Who am I

Who am I

Minggu, 23 Maret 2008

Jejak Pergolakan Pers Mahasiswa

Patah Tumbuh Hilang Berganti
Sepenggal Catatan Pergolakan Pers Mahasiswa

Agus Purnomo dan I Ngurah Suryawan
Pers Kampus Akademika Universitas Udayana


“…Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya…”
(Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, 2000)


I
Pertanyaan sangat-sangat gampang, asalan, tapi mendasar untuk mengetahui posisi dan peran mahasiswa di lingkungannya. Apakah mahasiswa masih punya orientasi untuk berdinamika dengan jamannya sekarang ini di Indonesia? Pertanyaan ini mendapat jawaban jika mahasiswa menyadari kekuatannya—yang membawa lingkungannya sangat berharap akan kiprahnya. Salah satunya adalah pers dan gerakan mahasiswa.
Apakah kita beromantis ria jika mengingat bagaimana jayanya persma dulu? Kami rasa tidak berlebihan jika harus kami katakan bahwa melihat sepenggal pergolakan pers dan gerakan mahasiswa akan membawa kita bercermin. Mitos dan panggung kekuatan gerakan dan pers mahasiswa setidak-tidaknya pernah menjadi gerakan sosial yang kuat untuk menumbangkan rezim kekuasaan. Dan itu tidak terbantahkan.
Bukannya meromantisisasi, untuk menegok kembali pergolakan sejarah pada zaman itu, tapi setidaknya memberi kita inspirasi. Misalkan nama Soekarno dan Mohamad Hatta, dua bapak bangsa yang menerbitkan Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia dan Fikiran Ra’jat di kampus mereka. Pada masa itu, media mahasiswa sangat jelas berorientasi untuk perjuangan melawan kolonialisme imperialisme dan memberikan penyadaran “bahwa dijajah” kepada rakyat Indonesia.
Eksistensi pers mahasiswa di Indonesia telah banyak memberikan kontribusi menggairahkan dalam pergolakan bangsa ini. Dalam setiap peralihan rezim, dia selalu menjadi pioner perubahan bersama-sama dengan gerakan mahasiswa. Perselingkuhan antara pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa adalah kekuatan massa yang bisa menumbangkan kekuasaan rezim. Mulai dari masa Orde Lama Soekarno dengan gerakan 66’, peristiwa Malari 1974 dan yang paling fenomenal adalah peristiwa Mei 1998. Penumbangan rezim otoritarianisme Orde Baru dan turunnya Soeharto seolah menjadi ‘kemenangan abadi’ aktivis mahasiswa yang dimitoskan hingga hari ini. Saat itu, pers mahasiswa berperan besar dalam menyampaikan informasi yang mengakomodasi kepentingan rakyat yang terkungkung akibat represivitas militer ala Orde Baru.

II
Tidak terlalu jelas memang kapan pertama kali pers mahasiswa pertama kali muncul di Indonesia. Tapi satu hal yang pasti terbukti, dia hampir selalu ada di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Demikian pula tidak ada catatan resmi berapa jumlah pers mahasiswa yang tetap eksis hingga kini. Namun, bisa diduga, jumlah pers mahasiswa hampir sebanding dengan jumlah perguruan tinggi ditambah jumlah fakultas di masing-masing perguruan tinggi tersebut. Bisa dibayangkan, betapa besarnya kekuatan pers mahasiswa jika memang kenyataan itu benar adanya.
Amir Effendi Siregar membagi sejarah pers mahasiswa dalam dua periode yaitu masa pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Dua periode ini kemudian dibagi lagi menjadi enam zaman. Masa prakemerdekaan dibagi menjadi masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Sedangkan masa paska kemerdekaan dibagi menjadi zaman Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru. Masa Orde Baru ini dibagi lagi menjadi dua periode yaitu periode 1965/1966-1971/1974 dan 1971/1974-1980 (Amir Effendi Siregar, 1983).

1. Zaman Kolonial Belanda
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan, pers mahasiswa dianggap telah mencatatkan diri sebagai counter attack terhadap media penjajah dan alat propaganda untuk merebut perjuangan nasional (Agung Sedayu, 2005) Tercatat Hindia Poetra, Oesaha Pemoeda, Jong Java, Soeara Indonesia Moeda pada medio 1920-an mewarnai coretan sejarah bangsa. Sesuai dengan nilai-nilai yang dikandungnya, tidak aneh jika pers mahasiswa dipengaruhi oleh gerakan-gerakan kemahasiswaan dan gerakan perjuangan lainnya. Pers mahasiswa lahir seirama dengan kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda, pelajar dan mahasiswa. Pers mahasiswa kala itu menjadi alat penyebaran ide tentang hakekat pembaharuan dan perjuangan dasar akan pentingnya kemerdekaan. Nugroho Notosusanto, sebagaimana dikutip Amir Effendi Siregar (1983:38) mengatakan, pers mahasiswa sudah mulai timbul pada masa penjajahan Belanda. Hanya saja baru sedikit yang bisa dikatakan profesional.
Jadi pada masa ini, pers mahasiswa lebih banyak menuangkan ide mereka dalam media tercetak. Hal ini mengingat jumlah kaum terpelajar masa itu masih sedikit sehingga mereka memerlukan sarana komunikasi massa untuk menyebarluaskan pemikiran mereka. Konsekuensinya, teknik jurnalistik menjadi permasalahan kedua.

2. Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa ini pers mahasiswa tidak mencatat kemajuan berarti. Revolusi fisik dalam mencapai kemerdekaan menjadikan kehidupan politik menjadi tidak stabil. Isu kemerdekaan dan kebangsaan yang selama ini menjadi spirit utama pers mahasiswa pada masa kolonial Belanda diambil alih propaganda Jepang. Hanya ada brosur stensilan yang umumnya dikeluarkan oleh pemuda. Pada periode ini sulit membedakan antara penerbitan yang dikeluarkan mahasiswa dengan penerbitan yang dikeluarkan oleh pemuda.

3. Zaman Demokrasi Liberal
Tahun 1945 sampai dengan 1948 belum banyak pers mahasiswa yang lahir secara terbuka. Hal ini disebabkan eksistensi Republik Indonesia belum diakui oleh dunia internasonal sehingga pemudan dan mahasiswa terlibat secara fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. Setelah tahun 150 barulah pers mahasiswa tumbuh satu persatu. Puncaknya, tahun 1955 komunitas pers mahasiswa mulai menapaki masa kejayaan. Tercatat pada masa ini diwarnai dengan lahirnya berbagai komunitas pers mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia.
Meningkatnya kuantias pers mahasiswa menyebabkan keinginan pengelola untuk meningkatkan mutu pers mahasiswa baik dari segi redaksional maupun isinya. Atas inisiatif Majalah GAMA di Yogyakarta maka diselenggarakanlah Konferensi pada bulan Agustus 1955. Konferensi dihadiri oleh GAMA, Gajah Mada, Criterium, Media, Vivat, Ta Hsueh Ta Chih, Mahasiswa, Intelegensia, Duta Mahasiswa dan Fiducia. Kuatnya pengaruh media umum sehingga konferensi ini melahirkan dua organisasi yaitu Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dengan ketua Teuku Jacob dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dengan ketua Nugroho Notosusanto. Konferensi ini juga berhasil melahirkan anggaran dasar serta Code Jurnalistik Mahasiswa.
Pada bulan Februari 1975 SPMI dan IMWI mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila dengan mengirimkan Nugroho Notosusanto dan Kusnadi Hardjasoemantri sebagai anggota delegasi. Konferensi ini diikuti oleh sepulu negara yaitu Australia, Ceylon, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Malaya, New Zealand, Pakistan dan Filipina.
Pada masa ini pers mahasiswa mencapai puncak perkembangannya. Kebebasan yang diberikan untuk beraktivitas memunculkan peluang bagi seluruh personel pers mahasiswa memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini terlihat dari keterlibatanj IMWI dan SPSI dalam aktivitas pers internasional. SPSI dan IMWI dianggap represantatif karena didukung oleh banyak pers mahasiswa tanah air.
Warna intelektualisme begitu kuat dalam pers mahasiswa era 1950-an. Dalam menyikapi setia persoalan, pers mahasiswa selalu menggunakan pendekatan secara ilmiah. Paling tidak pers mahasiswa bertindak secara obyektif dan kritis. Obyektif maksudnya pendapat yang diajukan bisa diuji oleh siapapun juga sedangkan kritis berarti menuntut wartawan untuk meneliti, memperdalam masalah tanpa mudah dihalangi oleh prasangka.

4. Zaman Demokrasi Terpimpin
Dengan sistem politik ini, pemerintah melakukan kontrol yang tegas terhadap penerbitan media. Pers diharuskan untuk menyuarakan kepentingan golongan dan partai politik tertentu. Pers bebas yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu tidak diperkenankan berkembang. IPMI yang bebas dan tidak terikat dengan kepentingan politik tertentu menjadi sulit berkembang. Terjadi diskurus internal antara keinginan untuk berafiliasi dengan partai politik dan mempertahankan independensi IPMI dan anggotanya.
Dalam kondisi seperti ini, pers mahasiswa banyak mengalami kemunduran dan bahkan mati secara perlahan-lahan. Gajah Mada dan GAMA di Yogyakarta tidak mampu bertahan hidup. Di Jakarta, Majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Akhir periode ini muncul tekanan terhadap organisasi IPMI dengan tuduhan dari massa kiri yang menyatakan IPMI adalah anak dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. IPMI tidak mencantumkan MANIPOL-USDEK dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, sesuatu yang diwajibkan Soekarno kala itu.

5. Zaman Demokrasi Orde Baru (1965/1966-1971/1974)
Setelah kegagalan peristiwa Gerakan 30 September, terlihat suatu usaha untuk melenyapkan sistem politik demokrasi terpimpin. IPMI sebagai organisasi pers mahasiswa terlibat secara penuh dalam proses pelenyapan itu. Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret menyebabkan kekuasaan Soekarno harus berakhir serta kekuatan politik yang mendukungnya. Bersamaan dengan itu lahir surat kabar dan majalah mahasiswa yang keseluruhannya adalah anggota IPMI atau menyatakan diri sebagai anggota IPMI.
Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Mimbar Demokrasi adalah surat kabat terkemuka yang dikelola oleh pengurus IPMI. Pada awal periode ini, pers mahasiswa dengan IPMI sebagai induk kembali mencapai puncaknya. Tetapi terdapat perbedaan yang cukup besar antara pers mahasiswa masa 1950-an dengan awal masa Orde baru. Awal dari periode ini, tampak jelas terlihat bahwa pemberitaan yang dimuat media mengandung tendensi untuk menjatuhkan kejelekan sistem demokrasi terpimpin. Pertarungan IPMI dikancah politik membuat dia diakui oleh Menteri Penerangan, sejajar dengan organisasi pers lainnya.
Namun pengakuan dari Menteri Penerangan ini justru pers mahasiswa dalam posisi dilematis. Apakah akan tetap amatir atau bergerak ke arah profesional? Ketua IPMI, Nono Anwar Makarim dlam konggres IPMI II di Kaliurang pada 28-30 Juli 1969 menyetakan pers mahasiswa telah menjadi profesional secara penuh. Maka pers mahasiswa telah masuk dalam kancah persaingan bebas dengan pers umum secara terbuka dan pers mahasiswa telah membuktikan bahwa bisa bertahan dan tidak jarang menang dengan gemilang (Amir Effendi Siregar, 1983: 49).
Pengganyangan terhadap Soekarno baru terhenti ketika Orde Baru menata kembali perekonomian yang porak poranda. Pada titik inilah pers mahasiswa ikut mencari, merumuskan, dan menegakkan ideologi pembangunan. Kesimpulan yang diambil Raillon (1986:332) ketika melakukan penelitian terhadap Mahasiswa Indonesia adalah Mahasiswa Indonesia juga telah menjalankan fungsi lainnya yang boleh jadi lebih penting, yaitu berupa sumbangan bagi tegaknya sebuah ideologi Orde Baru. Selama hampir delapan tahu—pada hampir 400 penerbitan—Mahasiswa Indonesia secara teratur mengemukakan gagasan yang intinya berupa keinginan mereka terhadap modernisasi dan pembangunan Indonesia. (Didik Suproyanto, 1998).

6. Zaman Demokrasi Orde Baru (1971/1974-1980)
Kehidupan politik yang dikatakan liberal untuk sementara waktu ternyata kembali bergeser ke arah otoritarian. Elit politik berupaya menyusun format politik sebagai penegas kekuasaan politik yang baru saja didapatnya. Sedangkan untuk dunia kemahasiswaan dikeluarkan konsep back to campus. IPMI dan pers mahasiswa yang berada di luar kampus mau tidak mau ikut terbawa arus politik saat itu. Pada konggresnya yang ke III di Jakarta, setelah melalui perdebatan sengit, IPMI menerima konsep back to campus ini.
Tahun 1971-1974 bisa dikatakan sebagai masa kemunduran era keemasan pers mahasiswa. Titik kulminasinya pada peristiwa 15 Januari 1974. Bulan madu antara mahasiswa dengan rezim Orde Baru berakhir antiklimaks. Mereka yang mencoba menjadi oposisi harus siap ditindak tegas. Pemimpin-pemimpin mahasiswa diadili, Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI dilarang terbit bersamaan dengan pembredelan mingguan Nusantara dan Ekspres, surat kabar Indonesia Raya, Abadi, Pedoman dan Jakarta Times.
Pembredelan terhadap beberapa pers mahasiswa tidak serta merta membuat mereka dilarang terbit secara umum. Pers mahasiswa didalam kampus tetap diberi angin segar sebab pers mahasiswa berada dalam struktur konsolidasi format baru sistem politik Indonesia. Lahirlah Surat Kabar Kampus UI ‘Salemba’, Surat Kabar Mahasiswa UGM ‘Gelora Mahasiswa’, ‘Atmajaya’ Unika Atmajaya, ‘Derap Mahasiswa’ IKIP Yogyakarta, ‘Arena’ IAIN Yogyakarta dan Surat Kabar Mahasiswa ‘Airlangga’ Unair. Pers mahasiswa yang sesuai dengan struktur konsolidasi pemerintah dibiarkan berkembang. Bahkan seluruh penerbitannya diberi subsidi oleh pemerintah melalui birokrat kampus sehingga ketergantungan pers mahasiswa terhadap pemerintah menjadi begitu tinggi.
Pada Konggres IV IPMI belum juga bisa memecahkan konflik internal untuk mencari jalan keluar apakah akan eksis di luar kampus atau justru di dalam kampus. Tetapi meskipun secara kelembagaan ada di dalam kampus, beberapa pers mahasiswa juga tetap menyoroti kebijakan yang berkembang di masyarakat sebagai kontrol sosial. Meskipun pers umum juga melakukan pemberitaan serupa tapi bisa dipastikan tidak ada yang seberani dan seradikal pers mahasiswa.
Awal 1978, beberapa harian umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pelita dibredel. Kekosongan ini dimanfaatkan oleh pers mahasiswa untuk unjuk gigi. Mereka datang dengan pemberitaan yang keras. Orientasi politik pers mahasiswa menjelang Pemilu 1977 (Daniel Dhakidae, 1977) terus menguat bahkan cenderung memanas mendekati Sidang Umum MPR 1978. Oplah surat kabar mahasiswa pun mencapai puncaknya. Gerakan yang dikoordinasi oleh Dewan Mahasiswa terus meluas ke berbagai daerah dan warna politiknya kian terasa ketika menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sikap anti Soeharto tercermin dari headline yang dibuat pers mahasiswa kala itu. Salemba menulis Mahasiswa Menginginkan Soeharto Tidak Jadi Presiden Lagi. Sedangkan Kampus menulis: Aksi Mahasiswa Bandung Menggugat 27 Desember 1977, Gelombang Pertama Menolak Dukungan Terhadap Pencalonan Suharto.
Kebijakan NKK/BKK oleh Daoed Joesoef segera mendatangkan kritik pedas dari mahasiswa. Mahasiswa beranggapan kebijakan NKK/NKK hanya bertujuan untuk membunuh hak-hak politik mahasiswa dengan pembubaran Dewan Mahasiswa. Pembubaran Dewan Mahasiswa sedikit banyak mempengaruhi kualitas protes mahasiswa karena perlawanan yang dilakukan tidak sesolid semangat sebelumnya. Bahkan banyak pengamat menilai protes ini sama sekali tidak idealis karena hanya memprioritaskan kepentingan mahasiswa sendiri. Gerakan perlawanan yang dilakukan tidak mengandung esensi politik.
Konsekuensi logis dari penerapan NKK/BKK adalah semua kegiatan mahasiswa berada dalam pengawasan BKK. Jika pada masa sebelumnya, manajemen organisasi pers mahasiswa berada dalam garis dan struktur Dewan Mahasiswa maka pada masa paska NKK/BKK struktur pers mahasiswa diharuskan masuk pada struktur BKK. Namun tidak semua pers mahasiswa bersedia masuk dalam struktur BKK. Di beberapa universitas aktivis pers mahasiswa menolak karena bersikeras untuk mempertahankan independensinya. Salemba dan Gelora Mahasiswa contohnya karena didukung oleh rektir yang aspiratif (Tempo:17/5/1980).
Rektor UI, Prof. Dr. Mahar Mardjono menempatkan Salemba langsung di bawah perlindungan dan tanggung jawabnya. Dia memberi kebebasan penuh kepada pengurus Salemba untuk menentukan kebijakan redaksional. Sikap serupa juga diperlihatkan Prof. Dr. Soekadji Ranuwihardjo, Rektor UGM terhadap Gelora Mahasiswa. Di ITB, Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana secara terang-terangan menolak pemberlakuan NKK/BKK dan memberi keleluasaan penuh kepada Kampus sebagai badan independen.
Ada dua permasalahan yang menjadi dominasi pemberitaan ketiga media di atas. Pertama, pengadilan terhadap mereka yang menamakan diri sebagai Gerakan Anti Soeharto dan kedua protes terhadap kebijakan NKK/BKK. Perlawanan yang diserukan bahkan tidak hanya ditujuan kepada kebijakan yang sifanya politis tapi juga kepada pribadi Daoed Joesoef sendiri. Hal ini bisa dilihat dari headline Salemba edisi 5 Januari 1980 dengan berjudul NKK/BKK Otoriter dan Daoed Joesof Tak Konsisten (Siregar, 1983:103)
Sikap keras pers mahasiswa terhadap pengadilan mahasiswa dan kebijakan NKK/BKK menghadapkan pers mahasiswa pada hantu lama bernama pembredelan. Belum satu tahun Gelora Mahasiswa diberi nafas kehidupan, mereka kembali dilarang terbit. Selanjutnya, Departemen Penerangan mencabut izin koran Alma Mater IPB, Media ITS, Airlangga Unair. Sedangkan pers mahasiswa lain yang dilarang terbit adalah Kampus ITB pada April 1980 dan terakhir Salemba UI pada Mei 1980 (Tempo:17/5/1980).
Namun sebagaimana yang dikatakan Atmakusumah (1981:54-56), pers mahasiswa dalam usianya yang relatif pendek, pers mahasiswa mampu mengobarkan semangat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah lewat pilihan berita, artikel, maupun editorialnya. Pilihan kata dan bahasa yang lugas dan apa adanya menjadikan pers mahasiswa benar-benar menjadi pers alternatif di tengah tekanan keras pemerintah Orde Baru.




