkan latar belakang sejarah kemunculan pecalang. Seperti yang dituliskan oleh Degung Santikarma
[10] untuk memberikan gambaran awal tentang bagaimana konstruksi pecalang sebagai yang “penjaga tradisi”:

Lepas dari ketiadaan konsensus mengenai sejarah pecalang, semua orang yang saya ajak bicara sepakat dengan gagasan yang sering muncul di media massa atau keluar dari mulut pejabat bahwa pecalang adalah sesuatu yang “tradisional.” Walaupun mereka sadar bahwa tidak pernah ada yang disebut pecalang di desa mereka sebelumnya, mereka mampu meyakinkan seolah-olah pecalang bagian dari warisan situs kuno yang baru saja digali. Dengan memakai wacana “tradisional” Bali, pecalang mampu menghapuskan dengan sukses ke-modern-an mereka. Dengan memakai predikat “penjaga tradisi”, sekaligus mereka menjadi “penjaga tradisional”. (Degung Santikarma, 2004).

Setelah masyarakat “mengada-adakan” sejarah pecalang yang sebenarnya tidak ada sebelumnya di desa mereka, keberadaannya semakin dilembagakan melalui Peraturan Daerah (Perda) Bali No. 3, 2001 tentang Desa Pakraman yang mengesahkan keberadaan tugas dan wewenang pecalang yaitu:
1. Pecalang menjaga keamanan di wilayah desa pakraman.
2. Pecalang mempunyai tugas dan wewenang dalam urusan adat dan agama.
3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh paruman desa atau musyawarah desa.
Dalam peraturan tersebut kata “desa adat” diganti dengan “desa pakraman” karena istilah adat sendiri berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab. Ini seiring dengan proyek “Balinisasi” yang sedang sibuk mencari akar ke-asli-an dari setiap praktek yang dipilih secara selektif oleh pemerintah untuk diawetkan. Dalam konteks ini pecalang merupakan produk wacana negara modern terkesan seperti ramuan “zaman batu” yang tak pernah lentur oleh perubahan, disertai kesepakatan komunal tanpa gugatan. (Degung Santikarma, 2004).
Para jagoan-jagoan lokal juga menjadi mesin teror dan sweeping di Bali. Munculnya kekuasaan Orde Baru menyertai berdirinya sebuah organisasi massa pemuda bernama Armada Racun di Bali. Organisasi ini terdiri dari anak muda Bali yang baru mengalami masa bagaimana Bali menghadapi modernitas dengan pengaruh-pengaruh dari Barat, seperti gaya berpakaian, gaya hidup, dan pergaulan. Seperti gaya di tahun 1970-an dengan salah satu ikon band legendaries The Beatles dengan rambut gondrong dan celana cut bray. Konon tokoh legendaris dari kelompok Armada Racun bernama Gobleg yang pertama memiliki motor Harley Davidson di Bali.
Di tahun 1980-an lahir reikarnasi dari Armada Racun bernama Pemuda Denpasar. Lahirnya organisasi massa ini salah satunya disebabkan karena persaingan berebut pengaruh dan kekuasaan di kota Denpasar. Saat rezim Orde Baru berkuasa, salah satu mesin kekuasaannya adala tentara. Di Bali, dekking, backing, (yang memberi perlindungan) tentara sangat berkuasa hamper di seluruh sektor kehidupan. Anak-anak tentara berlaku arogan dan menjadi penguasa di setiap tempat hiburan serta yang lainnya. Situasi ini jelas membuat tersinggung pemuda-pemuda yang berasal dari desa-desa di Denpasar. Maka munculnya Pemuda Denpasar sering disebutkan sebagai tandingan dari bergitu berkuasanya anak-anak TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang berkumpul mes mereka di Jalan Sudirman, Denpasar. Mereka sering menyebut dirinya AKOS (Anak Kolong Sudirman), atau sering disebut “Anak Sudirman”.
Yang pertama di zaman pasca reformasi ini adalah sebuah organisasi bernama Forum Peduli Denpasar (FPD) yang terletak di Kota Denpasar. Organisasi ini didirikan 20 September 2002 dan diikuti berbagai gebrakan dan gerakan-gerakan sosial. Pada pembukaan yang dihadiri oleh sejumlah intelektual Bali dan jajaran birokrasi di Kota Denpasar. FPD berjanji menjadi wadah independen masyarakat dan tidak akan terjebak pada kepentingan-kepentingan internal kelompok dan politik.
Made Sutama, akrab dipanggil Minggik, Ketua FPD mengatakan akan mengedepankan cara-cara persuasif dalam bersikap. FPD menyatakan siap berada dibelakang desa adat dan desa dinas dalam memecahkan segala persoalan yang mereka hadapi. Minggik mengungkapkan:

Tujuannya (FPD-pen) sebagai wadah atau organisasi sosial. Jadi ingin bersama pemerintah dan masyarakat untuk bersama menangulangi masalah sosial di Denpasar. Masalah yang paling krusial adalah kependudukan. Sebab masalah kependudukan sering menjadi pemicu kerawanan sosial, sehingga kota Denpasar tidak ada bedanya dengan kota Jakarta atau Surabaya.
[11]