III
Daoed Joesof sejatinya berhasil menerapkan konsep NKK/BKK pada masa kepemimpinannya. Sayang, keberhasilan itu tidak diikuti dengan pengangkatan dirinya lagi sebagai Menteri Pendidikan. Dia akhirnya digantikan oleh Nugroho Notosusanto. Menteri Nugroho Notosusanto sebenarnya memberi ruang gerak lebih kepada lembaga kemahasiswaan. Dia melakukan pengendoran terhadap kebijakan NKK/BKK. Pimpinan universitas diberikan keleluasaan untuk memodifikasi NKK/BKK sesuai dengan kebutuhan kampusnya. Tetapi, banyak rektor yang tidak memanfaat celah ini karena ketakutan terhadap protes mahasiswa. Birokrat kampus seolah enggan melepaskan kekuasaannya terhadap mahasiswa yang terlanjur hegemonik. Mahasiswa masih saja dibatasi ruang geraknya.
Meninggalnya Nugroho Notosusanto mengantarkan Prof. Dr. Fuad Hassan, Guru Besar Fakultas Psikologi UI menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Gaya rileks Fuad Hassan diharapkan memecahkan kebekuan dunia kemahasiswaan yang beku akibat kebijakan NKK/BKK. Selanjutnya Fuad membentuk tim yang diketuai Suripto untuk meneliti keadaan dunia kemahasiswaan. Dari hasil pertemuan Suripto dengan mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang diketahui bahwa 99,5% mahasiswa hanya study oriented. Jumlah ini nyaris seluruhnya cuek, apatis, dan acuh tak acuh terhadap NKK/BKK. Hanya 0,5% yang peduli dan dibagi menjadi dua jenis. Yaitu yang berpandangan kritis idealistis dan radikal. Yang radikal inilah yang dengan harga mati mempersoalkan Dewan Mahasiswa (Editor:2/12/1989).
Kebangkitan pers mahasiswa sejatinya sudah dilakukan sejak lama oleh mahasiswa terutama untuk menghidupkan kembali Salemba dan Gelora Mahasiswa. Namun usaha ini selalu gagal akibat efek traumatis yang menganggap pers mahasiswa hanya menggangu ketenangan kampus. Pihak rektorat bersedia menerbitkan pers mahasiswa dengan syarat pejabat kampus akan mengontrol isi pemberitaannya. Efek ini membawa penerbitan kampus yang dikelola bersama antara mahasiswa dengan dosen. Misalnya, Universitas USU, Warta UI, Manunggal Undip, Gema Almamater Unpad, Mimbar Unibraw, Identitas Universitas Ujung Pandang (sebelum menjadi Unhas) dan Inovasi Universitas Sam Ratulangi. Penerbitan ini tidak ubahnya sebagai Biro Hubungan Masyarakat. Abdulhamid Dipopramono menulis, suatu media yang hanya difungsikan sebagai corong universitas (Abdulhamid Dipopramono, 1998)
Kebangkitan kembali pers mahasiswa ditandai dengan lahirnya Majalah Balairung pada 8 Januari 1986. Majalah ini berembrio dari penerbitan tingkat fakultas dan jurusan. Berdasarkan hasil Seminar Pers Mahasiswa se-UGM pada 29 Oktober 1985 yang diselenggarakan majalah Teknik Sipil Fakultas Teknik Clapeyron. Balairung lahir dengan motto Nafas Intelektualitas Mahasiswa dan memiliki orientasi yang kuat. Hal ini diyakini menjadikan eksistensi Balairung dalam dunia pers mahasiswa Indonesia tidak diragukan lagi. Disamping itu, dukungan Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, mantan aktivis pers mahasiswa, menjadikan ruang gerak Balairung semakin leluasa.
Sementara di Jakarta, atas prakarsa majalah Fisip Universitas Nasional (Unas) pada Oktober 1986 lahir lembaga pers mahasiswa Solidaritas. Solidaritas dipimpin oleh Amin Husin Daulay, mantan Pemimpin Umum Politika. Tetapi patut dicatat, Solidaritas tidak masuk struktur BKK meskipun BKK di Unas masih aktif. Perjalanan Solidaritas juga sempat diwarnai dengan pemanggilan kepada Pemimpin Umumnya oleh Laksusda Jaya. Dihadapan petugas Laksusda, Amir Husin dipaksa untuk menandatangai surat pernyataan untuk tidak menerbitkan koran Solidaritas lagi. Pengurus Solidaritas tidak kehilangan akal terhadap larangan ini. Setahun kemudian, Ade Fachrul ditunjuk menjadi Pemimpin Umum/Redaksi yang membidani penerbitan majalah. Sebab, dalam perjanjian dengan Laksusda hanya melarang penerbitan koran Solidaritas. Jika melahirkan penerbitan lain tentu tidak melanggar perjanjian.
April 1988 LPM Unas menerbitkan majalah Mimbar Mahasiswa dengan visi yang tidak jauh beda dengan koran Solidaritas. Sayang, pada penerbitan pertama, Amir Husin dipanggil kembali oleh Laksusda dan dipaksa kembali untuk menandatangani perjanjian yang menyatakan LPM Unas tidak akan melakukan penerbitan apapun. Sejak itu, kantor LPM Unas disegel dan terjadi pembekuan terhadap seluruh kegiatan. Namun penyegelan tidak serta merta menghentikan aktivitas pengurus Solidaritas. Mereka meniru gaya Balairung dengan mengadakan pelatihan, seminar dan diskusi dengan menhadirkan mahasiswa sebagai pembicara yang duduk sejajar dengan pakar.
Solidaritas bahkan bisa membaca ketidakpuasan mahasiswa Jakarta dengan kondisi kampusnya. Pada Juli 1987 Amir Husin membentuk Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum (DKJ Jakarta Forum) sebagai lembaga yang mengakomodasi aspirasi aktivis pers mahasiswa Jakarta. Eksistensi DKJ Jakarta Forum terbukti dari pameran keliling Lukisan yang diselenggarakan di Jakarta, Bandung, Salatiga dan Yogyakarta. Bahkan keberadaan forum ini semakin penting menyusul pembekuan yang dilakukan Rektor Unas terhadap LPM Solidaritas. Pembekuan ini diawali Aksi Gugat Takdir yang dimotori oleh Nurdin Fadli, Imran Zein Rolas dan Petrus Barus. Aksi ini kemudian diikuti oleh ratusan mahasiswa Unas menuntut rektor Sultan Takdir Alisyahbana untuk mundur dari jabatannya. Imbas dari aksi ini, LPM dibekukan, tiga mahasiswa di atas diskors oleh Dekan Fisip dan Amir Husin dipecat dari Unas. Pembekuan ini memberi dampak positif bagi Jakarta Forum karena menjadi sentral informasi bagi aksi-aksi mahasiswa Jakarta.

IV
Setidaknya kita mesti sepakat bahwa selain pers dan gerak langkah perjuangan mahasiswa, ada satu kekuatan paling mendasar yang sebenarnya dimiliki oleh mahasiswa Indonesia dan dunia, yaitu komitmen moral dan keberpihakan pada rakyat yang tertindas dan dikalahkan oleh kekuasaan. Masyarakat secara latah sering menyebutkan mahasiswa sebagai calon intelektual bangsa. Nah, sebenarnya bagaimana seharusnya intelektual ini berkiprah dalam masyarakatnya. Saya pesimis, konstruksi dan pola pikir calon intelektual telah ditafsirkan sebagai pelayan dan budak dari kekuasaan, sebagaimana begitu banyak intelektual di republik ini yang menjatuhkan pilihan seperti itu.
Antonio Gramsci, wartawan, aktivis dan pemikir cemerlang Italia sedikit menyindir dengan pernyataaan tajamnya, Orang dapat mengatakan: semua manusia adalah intelektual, tapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Selanjutnya apakah semua mahasiswa yang mengatakan atau dikatakan sebagai intelektual memiliki fungsi sebagai intelektual? Kekuatan mahasiswa sejatinya sebenarnya terletak dalam pemahaman terhadap gerak dan prinsip mahasiswa dan intelektual ini, yang tentunya nanti akan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk gerakan kritis dan perlawanan lainnya.
Lalu bagaimana posisi kekuatan mahasiswa pascakejatuhan Soeharto? Perdebatan panjang ini akhirnya memang mengarah pada bagaimana seharusnya perjuangan mahasiswa, masuk atau tetap setia berada di luar kekuasaan. Mahasiswa sering dikatakan hanya memberikan cek kosong untuk kemudian diisi semaunya oleh kekuasaan. Lalu, apakah mahasiswa sah atau tidak masuk dalam jerat kekuasaan demi memperjuangkan keyakinannya? Disinilah dilemanya.
Setidaknya sejarah telah membuktikan bagaimana mahasiswa yang terjerat masuk ke lingkaran kekuasaan berubah dari demonstran sangar menjadi anak manis yang manut-manut saja. Soe Hok Gie, salah satu tokoh kunci gerakan mahasiswa 1966 mengatakan kawan-kawannya itu sebagai pencoleng-pencoleng politik dan telah menggadaikan idealisme mahasiswa dan keintelektualannya. Memang harus ditegaskan bagaimana seharusnya posisi mahasiswa dalam kerangka kekuasaan ini. Ini penting untuk menguatkan idealisme dan jati diri kemahasiswaan dan keintelektualannya. Disnilah kekuatan mahasiswa sejatinya.
Mahasiswa Indonesia pascakejatuhan Soeharto 1998 lekat dengan predikat pemberi cek kosong tadi. Setelah itu, dalam perjuangan reformasi, mahasiswa telah ditinggalkan atau lebih tepatnya direbut perannya oleh pelacur-pelacur politik yang enteng mengatakan dirinya intelektual atau politisi. Mahasiswa sebagai penjaga moral reformasi telah kehilangan pengaruhnya, ditelan pertikaian dan rebutan kekuasaan. Sementara politisi dan intelektual gadungan ini berebutan kekuasaan, mahasiswa dengan predikat intelektualnya kehilangan orientasi dengan perjuangannya. Meminjam istilah Michael Foucault, filsuf Prancis tentang intelektual, bahwa intelektual universal telah kehilangan tempatnya diambil oleh intelektual spesifik yang bekerja dengan keilmuannya dan mampu menerapkan keahliannya. Foucault setidaknya mengingatkan bahwa intelektual haruslah bersikap terhadap gejala universal yang terjadi di lingkungannya, bukan berkutat sendiri dengan keilmuan dan keahliannya, tanpa bersentuhan dengan realitas sosial yang terjadi.
Simpang jalan kekuatan mahasiswa juga adalah dilema yang harus dihadapinya. Pada momen-momen tertentu, kekuatan mahasiswa bisa menjadi begitu besar dan menjadi salah satu pilar (tambahan) penting dari demokrasi selain kebebasan pers. Ini terbukti benar ketika bagaimana begitu menyeruaknya peranan kekuatan mahasiswa dalam penjatuhan rejim otoriter Soeharto 1998. Saat ini kekuatan gerakan mahasiswa adalah sebuah idaman yang tinggi—dan juga menjadi incaran dari kekuatan politik negara pada saat itu (tentara, politisi, dan birokrasi).
Sejarah juga membuktikan bagaimana peranan kekuatan mahasiswa– dengan pilar komite aksi demonstrasi, kelompok studi diskusi, lembaga kemahasiswaan dan pers mahasiswa—mampu menekan kekuatan negara otoriter dan korup. Kasus perjuangan pemuda melawan kolonialisasi merebut kemerdekaan, protes mahasiswa tahun 1966, tahun 1970-an, dan 1980-an membuktikan semua itu.Tapi di sisi lain, mahasiswa justru menjadi pintu pembuka untuk terciptanya kembali rejim otoriter, ditinggalkan oleh para politisi. Dalam istilahnya memberikan cek kosong pada negara dan meninggalkan akarnya, perjuangan untuk kepentingan rakyat.
Kekuatan mahasiswa begitu berjaya untuk melakukan kritik dan menggulingkan rejim otoriter yang korup. Tapi dilema pada dirinya adalah ketika berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan sipil setelah penjatuhan rejim yang otoriter tersebut. Kasus gerakan mahasiswa 1998 menggambarkan semua itu. Mahasiswa bersama elemen-elemen rakyat begitu heroik dan bersatunya ketika menemukan musuh bersama Soeharto dan kekuasaan. Lewat aksi massa yang terus-menerus, dibumbui dengan bentrok-bentrok dengan tentara, penculikan aktivis, Soeharto dan rejimnya akhirnya bisa dijatuhkan. Tentu bukan hanya dari kekuatan gerakan mahasiswa, tekanan dunia internasional dan masalah kompleks lainnya juga menjadi penekan yang kuat ”Jenderal Besar” dan ”Bapak Pembangunan” itu meletakkan jabatan presiden yang sudah dikuasainya selama 32 tahun.
Musuh bersama sudah jatuh tapi bukan berarti rejim, mental, dan jaringan sistem (Orde Baru) yang dibentuk Soeharto dan orang-orangnya. Tapi mahasiswa berpesta, gembira ria dengan tawa dan tangis telah berhasil menjadi ”Pahlawan Reformasi”, memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka (para mahasiswa ini) menampilkan dirinya menjadi kekuatan dengan dukungan rakyat yang ”baru ” dikenalinya, bersama-sama dalam aksi, berkenalan saat-saat advokasi. Rakyat yang baru dikenali ini tentu tidak seimbang dengan pembentukan karakter sistem, pencucian otak generasi muda dalam birokrasi selama 32 tahun pemerintahan orde baru. Soeharto sebagai sebuah simbol memang boleh jatuh, tapi sistem, karakter, kekuatan rejim, dan kader-kadernya masih mengusasi birokrasi dan mesin-mesin politik kekuasaan lain yang dimilikinya—tentara, organisasi massa, organisasi pemuda, pengusaha dan lainnya.
Kekuatan mahasiswa dengan ”kenalan barunya ” bernama rakyat akhirnya bertarung dengan sisa-sisa kekuatan lama rejim otoriter dengan segala macam bentuk, relasi, dan organisasinya, termasuk di dalamnya adalah mental ”orde baru” yang sering dituduhkan para aktivis mahasiswa. Proses inilah kemudian yang disebutkan konsolidasi demokrasi. Bukan hanya kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dan demokrasi yang melakukan konsolidasi, kekuatan-kekuatan lama dari rejim otoriter Soeharto juga melakukan konsolidasi. Inilah yang dilawan oleh gerakan pro demokrasi di Indonesia sampai saat ini. Dan mahasiswa bersama rakyat menjadi salah satu elemennya yang melakukan konsolidasi dalam mewujudkan demokrasi di tanah air ini.
Sampai saat ini, konsolidasi demokrasi berlangsung kadang riuh rendah penuh gelora dan semangat, tapi kadang juga adem ayem, layu tanpa semangat. Berbagai kasus represi dan kekerasan menyulut gelombang aksi gerakan prodemokrasi yang bergelombang. Tapi secara sporadis gerakan itu juga begitu kencang tapi redupnya pun berlangsung cepat. Hangat-hangat tahi ayam. Konsolidasi ini berlangsung ”terpatah-patah” seperti goyangan dangdut, tapi bisa juga sporadis menggelora dengan stamina yang cepat habis. Meskipun ada lembaga-lembaga, individu dan gerakan-gerakan yang konsisten memperjuangkan ini, tentu jauh untuk mengalahkan bagaimana konsolidasi yang militan, tangguh dan cerdas yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi yang sedemikian canggihnya. Ditambah dengan politik opurtunis, bunglon, dan daya tarik kekuatan lama—kekuasaan, uang—yang mampu untuk merayu dan menyeret orang-orang di kekuatan demokrasi untuk bergabung dengan kekuatan otoriter dan antidemokrasi. Kasus-kasus masuknya aktivis mahasiswa menjadi caleg (calon anggota legislatif) atau masuk menjadi think-thank organisasi massa dan mesin politik kekerasan lama adalah sedikit contohnya.
Di sinilah simpang jalan kekuatan mahasiswa yang harus dihadapi, diterima, dan juga diatasi dengan optimisme untuk terus bergerak konsisten dalam perjuangan gerakan demokrasi di Indonesia. Jaringan dan simpul-simpul gerakan Prodem memang banyak tersebar di Indonesia, tapi tidak sedikit juga yang telah masuk dalam lingkaran kekuasaan dalam kontestasi dan polarisasi politik yang melibatkan kekuatan gerakan mahasiswa, tentara, negara dan birokrasi. Gerakan prodemokrasi sedari dulu menghadapi dilema untuk melanjutkan gerak langkahnya, menjaga konsistensi gerakan tanpa terjebak dalam lingkaran kekuasaan. Dalam dilema-dilema dan simpang jalan mau kemana inilah, gerakan prodemokrasi terus mencari bentuk, menguatkan dirinya, meluaskan jaringan gerakan, dan yang terpenting memang menjaga konsistensinya.

V
Aktivis pers mahasiswa meyakini bahwa pers mahasiswa adalah pers yang bersandar pada idealisme, pers yang kritis, sehingga punya potensi besar untuk melakukan perubahan (Didik Supriyanto, 1998: 113). Setiap generasi dalam setiap era, aktivis pers mahasiswa selalu mencatat keberhasilan seniornya yang dikristalkan menjadi sebuah mitos. Mitos yang punya kesamaan karakter dengan gerakan mahasiswa ini kemudian diwariskan kepada juniornya. Sehingga tidak jarang perjalanan pers mahasiswa di satu masa masih terhegemoni oleh keberhasilan generasi sebelumnya. Hal yang terjadi paska gerakan 1998.
Karakter khas mahasiswa adalah kaya dengan gagasan fundamental. Sayang, hanya sedikit dari mereka yang memberikan gagasan bagaimana mewujudkan ide fundamentalis. Tidak hanya teoritis tapi juga praktek. Gagasan dari gerakan mahasiswa, termasuk pers mahasiswa di dalamnya, seringkali terhenti pada tataran wacana. Tanpa ada penyikapan bagaimana wacana itu direalisasikan menjadi aksi konkret.
Hal ini diyakini juga menjadi salah satu penyebab gagalnya reformasi yang dicita-citakan mahasiswa. Grand design mahasiswa kala itu: turunkan Soeharto dan antek-anteknya. Tapi jarang ada yang berpikir, apa yang harus dilakukan setelah Soeharto jatuh. Mahasiswa tidak menyiapkan sebuah sistem baru untuk mengantikan kemapanan sistem militeristik ala Orde Baru. Bagaimana cara menghapus supremasi militer atas sipil sama sekali tidak terpikirkan. Bisa ditebak, hampir satu dekade reformasi bergulir supremasi sipil atas militer sebagaimana kondisi ideal yang diinginkan mahasiswa belum menjadi kenyataan.
Dalam konteks pers mahasiswa, ketika semua media informasi harus melewati kantor Menteri Penerangan, pers mahasiswa menjadi pers alternatif dengan berita-berita yang tajam dan lugas. Lihat bagaimana nasib Tempo, Detik dan Editor yang mengalamai nasib pembredelan. Bredel seolah-oleh menjadi hantu bagi independensi media dalam menghadirkan berita. Tugas pers mahasiswa kala itu tidak hanya bersifat informatif tapi juga sebagai media penanaman ideologi. Dia menjadi jembatan antara gerakan mahasiswa dengan realita politik serta kepentingan birokrat kampus. Pers mahasiswa terbentuk menjadi pers alternatif ketika pers mainstream dibungkam oleh Soeharto.
Ketika kran reformasi dibukan sebesar-besarnya, media massa diberi ruang gerak yang luas, mahasiswa dihadapkan pada pertanyaan: kemana kita harus melangkah? Pers mahasiswa, dengan karakter kuat mahasiswa di dalamnya, acapkali kebingungan menentukan langkah ketika diberi kebebasan untuk memilih. Kultur ketertindasan yang lekat selama ini menjadikan mahasiswa susah untuk menentukan gerak langkah. Kebebasan yang didapat tidak menjadikan pers mahasiswa berteriak girang namun lebih pada kebingungan pada penentuan sikap.
Kenyataan yang terjadi belakangan ini, pers mahasiswa nyaris kehilangan popularitasnya. Tidak banyak mahasiswa yang mengetahui eksistensi pers mahasiswa kecuali pengurus itu sendiri. Paling banter hanya dikenal sesama kalangan aktivis, baik di lingkungan kampus maupun kampus lainnya. Ibaratnya, hidup segan mati tak mau (Yanto, 2004). Itu baru satu persoalan diantara sekian persoalan yang dihadapi pers mahasiswa. belum lagi perpecahan ideologi di antara sesama penggiat pers mahasiswa itu sendiri yang tercermin dari pecahnya PPMI (Lukman Hakim Ariffin, 2000)
Menjawab tantangan di atas maka idealisme pers mahasiswa adalah kata kunci untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang harsu dilakukan pers mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari manusia berpendidikan (educated people) harus bisa menjalankan perannya sebagai elemen berperilaku jujur, tegas, lugas dan apa adanya. Pers mahasiswa bisa menjadi saluran untuk mengasah kepekaan sosial, berpikir secara obyektif kritis karena tidak terikat pemilik modal dan pemasang iklan. Prinsip jurnalisme pers mahasiswa menjadi acuan mahasiswa dalam menelaah dan menganalisi berbagai persoalan dari beragam perspektif. Publik bisa melihat, mempelajari dan menilai bagaimana berbagai nilai sosial yang disebut tadi seperti kejujuran, keksatriaan, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban diterapkan oleh pers mahasiswa bersama khalayaknya. Pada gilirannya nanti, para pelaku pers mahasiswa berikut audiensnya akan menjadi elemen masyarakat itu sendiri (Zulkarimein Nasution, 2007).
Dalam era keterbukaan ini, pers mahasiswa mesti mengawal kebebasan dalam praktek kebertanggungjawaban. Pers mahasiswa dilatih untuk memposisikan diri secara obyektif, menegakkan akurasi, menerapkan prinsip balance dalam pemberitaan dan tulisan serta menjauhi kabar bohong atau fitnah. Artinya, pers mahasiswa bisa menjadi lahan kondusif untuk menjiwai spirit pers sesungguhnya.
Untuk bisa menjadi saluran kritis pertama, pers mahasiswa harus back to campus dan menegaskan posisinya di lingkungan kampus. Dia tidak lagi menjaga jarak dengan mahasiswa sebagai basis. Pers mahasiswa bisa mengakomodasi kepentingan mahasiswa dengan menjadi oposisi terhadap kebijakan kaum elit kampus. Sebagai resistensi terhadap kebijakan kampus yang merugikan kepentingan mahasiswa, pers mahasiswa bisa membangun posisi tawar baik di kalangan mahasiswa maupun elit kampus itu sendiri. Kenaikan SPP, komersialisasi pendidikan, pemilihan rektor dan sistem pendidikan yang makin kapitalistik adalah isu strategis yang bisa diangkat. Dalam penyampaian pemberitaan pers mahasiswa mesti menyelipkan ideologi mahasiswa. Mahasiswa harus diprovokasi agar tidak menjadi robot atau budak dan perguruan tinggi tidak menjadi pabrik yang hanya menghasilkan manusia-manusia mekanik atau pekerja.
Kedua, setelah fungsi kontrol terhadap pemerintah diambil alih oleh pers mainstream, gaya pemberitaan pers mahasiswa bisa lebih bernuansa akademik. Pers mainstream umumnya lebih pragmatis sedangkan pers mahasiswa lebih idealis (Teddy Syah, dan M. Mulyana, 2004). Nilai-nilai inilah yang harus senantiasa dijaga oleh aktivis pers mahasiswa. Bagaimana menghadirkan pemberitaan dengan gaya akademis idealis adalah satu pertanyaan yang harus dijawab pers mahasiswa. Namun mesti diingat, meskipun datang dengan kemasan akademik, pers mahasiswa agar tidak melupakan semangat yang dibawanya yaitu spirit perlawanan. Pers mahasiswa bisa menjadi semacam pendidikan ideologis dengan analisis kritis yang sistematis. Keakuratan dalam pemberitaan menjadi syarat mutlak untuk bisa mengembalikan posisi pers mahasiswa. Pers mahasiswa bisa menjadi semacam lembaga investigatif untuk mengumpulkan segala informasi yang ada hubungannya dengan mahasiswa. Namun, pers mahasiswa harus berjalan di koridor independensinya sehingga tidak tidak terkooptasi oleh nilai-nilai di luar idealisme jurnalistik.
Ketiga, persoalan lain pers mahasiswa adalah periode terbit yang terlalu lama. Menjaga persoalan keberlanjutan terbit di tengah himpitan tugas kuliah adalah persoalan besar. Di sini dibutuhkan kebersediaan (willingness) mahasiswa untuk menunjukkan dedikasi dan loyalitas serta apresiasi terhadap aktivitas pers mahasiswa. Tanpa itu pers mahasiswa tidak akan bisa menentukan gerak langkah. Menjawab masalah ini, untuk mengkaver isu-isu monumental, pers mahasiswa bisa menghadirkan buletin bulanan. Media yang terbit secara konsisten akan memberi refleksi kepada mahasiswa terhadap kehidupan kampus. Kehadiran secara rutin bisa menjadi jam pengingat bagi mahasiswa akan kondisi kampus. Penting juga dicatat, kecenderungan mayoritas mahasiswa sekarang adalah semakin apatis dan apolitis. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pers mahasiswa untuk menghadirkan media dengan bahasa yang santai dan ngepop tapi tidak kehilangan esensi sebagai pers mahasiswa.
Keempat, tantangan terbesar pers mahasiswa sekarang adalah susahnya mencari kader yang militan dan loyalis. Pada awal perekrutan biasanya mahasiswa yang mendaftar kuantitasnya sangat banyak. Terlalu banyak malah. Tapi, seiring berjalannya waktu, satu persatu kadeer-kader ini menghilang ditelan hingar bingar kehidupan kampus dan kewajiban akademik. Menjadi kewajiban aktivis pers mahasiswa untuk menanamkan ideologi pers mahasiswa. Bagaimana mendoktrinasi para kader muda untuk bisa tetap eksis. Pelatihan jurnalistik yang dilakukan tidak hanya bersifat pengenalan teknik jurnalisti. Tapi lebih penting mengajarkan esensi peran dan fungsi pers mahasiswa.
Kelima, untuk melepaskan diri dari jeratan rektorat sebagai penyuplai dana, pers mahasiswa bisa memaksimalkan tim marketing yang dimiliki. Tentunya, kepercayaan pihak pengiklan harus dibayar dengan rutinitas dan kontinuitas terbit. Paling tidak hal ini akan meminimalisir ketergantungan pers mahasiswa terhadap rektorat.
Terakhir, tidak ada alasannya bagi pers mahasiswa untuk mati. Ada beragam isu yang bisa dikelola oleh pers mahasiswa. Pengelola pers mahasiswa untuk bisa melihat persoalan dari beragam perspektif. Sense of crisis ini yang telah hilang dari pers mahasiswa sehingga seolah-olah mereka kehabisan isu. Pers mahasiswa tidak harus terhegemoni dengan kebesaran pendahulunya. Pers mahasiswa harus berani memainkan isu kampus maupun isu lokal. Jika isu-isu strategis isu dimanajemen dengan baik niscaya posisi pers mahasiswa akan tetap diperhitungkan. Jangan sampai muncul idiom di aktivis pers mahasiswa ‘patah tidak tumbuh hilang tidak berganti’. Di samping mencari bentuk ideal, tugas pers mahasiswa adalah berjalan mengikuti keinginan mahasiswa itu sendiri. Entah nanti pers mahasiswa bisa dikelola secara profesional atau tidak adalah persoalan lain. Profesionalisme ini akan hadir seiring manajemen redaksi yang baik atau politik redaksi yang tegas. Persoalannya, beranikah pers mahasiswa bersikap?




Daftar Pustaka

Siregar, Amir Effendi, 1983, Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta, PT Karya Unipress.

Sedayu, Agung, 2005, Advokasi Oleh dan Untuk Pers Mahasiswa (Mempertegas Sikap dan Peran Pers Mahasiswa). Makalah disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Lanjut Nasional oleh LPM Jumpa Bandung 17-21 April 2005.

Supriyanto, Didik, 1998, Perlawanan Pers Mahasiswa. Protes Sepanjang NKK/BKK, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Dhakidae, Daniel, 1977, “Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers”. Prisma 10, Oktober 1977

Abdulhamid Dipopramono. “Konsistensi Konseptual Gerakan Mahasiswa dan Posisi Kelompok Studi” Kompas 26 April 1989.

Yanto. “Nasib Tragis Pers Mahasiswa”. Mahasiswa FE Universitas Muhamadiyah Malang. Artikel Pendidikan Network. 13 Oktober 2004

Lukman Hakim Arifin. “Cerita Panjang dari Lombok”. Balairung Edisi 32/Th.XV/2000.

Zulkarimein Nasution. Aktualisasi dan Peran Pers Mahasiswa dalam Era Kebebasan Pers. Makalah disampaikan pada Forum Fasilitasi Peningkatan Pers Mahasiswa di Semarang, 6 April 2007.

Teddy Syah, dan M. Mulyana, Ketua Unit Pers Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPM-UPI). Lihat Pers Kampus Harus Reposisi. Mengubah Paradigma, dari Radikal Menjadi Akademis. Pikiran Rakyat edisi Jumat 7 Mei 2004.

Gie Soe Hok, 1997, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

-----------, Soe Hok, 1995, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

-----------, Soe Hok, 1995, Catatan Harian Seorang Demonstran, Jakarta, LP3ES.

Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, 1996, Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Jakarta, Mizan.

Haryanto, Ariel, 2000, Media, Nasion, dan Sejarah dalam Dedy N. Hidayat, Effendi Gazali, Harsono Suwardi, Ashadi SK (ed), Pers dalam “Revolusi Medi”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Penerbit Gramedia.

Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi, Ashadi SK (ed), 2000, Pers dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Penerbit Gramedia.


Biodata

Agus Purnomo, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Menjadi Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana periode 2006-2007 dan 2007 -2008.

I Ngurah Suryawan, Mahasiswa S2 Kajian Budaya Universitas Udayana. Menjadi Pemimpin Redaksi Pers Kampus Akademika Universitas Udayana periode 1998-1999 dan 1999-2000.

Simposium Antropologi Indonesia 2008

Abstrak


Dari Eka Dasa Rudra, Pamarisudha Karipubhaya dan Atma Papa : Politik Ritual, Kuasa, dan Pariwisata di Bali

I Ngurah Suryawan
Alumni Antropologi Universitas Udayana.
ngurahsuryawan@gmail.com


Di Bali, kekerasan dan ritual berlangsung silih berganti, bahkan beriringan dengan manis. Setiap tragedi kekerasan yang berlangsung dinetralisir dengan ritual. Tatanan kosmis alam Bali yang tidak seimbang karena tragedi kekerasan, harus disucikan kembali, diharmoniskan dengan ritual.Sejarah kekerasan di Bali mencatat, ritual menjadi pembius untuk melupakan ingatan pedih kekerasan dan menyerahkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Tragedi pembantaian massal 1965-1966 dibersihkan dengan tatanan ritual megah bertajuk Karya Agung Eka Dasa Rudra pada 1979 di Pura Besakih. Pemerintah rezim Orde Baru mendukung penuh ritual tersebut dan membiayai seluruh kegiatan.Seluruh manusia Bali yang terbunuh tanpa ditemukan mayatnya diupacari, dibersihkan, dan rohnya dianggap telah suci.

Saat Bom Bali 12 Oktober 2002 meletus di Legian Kuta, dilakukan ritual Pamarisudha Karipubhaya pada 15 November 2002. Pemerintah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk mendukung ritual ini. "Bali Love Peace" menjadi slogan bagaimana Bali akan terus bertahan dengan kesucian pulau dengan serentetan ritual-ritual suci yang menetralisir kejahatan.

Ritual Atma Papa dilangsung di Kabupaten Buleleng pada 17 September 2004. Ritual ini juga bertujuan untuk membersihkan roh-roh yang masih belum disucikan melalui serangkain ritual dalam tradisi Hindu Bali. termasuk juga didalamnya adalah korban kekerasan politik pembantaian massal Tragedi 1965-1966.