Kita sadar bahwa perubahan adalah hal yang pasti. Tetapi perubahan di Kota Denpasar terlalu drastis. Terlalu hebat sebagai sebuah kota yang mempunyai budaya yang katanya unik, bernafaskan Hindu, dengan adanya perubahan ini kita juga prihatin. Banyak yang kadang-kadang datang ke sini seakan-akan ingin merusak Bali. Jadi kita prihatin, maka timbullah peduli, maka kita pakai Forum Peduli Denpasar
[12]


Setelah pendekralarisian ini, FPD mulai melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan pengerahan massa dalam berbagai kasus. Sampai kemudian pada momentum bom Bali, anggota yang berseragam FPD sangat jelas ikut menjadi relawan dalam evakuasi korban Bom Bali Oktober 2002. FPD menjadi salah satu organisasi sosial yang menerima penghargaan dari Kapolri atas jasanya ikut membantu dalam evakuasi korban Bom Bali. FPD melalui ketuanya, Sutama Minggik, mengatakan siap berhadapan dengan kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak dengan menggelar demo anarkis di Bali. Penerimaan penghargaan dilakukan di Hotel Borobudur dan dibuka langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. FPD dianggap berjasa ikut membantu tugas polisi dalam evakuasi korban bom Bali, memberikan informasi dan bekerja sama dalam mengungkapkan kasus bom Bali. Saat berdirinya September 2002, FPD telah menerima banyak penghargaan, kurang lebih empat penghargaan, yaitu dari Kapolri, Kapolda Bali, Gubernur Bali, dan Walikota Denpasar.

Bali Post dan Ajeg Bali: Industri Media dan Gerakan Politik Kebudayaan
Koperasi Krama Bali untuk Ajeg Bali
“Jati diri masyarakat Bali, manusia Bali memang merupakan pondasi yang kuat untuk mengajegkan Bali. Namun ketahanan ekonomi masyarakat Bali merupakan hal yang mutlak diperlukan bagi manusia Bali. Oleh karena itu karma Bali, marilah kita bersama-sama bergabung memecahkan masalah social kita, baik di sector nelayan, di sector informal dan sebagainya, dalam suatu wadah KOPERASI KRAMA BALI”
(Satria Naradha)

Ajeg Bali juga mengandung gerak “pemurnian budaya” yang ingin memilah antara yang “asli” dan yang “luar”. Ini tidak hanya karena benda yang “asli” punya nilai komersil yang tinggi, seperti barang antik di art shop, tetapi juga karena manusia yang “asli” bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali. Dalam wacana Ajeg Bali terjadi semacam pergeseran politik definsi budaya—kalau di bawah Orde Baru kebudayaan berkisar pada masalah seni, tari-tarian, musik, pakaian pengantin, masakan khas, dan warisan peninggalan, budaya dalam Ajeg Bali tidak lagi diterjemahkan sebagai puncak kreatifitas dan mentalitas sebuah kelompok, tetapi sebahai hak milik yang membendakan budaya.
(Degung Santikarma, “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”,Kompas 7 Desember 2003)

Bali Post sebagai ikon surat kabar di Bali terbit semula bernama Suara Indonesia pada 16 Agustus 1948 dengan badan penerbit Suara Indonesia. Perintisnya adalah K. Nadha dibantu Made Sarya Udaya dan I Gusti Putu Arka—keduanya teman seperjuangan K. Nadha ketika bekerja sebagai wartawan di surat kabar Bali Shimbun yang terbit di Denpasar pada waktu pendudukan Jepang, 1943-1945. Pada tahun 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua penerbitan harus berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada, nama Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Marhaen edisi Bali. Lantas pada bulan Juni 166 sampai dengan Mei 1971, diganti lagi namanya menjadi Suluh marhaen edisi Bali. Tahun 1971 barulah kemudian berubah menjadi Bali Post. Berikutnya, pelebaran gurita bisnis media Bali Post melahirkan Bali TV, televisi local Bali yang dikelola oleh PT Bali Ranadha Televisi pada 26 Mei 2002 dengan ABG Satria Naradha (anak K. Nadha) menjadi Direktur Utama/CEO Bali TV. (K Nadha Sang Perintis, 2001).

Ia (K.Nadha) pengemban pengamal pancasila (yang kemudian menjadi moto Bali Post) yang konsisten, juga pada zaman Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai sumringah di Bali. Ia pernah diinterogasi 11 jaksa secara bergantian, gara-gara Suara Indonesia memuat berita yang tidak membenarkan cara-cara politik PKI dalam sebuah rapat umum di Bali. Penghargaan berupa piagam “Penegak Pers Pancasila” diterimanya 27 September 1995. Ia juga pernah menerima penghargaan dari pemerintah bersama tujuh wartawan senior, di Solo, 8 Februari 1996. (Widminarko dan Darma Putra, 2006)