Paper ini berusaha untuk melacak genealogi politik ritual di Bali. Selain berdasar pada teologi Hindu, realitas ritual tidak steril dari relasi kekuasaan. Negara (baca: pemerintah) menjadi salah satu aktor yang mendukung upacara, karena dengan mendukung ritual, negara dapat memelihara kekuasaannya. Dalam ritual juga terjadi sebuah representasi mana yang pantas diingat dan dilupakan. Ritual Pamarisudha Karipubhaya pasca Bom bali 2002 menunjukkan bagaimana relasi ritual dan pariwisata saling mendukung. Ritual melegitimasi pariwisata (baca: kuasa), pariwisata melegitimasi ritual. Akhirnya, apakah dengan ritual masyarakat Bali bisa mendamaikan diri dengan ingatan tragedi kekerasan yang menimpanya?

Jumat, 21 Maret 2008

Merawat Keberagaman dari Bumi Makepung Jembrana

Indonesia Kecil Bumi Makepung
Dari Bali Merawat Keberagaman


ABSTRAK

Jembrana sebagai sebuah kabupaten di barat Pulau Bali, berbatasan langsung dengan Pulau Jawa lewat Pelabuhan Gilimanuk, menjadi wilayah “Indonesia Kecil” di Bali. Wilayah geografis dan jejak sejarah menunjukkan Jembrana sebagai daerah multietnis. Ini bisa dilihat dari tersebarnya kantong-kantong kebudayaan, agama dan “bangsa-bangsa” yang beragam. Keberadaan berbagai agama dan “bangsa-bangsa” ini justru terkait erat dengan agama Hindu Bali. Ini dibuktikan dari perpaduan kebudayaan Bali pada agama-agama mereka. Maka dikenallah sebutan Nyama Selam (saudara Islam) atau Nyama Kristen (saudara Kristen).
Setiap komunitas yang beragam ini tentu mempunyai cerita sejarah tentang kehadiran mereka di Jembrana, dan kemudian berbaur dengan masyarakat Hindu. Setelah hidup bertahun-tahun lamanya, realitas keberagaman mereka bukan menjadi pembatas untuk saling berbaur dalam hal adat dan budaya. Bukti-bukti menunjukkan terjadi penyerapan tradisi dan budaya Hindu Bali pada komunitas mereka (Kristen dan Muslim).
Studi ini berkeinginan untuk mengelaborasi inisiatif-inisiatif local untuk merawat keberagaman tersebut. Karena itulah penting untuk melacak jejak genealogi sejarah masing-masing agama dan "bangsa" tersebut hadir di Jembrana. Kemudian bagaimana realitas-realitas local menunjukkan perbauran dengan kebudayaan Hindu Bali? Bagaimana inisiatif-inisiatif budaya local untuk merawat keberagaman tersebut?
Dengan demikian, studi ini ingin memberikan cermin sekaligus potret bagaimana “Menjadi Indonesia” bisa dipahami lewat “hal-hal kecil”, keseharian, yang menunjukkan persaudaraan, toleransi, dan penghormatan antar sesama dalam sebuah wilayah tertentu. Studi ini mengungkapkan bagaimana konstruksi identitas yang plural, majemuk, lahir dari proses persaudaraan dan pembauran untuk saling mempengaruhi, menghormati bukan penindasan dan penghilangan secara dominatif.



Indonesia Kecil Bumi Makepung
Dari Bali Merawat Keberagaman

Latar Belakang
Cita-cita masyarakat madani yang menghargai keberagaman memang tidak utopis. Dari sejarah panjang kekerasan dan integrasi nasional pantas membuat kita pesimis. Arogansi masing-masing daerah yang meluap akibat kekuasaan otonomi daerah, mengguncang keberagaman dalam satu ikatan bangsa Indonesia. Represi sentralitas kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru membuat ekspresi-ekspresi budaya, kekayaan alam local diperas oleh “kolonisasi Jakarta”.
Ben Anderson dalam Imagined Communities (1991, 2001) mengungkapkan,

”...Bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain merenggut nyawa sendiripun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.[1]

Karena itulah, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan bahwa Indonesia bukan bangsa. Indonesia itu nation, terdiri dari bangsa-bangsa. Jawa itu bangsa, Batak bangsa, Aceh bangsa. Ini disusutkan jadi suku bangsa. Ini artinya tidak menghargai sistem nilai masing-masing. Bangsa Indonesia itu tidak ada, yang ada nation Indonesia. Itu saja tidak pernah dikoreksi sampai sekarang. Padahal akibatnya (terjadi) pelecehan terhadap sistem nilai setempat.
Pram mengangap Soekarno adalah tokoh penting dibalik pembentukan Indonesia sebagai suatu bangsa. “Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah.” Tapi bagi Pram ada satu ironi yang dialami Indonesia kini, yakni terkait dengan dominasi jawasentris. “…Indonesia, yang secara politis dan administratif dipersatukan oleh Soekarno tanpa pertumpahan darah--sebuah fenomena khusus dalam sejarah umat manusia--harus dipertahankan persatuan dan kesatuannya dengan tradisi kolonial, yaitu dua macam export dari Jawa: pembunuh bayaran berbedil dan orang Jawa berpacul.[2]
Nilai-nilai setempat (local) yang dimaksud Pram, dalam konteks bangsa, bukan suku bangsa inilah yang kini perlu diungkap. Bagaimana realitas-realitas local mencipta dan merawat keberagaman. Inisiatif-inisiatif budaya local untuk menerima keberagaman, dan sejarah panjang membuktikan bagaimana mereka menemuka budaya tersendiri untuk menjaga dinamika hubungan keberagaman diwilayah mereka.
Banyak inisiatif budaya-budaya local yang menunjukkan hal tersebut. Bukan bermaksud untuk mensterilkan budaya dari relasi kuasa politik, tapi inisiatif budaya local untuk merawat keberagaman juga sebuah agenda politik kebudayaan. Studi Clifford Geetz (1980, 2000) menunjukkan bagaimana politik kebudayaan Bali diciptakan melalui serangkaian simbolik-simbolik kebudayaan dalam ritual dan adat yang menunjukan hirarki kekuasaan pada tuan dan hambanya. Geoffry Robinson (1995, 2005) kemudian melakukan studi genealogi kekerasan politik yang mengesankan tentang Bali. Ia menunjukkan bagaimana konstruksi pembentukan Bali dari zaman colonial hingga Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kolonisasi citra, keteraturan, kekerasan, dan reproduksi “harmonisasi” Bali terjadi silih berganti dalam pentas kekuasaan.[3]
Karena itulah, studi ini berkeinginan untuk mengelaborasi inisiatif local untuk merawat keberagaman tersebut. Keberagaman, multikulturalisme, di Indonesia bergerak dari pengawasan dan pendisiplinan keberagaman yang dikendalikan oleh politik sentralitas kekuasaan (Orde Baru) menuju persoalan mayoritas dan minoritas yang sangat rentan di negeri ini.
Ahmad Fedyani Saifudin (2006) mengutip Bikhu Parekh (2001), mengungkapkan bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni Pertama, terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Kedua, nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi.[4]
Jembrana sebagai sebuah kabupaten di barat Pulau Bali, berbatasan langsung dengan Pulau Jawan lewat Pelabuhan Gilimanuk, menjadi wilayah “Indonesia Kecil” di Bali. Wilayah geografis dan jejak sejarah menunjukkan Jembrana sebagai daerah multietnis. Ini bisa dilihat dari tersebarnya kantong-kantong kebudayaan agama dan “bangsa-bangsa” yang beragam. Keberadaan berbagai agama dan “bangsa-bangsa” ini justru terkait erat dengan agama Hindu Bali. Ini dibuktikan dari perpaduan kebudayaan Bali pada agama-agama mereka. Maka dikenalkah sebutan Nyama Selam (saudara Islam) atau Nyama Kristen (saudara Kristen).
Berbagai macam bentuk perpaduan budaya mereka adalah kaum Kristen Katolik dan Protestan masih menggunakan nama-nama Bali. Dalam perayaan natal mereka menggunakan adat-istiadat Bali, dan melakukan ritual-ritual Hindu Bali di gereja Desa Palasari dan Blimbingsari. Bentuk arsitektur kedua gereja mereka juga style Bali (gaya Bali).
Persebaran komunitas mereka sangat banyak di Jembrana. Contoh saja komunitas Kristen Katolik di Desa Palasari, Kristen Protestan di Desa Blimbingsari, Muslim Bugis di Desa Loloan dan sudah tentu masyarakat Hindu Bali yang tersebar dalam berbagai desa di Kabupaten Jembrana dengan ibukota Negara ini.
Desa Palasari misalnya adalah kampung umat kristen katolik di Bali. Di sana terdapat Gereja Katolik Hati Kudus Palasari. Gereja ini adlaah symbol semangat pembebasan yang ditanamkan oleh Pater Simon Buis SVD. Pater Simon masuk ke Bali sebagai misionaris atau pastor katolik pada 1936. Sembilan tahun
Setiap komunitas yang beragam ini tentu mempunyai cerita sejarah tentang kehadiran mereka di Jembrana, dan kemudian berbaur dengan masyarakat Hindu. Setelah hidup bertahun-tahun lamanya, realitas keberagaman mereka bukan menjadi pembatas untuk saling berbaur dalam hal adat dan budaya. Bukti-bukti menunjukkan terjadi penyerapan tradisi dan budaya Hindu Bali pada komunitas mereka (Kristen dan Muslim).
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kisah sejarah terbentuknya Jembrana secara umum dan komunitas Kristen dan Muslim di Kabupaten Jembrana (Studi kasus Desa Palasari, Blimbingsari, dan Loloan)?
2. Mengapa dan Bagaimana terjadinya pengaruh tradisi dan budaya Bali terhadap praktik pelaksanaan ritual agama mereka?
3. Bagaimana mereka kini menyikapi dan merawat keberagaman?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui perpaduan studi etnografi (catatan lapangan/fieldwork) dan oral history (sejarah lisan) Observasi partisipasi dilakukan untuk menangkap suara-suara keseharian masyarakat dengan melakukan wawancara mendalam.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Arsip-arsip tentang sejarah Jembrana dan komunitas Kristen serta Muslim dikumpulkan untuk informasi awal. Kemudian dilakukan catatan lapangan dan wawancara dengan subyek penelitian. Hasil-hasil data tersebut kemudian dianalisis dalam bingkai multikulruralisme.
OUTLINE PENELITIAN
PENDAHULUAN
BAB I: SEJARAH BUMI JIMBARWANA
Menguraikan tentang sejarah terbentuknya daerah Jembrana. Bab ini bersumber pada studi pustaka yang menguraikan tentang perspektif historis dari kelahiran daerah Jembrana.
BAB II: NYAME SELAM LOLOAN
Bagian ini menguraikan tentang sejarah, kehidupan, dan budaya Desa Loloan. Desa ini mempunyai sejarah tersendiri dari di Jembrana. Banyak penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan berasal dari Bugis dan beragama Islam.
BAB III: NYAME KRISTEN PALASARI DAN BLIMBINGSARI
Menguraikan sejarah, kehidupan dan budaya di dua desa yaitu Desa Palasari dan Blimbingsari sebagai basis komunitas Kristen Katolik dan protestan di daerah Jembrana.
BAB IV: MERAWAT KEBERAGAMAN: PERKAWINAN BUDAYA DAN INISIATIF LOKAL
Bab ini berusaha untuk menguraikan bagaimana tradisi dan budaya masyarakat Kristen dan Islam tersebut (kasus: Desa Loloan, Palasari dan Blimbingsari) yang berhubungan dengan budaya Hindu Bali. Bagaimana sejarah dan lahirnya tradisi tersebut. Kemudian bagian ini juga menguraikan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan budaya tersebut dirawat dan dipertahankan menjadi sebuah budaya yang berciri khas daerah tersebut--yang tentunya berciri khas budaya Hindu Bali. eperti misalnya ke gereja menggunakan pakaian adat Hindu Bali, bentuk arsitektur gereja, dan tradisi ngejot (memberikan makanan) pada saat hari-hari raya agama Kristen, Hindu, dan Islam.
BAB V: POLITIK MULTIKULTURAL
Bab ini sebagai refleksi teoritik bagaimana melihat politik keberagaman dalam suatu masyarakat. Dimana didalamnya terdapat relasi kuasa antara mayoritas dan minoritas dan "penundukan antar budaya" dalam masyarakat. Dengan refleksi teoritik ini akan berusaha untuk menganalisis potret multikultur yang ada di daerah Jembrana, Bali.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lihat Daniel Dhakidae, “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-komunitas Terbayang”, hlm.xix dalam pengantar Ben Anderson, Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001).
[2] Lebih lengkap lihat kutipan wawancara dan artikel tentang Pramoedya Ananta Toer, "Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan", Suara Independen, No. 03/1, Agustus 1995. Lebih Jauh dengan Pramoedya Ananta Toer, Kompas 2003. Lihar artikel Pramoedya Ananta Toer, “Maaf: Atas Nama Pengalaman” Majalah Progres No. 2 1992.
[3] Lebih lengkap lihat Clifford Geertz, NEGARA, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980) yang kemudian diterjemahkan, Negara Teater, Kerajaan-kerajaan Bali Abad kesembilan Belas (Yogyakarta: Bentang ,2000). Geoffry Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, (Cornell: Cornell University Press, 1995) yang kemudian diterjemahkan, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, (Yogyakarta: LKiS,2005).
[4] Lihat Ahmad Fedyani Saifudin, “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”, Kompas, Sabtu 21 Januari 2006.

Anak-Anak Sejarah: Jejak Seni Rupa Semarang

“KtoK Project”: Dari Sejarah Komunitas ke
Alternative Art Space

I Ngurah Suryawan


“Sejarah komunitas” sebagai sebuah penuturan sejarah lisan, sejarah arus bawah, selayaknya kini mendapatkan tempat. Ini dilakukan tidak lain untuk memberikan ruang kepada masyarakat bawah dan kelompok-kelompok masyarakat lain untuk menulis sejarahnya sendiri.
Kita tentu bosan melihat catatan sejarah negara (baca: kekuasaan). Para wakilnya adalah para elite politik atau masyarakat kelas atas yang mencatatkan kekuasaan mereka dalam bentuk sejarah “kebenaran serta kemenangan” secara dominan tanpa memperhatikan kesaksian atau “sejarah-sejarah kecil” di tepi kekuasaan mereka yang otoriter.
Sejarah perlawanan terhadap kekuasaan ini bisa dianggap sebagai “sejarah baru” untuk menangkap kerumitan subjektiftas dan narasi-narasi kecil dalam pergolakan manusia. Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan, juga untuk menangkap pergolakan “sejarah-sejarah kecil” para kelompok subaltern kelompok yang “dipinggirkan” oleh struktur kekuasaan dan pengetahuan.
Kelompok subaltern dalam studi postcolonial diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Gayatri Spivak menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern (Subaltern Studies Group) mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai ”mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi ”menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok.[1]
Sejarah lisan memang secara politik diniatkan untuk menangkap pergolakan kelompok subaltern. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.[2]
Ide ini setidaknya bisa direlasikan dalam dimensi kesenian, dimana perdebatan seni tinggi (high art) dan seni rendah (low art) terus mengalami pergolakan terus-menerus dan pembongkaran secara pardigmatik dalam kritik kebudayaan kontemporer. “Kebudayaan tinggi” (high culture) dalam manifestasinya sebagai ekspresi “kesenian tinggi” (high art) dianggap sebagai penjelasan tentang kebudayaan yang sesungguhnya, mewakili kebudayaan kelas masyarakat terdidik—yang pada masanya—disebut masyarakat borjuis. Sedangkan “kebudayaan rendah” (low culture), sering juga dinyatakan sebagai “kebudayaan massa” (mass culture), adalah kebudayaan bagi dan diselenggarakan oleh orang kebanyakan (masyarakat umum) yang dianggap tidak terdidik, sehingga hasilnya dianggap tidak memenuhi standar hasil kebudayaan yang bersifat “memajukan”, “memperbaiki”, “mencerahi” kehidupan sesungguh-sungguhnya.[3]
Sebagai counter dari dikotomi tersebut, muncullah gerakan kritik dari generasi muda untuk mendobrak hegemoni infrastruktur dan wacana seni. Gerakan alternative ini secara tidak langsung juga menjadi respon dari perdebatan seni tinggi dan seni rendah tersebut, serta perlawanan terhadap sejarah kekuasaan. Reproduksi makna dari seni tinggi dilembagakan dalam bentuk infrastruktur, institusi dan jaringan produksi seni (seniman, curator, kolektor, media massa, kritikus, dll). Sehingga dengan halus menciptakan jejaring hegemoni dalam medan social seni rupa.[4]
Di tengah arus utama perkembangan seni yang semakin pesat, menjadi sangat penting untuk memikirkan soal institusi seni yang menggerakkan wacana seni tersebut. Hou Hanru mengungkapkan:

Untuk menyelenggarakan peristiwa (seni), institusi menjadi syarat fisik yang niscaya. Lebih penting lagi, institusi itu adalah landasan ideologisnya. Maka, yang lalu menjadi soal penting adalah: institusi macam apa yang harus dibangun? Ini karena institusilah unsure terpenting dalam system kekuasaan, atau mekanisme, yang mendefinisikan gagasan serta tapal batas seni rupa itu sendiri.[5]

Perspektif lain tentang alternative art space diungkapkan oleh Amanda Katherine Rath (2003). Ia mengungkapkan kepentingan seni alternative dan ruang seni alternative terletak pada strategi pertahanan hidup yang kadang mewujud menjadi strategi permanent seumur hidup. Amanda mengungkapkan bahwa sangat penting melihat kasus-perkasus bermacam sikap dari masing-masing ruang alternative untuk benar-benar bisa memahaminya sebagai contoh-contoh spesifik dalam satu rangkaian persoalan, serta apakah masing-masing rencana, strategi, dan taktiknya memenuhi atau tidak apa yang diimpikan pada awalnya.[6]
Sebagai sebuah gagasan untuk menyemai ide sejarah komunitas dan benih gerakan alternatitive art space, “KtoK (Kos to Kos) Project” memiliki arti yang penting. KtoK project telah melaksanakan 5 project, diantaranya: KtoK Project #1 Heorisme, Desember 2006, KtoK Project #2 Komedi Putar, Februari 2007, KtoK Project #3 Dark Brown Sofa, April 2007, KtoK Project #4 Sakit? Di Komix Aja Oktober 2007, KtoK Project#5 Senirupa Hidupku Semarang Kotaku KtoK Project Semangatku, Desember 2007.
Dalam masing-masing project menghadirkan satu tema dan memberikan kebebasan kepada para peserta untuk mengeksplorasinya. Di awal pelaksanaan project ini, KtoK mengambil tema tentang “Heroisme” yang memunculkan sikap kepahlawanan beserta penghargaan yang diterimanya. Tempatnyapun di rumah kos, yang disulap menjadi ruang seni di rumah kos banaran, Pesanggrahan, Temulawak, Jalan Raya Sekaran, Gunungpati, depan gerbang utama Kampus Unnes (Universitas Negeri Semarang).
M. Salafi Handoyo (2006) mengungkapkan, dari rumah kos seniman muda berproses. Ibarat dunia persilatan, media kecil ini jadi padepokan untuk mengasah kemampuan. Jika saatnya tiba, para seniman muda ini akan menyambangi ruang besar untuk unjuk kebisaan. Di rumah kos, seniman muda mencari pelbagai alternative pemikiran dan mengasah kekritisan. Spirit berkesenian tidak boleh mati dalam keterbatasan ruang.[7]
KtoK Project, oleh para penggagasanya disebutkan menjadi sebuah langkah awal dan sebagai tonggak perubahan seni rupa Semarang kearah yang lebih baik. Selain itu, latar belakang diadakannya proyek ini adalah sebagai solusi bagi permasalahan senirupa kota (Semarang) yang lemah dalam hal manajemen, dokumentasi, serta pendataan.

Kami juga mencoba belajar dalam bernegosiasi/komunikasi dengan segmen pendukung seni, dimana diharapkan seniman muda dan karyanya tak hanya dijadikan sebuah barang daganan. Harus ada yang bertanggungjawab terhadap perkembangan informasi, wacana, ketrampilan, kreatifitas, modal awal, manajemen, serta kemampuan bertahan hidup seniman muda ini…Sedangkan proyek seni ini (KtoK) difokuskan sebagai motovator dan daya tarik, menumbuhkan minat anak muda untuk mengeksplorasi bidang ilmu seni seluas-luasnya. Diharapkan mampu membantu seniman muda dalam berkonsentrasi menjadi seniman professional. Dan memunculkan banyak peluang untuk menentukan pilihan bernegosiasi dengan segmen seni. [8]

Seniman muda hanya mempunyai dua pilihan, pertama, yaitu mampu bernegosiasi dengan segmen seni. Inipun dengan catatan antara seniman dan segmen seni—segmen seni adalah institusi seni, diantaranya: pemerintah, museum, media massa, balai lelang, galeri, rumah seni intitusi pendidikan seni, ahli seni, kritikus, kolektor dalm komponen seni lainnya—tersebut harus saling menguntungkan. Inilah yang sulit terjadi. Kerap terjadi eksploitasi yang merugikan seniman.
Kedua, apabila tidak mau bernegoisasi dengan segmen tersebut, maka yang harus dilakukan adalah menciptakan ruang alternative sebagai tandingan. Kondisi ini juga memerlukan daya upaya ekstra besar karena harus mampu menggantikan fungsi segmen seni yang ada secara alternative dan mandiri.[9]
Karena itulah, KtoK project bagi saya menjadi penting posisinya dalam hal menarasikan sejarah komunitas para seniman-seniman muda. Dan yang penting juga diperhatikan, KtoK project menjadi penjaga dinamisasi art world di Indonesia. Karena seni merupakan gerak laju pergolakan pemikiran (kritik) kebudayaan. Agar seni tidak hanya menjadi wacana bagi yang elite (dominan), maka menyemaikan ruang-ruang alternative dengan sejarah-sejarah komunitasnya menjadi sangat penting. KtoK project menjadi salah satu gerakan seniman muda yang penting dalam konteks ini.


Denpasar, Bali 16 Februari 2008



Daftar Pustaka

Gandhi, Leela, 2001, Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta, Qalam.
Hartiningsih, Maria dan Ninuk Mardiani Pambudy, “Membaca Gayatri Chakravorty Spivak”, Kompas, Minggu 12 Maret 2006
Handoyo, M. Salafi, 2007, makalah “Senirupa Semarang: Aman Tertib lancer Asri dan Sehat”.
Loomba, Ania, 2003, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta, Bentang Budaya.
Rath, Amanda Katherinie, 2003, “Perihal Seni Alternatif dan Ruang Seni Alternatif” dalam Jurnal Karbon, Alternatif Space, No. 5-05/2003.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (ed), 2004, “Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial” dalam pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed), 2004, Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Kanisius.
Suryawan, I Ngurah, 2006, “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni (Pergolakan Seni dan Rezim Kekuasaan di Bali 1930-2005)”, manuskrip Program Tuhfah Yayasan Seni Cemeti 2005-2006.
------------, I Ngurah, 2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Penerbit Buku Baik dan Elsam.
Suara Merdeka, 16 Desember 2006, “Spirit berkesenian dari rumah kos”.
Zaelani, Rizki A, 2002, “Persoalan (Atas Nama) High Art” dalam Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Identitas dan Budaya Massa, Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti.



I Ngurah Suryawan, menekenuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali. Sempat mengenyam pendidikan di ISI Denpasar (2001-2002). Mantan anggota Klinik Seni Taxu dan pendiri Buletin Seni Visual Kitsch. Hingga kini memberikan perhatian terhadap penelitian seni rupa, khususnya tentang tema seni dan kekuasaan, pergolakan seniman muda, dan alternative art space. Meraih beasiswa penelitian dan penulisan seni rupa Yayasan Seni Cemeti 2005 dengan manuskrip: “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni: Pergolakan Seni dan Rezim Kekuasaan di Bali 1930-2005”. Kini sedang mempersiapkan buku kumpulan tulisan tentang “Mendobrak Hegemoni dan Klinik Seni Taxu”. Beberapa publikasinya: Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali (2005), Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007).
























[1] Lihat Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiani Pambudy, “Membaca Gayatri Chakravorty Spivak”, Kompas, Minggu 12 Maret 2006. Lebih detail tentang gagasan tentang subaltern dan poskolonial, lihat Gayatri Sipavak, Can the Subaltern Speak? (1988) dan Ranajit Guha dalam “On Some Aspects of the Historiography of Colonial India” (1982). Beberapa referensi tentang teori poskolonial, lihat Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Yogyakarta: Bentang, 2003), Leela Gandhi, Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, (Yogyakarta: Qalam, 2001), Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial , Soal Identitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
[2] Untuk pengantar komprehensif tentang sejarah lisan, lihat John Roosa, Ayu ratih dan Hilmar Parid, “Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial”, Pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir (Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004).
[3] Lebih lengkap lihat Rizki A. Zaelani, “Persoalan (Atas Nama) High Art” dalam Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Identitas dan Budaya Massa, (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002), hlm.77-91.
[4] Seperti kritik yang dilakukan oleh Kelompok Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar melalui event “Mendobrak Hegemoni” 23-24 Februari 2001. Lebih lengkap tentang genealogi seni dan kekuasaan di Bali, lihat I Ngurah Suryawan, “Dari Mooi Bali ke Mendobrak Hegemoni” (Pergolakan Seni dan Rezim Kekuasaan di Bali 1930-2005), Program beasiswa Tuhfah Yayasan Seni Cemeti, 2005-2006.
[5] Lihat Hou Hanru, “Saat Untuk Alternatif” dalam 15 Years Cemeti Art House, Exploring Vacum (tanpa tahun).
[6] Amanda Katherine Rath, “Perihal Seni Alternative dan Ruang Seni Alternative” dalam Jurnal Karbon, Alternative Space, No. 5-05/2003.
[7] Lihat “Spirit berkesenian dari Rumah Kos”, Suara Merdeka, 16 Desember 2006.
[8] Lihat tulisan M. Salafi Handoyo, “Senirupa Semarang: Aman tertib Lancar Asri dan Sehat” (2007).
[9] Ibid.

Sabtu, 08 Maret 2008

Dari Balinisasi ke Ajeg Bali

Dari Balinisasi ke Ajeg Bali
(Membongkar Kuasa Identitas ke-BALI-an)


I Ngurah Suryawan


Sebagai kebijakan kultural, Baliseering menghasilkan ditampilkannya kembali gaya busana, bentuk arsitektural, tarian, dan tata krama berbicara “tradisonal”
(Geoffry Robinson, 2006)

Atas nama pariwisata budaya telah menjadikan orang Bali sadar akan budayanya. Begitu budaya Bali diistimewakan dan diagungkan oleh wisatawan, dia juga diobjektifkan dan dijaraki oleh orang Bali dan dipasarkan kepada bangsa lain.
(Michel Picard, 2006)

Ajeg Bali juga mengandung gerak “pemurnian budaya”, yang ingin memilah antara yang “asli” dan yang “luar”. Ini tidak hanya karena benda yang “asli” punya nilai komersil yang tinggi, seperti barang antik di artshop, tetapi juga karena manusia yang “asli” bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali.
(Degung Santikarma, 2003)


Pendahuluan
Dalam sebuah konferensi akhir tahun 2007 di sebuah universitas ternama Jakarta, saya ditanya seorang kawan dari Papua. “Setiap membicarakan Bali, saya tidak bisa begitu saja melepaskan citra kedamaian dan eksotika budaya serta pariwisatanya. Saya yakin kini pasti semuanya berubah, tapi saya sebagai orang luar tidak mudah untuk melupakan semuanya. Berbagai iklan media massa dan cerita yang terus diulang-ulang membuat saya bimbang.”Seorang kawan dosen universitas negeri di Aceh melanjutkan, “Banyak harapan pihak luar tertuju pada Bali sebagai destinasi pariwisata dengan keunikan budaya, tapi kita lupa untuk melihat bagaimana orang Bali bereaksi terhadap pulaunya yang berubah sekarang.” Lanjutnya, “Bali terlalu berat menanggung citra yang terbentuk padanya dan terus disebarkan seperti yang kita terima begitu saja hingga kini.”
Perdebatan beberapa kawan tentang Bali itu seolah membuktikan bahwa “Sorga Dunia” tidaklah ada begitu saja, tapi “diadakan” oleh berbagai kepentingan dan relasi kuasa yang berkepentingan pada Bali. Beberapa kawan yang kritis terhadap Bali dan para sarjana asing yang membongkar “sorga rekayasa”, meminjam karya mengesankan Adrian Vickers (1989) ini sadar, proyek “puja-puji” dan perekayasaan Bali menghadirkan “kebenaran citra” yang kemudian dibekukan dan diwariskan. Konstruksi pembentukan Bali dianggap ilmiah, dan jika perlu diilmiahkan dengan berbagai cara. Ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa semuanya adalah warisan leluhur yang diterima sebagai wahyu dan harus dilestarikan.
Proyek pembekuan itu diterima sebagai warisan rezim kolonial Belanda dalam membentuk Bali. Praktek-praktek rezim colonial dalam mendesain Bali kemudian diwariskan dan diterima keberadaannya sebagai sesuatu yang wajar dalam posisi pewarisan budaya. Bahkan praktek-praktek kolonisasi ini dilestarikan dan direproduksi terus-menerus melalui cara-cara baru oleh masyarakat Bali sebagai warisan rezim colonial.
Praktik kuasa ini dilangsungkan dalam berbagai pentas politik kebudayaan dan jargon-jargon “pentradisian”. Warisan dari proyek pentradisian rezim colonial melalui ideology Balinisasi, Baliseering (pentradisian) Bali dilanjutkan dengan pariwisata budaya yang ingin mengemas tradisi dan budaya untuk disajikan dalam bisnis industri pariwisata.
Begitu hegemonicnya “rezim eksotika” Bali ini hingga memasuki urat nadi serta pola pikir manusia Bali, sehingga warisan rezim colonial diadopsi, bahkan terjadi proses pengulangan, peniruan (mimikri) praktek-praktek warisan colonial ini dalam bentuk pelestarian warisan budaya, penjagaan tradisi dan praktik kebudayaan kini dalam bentuk gerakan kebudayan Ajeg Bali.
Artikel ini berusaha untuk menelusuri dan membongkar praktik kekuasaan dengan mendasarkan argument dari analisis tentang opresifnya kuasa dan pengetahuan dari Foucault menganalisis konstrusi citra Bali. Untuk membongkar praktik-praktik pewarisan kuasa rezim colonial Belanda, artikel ini mendasarkan pada pemikiran postkolonial untuk membongkar praktik dan warisan kuasa rezim colonial yang masih terselubung dalam politik kebudayaan Bali kini.

Landasan Teoritik dan Metodologi
Dalam sebuah pentas konstruksi kebudayaan, menarik melihat bagaimana operasi kekuasaan ini yang dalam pandangan Michel Foucault dapat “menciptakan realitas” serta objek dan ritual kebenaran yang dijunjung tinggi, dibekukan, dan diwariskan dalam relasi kekuasaan. Karena itu kemudian praktik kekuasaan dapat melahirkan objek pengetahuan baru yang menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Lebih detail Foucault mengungkapkan:

Melihat kekuasaan sebagai penindasan, pembatas atau larangan tidak memadai lagi. Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran...Pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan. (Medan Sarup, 2003: 124-128).

Bagi Foucault kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus menerus. Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah: kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.

Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominant, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi. Dengan demikian kekuasaan tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang, dalam suatu institusi tertentu, atau melekat pada aparat Negara. Kekuasaan itu ada dimana-mana menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat. (Haryatmoko, 2002: 8-21)

Metode arkeologi dan genealogi adalah alat untuk membongkar kekuasaan yang diungkapkan oleh Foucault. Metode ini hendak memikirkan ulang bagaimana pengetahuan sering terjebak kepada prosedur-prosedur “kebenaran” yang sarat dengan relasi kuasa. Foucault mengungkapkan bahwa “kebenaran” harus dipahami sebagai suatu system prosedur-prosedur yang teratur bagi produksi, pengaturan, distribusi, sirkulasi dan operasi pernyataan-pernyataan. “Kebenaran” dihubungakan dalam relasi sirkular dengan system-sistem kuasa yang menghasilkan dan mempertahankannya dan dihubungkan pada efek-efek kuasa yang dipengaruhinya” suatu “rezim kebenaran”.
Metode arkeologi berlandaskan pada praktek diskursif dalam rangka memproduksi pernyataan-pernyataan. Dengan berdasar pada praktek diskursif ini, menurut Jurgen Habermas, Foucault ingin mengembalikan “dokumen-dokumen” yang bisa berbicara pada “monument-monumen” yang bisu dalam keadaan yang dibebaskan dari konteksnya untuk membuka jalan bagi suatu penulisan strukturalis. Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen” oleh Habermas di sini adalah fakta-fakta dan kejadian-kejadian histories yang telah diinterpretasikan dalam totalitas dan finalitas yang jelas. Sedangkan “monument-monumen” adalah fakta-fakta dan kejadian-kejadain histories yang belum diinterpretasikan. Arkeologi berusaha untuk sampai pada “monument-monumen” itu dan berusaha membentuk seri-seri secara baru (Petrus Sunu Hardiyanta, 1997: 12-13).
Sedangkan tentang genealogi, Foucault mengungkapkan perhatiannya adalah pada hubungan timbal balik antara system kebenaran dan mekanisme kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu “rezim politis” memproduksi kebenaran). Genealogi tidak mencari asal-usul (seperti ditunjukkan oleh historiografi tradisional), melainkan menemukan awal-awal dari npembentukan diskursus, menganalisis pluralitas sejarah kemunculan mereka secara factual, dan melepaskan diri dari ilusi identitas.(Petrus Sunu Hardiyanta, 1997: 14).
Dalam konteks Bali untuk membongkaran warisan colonial, metode yang diungkapkan Foucault tentu sangat penting untuk dipraktikkan. Dan jangan dilupakan juga bahwa kesadaran membongkar warisan colonial ini berdasar pada arus pemikiran pascakolonial dari gerakan perumusan identitas diri dan ekspresi ketertindasan dari negara-negara bekas koloni (jajahan).
Mariana Amirudin (tanpa tahun) mengungkapkan salah arti penting studi postcolonial adalah menempatkan paradigma penggugatan berbagai macam konstruksi dan relasi kuasa yang terjadi dalam selubung-selubung penjajahan, warisannya serta pelanggengan warisan tersebut oleh masyarakat koloni. Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi colonial yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Postkolonial lemudian membongkar (dekonstruksi) kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan.
Bagi sejumlah teoritikus postkolonial, usaha mendekonstruksi, menelanjangi ideology dan asumsi yang terselubung dibalik wacana yang dominant, masih dirasakan perlu. Sumbangan Edward Said dalam Orientalisme (2001) sangat penting untuk diajukan. Said bertolak dari konsep awal Foucault yang mencakup bukan hanya teks verbal, tetapi akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan.(Melani Budianta, 1994)
Edward Said bisa disebutkan menjadi tonggak awal dari kelahiran studi-studi postcolonial. Tesis utama buku yang menggunakan pendekatan Michel Foucault tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan adalah bahwa studi-studi ilmiah Barat mengenai Timur (Orientalisme) tidaklah terutama didorong oleh kepentingan pengetahuan, melainkan kepentingan penguasaan (Mudji Soetrisno dan Hendar Putranto, 2004: 155-171)
Mariana Amirudin (tanpa tahun) mengungkapkan Edward Said dalam ide postcolonial melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan’ dengan paradigma orientalisnya di tahun 1978.