Bali TV lahir pada 26 Mei 2002 yang dikelola PT Bali Ranadha Televisi. Kelahiran Bali TV merupakan bukti perjuangan generasi penerus pers cetak di Bali yang mencoba menjaga api yang menerangi visi dan misi perintisnya K Nadha (1925-2001) agar tetap bercahaya dalam era teknologi informasi. Bali TV sejak awal konsisten menghadirkan dinamika seni dinamika seni, budaya, agama dan segala aspek kehidupan masyarakat Bali. Dinamika ini dipilih dengan asumsi seni budaya merupakan poros kehidupan yang menggerakkan dimensi social, ekonomi, pertahanan, politik, hukum dan demokratisasi masyarakat Bali (Widminarko dan Darma Putra, 2006). Bali TV juga telah mengembangkan gurita bisnisnya dengan mendirikan televise-televisi local di Semarang, Yogya, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Lewat korporasi industri media inilah, KMB mengepakkan sayapnya dengan merancang sebuah jargon kebudayaan. Pada zaman Orde Baru, saat kebekuan manusia Bali bersuara untuk melawan “koloni Jakarta”, KMB mengeluarkan jargon “De Koh Ngomong” (jangan malas bicara). Jargon ini dihadirkan untuk “memprovokasi” manusia Bali agar berteriak, protes terhadap Jakarta (pusat) yang terus mengeruk kekayaan di Bali, tanpa memeberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat Bali. Disamping itu juga sebagai perekat identitas ke-Bali-an, mempersatukan masyarakat Bali.
Gerakan kebudayaan itu adlaah Ajeg Bali yang membius perbincangan berbagai kalangan dan menjadi santapan sehari-hari manusia Bali. Tidak ada yang boleh lepas dan melupakan jargon Ajeg Bali. Mulai dari lomba jalan santai, kursus potong rambut, bakti social, pesangkepan banjar (pertemuan desa) hingga kampanye para kepala desa dan tokoh politik. Belum lagi ruang-ruang surat pembaca dan dialog interaktif di media massa hingg program khusus di sebuah stasiun televisi. Jargon ini seolah menjadi nyawa dalam setiap perbincangan, diskusi, sambutan kepala daerah, bahkan di arena tajen (sabung ayam), bius kata Ajeg Bali menjadi renyah dikunyah para bebotoh (penjudi), para pejabat, petani, dan tetua-tetua adat.
Berbekal “pembenaran” bernama Ajeg Bali inilah tersebar berbagai macam perdebatan yang panjang tentang konstruksi kebudayaan Bali. Berbagai macam perdebatan muncul silih berganti. Salah satu hasil dari pertentangan tersebut berujung kepada sebuah tekad bagaimana “menjaga” agar budaya Bali tetap kokoh dan kuat menerima berbagai macam pengaruh yang “mengancam” keutuhan budaya Bali. Ancaman tersebut tidak hanya datang dari pengaruh luar yang dianggap “merusak” budaya Bali, tapi orang Bali sendiripun berpotensi untuk “merusak” kebudayaannya sendiri tanpa disadari. Yang lain (the others dalam hal ini tidak hanya sebatas etnis.
Sebelum mengamini pendapat ini, ada baiknya melihat bagaimana cara kita memandang Bali. Apakah ia sebuah hak milik yang baku, dengan budayanya yang pantas untuk dipatenkan, dikekalkan menjadi barang langka dan steril dari pengaruh budaya lainnya, sehingga ada alasan kuat kita untuk melestarikannya? Seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan melakukan politik Baliserring, Balinisasi, pentradisian Bali menjadi museum hidup.
Karena itulah Degung Santikarma (1994) dalam sebuah artikelnya mengungkapkan salah satu perspektif dalam melihat Bali adalah sebagai sebuah dekonstruksi, (Bali) sebuah “bangunan” yang harus terus dibongkar jika tidak ingin beku, statis, dan mati tidak bernyawa. Karena kesadaran untuk terus membongkar itulah budaya Bali selayaknya dipahami sebagai sebuah “bentukan” dari berbagai campur tangah agency dan kekuasaan yang membentuknya.
Politik kebudayaan Ajeg Bali membentuk tangan-tangan, jejaring, agency manusia, yang tergabung dalam berbagai kelompok massa—bisa kelompok massa adat, politik, pemuda, dan lainnya. Jejaring kekuasaan kelompok massa itulah yang kemudian menjadi pengawas, penjaga kebudayaan. Muncullah satuan pengamanan, polisi adat bernama pecalang, yang tidak hanya menjadi pengaman upacara ritual di Bali, juga menjadi satuan pengaman partai politik, menjaga konser musik sampai melakukan sweeping penduduk pendatang. Pada bagian kedua buku ini secara sederhana akan diuraikan bagaimana genealogi dan aksi para jago-jago lokal ini, termasuk kiprah satuan pecalang.
Perdebatan wacana Ajeg Bali mengalir deras pasca ledakan Bom Bali di Legian, 12 Oktober 2002. Saat sebuah momentum besar dan sebagai titik awal menggeliatnya berbagai wacana stabilitas serta keamanaan Bali, dan yang terpenting terbangunnya pondasi landasan politik kebudayaan Bali pasca Bom Bali 2002.
Gambaran ideal Ajeg Bali memberikan banyak perspektif dan memunculkan debat yang panjang. Ada yang mengungkapkan Ajeg Bali sebagai sebuah agenda setting politik kebudayaan Bali, dimana salah satu poin pentingya adalah bagaimana menanamkan kepercayaan diri cultural (cultural confidence). ABG Satria Naradha, pimpinan Kelompok Media Bali Post (KMB) menuliskan memang tidak mudah mewujdukan cita-cita (Ajeg Bali) tersebut.:

Perlu banyak pengorbanan. Dalam ajaran agama Hindu, ada konsep yang mengajarkan tentang mulat sarira atau mawas diri. Mawas diri terhadap apa yang telah dilakukan dan apa yang mesti dilakukan. Dalam konteks mewujudkan keajegan Bali, hal itu mesti dilakukan di tengah keterpurukan sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Walaupun atas semua itu kita harus mebrata. Mebrata dapat berarti menghentikan segala bentuk pembangunan yang menghabiskan ruang, hilangnya jati diri, kesenjangan social ekonomi, ketidakadilan, dan hilangnya spiritualitas. Namun mebrata bukan pula berarti stagnan, tetapi melakukan pembenahan secara terus-menerus demi tertata tatanan kehidupan yang harmonis dan berkesinambungan tanpa harus kehilangan jati diri sebagai manusia Bali. (Satria Naradha, 2004).


Banyak cita-cita ideal dari Ajeg Bali, tapi tak kalah juga kritik pedas terhadapnya sebagai sebuah strategi komoditas “pemurnian budaya” yang digerakkan mesin industri media terbesar di Bali, KMB. Degung Santikarma mengungkapkan terminology Ajeg Bali berasal dari bahasa Bali biasa yang mempunyai arti “kokoh, tegak, tegar, kekal,, kencang, kuat, dan stabil”.

Merunut pemikiran yang ada dalam wacana Ajeg Bali, walaupun mengalami guncangan ledakan bom yang dahsyat, kebudayaan Bali tetap berwibawa, tak tergoyahkan, berdiri tegak, kokoh, dan tegar. Dengan memakai bahasa local, Ajeg Bali mempromosikan diri sebagai wacana populis untuk membayang-bayangi otoritas elite tradisional, yaitu kaum Brahmana, aristokrasi, dan kekuasaan negara yang memakai bahasa Sansekerta sebagai tanda legitimasi atas peradaban seperti dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Panca Dharma Wanita, dan Sapta Pesona. (Degung Santikarma, 2004).


Degung melanjutkan, dibalik bahasa akrab Ajeg Bali, tersembunyi ketidaksetaraan gender dan keperkasaan. Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Melalui program “Bali Lestari”, pemerintah Orde Baru meneruskan cita-cita penjajah yang sama-sama melihat kebudayaan Bali sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tidak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya. (Degung Santikarma, 2004).
“Jargon Kebudayaan” Ajeg Bali tidak hanya membius identitas “ke-Balian” masyarakat Bali, tapi secara tanpa sadar disamping ia--Ajeg Bali--telah membekukan kebudayaan, menjadikannya hak milik, juga menyulut benih-benih gerakan esensialisme kebudayaan, dan juga benih-benih fundamentalisme Hindu. Ini karena Ajeg Bali—bagi pengikut gerakan esensialisme budaya--seharusnyalah berdasar pada ajaran-ajaran agama Hindu yang mendasari kebudayaan Bali. Maka disebutlah kemudian Ajeg Bali seharusnyalah juga Ajeg Hindu.
Politik kewaspadaan baru ini terbilang ampuh untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis dari kelompok-kelompok subaltern di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali adalah Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang Ajeg Bali.
Di sinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Dan negara dalam bayangan kita tidak jauh-jauh, tapi saudara, teman-teman kita yang menjadi agency-agency dari manusia orde baru. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakn jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya. Negara secara terus-menerus melaksanakan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun. Di lain soal, masyarakat Bali patuh, apolitis dan pragmatis membayangkan gemerincing dollar akan membangunkan mereka dari tidur panjang.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).

Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya dalam keseharian masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya. (Degung Santikarma, tanpa tahun)