Katanya, Timur adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan oleh Barat. Said menguliti orientalisme sevagai wacana ilmiah yang didorong oleh motif-motof kekuasaan yang amat buas (kolonialisme). Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari “negeri terjajah”, maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang terjajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Ini semakin menunjukkan bahwa postkolonialisme selain satu nafas dengan feminisme, ia juga bersanding dengan postmodernisme. (Mariana Amiruddin, tanpa tahun)

Mariana kemudian menunjukkan argumentasi tentang ide Michel Foucault bahwa kekuasaan ibarat sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Maka bukan lagi kekuasaan berbentuk vertical: penguasa di atas dan yang tertindas di bawah, melainkan berlaku dari dank e segala arah. Untuk menggambarkan ide postcolonial ini ada istilah black face, white mask, yaitu orang yang dijajah meniru peringai penjajah. Maka si black face, white mask adalah penjajah itu sendiri.
Oleh Frantz Fanon, seorang tokoh postcolonial, mengemukankan gagasannya bahwa kolonialisme sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebagai benda. Warna kulit hitam, cokelat atau kuning menunjukkan bahwa rakyat terjajah itu bukan hanya mereka yang kerjanya dirampas, tetapi juga mereka yang dalam jiwanya diciptakan kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya local mereka. Kompleksitas inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat koloni (Mudji Soetrisno dan Hendra Putranto, 2004; Frantz Fanon, 2000). Maka studi-studi pascakolonial diantaranya menaruh perhatian pada tema-tema kolonialisme dan imperialisme, wacana, oposisi biner, gender dan feminisme serta ideology dan identitas untuk menyebut sedikit contoh.
Linda Tuhiwai Smith (2005) mengajukan sebuah tesis yang menyegarkan untuk melakukan dekolonisasi metodologi dalam studi-studi pascakolonial. Dalam studinya, Linda menggunakan cara pandang bangsa terjajah yang secara sadar Ia istimewakan. Cara penelitian dengan metodologi orientalisme yang dilakukan oleh intelektual Barat merupakan penyumbang dampak negative kolonialisme, menciptakan sejarah serta realitas yang menikam rasa kemanusiaan paling dalam.

Ketika ada orang mengukur “kemampuan” bangsa terjajah dengan cara memasukkan biji-biji padi ke dalam tengkorak leluhur bangsa terjajah, lalu membandingkan jumlah biji-biji padi tersebut dengan kapasitas pemikiran dan mental bangsa terjajah, tentu saja hal tersebut melukai perasaan bangsa terjajah tentang apa dan siapa sesungguhnya bangsa terjajah. Lebih menyakitkan lagi, para peneliti dan intelektual Barat berasumsi mengetahui segala hal terntang bangsa terjajah hanya dari perjumpaan sesaat dengan salah seorang bangsa terjajah. (Linda Tuhiwai Smith, 2005: xv-xvi).

Cara pandang imperialisme ini diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan: menghimpun penduduk bangsa terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara Barat, lalu lewat kaca mata Barat dikembalikan lagi kepada bangsa terjajah. Edward Said menyebut proses ini sebagai wacana Barat tentang “yang lain” (other), yang didukung institusi, penghargaan akademik, kosa kata, perumpamaan, doktrin, bahkan juga birokrasi colonial dan gaya kolonial. (Linda Tahuwai Smith, 2005: xvi).

Balinisasi Bali: Jejak-jejak Kolonialisme
Sebagai jejak awal memeriksa relasi kuasa kolonialisme di Bali, bagian ini akan menguraikan jejak-jejak kolonisasi yang dilakukan rezim colonial Belanda melalui ideology Balinisasinya.
Perjalanan panjang politik kebudayaan Bali adalah pentas kuasa yang menjadi salah satu bidang pertarungan dalam praktek kolonisasi yang kemudian menimpa Bali. Kehidupan kesenian, seni lukis wayang, pertunjukan misalnya berkembang dengan landasan kebudayaan dan agama Hindu Bali yang kental. Ritual memang bukan satu-satunya citra yang membentuk Bali, tapi juga sejarah pertarungan dan perebutan kekuasaan politik dari raja-raja di Bali dalam menanamkan pengaruhnya.
Karena itulah perang saudara, pemberontakan, dan perebutan kekuasaan raja-raja di Bali menjadi catatan sejarah permulaan abad ke-20. Selain itu, dari abad ke-17 hingga ke-19 ekspor utama Bali adalah budak Bali. Sebanyak 2.000 budak Bali diekspor per tahun selama abad ke-17. Daerah tujuannya adalah Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Barat, Afrika Selatan, dan di penjuru pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Di Batavia pada pertengahan abad ke-17, dimana populasi budaknya kira-kira 18.000 jiwa, sekitar separuhnya adalah orang Bali (Geoffry Robinson, 2006: 33-35)
Cengkraman kekuasaan kolonial yang membentuk Bali dimulai dari sebuah momen puncak kekuasaan tahun 1920-an, yang kemudian dilanjutkan dengan program “pemberdayaan” tradisi. Dari hasil catatan lapangan pejabat kolonial, maka dibuatlah penggambaran bahwa masyarakat Bali adalah orang yang mempunyai minat pada seni, budaya, agama, tari, musik, lukis, ukir, upacara, festival ketimbang “politik” (Robinson, 2006: 8)
Setelah sekian lama dijajah oleh Belanda, baru pada 1908 berhasil menegakkan aparatur negara kolonial yang meliputi keseluruhan pulau di Bali, dan masa perdamaian dan ketertiban yang kasatmata pun dimulai. Pada 1929, otoritas Belanda mengizinkan keturunan yang ditunjuk dari raja terdahulu di tiap-tiap kerajaan untuk menyandang gelar kebesaran lama (Anak Agung, Cokorda, Dewa Agung). Orang yang ditunjuk itu resminya disebut negara-bestuurder (penguasa) di dalam kerajaan lama leluhurnya, yang kini disebut negara. Pada 1938, negara-bestuurder diberi status raja atau zelfbestuurder (penguasa otonom) dengan suatu kadar wewenang nyata di dalam wilayah kerajaan masing-masing (Robinson, 2006: 38). Di Bali berdiri delapan zelfbestuurder landschappen (swapraja).
Dengan tangan-tangan kekuasaan di raja-raja ini, ditambah dengan para pedagang, kaum bangsawan, dan pemuka masyarakat, rezim kolonial mengatur sistem pemerintahan dan menjadi penyambung beroperasinya kekuasaan di tangan-tangan negara kolonial dan rakyat kecil. Rezim kolonial menjadi dalang di balik layar dari bertarungnyaa sesama masyarakat Bali untuk memperebutkan kekuasaan dan mengabdi pada pemerintah kolonial. Rakyat dikeruk harta dan hasil buminya melalui tangan-tangan kaum bangsawan, pedagang, dan raja-raja yang memperebutkan pengaruh. Sementara itu ketertiban dan keharmonisan terus dipelihara untuk memperlancar penghisapan harta dan sumber daya pada masyarakat Bali.
Tapi semuanya tidak berjalan mulus. Henk Schulte Nordholt mencatat kebijakan negara jajahan terhadap Bali bersifat khas, yakni sangat kontradiktif sekali. Lebih lanjut Ia menyatakan:

Pihak Belanda ingin melindungi pulau ini terhadap pengaruh-pengaruh buruk seperti nasionalisme, agama Islam, agama Nasrani, dan “dekadensi” Barat, dengan jalan mempertahankannya dalam bentuk setradisional mungkin. Akan tetapi, pada waktu yang sama, Bali telah diserap masuk ke negara kolonial yang menyebabkan hujan peraturan-peraturan administrative dan jasa, yang makin lama makin besar jumlahnya. Lambat laun menjadi jelas bahwa salah satu kekuasaan yang paling berbahaya ialah pemerintahan pusat itu. (Henk Schulte Nordholt, 2002: 180-181).

Musuh bersama pemerintahan pusat kolonial Belanda membuat beralihnya kekuasaan kepada raja dan keluarga yang berkuasa, dengan pemerintah kolonial Belanda tetap berada di belakang layar kekuasaan. Dalam menjalankan pemerintahan itulah banyak terjadi kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Akibatnya banyak terjadi keresahan, ketegangan yang melibatkan masyarakat Bali.
Tapi masalah belum berakhir dengan diberikannya kekuasaan kepada kerajaan-kerajaan di Bali. Justru yang terjadi adalah persaingaan yang hebat antara kerajaan dan puri-puri di Bali. Karena itulah feodalisme semakin menguat melalui tangan-tangan kekuasaan puri-puri.
Geoffry Robinson mencatat, kembalinya kekuasaan pada feodalisme puri-puri yang tidak lepas dari campur tangan Belanda. Karena itulah otoritas Belanda menyadari bahwa ada lawan-lawan kebijakan mereka di kalangan kaum kaum muda terpelajar Bali dan khususnya para guru. Tapi, mereka dengan bijak meyakini bahwa Bali tradisional yang baru, gagasan “aneh” atau “asing” para biang kerok ini tidak akan mengakar (Robinson, 2006: 72)
Karena itulah politik citra Bali sebagai “museum hidup” itulah yang menjadi nilai jual yang sangat berharga bagi pariwisata. Dan sejarah pariwisata di Bali tidak bisa dilepaskan dari bagaimana intervensi kolonial Belanda dalam mempromosikan Bali, dan setali tiga uang di dalamnya membentuk bayangan atas pulau dewata ini.
Dalam catatan sejarah pariwisata Bali, perkembangan derasnya terjadi setelah perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij), di tahun 1920-an mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Namun sebelumnya telah datang seorang anggota parlemen Belanda, Heer H. van Kol, yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902. Kol dianggap sebagai wisatawan pertama yang datang ke Bali. Setelah mengunjungi Bali, Kol menulis buku Uit Onze Kolonien yang diterbitkan di Leiden, Belanda pada 1902. Dalam buku setebal 826 halaman tersebut, 123 halaman menceritakan tentang Bali. (Gde Pitana, 1999: 10).
Melalui kongsi dagang pelayaran inilah, promosi kepariwisataan Bali menjadi terlembaga. Praktis seteleh itu KPM mulai menarik penumpang-penumpangnya untuk menawarkan kunjungan wisata ke pulau tropis nan indah bernama Bali. Untuk mendukungnya, maka dibuatlah brosur-brosur pariwisata yang pembuatannya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Kekuasaan ini didapat karena Bali sebagai negara jajahan telah secara keseluruhan dikuasai Belanda mulai tahun 1913. Book Guide tentang Bali diterbitkan oleh VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), badan pariwisata pemerintah Belanda yang didirikan di Batavia, kini Jakarta. Badan ini bertugas untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, terutama Jawa dan Sumatera. Selain sebagai lembaga pengembangan pariwisata pemerintah, badan ini juga berfungsi sekaligus sebagai tour operator dan travel agent. Pada tahun 1914, KPM menerbitkan brosur pertama tentang Bali untuk menarik wisatawan. Dalam brosur yang dihiasi foto-foto keindahan alam Pulau bali tersebut, Bali dipropagandakan sebagai Garden of Eden. (Gde Pitana, 1999: 10)
Selain itu, yang lebih detail diungkapkan juga citra akan watak manusia Bali. Sebuah studi yang cukup berpengaruh membentuk pemahaman dan keyakinan masyarakat Bali tentang wataknya sendiri hingga kini. Gregory Bateson dalam sebuah karangannya mengatakan watak masyarakat Bali sebagai “Keadaan yang Mantap.” “Keadaan Mantap” demikian—kondisi emosional orang Bali—berciri khas perubahan yang seimbang dan “non-progresif”.(Henk Schulte Nordholt, 2002: 185).
Di Bali selatan, Jean Cotteau mencatat dominasi asing dan komodifikasi kesenian berlangsung secara tiba-tiba. Pada waktu puputan, perang sampai titik darah penghabisan, Badung dan Klungkung (1906-1908), kapitalisme sudah menerjang budaya lokal. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu, begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideology konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi. (Picard, 2006; Jean Cotteau, 2002). Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun image Bali. Salah satunya adalah pesanan dari jaringan rezim kolonial atas karya-karya seni Bali yang dianggap eksotik, asli dari dunia timur yang “asing”, “mistis” dan sorga bagi warga dunia di barat. Pandangan orientalis ini menjadi pondasi berubahnya citra terhadap Bali. Landasan sosial religius seni lukis Bali lama tergerus dengan pesanan karya-karya yang mereproduksi eksotika Bali dalam lukisan pewayangan dan citra akan dunia pewayangan dan “mistik” seperti bayangan para pelancong dan rezim kolonial.
Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya, berlangsung menjadi landasan praktek kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengekspolitasi Bali.
Proyek perombakan budaya dan pentradisian Bali itu terkenal dengan nama Baliseering (Balinisasi). Menurut pihak Belanda, orang Bali harus berbusana “Bali”; teknik-teknik konstruksi modern, tak peduli betaapapun praktis atau menariknya bagi para pemakainya, ditetapkan sebagai “buruk” secara estetis, dan karena itu harus dihindari.
Bahasa Bali digalakkan, dan pengawasan ketat terhadap kode-kode statusnya dikuatkan sebagai hukum adat. Dalam konteks “pencerahan” udaya Bali yang disponsori oleh rezim kolonial, pemakaian celana panjang oleh laki-laki atau kebaya oleh perempuan menjadi tindakan yang subversif. Yang diutamakan adalah pencarian “keaslian” dan “ketradisionalan” Bali yang kemudian tunduk dibawah pengawasan, ketertiban, dan keharmonisan yang dijaga oleh rezim kolonial Belanda.
Cikal bakal ideology “pentradisian” Bali ini tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa pemerintah kolonial Belanda dalam menciptakan dan membayangkan Bali. Citra tentang Bali yang harmonis, eksotik, dan apolitis secara luas diterima akhir dekade 1920-an. Ini bertepatan dengan proyek besar promosi Bali dalam industri pariwisata dan sebelum berdirinya Pita Maha.
Saat akhir dekade 1920-an inilah kekuasaan kolonial Belanda berada dalam puncaknya. Restorasi “tradisi” Bali menjadi ciri sentral strategi kolonial Belanda konservatif bagi pemerintahan tidak langsung. (Robinson, 2006: 8). Tanpa sengaja, ideology “konstruksi romantis” yang menimpa Bali, terutama dengan pernyataan yang terkenal “semua orang Bali adalah seniman”, beriringan berjalan dengan terbentuknya Pita Maha dan semakin massifnya industri pariwisata dan kesenian di Bali.
Di awal dekde 1030-an, memorandum birokratis para pejabat kolonial Belanda, mulai menyerukan bahwa rakyat Bali memiliki pembawaan yang lebih berminat kepada seni, budaya, agama—tari, musik, lukis, ukir, upacara, pestival dan seterusnya—ketimbang “politik”.

Asumsi yang umumnya diam-diam diterima di lingkaran kolonial (komunitas artistic dan antopolog asing di Bali) adalah bahwa “budaya” dan “politik” merupakan kategori yang sama ekslusifnya dan bahwa rakyat yang “berbudaya” tidak bisa sekaligus “politis”. Sepanjang “budaya” Bali tetap kuat, demikian kelanjutan dalih ini, pengaruh “politis” akan lemah. Persepsi ini sangat kuat mempengaruhi kebijakan kolonial di Bali sejak sekitar tahun 1920 hingga runtuhnya kekuasaan Belanda 1942. (Robinson, 2006).