Ajeg Bali dan politik kewaspadaan serta curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, sasaran-sasaran.. (Haryatmoko, 2004).
Politik media massa berperan penting dalam merebut opini publik untuk pengganyangan komunis bekerjasama dengan media militer. Emperium media ini berhasil merebut kekuasaan media dan publikasi di Bali pasca 1965. Gurita bisnis dan kekuasaan media ini masuk dalam ruang-ruang pribadi manusia Bali, seperti selera lagu pop Bali, bahkan bakso dan soto Ajeg Bali.
Media ini bertahan dan berkuasa dengan menggunakan sentimen fluid bernama “penjaga budaya Bali” yang langsung disambut sumringah masyarakat Bali yang sedang terpuruk pasca Bom. Karena kompeksitas masalah, Ajeg Bali menjadi tong sampah yang menampung semua masalah yang menimpa Bali. ‘Menjaga Bali” perlu dilakukan dengan langkah apapun yang bermuara pada mengembalikan kekuatan masyarakat Bali dan bersandar pada kebudayaan dan agama Hindu.
Maka beragam program dan tema kegiatan ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya harus menyinggung Ajeg Bali. Dalam bidang pendidikan diadakanlah kompetisi pemilihan Guru dan Murid Ajeg Bali. Dalam bidang ekonomi terbentuk KKB (Koperasi Krama Bali) yang menyediakan dana bantuan pada krama (warga Hindu Bali) untuk berusaha. KKB juga melakukan pelatihan membuat bakso dan soto Ajeg Bali yang khas Bali.
Di balik soto dan bakso Ajeg Bali itulah dipentaskan berbagai macam kepentingan dari agency-agency manusia Bali. Ajeg Bali terlahir dan tumbuh dari kekuasaan modal yang besar dari sebuah industri raksasa media di Bali. Industri media ini memerlukan “dagangan”, idealisme dan visi. Dan sejarah telah mencatatkan namanya menjadi media pengusung nasionalisme di Bali. Nasionalisme itu kemudian bereinkarnasi menjadi “Menjaga Kebudayaan Bali”. Karena kebudayaan menjaga harta berharga, maka keaslian, keotentikan dan keberlanjutan menjadi harga mati. Ritual-ritual keagamaan terus dipompa, penggalian nilai keaslian budaya menjadi program utama. Dengan nilai itulah, media Ajeg Bali ini mengais keuntungan terus menerus dan mengepakkan sayap bisnisnya.
Ajeg Bali adalah kampanye miliaran rupiah dari sebuah industri media, yang dioperasikan lewat agen-agen manusia “berbudaya” hasil ciptaan Orde Baru dan ideologi “pariwisata budaya”. Juga lewat agency tangan-tangan kapitalis dari pemimpin televisi dan media massa yang beridealisme untuk “menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali”.
Karena ancaman dari nak jawa itulah, gerakan penguatan identitas dan sentimen ke-BALI-an dari masyarakat Hindu Bali semakin terlihat dengan jelas. Gerakan ini mengatasnamakan agama Hindu Bali untuk membentengi kebudayaan Bali dari pengaruh luar yang berpotensi untuk menghancurkan kebudayaan Bali. Gerakan ini bernama Ajeg Bali dan Ajeg Hindu, yang berarti gerakan untuk menguatkan, mengokohkan, dan membentengi kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu dari ancaman pengaruh luar yang dibawa oleh pendatang. Gerakan penguatan kebudayaan ini diluncurkan pertama kali oleh pimpinan sebuah industri media terbesar dan berpengaruh yaitu Kelompok Media Bali Post. Anak Bagus Gede Satria Naradha adalah pimpinan kelompok media ini yang menguasai hampir semua segmen masyarakat Bali dengan media yang dibuatnya, dan juga stasiun televisi bernama Bali TV. Di Harian Bali Post dan Bali TV, program Ajeg Bali dan Ajeg Hindu terus mendapatkan porsi dengan berbagai respon terhadap persoalan-persoalan yang melanda Bali.
Salah satu tujuan gerakan ini penguatan ekonomi masyarakat Hindu Bali yang selama ini terasa terpuruk dan kalah bersaing dengan para pendatang. Maka lahirlah program “Koperasi Krama Bali” (KKB) dari Kelompok media Bali Post untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat Hindu Bali untuk berusaha membuka warung dan bersaing dengan pedagang-pedagang yang mayoritas berada dari luar Bali. KKB selain memberikan pinjaman modal juga melakukan pelatihan-pelatihan membuat soto, sate, dan bakso Ajeg Bali yang khas KKB untuk dapat bersaing dengan pedagang dari luar Bali. Mereka yang bergabung dalam KKB di setiap usahanya akan diberikan spanduk bertuliskan, “Binaan Koperasi Krama Bali”. Dan jika beruntung akan dimuat sebagai promosi di Harian Bali Post. Dalam iklannya di Bali TV, KKB lewat bakso, sate, dan soto Ajeg Bali adalah sukla (suci), bersih, dan asli Bali.
Selain ekonomi, gerakan penguatan kebudayaan Bali juga memunculkan kelompok-kelompok pemuda dan mahasiswa Hindu. Massa pemuda dan mahasiswa Hindu ini ditambah dengan anggota sekaa teruna (kelompok pemuda) desa-desa di Bali melakukan demonstrasi untuk secepatnya mengeksekusi mati tokoh teroris Amrozy, Imam Samudra, dan lainnya. Dalam dua kali aksi demonstrasi September-Oktober 2005. Mereka mengatasnamakan GAT (Gerakan Anti Teroris). Dalam dua kali aksi demonstrasi September-Oktober 2005, kelompok massa Hindu ini berbusana adat Bali dan melakukan persembahyangan saat demo berlangsung. Mereka mengecam teroris yang menghancurkan Bali. Mereka siap berperang sampai puputan (titik darah penghabisan) melawan teroris.
Beberapa hari sebelum aksi itu berlangsung, Bali sempat dipanaskan dengan munculnya selebaran berjudul “Bali dalam Genggaman” yang tersebar di desa-desa di Bali. Isi selebaran itu adalah memojokkan masyarakat Hindu Bali yang telah terpinggirkan karena pengaruh para pendatang yang menguasai hampir semua lahan kehidupan ekonomi di Bali. Karena itu, Pulau Bali telah dikuasai oleh Nak Jawa (pendatang) dengan perbandingan penduduk pendatang dan asli 60% berbanding 40%. Kelompok lainnya adalah sebuah organisasi intelektual pemuda Hindu yang sering melakukan protes terhadap “pelecehan” simbol-simbol dan cerita Hindu yang dipakai sampul kaset, cover buku, dan cerita sebuah film.
Mengenai munculnya kelompok-kelompok “pembela dan penjaga” nilai-nilai Hindu ini, IBM Dharma Palguna, seorang sastrawan dan intelektual Hindu, menuliskan sebuah catatan yang menggugah:

Dalam tradisi religius Hindu selalu ada kelompok yang punya semangat menggalirkan sehingga Hindu terus ada (sanatana). Tetapi, kelompok mengalirkan itu tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu oleh pihak yang justru menentangnya, yaitu kelompok yang selalu ingin membendung, alias menstandarkan nilai-nilai. Yang punya semangat mengalirkan umumnya mereka yang melakoni Hindu sebagai religiusitas universal, seperti Saraswati yang selain nama sebuah sungai juga berarti mengalir. Sedangkan yang mempunyai semangat membendung umumnya mereka yang berpikir bahwa Hindu adalah institusi yang standar, yang di dalamnya hanya ada “benar vs tidak benar” dan “boleh vs tidak boleh” (IBM Dharma Palguna, 2005).