Selanjutnya Geoffry Robinson menjelaskan peran dari para sarjana kolonial untuk “membentuk” Bali sangat berpengaruh hingga kini—yang kemudian diyakini, dilembagakan dan diwarisi tanpa kritik oleh orang Bali sendiri dalam melihat kebudayaannya. Tradisi kesarjanaan, intelektual kolonial inilah yang disebut dengan “Baliologi” dengan tokoh sarjana yang sekaligus merangkap sebagai pejabat kolonial yaitu F.A Liefrink dan V.E Korn. Kedua sarjana ini meletakkan fondasi pengetahuan “ilmiah” tentang Bali melalui serangkaian kajian etnografi, filologis, hukum yang dilakukan sejak akhir abad ke-19 hingga dekade 1920-an. Kajian-kajian inilah yang kemudian menjadi “dasar” dalam terbentuknya citra dan inti kebudayaan Bali hingga kini, semisal dasar-dasar Hukum Adat Bali, pemahaman masyarakat bali tentang “keaslian, keotentikan” kebudayaannya. Sarjana dan seniman lainnya yang mengikuti Liefrink dan Korn adalah Margaret Mead, Gregory Bateson, Jane Belo, Walter Spies, Colin McPhee, Katherine Merson, Miguel Covarrubias, dan yang lainnya.
Citra “keseimbangan” dan “harmoni” diciptakan oleh serangkaian relasi kuasa kolonial, yang melibatkan produksi bahasa, tingkah laku, dan citra yang tanpa sadar menjadi cikal bakal terbentuknya Bali hingga kini. Citra eksotika Bali muncul beriringan dengan dengan konstruksi “pentradisian” Bali tersebut, yang kemudian berimbas pada bidang kesenian, terutama munculnya lukisan realis yang mengeksploitasi eksotika Bali di tahun 1950-an.
Bagi pandangan eksotika kolonialis ini, “keseimbangan”, “harmoni”, “tatanan”, dan “kebahagian” terkandung dalam budaya dan organisasi social di Bali. Tanda-tanda ketegangan atau disharmoni—“kegilaan” penari yang kesurupan atau fenomena “kalap”—pada hakikatnya dipahami sebagai mekanisme yang berfungsi integrative dari sebuah masyarakat “tradisoonal” yang “teratur”. Tema-tema tersebut menjadi sokoguru citra eksotik tentang Bali. (Robinson, 2006: 9).
Penciptaan Bali ini dalam ideology Baliseering terutama terjadi dalam kebijakan edukasional. Baliseering berarti pelejaran seni tari, seni patung, seni musik, bahasa dan aksara tradisional Bali. Bagi kaum terpelajar Bali, terang saja kebijakan ini sangat controversial dan ditentang penuh. Kaum terpelajar ini turut mengusahakan agar masalah pendidikan dan kebudayaan menjadi focus utama wacana nasionalis Bali sepanjang revolusi dan menyambut era Soekarno. (Robinson, 2006: 74-76).
Pemberlakuan sebuah negara Belanda dengan kebijakan hegemonik dalam ideology Baliseering ini ini menghasilkan perubahan mendalam di masyarakat Bali. Perubahan tersebut membangkitkan konflik politik dan social jenis baru, bahkan ketika pemberlakuan kebijakan tersebut tampak melestarikan aturan pribumi “tradisional” serta harmoni politik dan social tinggi yang semu. Geoffry Robinson mengungkapkan bahwa motivasi politik konservatiflah yang mendorong langkah untuk memulihkan “tradisi” di Bali, walaupun langkah itu membuahkan perubahan signifikan dalam hubungan social dan politik di Bali. (Robinson, 2006: 78)
Politik kebudayaan Baliseering terutama diterapkan dalam bidang pendidikan, termasuk di dalamnya adalah bidang kesenian. Politik Baliseering dengan focus ekslusifnya dalam bidang budaya, bahasa, dan sejarah Bali bertujuan jelas untuk memberikan ciri identitas Bali. Penekanan pada restorasi budaya dan identitas Bali adalah konsisten dengan strategi politik yang lebih besar untuk mendorong otonomi politik berbagai komunitas religius dan cultural yang berbeda-beda di Hindia sebagai tandingan Republik di Jawa.
Proyek “pentradisian” Bali ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kekuasaan kolonial Belanda yang berbeda dalam cara penaklukan terhdap Bali. Bali Utara (Buleleng) tidak langsung mendapatkan serangan dari berbagai macam segi dari pihak kolonial Belanda. Sangat berbeda dengan Bali Selatan (Klungkung, Badung) yang secara langsung melakukan perlawanan keras terhadap penjajahan kolonial Belanda. Karena itu pulalah sejarah awalnya evolusi seni rupa dimulai di Buleleng (Bali Utara). Pada awal abad ke-19 di Buleleng sudah dibuat gambar dari kertas yang hanya berisi satu adegan saja dan bukan narasi yang lengkap yang menampilkan serentet aneka adegan naratif. Jean Cotteau mengungkapkan pada akhir abad ke-19 di Singaraja, seorang ahli lingusitik Belanda, Van Der Tuuk, memesan beberapa gambar pada beberapa informannya, dan gambar tersebut sudah memperlihatkan awal dari strukturasi ruang, menggantikan penempatan unsur ikonik secara sejajar, baik horizontal maupun vertical. Pada awal abad ke-20 pematung-pematung Buleleng sudah menempatkan unsure tematik baru—misalnya orang bersepeda—dalam ukiran relief puranya. Hal-hal ini sudah memperlihatkan meresapnya unsur-unsur baru pada tatanan seni rupa Bali. (Cotteau, 2002: 107)
Berbeda dengan Bali Selatan (Denpasar, Klungkung, Gianyar) yang berhadapan langsung dengan penjajahan kolonial. Setelah selesai Puputan Badung (1906-1908) kapitalisme sudah siap menerjang budaya local. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan-tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pen gkonsumsian budaya itu disertai upaya idelogi konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi, dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi.
Pengaruh besar pem-Bali-an dalam tradisi Bali, dengan mengkonsumsi dan mengkomodifikasi keseniannya terlihat jelas dari mulai terbukanya pasaran dunia seni rupa. Pra tahun 1920-1930-an, seiring dengan masuknya pariwisata dan kebijakan Baliserring dari pemerintah kolonial Belanda pasaran seni rupa tidak lagi membutuhkan simbol-simbol agama. Oleh sebab itulah tema-tema langsung berubah. Berdirinya kantor pariwisata di Kota Singaraja, Buleleng Bali Utara menambah produksi benda-benda kerajinan seni seperti ukir-ukiran. (Cotteau, 2002: 107). Ini menunjukkan sebelum pengaruh langsung dari seniman Barat pada zaman Pita Maha, pra kondisi dari produksi dan pasaran seni begitu derasnya terjadi. Sekali lagi masuknya pariwisata, ditambahkan dengan kebijakan politik kebudayaan kolonial (Balinisasi) sangat memungkinkan jejak awal industri dan persentuhan seni dan industri terjadi di Bali.
Elemen penting dalam bidang kesenian yang disasar oleh politik kebudayaan Baliseering pemerintah kolonial Belanda adalah menanamkan pengaruh langsung dalam bidang pendidikan. Jean Cotteau menuliskan pengaruh pendidikan kolonial Belanda khususnya pada pelukis akademis realis membawa loncatan kualitatif. Berbeda dengan orang Bali tradisional yang menganggap “aji” (pengetahuan) sebagai bagian dari agama dan menyalurkannya melalui buku-buku langka yang dinilai sacral/magis. Pendidikan Bali tradisonal—sebagai akibat penanaman ideology Baliseering—menawarkan akses gaib pada kosmos, sedangkan pendidikan Belanda menawarkan akses operasional pada dunia nyata. Dengan kata lain, penyajian pengetahuan modern mengubah pandangan dunia dan langsung mempengaruhi mentalitas para seniman.(Cotteau, 2002: 121).
Proses perubahan dari pendidikan tradisional ke pendidikan modern muncul relatif lebih belakangan di Bali daripada di Jawa. Sekolah-sekolah pertama didirikan di Singaraja pada akhir abad ke-19. Di Bali selatan jaringan sekolah dasar baru mulai melebar ke pelosok-pelosok pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Lebih lanjut Jean Cotteau mengungkapkan sekolah jelas bukan satu-satunya sumber dari realisme modern.

Pada waktu yang sama seluruh tatanan politik, ekonomi, dan cultural dirombak berdasarkan prinsip rasional dan organisasional serupa. Terbentuklah lapisan sosiologis modern, dan bahkan “modernis”, yang menghendaki penerapan rasio dalam segala bidang kehidupan, termasuk seni rupa. (Cotteau, 2002: 121).

Selain perubahan structural tersebut terdapat juga pengaruh perorangan. Orang Eropa di Bali, baik anggota administrasi kolonial maupun wisatawan ikut memboyong dunia visual yang baru melalui buku, majalah, surat kabar, foto, dan lainnya. Demikian juga orang Jawa yang didatangkan dalam jumlah cukup besar ke Bali untuk tugas administrasi dan pekerjaan umum Belanda.. Mereka tidak hanya lebih dulu mengenal pendidikan modern, tetapi juga telah membangun sejak abad ke-19, suatu realisme popular naïf yang mencerminkan pemoderan awal di dunia seni mereka.


Pariwisata dan Reproduksi Pentradisian: Bujuk Rayu Pariwisata Budaya
Bagian ini akan membongkar bagaimana munculnya sebuah rezim kekuasaan baru, dengan pemikiran yang sangat terkenal dengan “Pariwisata Budaya” di Bali menjadi kelanjutan dari proyek Balinisasi yang diterapkan rezim colonial. Dalam rezim tersebut terkandung gerakan untuk “melestarikan” dan “menggalakkan” adat, tradisi dan kebudayaan sebagai modal untuk mengembangkan serta meningkatkan laju pertumbuhan pembangunan dan pariwisata.
Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.(Gde Pitana, 1999: 19-20)
Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan Bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali.
Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa di setiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat program-program pemerintah, ataupun lewat agency manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga. Karena itulah ehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik. (Degung Santikarma, tanpa tahun)
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.
Di balik semua itu, cita-cita utopis politik kebudayaan Bali ketika itu memang diarahkan untuk menggerakkan bidang yang potensial bernama kebudayan untuk mendukung pariwisata. Seperti diungkapkan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, peletak dasar ideology pariwisata budaya, yang menyatakan modal dasar kebudayaan Bali berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normative peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan. Secara operasional, kebudayaan juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberikan petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan bagi pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Dan kebudayaan di sini bukan hanya berfungsi untuk dinikmati, tetapi juga sebagai media untuk membawa saling pengertian dan hormat-menghormati. (Ida Bagus Mantra, 1996: 35)
Perspektif utopis dan “harmonisasi” dalam melihat relasi pariwisata, budaya, pembangunan, dan kekuasaan itulah yang melandasi politik kebudayaan Bali 30 tahun lebih lamanya. Tidak terhindarkan memang, yang terjadi kemudian adalah menyebarnya operasi kekuasaan dari jejaring budaya, pembangunan, dan negara (baca: kekuasaan) tersebut dengan alamiah, seolah tanpa sadar, dan terkelabui oleh cita-cita luhur untuk membangun pariwisata budaya di Bali yang berkelanjutan. Operasi kekuasaan yang produktif itulah yang menghasilkan pembudayaan wacana “Pariwisata Budaya” menjadi kitab dalam politik kebudayaan Bali pasca 1965. Depolitisasi berlangsung hampir menyentuh seluruh kehidupan masyarakat. Maka yang terlahir kemudian adalah generasi apolitis, pragmatis, bermental kerja dan penurut.
Awal dari institusionalisasi kekuasaan melalui pariwisata budaya itu adalah ditetapkannya Peraturan Daerah, Perda 3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda 3/1991 tentang “Pariwisata Budaya”. Legitimasi ini sebenarnya hanya stempel saja. Sebelumnya penyebaran “ideologi” pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang-ruang privat kehidupan masyarakat.
Bagaimana misalnya sibuknya perempuan Bali yang mempercantik dirinya untuk tampak manis di hadapan Tim Penilai Lomba Desa Adat. Gengsi dan glamour ritual itu seolah menunjukkan bagaimana telah terlaksananya pemberdayaan adat untuk mendukung pariwisata Bali. Padahal di balik semua itu terdapat landasan yang rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali.
Begitulah pentas politik kebudayaan Bali diciptakan oleh rezim kekuasaan. Depolitisasi, harmonisasi, dan penyeragaman dilakukan untuk membentuk “manusia Indonesia seutuhnya“ dan manusia Bali berguna dan berdaya untuk pariwisata. Harmonisasi dan keamanan adalah persyaratan mutlak bagi daerah destinasi pariwisata seperti Bali. Karena Bali harus aman, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan. Dari itulah lahirnya manusia-manusia Orde Baru yang etno-nasionalis, konservative, fundamentalis, dan yang terpenting apolitis. Hal ini diwujudkan dengan semakin menguatnya politik etnis seiring berjalannya pariwisata. Wacana kapitalistik dan industrial seperti pariwisata melahirkan wacana hak milik kebudayaan bagi masyarakat Bali.
Politik identitas “pariwisata budaya Bali”, yang diikuti dengan penguatan identitas etnis, menyertai perkembangan pariwisata. Pariwisata, kebudayaan, dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Karena hanya itulah yang menjadi senjata sakti dan “jualan” dari “pariwisata budaya” di Bali. Ini diwujudkan dengan klaim dan citra, “budaya Balilah yang eksotik dan asli”
Politik puja-puji terhadap Bali juga mewarnai bagaimana strategi Orde Baru untuk menaklukkan seni dan kebudayaan di Bali. Politik pujian ini dimulai dari rezim kolonial dalam membentuk citra dan budaya Bali. Istilah setiap orang Bali adalah seniman”, “manusia Bali mencintai kedamaian”, dan “Bali adalah pusat kreatifitas Indonesia” dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai investasi untuk menyedot datangnya dollar dalam bentuk “pariwisata budaya”. Gambaran etnografi yang dibuat oleh orang luar ini pun terus dihembus-hembuskan dan dijadikan suatu sertifkat bukti diri dan kebanggaan ke-Bali-an mereka. Degung Santikarma menuliskan:
Bagi beberapa orang yang diuntungkan oleh kucuran dollar industri pariwisata, gambar ini bukan lagi sebuah bikinan tetapi sebuah gambaran keramat yang tidak boleh diutak-atik. Gambaran ini bahkan perlu dijaga oleh barisan pecalangan (satpam desa adat). Gambaran ini tidak boleh dikritik karena telah dia telah terbukti sebagai modal yang telah mendatngkan banyak devisa. Sekalipun begitu panjang perjalanan sejarah seni di Bali, cikal bakal sejarahnya dicoba untuk dihapus dari gambaran tersebut untuk menunjukkan seni bali sebagai ekspresi otentisitas etnis mereka.(Degung Santikarma, 2003).
Bagian sebelumnya menguraikan bagaimana relasi kuasa rezim kolonial dalam menjadikan Bali “museum hidup” kebudayaan, dan yang lebih mendasar adalah “menciptakan” dan “menyelamatkan” kebudayaan Bali. Politik kebudayaan Baliserring, Balinisasi, “pentradisian” kebudayaan adalah salah satu kebijakan rezim kolonial yang diikuti dalam berbagai bidang kehidupan yang paling intim bagi orang Bali. Hukum adat, budaya, pendidikan, seni, ritual, bahasa, pendidikan, hingga cara berpikir tidak bisa dilepaskan dari jejaring kuasa kolonial ini. Dari imaji konstruksi kebudayaan Bali itulah kemudian kita warisi hingga kini menjadi “budaya Bali” yang adiluhung, yang kita terima sebagai warisan yang harus dijaga, dipelihara, atau dalam bahasa rezim Orde Baru “pemberdayaan” kebudayaan.
Warisan kebudayaan kolonial diterima dengan tanpa kritik, taken for granted, seolah sebagai warisan leluhur yang benar-benar murni, bebas dari kuasa kolonial. Yang kemudian oleh masyarakat Bali dibela mati-matian dibalik wacana “pelestarian dan membangkitkan” nilai-nilai budaya yang tertinggal. Ideologi “pentradisian” Bali sebagai warisan dari rezim kolonial inilah yang kemudian dibekukan, dikembangkan menjadi ideology “pariwisata budaya” yang merasuk pada keseharian dan keakraban orang Bali 30 tahun lebih. Saat itu bagaimanapun usahanya, agar “kebudayan” bisa bernilai jual, “diberdayakan” sebagai senjata utama industri pariwisata yang menghidupi Bali. Dunia kesenian menjadi salah satu sendi utama beroperasinya relasi antara budaya, kuasa dan pariwisata ini.
Bagian ini ingin menguraikan bagaimana wacana tersebut—“pentradisian” Bali dengan menguatkan nilai-nilai kebudayaan—secara samar-samar mulai mengkristal menjadi gerakan kebudayaan pasca 1998 dan semakin berkembang hebat pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Sebelumnya, di tahun-tahun jayanya pariwisata, gerakan kebudayaan untuk “kembali ke tradisi” dan gerakan penguatan kebudayaan juga mulai terjadi. Tidak sehebat di tahun 2000-an, gerakan kebudayaan di masa tersebut masih terbendung oleh otoritas negara rezim Orde Baru yang begitu kuat. Kebudayaan harus tunduk kepada otoritas negara untuk mendefiniskannya.

Ajeg Bali dan Operasi Pembekuan Identitas Kebudayaan
Pada bagian ini akan berusaha untuk menelisik kembali usaha reproduksi nilai-nilai serta cara berpikir rezim colonial tentang pentradisian dan pelestarian budaya melalui versi lainnya yaitu gerakan kebudayaan Ajeg Bali.
Tentu banyak varian yang berbeda, dan relasi kontekstual yang baru dari gerakan kebudayaan ini, tapi coba kita melihat semangat dan relasi kuasa politiknya dalam melihat kebudayaan Bali. Terminologi Ajeg Bali, seperti yang diungkapkan Degung Santikarma berasal dari bahasa Bali biasa yang mempunyai arti “kokoh, tegak, tegar, kekal, kencang, kuat, dan stabil”.

Merunut pemikiran yang ada dalam wacana Ajeg Bali, walaupun Bali mengalami guncangan ledakan bom yang dahsyat, kebudayaan Bali tetap berwibawa , tak tergoyahkan, berdiri tegak, kokoh dan tegar. (Degung Santikarma, 2003).