Mengingat, Melupakan dan Mensweeping, “Menertibkan“
Rangkaian jejak teror dan kekerasan dalam perjalan politik kebudayaan Bali menimbulkan sebuah konstruksi pada apa yang mesti diingat dan dilupakan dalam berbagai momen. Sebuah representasi dalam pembentukan politik kebudayaan Bali, dengan mana yang “diagungkan“ dan mana yang “tersisihkan“ dalam perbincangan sang kuasa.
Degung Santikarma (2003) memberikan contoh yang menyegarkan ingatan kita tentang bagaimana politik representasi kekerasan di Bali. Tragedi pembantaian massal 1965 dan Bom Bali. Peristwa pertama sama sekali tidak mendapat perhatian, dan peristiwa kedua menunjukkan bagaimana “keajegan Bali“ melawan terorisme. Pada momen Bom Bali, Bali direpresentasikan sebagai daerah yang “patut dikasihani“ karena konstruksi citra Bali sebagai pulau fantasi dan daerah “olah budaya“, harmonis dan nirkekerasan.

Peristiwa bom menjadi momen yang pas untuk sebuah pembuktian pada dunia luar dan pada diri orang Bali sendiri bahwa pujian terhadap Bali bukan hanya basa-basi melainkan dalil yang seolah-olah teruji kebenarannya. Media asing mengangkat narasi ini, bukan hanya karena mereka percaya penuh terhadap mesin promosi pariwisata Bali. Kisah ini juga cocok dengan kebutuhan mereka untuk memisahkan dunia dalam kutub antara pelaku dan korban terorisme. Bali sebagai korban tak berdosa, minoritas Hindu dalam negara mayoritas Islam, menerima simpati dan kasih sayang dari masyarakat Barat yang memakai Bali sebagai cermin penderitaan dan kekhawatiran mereka.
[13]

Lain halnya jika kita bicara tentang tragedi kemanusiaan 1965. Dalam pikiran para pendukung gerakan “pengembalian citra damai Bali“, mengungkap kisah pedih ini akan mencoreng Bali yang sudah kadung terimagekan sebagai daerah yang eksotis. Sebuah politik representasi juga ketika pada Bom Bali liputan media massa dan perhatian masyarakat Bali tercurah semuanya dengan kaos dan spanduk, “Bali Love Peace“. Gerakan ini tercipta karena jejak panjang konstruksi bagaimana Bali dibentuk menjadi daerah “olah budaya pulau sorga“. Dengan demikian, Bali telah diawasi gerak-geriknya. Reaksi masyarakat Bali yang belebihan terang saja akan mengganggu citra pulau eksotis ini.
Image yang diciptakan untuk menggambarkan Bali sebagai pulau damai, kebal dari sejarah kekerasannya sendiri, menjadi sebuah komiditas untuk ekspor sekaligus bahan kebutuhan domestik. Orang Bali sadar mereka sedang diperiksa, diuji, dan diselidiki untuk direpresentasiakan oleh media luar. Kehadiran pers asing berfungsi sebagai kamera pengawas, atau dalam bahasa Foucault sebagai panopticon, yang me-“litsus“ gerak-gerik orang Bali. Kalaupun ada ketegangan antar etnis yang muncul di Bali pascabom, seperti sweeping KPT dan tertib administrasi terhadap penduduk pendatang, ini harus disembunyikan di bawah kasur supaya masyarakat tidur nyenyak dan bermimpi tentang gemerincing dollar pariwisata. Di satu sisi, ledakan bom memang menggemboskan roda perekonomian bali. Tetapi, dari sisi lain, tragedi Bom bali justru mempertebal rasa solidaritas orang Bali. (Degung Santikarma, 2003).
Rasa solidaritas itulah yang kemudian menggencarkan gerakan sweeping penduduk pendatang pasca Bom Bali 2002 dan 2005. Karena istilah sweeping, razia identitik dengan “citra buruk“, keberingasan kelompok Islam radikal yang melakukan sweeping di tempat maksiat di bulan puasa, maka berubahlah istilah dengan menyebutkan menertibkan. Dan kemudian dituangkan menjadi isntitusi tim “pendataan penduduk pendatang“. Untuk lebih membuat sopan dan birokratis, dilabelkanlah tim ini di bawah desa adat, dilegalisir dengan membuat struktur organisasi, pakaian seragam dan dilengkapi dengan fasilitas mobil dan motor patroli. Tim Pendataan Penduduk Pendatang bahkan dibuatkan surat perintah dari desa adat dan berada di bawah payung hukum desa adat.
Legalisasi sweeping ini ditunjukkan dengan kebijakan beberapa desa adat di Bali untuk memberlakukan “uang keamanan“, dalam bahasa lokal disebutkan dengan dana jaga baya. Dana ini berbeda dengan pemasukan setiap sebulan atau tiga bulan (tergantung kebijakan masing-masing desa adat) terhadap penduduk pendatang.
Dengan dana inilah digunakan untuk biaya operasional Tim Pendataan Penduduk Pendatang, menggaji para petugasnya, mebeli alat komunikasi, bahkan pada desa-desa yang “basah“digunakan untuk membeli mobil patroli. Sebagian dana lainnya masuk ke desa adat digunakan sebagai dana pembangunan di desa. Secara sederhana bisa disimpulkan sebagai kehidupan ritual dan denyut nadi masyarakat Bali bersumber dari uang sweeping pada penduduk pendatang yang berdalih penertiban, pendataan.
Sentimen dan ketegangan etnisitas dalam aksi sweeping ini berusaha diminimalisir publikasinya. Meskipun image tentang nak jawa, para pendatang, yang “menghancurkan“ sorga Bali sangat kental masih tertanam pada orang Bali. Jika ketegangan etnisitas ini mengemuka, Bali akan mengalami kerugian. Citranya akan ambruk dan pariwisata hanya tinggal kenangan saja.

















Daftar Pustaka


Adam, Asvi Warman, 2004, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Ombak.
Abidin, Zainal, 2005, Penghakiman Massa, Kajian Atas Kasus dan Pelaku, Jakarta, Accompli Publishing.
Anwar, Dewi Fortuna, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor), 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.
Barker, Joshua, tanpa tahun, “Vigilantes and The State”, makalah tidak dipublikasikan.
Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah, 2004, Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.
Bali Post, 2004, Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.
------------, 2001, K. Nadha Sang Perintis, Denpasar, Penerbit Bali Post.
Butalia, Urvashi, 2002, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence, Yogyakarta, Indonesia Tera.
Budiawan, 2004, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam).
Camara, Dom Helder, 2005, Spiral Kekerasan, Yogyakarta, Resist Book.
Cribb, Robert (editor), 2003, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta, MataBangsa.
Colombijn, Freek, Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia, Pelajaran dari Sejarah, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor), 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.
Collins, Elizabeth Fuller, 2002, Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan, diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko, pernah dimuat dalam Asian Survey Vol. XIII No. 4 Juli/Agustus 2002, hlm. 582-604.
Dwipayana, AAGN, 2005, Bali: Surga Bertepi Kekerasan, Pengantar buku I Ngurah Suryawan, 2005, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Yogyakarta, Kepel Press.
Eklof, Stefan, 2003, Pembunuhan-pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (ed), Order Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, LkiS.
Gandi, Laeela, 2001, Teori Postkolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta, Qalam.
Geertz, Clifford, 2000, Negara Teater, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.
Gie, Soe Hok, 1995, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.
Hardiman, F.Budi, 2005, Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Jakarta, Penerbit Kompas.
Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
Huskeen, Huub de Jonge (eds), 2003, Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, Penerbit LKiS.
ISAI Tim, Togi Simanjutak (Editor), 2000, Premanisme Politik, Jakarta, ISAI.
Loomba, Ania, 2003, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta, Bentang.

Nordholt, Henk Schulte, 2002, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus, 1996, Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Dharma Sastra.
Masaaki, Okamoto dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.
Palguna, IBM Dharma (ed), 2006, Bom Teroris dan “Bom Sosial”, Narasi dari Balik Harmoni Bali, Perspektif Korban dan Relawan, Denpasar, Yayasan Kanaivasu.
Pitana, I Gde, 1999, Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, Denpasar, Bali Post.
Ruslani, 2005, Ingatan Sosial dan Etika Politik, Bentara Kompas 1 Juni 2005.
Reken, I Wayan, tanpa tahun, manuskrip tidak dipublikasikan, “Operasi Front Pancasila (Mengikis Habis Gerakan PKI 30 September 1965 sampai dengan mei 1966)“.
Robinson, Geoffery, 1995, The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.
------------------------, 2006, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor), 2004, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia
Santikarma, Degung, 2002, “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”, Kompas Minggu 6 November 2002.
------------, tanpa tahun, “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”, makalah terbatas.
-----------, 2000, “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas 1 September 2000.
------------, 2003, “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”,Kompas 7 Desember 2003.
------------, 2004, “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas, 7 Juli 2004
------------, 2004, “ Sweeping” Bali, “Sekala” dan “Niskala”. Kompas, 7 April 2004.
------------, 1994, “Bali Sebuah Dekonstruksi”, Nusa Tenggara, 22 Oktober 1994.
------------, 2006, “Bulan Ingatan dan Pelupaan di Bali”, Kompas, 1 Oktober 2006.
Sasongko, HD,. Haryo (Penyusun) dan Melani Budianta (Penyunting), Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965, Jakarta, Amanah Lontar bekerjasama dengan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam.
Setiawan, Hersri, 2003, Aku Eks Tapol, Yogyakarta, Galang Press.
----------, Hersri, 2003, Kamus Gestok, Yogyakarta, Galang Press.
Siegel, James T, 2000, Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta, LKiS.
Setia, Putu, 2004, Ajeg Bali atau Ajeg Hindu, dalam Majalah Raditya No. 89 Desember 2004.
Sulistyo, Hermawan, 2000, Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Jakarta, Gramedia.
Sukanta, Putu Oka, 1999, Merajut Harkat, Yogyakarta, Jendela Budaya dan Pustaka Pelajar.
Suryawan, I Ngurah, 2002, “Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali”, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.
-----------2005, “Pecalang Politik dan Para Milisi”, dalam Kompas 17 April 2005.
-----------,2004, “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004
-----------2005, BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.
-----------2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.
------------2005, Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan, Yogyakarta, Kepel Press.
-----------2005, “Mass Grave Fieldwork”, Kompas 2 Juli 2005.
------------2005, “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.
-----------2006, Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.
-----------, 2006, “Bertutur Di Balik Senyap (Studi Antropologi Kekerasan Pembantaian Massal Tragedi 1965 di Desa Tegalbadeng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali), Skripsi di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, November 2006.
-----------,2007, Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal 1965 di Bali, Yogyakarta, Galang Press.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed), 2004, Hermeneutika Pasca Kolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Vikers, Adrian, 1989, Bali: A Paradise Cretated, Victoria Penguin.
Widyarsono, A, 2000, Hubungan Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, dalam Jurnal Driyarkara Tahun XXIII No. 4.
Wijaya, Nyoman, 2004, Melawan Ajeg Bali: Antara Eksklusifitas dan Komersialisasi, dalam Jurnal Ilmu Sejarah, Tantular, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali Edisi No. 2 Tahun 2004.