Dengan bahasa Ajeg Bali yang berasal dari bahasa local yang biasa, Degung melihat tersimpan maksud untuk mempromosikan diri sebagai wacana populis untuk membayang-bayangi otoritas elite tradisional, yaitu kaum Brahmana, aristokrasi, dan kekuasaan negara yang memakai bahasa Sansekerta sebagai tanda legitimasi atas peradaban seperti dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Panca Dharma Wanita, dan Sapta Pesona.
Namun di balik bahasa akrab Ajeg Bali tersembunyi ketidaksetaraan gender dan keperkasaan. Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Melalui program “Bali Lestari”, pemerintah Orde Baru meneruskan cita-cita sang penjajah yang sama-sama melihat kebudayaan Bali sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” yang harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya.(Degung Santikarma, 2003). Tapi pasca lengsernya rezim Orde Baru, wacana politik kebudayaan Ajeg Bali bergeser dari arah wanita cantik ke lelaki berotot dan bertubuh kekar dengan semboyan Nindihin Bali, yang siap menjaga Bali dari ancaman pihak-pihak luar yang ingin merusak dan merongrong kebudayaan Bali yang adiluhung.
Munculnya slogan Ajeg Bali mulai riak-riak terdengar setelah Bom Bali Oktober 2002 berdentum di Legian, Kuta. Dari mulai pencalonan Gubernur, penguatan kebudayaan manusia Bali untuk melawan globalisasi, agenda setting Bali kedepan, penguatan basis ekonomi manusia Bali, wacana Ajeg Bali terasa simpang siur pasca Bom Bali Oktober 2002. Hingga tanggal 16 Agustus 2003, setelah harian Bali Post menerbitkan edisi khusus ulang tahun yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita” (2004).
Ternyata Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran. Pada tataran individu, Ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri cultural (cultural confidence), sifatnya kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisik semata. Pada tataran lingkungan cultural, Ajeg Bali dimaknai sebagai terciptanya sebuah ruang hidup budaya Bali yang besifat inklusif, multicultural dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Pada tataran proses cultural, diartikan sebagai interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai cultural dan kearifan local serta memiliki kesadaran ruang (spatial) serta waktu yang mendalam. (Nyoman Wijaya, 2004: 154-179).
Nyoman Wijaya menunjukkan, juru bicara Ajeg Bali berkeyakinan persoalan yang dihadapi Bali dapat diatasi melalui beberapa langkah: pembaharuan otonomi khusus di daerah tingkat I (propinsi) guna mencegah terjadinya fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar daerah tingkat II; pembaharuan atas berbagai kontrak social dan cultural untuk mencapai jalan tengah baru yang mampu meminimalisasi berbagai otoritas atas ruang budayanya, seperti banjar atau desa adat; dan melakukan perkuatan atas berbagai institusi yang selama ini yang menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar, desa adat, dan pura, baik dengan memberinya peran yang baru maupun dengan memperluas peran yang sudah ada. Selanjutnya adalah dengan melakukan pencanggihan dan pencerdasan atas institusi-institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar dan kliannya (ketua adatnya), serta berbagai warisan budaya manusia Bali, sehingga mampu menghadapi godaan banak atau keganasan modernitas; pembuatan produk-produk legislagi budaya yang bertujuan menjaga eksistensi ruang budaya, ruang religius maupun modal budaya manusia Bali.
Secara tidak langsung, gerakan Ajeg Bali ini, menurut juru bicaranya, terdapat sebuah ancaman yang harus “diwaspadai” untuk menjaga ketahanan budaya Bali. Dengan melihat berbagai lontaran wacana Ajeg Bali, Nyoman Wijaya (2004) mengungkapkan nada bicara dan semangat juru bicara Ajeg Bali menunjukkan tidak jauh berbeda dengan konsep lestari yang di zaman Orde Baru menjadi dictum, pernyataan resmi pemerintah atau bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan. Dari sini lahir berpuluh-puluh proyek pelestarian budaya Bali dan banyak yang mendapat cipratan rejeki darinya.
Tidak lama setelah wacana Ajeg Bali menghangat, diluncurkanlah stasiun televisi swasta Bali TV milik dari jaringan korporasi bisnis media terbesar di Bali yaitu Bali Post. Setelah menyiarkan rangkaian peristiwa Bom Bali di diskotik Sari Club dengan mayat-mayat yang bergelipangan, Bali TV kemudian menyuarakan pentingnya kebersamaan pada semua orang Bali untuk menjaga Bali. Melalui media Bali Post, mengerucutlah sebuah wacana, atau lebih tepatnya sebuah tekad untuk melindungi Bali dari “teroris”, dari para pendatang yang merusak Bali dengan meledakkan bom.
Maka tersemailah bibit-bibit sentimen etnis, kewaspadaan, dalam pendataan penduduk pendatang yang masuk ke Bali. Di tengah kepanikan untuk menjaga Bali itulah muncul angin segar untuk merangkul masyarakat Bali bernama ajakan untuk Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut.
Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.
Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana I­­nilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang Ajeg Bali.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).
Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu.
Sebuah majalah Media Hindu dalam edisi “Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali” (2005), dalam satu artikelnya dari Ngakan Made Madrasuta berjudul “Ajeg Bali, Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali” (21 November 2005) secara gamblang mengungkapkan bahwa sumber utama dari budaya Bali adalah agama Hindu. Bila Hindu tidaka ada, budaya Bali seperti sekarang ini tidak akan pernah ada. Maka untuk mewujudkan “Ajeg Bali” terlebih dahulu yang harus diwujudkan adalah “Ajeg Hindu” di Bali.
Mengkristalnya gerakan kebudayaan Ajeg Bali terlihat dari berbagai pernyataan yang menghubungkan antara Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. Majalah Hindu Raditya memulainya dengan tajuk “Ajeg Bali atau Ajeg Hindu”. Putu Setia sebagai pendiri majalah tersebut menulis apapun dikaitkan dengan Ajeg Bali. Ia mencontohkan di daerah Pupuan dibangun masjid baru, di pinggir jalan, besar, dan dalam pengerjaan. Putu Setia (2004) menulis dengan mengutip perkataan kawannya mengungkapkan masjid ini nantinya akan jadi contoh bagaimana tempat suci itu bersih, punya halaman luas. Pokoknya sesuai dengan konsep Ajeg Bali, karena kita hidup di Bali tentu kita sangat mendukung konsep Ajeg Bali”
Putu Setia melanjutkan mereka bicara tentang Ajeg Bali, kata yang begitu popular. Apapun dikaitkan dengan Ajeg Bali. Barangkali umat Kristiani di Dalung, Tuka, Palasari dan tempat-tempat lain juga punya pandangan serupa bahwa mereka sebagai penduduk sah di Pulau Bali akan ikut menjaga dan menegakkan Ajeg Bali. Siapa yang membantah bahwa mereka bukan orang Bali? Karena mereka orang Bali maka adat dan budaya yang mereka pakai adalah adat dan budaya Bali.
Sikap hidup yang sesuai dengan Tri Hitan Karana dijalankan umat lain melebihi apa yang dilakukan oleh umat Hindu. Bahkan hubungan antar sesama manusia, melebihi perilaku orang Bali yang selalu bicara Tri Hita Karana. Umat Kristiani gencar membangun Panti Asuhan, umat Muslim gencar membantu temannya yang berdagang baik di kaki lima maupun di pertokoan (ditambah bantuan perbankan yang modern), umat Budha juga solidaritasnya tinggi. Sementara umat Hindu, justru anak-anak mereka masuk ke panti Asuhan umat lainnya.

Ajeg Bali itukah yang akan dilanggengkan di Bali? Ajeg Bali di mana setiap tahun jumlah umat Hindu berkurang dalam komposisi penduduk Bali. Prosentasi pemeluk Hindu terus menurun setiap tahun di bali, baik karena populasi yang rendah maupun karena ada yang pindah agama. Bagi saya, ini menyedihkan. Karena itu saya lebih setuju berbicara tentang Ajeg Hindu di Bali, bukan Ajeg Bali. Dengan Ajeg Hindu, maka pertama-tama yang dibuat Ajeg adalah kehidupan orang Bali. Cegah orang Bali pindah agama dengan memberikan pendidikan agama Hindu sejak dini kepada anak-anak. Cegah orang Bali menjual tanahnya dengan menanamkan konsep bhakti kepada leluhur sehingga warisan harus dipertahankan. Bwndung misi agama lain dengan segala cara, jika perlu termasuk membatasi pendirian tempat ibadah umat non-Hindu di kantong-kantong umat Hindu sesuai dengan aturan yang ada. Sucikan pura dari segala bentuk perjudian, dan sucikan pura dengan menjaga kebersihannya. Ajarkan Manusa Yadnya dengan konsep menolong sesama, bukan cuma dengan membuat banten (sesajen). (Putu Setia, 2004)

Harapan Putu Setia tentu jauh dari ideal. Yang terjadi sekarang justru wacana Ajeg Bali telah jauh bergerak tanpa kendali, bahkan mengarah pada pengentalan dan sentimen budaya yang tanpa disadari. Karena begitu lenturnya, sungguh sulit untuk mengharapkan suatu yang ideal dari wacana ini. Yang terjadi dan dapat kita lihat kemudian adalah bagaimana operasi dari wacana Ajeg Bali ini menyentuh dalam alam bawah sadar “penguatan” kebudayaan seperti juga yang dicita-citakan Putu Setia. Gerakan esensialisme kebudayaan ini berawal dari konstruksi “pentradisian” budaya Bali dari kebijakan politik kebudayaan kolonial. Eksotisme Bali dengan penduduk yang sopan santun dan rasa toleransi yang tinggi mulai dipertanyakan. Pasca otonomi daerah dan bom meledak dua kali di Bali, bayangan eksotisme sopan santun dan toleransinya manusia Bali ternyata terbukti menjadi discourse yang dipergunakan rezim pembangunan Orde Baru melalui program “Pariwisata Budaya” untuk mendatangkan dollar dari industri pariwisata. Kebudayaan dipelihara untuk pariwisata, dan masyarakat Hindu Bali hanya menjadi manusia-manusia eksotik yang dimuseumkan.
Sebagai akhir, ada baiknya saya kutipkan sebuah narasi yang ironis yang dituliskan dengan sangat mengesankan oleh IBM Dharma Palguna.

Silahkan datang dan jalan-jalan ke desa kami. Kalu bisa lebih baik datanglah sebagai turis. Karena kami lebih menghargai turis daripada pendatang musiman. Akan kami tunjukkan apa sejatinya harmoni itu. Kami sama-sama mahir bicara keharmonisan. Kemampuan berbicara keharmonisan di sini menjadi pertanda intelektualitas dan keperdulian social seseorang.
….
Banyaknya ancaman dan banyaknya ritual adalah dua kenyataan yang belum jelas kami ketahui silsilahnya. Hubungan keduanya baik-baik saja. Buktinya, sampai sekarang keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Di sana ada ritual penuh harmoni, di sini ada keberingasan penuh ironi. Atau sebaliknya. Begitu silih berganti. Atau bersamaan. (Dharma Palguna, 2006).


Sungguh ironis…








Daftar Pustaka


Adam, Asvi Warman
2004 Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Ombak.

Anwar, Dewi Fortuna, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor)
2005 Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Barker, Joshua
tanpa tahun “Vigilantes and The State”, makalah tidak dipublikasikan.

Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah
2004 Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.

Bali Post
2004 Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.

2001 K. Nadha Sang Perintis, Denpasar, Penerbit Bali Post.

Budianta, Melani
1994 Yang Memandang dan Yang Dipandang, Potret Orang Kecil dan Wacana (Post) Kolonial” dalam Kalam edisi 2-1994.

Cribb, Robert (editor)
2003 The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali
1965- 1966, Yogyakarta, MataBangsa.

Colombijn, Freek
2005 Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia, Pelajaran dari Sejarah, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol (Editor), 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta, Penebit Obor.

Collins, Elizabeth Fuller
2002 Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan, diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko, pernah dimuat dalam Asian Survey Vol. XIII No. 4 Juli/Agustus 2002, hlm. 582-604.

Cotteau, Jean
2003 Wacana Seni Rupa Bali Modern dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti.

Dwipayana, AAGN
2005 Bali: Surga Bertepi Kekerasan, Pengantar buku I Ngurah Suryawan, 2005, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Yogyakarta, Kepel Press.

Eklof, Stefan
2003 Pembunuhan-pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (ed), Order Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, LKiS.

Fanon, Frantz
2000 Bumi Berantakan, Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang mengubah Wajah Dunia, Jakarta, Teplok Press.

Geertz, Clifford
2000 Negara Teater, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Gie, Soe Hok
1995 Zaman Peralihan, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.

Hardiyanta, Petrus Sunu
1997 Michel Foucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Indivisu Modern, Yogyakarta, LKiS.

Huskeen, Huub de Jonge (eds)
2003 Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998), Yogyakarta, Penerbit LKiS.

Haryatmoko
2002 Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Nordholt, Henk Schulte
2002 Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus
1996 Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Dharma Sastra.

Masaaki, Okamoto dan Abdur Rozaki (Editor)
2006 Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

Moeljanto, DS dan Taufiq Ismail (ed)
1999 Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk), Jakarta, Penerbit Mizan dan HU Republika.

Palguna, IBM Dharma (ed)
2006 Bom Teroris dan “Bom Sosial”, Narasi dari Balik Harmoni Bali, Perspektif Korban dan Relawan, Denpasar, Yayasan Kanaivasu.



Pitana, I Gde
1999 Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, Denpasar, Bali Post.

Picard, Mchel
2006 Bali, Pariwisata Budaya dan Budya Pariwisata, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

Robinson, Geoffery
1995 The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.

2006 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.

Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor)
2003 Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia

Said, Edward
2001 Orientalisme, Bandung, penerbit Pustaka.

Sarup, Medan
2003 Post-Structuralism and Postmodernism, Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta, Jalasutra.

Santikarma, Degung
2002 “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”, Kompas Minggu 6 November 2002.

tt “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”, makalah terbatas.

2000 “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas 1 September 2000.

2003 “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”,Kompas 7 Desember 2003.

2001 ”Seni Melawan Seni”, dalam Kompas 11 Maret 2001.

2004 “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas, 7 Juli 2004

1994 “Bali Sebuah Dekonstruksi”, Nusa Tenggara, 22 Oktober 1994.

2006 “Bulan Ingatan dan Pelupaan di Bali”, Kompas, 1 Oktober 2006.

Setia, Putu
2004 Ajeg Bali atau Ajeg Hindu, dalam Majalah Raditya No. 89 Desember 2004.
Smith, Linda Tuhiwai
2005 Dekolonisasi Metodologi, Yogyakarta, Insist Press.

Sulistyo, Hermawan
2000 Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Jakarta, Gramedia.

Supartono, Alexander
2000 Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Skripsi di STF Driyarkara.

Suryawan, I Ngurah
2002 “Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali”, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.

2005 “Pecalang Politik dan Para Milisi”, dalam Kompas 17 April 2005.

2004 “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004

2005 BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.

2005 Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.

2005 Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan, Yogyakarta, Kepel Press.

2005 “Mass Grave Fieldwork”, Kompas 2 Juli 2005.

2005 “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.

2006 Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.

2007 Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965, Yogyakarta, Galang Press.

2007 Kesaksian Air Mata (Kisah-kisah Memecah Senyap), Denpasar, Pustaka Larasan

2007 “Tangan Politik Media dan Pembentukan Industri Kebudayan” dalam Jurnal Kajian Budaya Volume 4 Nomor 8 Juli 2007.


Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed)
2004 Hermeneutika Pasca Kolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

Vikers, Adrian
1989 Bali: A Paradise Cretated, Victoria Penguin.

Widyarsono, A
2000 Hubungan Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, dalam Jurnal Driyarkara Tahun XXIII No. 4.

Wijaya, Nyoman
2004 Melawan Ajeg Bali: Antara Eksklusifitas dan Komersialisasi, dalam Jurnal Ilmu Sejarah, Tantular, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali Edisi No. 2 Tahun 2004.


Koran, Jurnal, dan Majalah
Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002
Basis, No. 09, 10 September-Oktober 2002.
Bali Post, 28 September 2003.
Bali Post, 20 Januari 2003, Soal Oknum Tramtib Ditangkap Pecalang, banjar Tak Mau Damai Sebelum Astawa Minta Maaf.
Bali Post, 11 Oktober 2002, Surat Kesepakatan Bersama Ditandatangani, Kini Desa Pakraman bisa Mendata Pendatang.
Bali Post, 9 Oktober 2002, Ormas, Forum Peduli dan LSM “Dadakan” Itu, Forum-forum Pemuda, Janganlah Arogan!, Forum-forum yang Melakukan Aksi Massa 2000-Juni 2002, Antara Naluri dan Habisnya Kesabaran.
Kompas, Tanpa Kehadiran “Pecalang”, Bali Sudah Rusuh, 28 November 2000.
Driyarkara Jurnal No. XXIII No. 4
Media Hindu, Majalah, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya dan Tanah Bali, Edisi 21 November 2005.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Pecalang Pulanglah, No. 31 Oktober 2002.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Sudahi Kelahi Sesami Bali, No. 44 Desember 2003.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Titah Latah Ajeg Bali, No. 43 November 2003.
WACANA, Kekerasan dalam Masyarakat Transisi edisi IX/2002.
SEJARAH 9, Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Majalah Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, edisi 21 November 2005.