Koran, Jurnal, dan Majalah
Basis “Edisi khusus Foucault dan Marx“, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002
Basis, No. 09, 10 September-Oktober 2002.
Bali Post, 28 September 2003.
Driyarkara Jurnal No. XXIII No. 4
Media Hindu, Majalah, “Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya dan Tanah Bali”, Edisi 21 November 2005.
Sarad, Majalah Gumi Bali, “Pecalang Pulanglah”, No. 31 Oktober 2002.
Sarad, Majalah Gumi Bali, “Sudahi Kelahi Sesami Bali”, No. 44 Desember 2003.
Sarad, Majalah Gumi Bali, “Titah Latah Ajeg Bali”, No. 43 November 2003.
WACANA, “Kekerasan dalam Masyarakat Transisi”, Edisi IX/2002.
SEJARAH 9, “Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih”, Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Jurnal Kajian Budaya, Volume 3 Nomor 5 Januari 2006.
Jurnal Kajian Budaya, Volume 3 Nomor 6 Juli 2006.
Denpost, Bukan Zaman Sri Kesari, Bukan Pembantaian PKI, Selasa 21 Desember 2004.
Bali Post, Ditemukan Fosil Manusia pada Galian DSDP, Jumat 17 Desember 2004.
Bali Post, Lagi, Ditemukan Fosil di Galian DSDP, Sabtu 18 Desember 2004.
Nusa, Tulang Tanpa Kepala Gegerkan Warga, Sabtu 13 Desember 2003.


[1] Makalah yang disiapkan untuk Lokakarya “Konflik dan Disharmoni Sosial Pada Era Reformasi di Indonesia pada Ulang Tahun Ke 50 Antropologi FISIP Universitas Indoensia, 11-12 Desember 2007 di kampus Universitas Indonesia, Depok.
[2] Alumni Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali November 2006. Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Publikasinya diantaranya: Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali (Ombak,2005), Jejak-jejak Manusia Merah: Siasat Politik kebudayaan Bali (BukuBaik dan Elsam,2005) dan Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (Galang dan PUSdEP,2007).Bisa dihubungi di: ngurahsuryawan@gmail.com.
[3] Catatan lapangan Maret-Mei 2004.
[4] Nak Jawa (generalisasi untuk istilah semua pendatang berasal dari Pulau Jawa) atau dalam bahasa desa adat di Bali Krama Tamiu adalah istilah dan konsep dalam kebudayaan Bali untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat asli Bali. Konsep masyarakat asli dan pendatang telah lama ada dalam pikiran masyarakat Bali. Dalam komunitas adat di Bali, pembedaan ini jelas terlihat dari pemisahan karma (warga) adat dan krama dinas, para pendatang.
[5] Lebih lengkap lihat James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, (Yogyakarta: LKiS, 2000).
[6] Lebih lengkap lihat Sidhunata, “Terorisme Bawah Sadar” dalam Basis Edisi Khusus Derrida, No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005.
[7] Ibid.
[8] Lihat Degung Santikarma, “Pentas Antropologi di Inonesia”, Kompas, 7 Juli 2004.
[9] Lebih lengkap lihat, “Tanpa Kehadiran Pecalang, Bali Sudah Rusuh”, Kompas 28 November 2000.
[10] Lebih lanjut lihat Degung Santikarma, Pecalang Bali: Siaga Budaya dan Budaya Siaga dalam Nyoman Darma Putra (ed), Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif, (Denpasar: Penerbit Bali Post, 2004).
[11] Made Sutama “Minggik, “Saya Lebih Banyak Hidup di Jalan”, Bali Post, 29 September 2002.
[12] Ibid
[13] Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal: Politik Representasi Kekerasan di Bali”, Kompas, 1 Agustus 2003.

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut