Who am I

Who am I

Minggu, 18 Mei 2008

Wajah Beringas Manusia Bali


Atas Nama Adat dan Kebudayaan
(Wajah Beringas Manusia Bali)


“…Bisa dibayangkan bagaimana Bali jadinya. Di satu sisi kita terus berseru, pelihara Bali, ajag kesucian Bali, dan slogan lain. Tapi di lain pihak watak kita tetap tidak berubah. Apakah ungkapan-ungkapan jaga Bali hanya sebagai pemanis bibir?

(Surat Pembaca NL Sridewi di Kabupaten Karangasem Bali, dimuat di Majalah Sarad No. 60 April 2005. Surat pembaca ini mengomentari kerusuhan saat Nyepi Maret 2005)

Yang di maksud Sridewi dalam surat pembacanya itu adalah adalah kerusuhan yang terjadi di lingkungan Banjar (komunitas adat terkecil) Batuparas, Padangsambian Kaja, Kota Denpasar. Saat hari raya Nyepi 10-11 Maret 2005, daerah yang tidak jauh dari kota Denpasar ini justru tidak sepi, tapi terjadi hujan batu. Sekelompok warga menghujani rumah warga Dadia (garis keturunan darah) Alas Arum yang terdiri dari 31 KK, yang kemudian disebut “kelompok 13”.
Batu dan benda keras sambung menyambung mendera atap rumah. Tak pelak, tujuh unit bangunan rumah jadi korban, dua diantaranya rusak berat. Genteng dan kaca pecah, berantakan. “Kejadian muncul spontan, malam hari, karena dipicu sengketa adat berupa pembagian setra (kuburan),” ungkap I Made Loteng, Klian Banjar Pakraman Batuparas.[1] Kemarahan massa Banjar Batuparas berawal dari keluarnya “Kelompok 13” dari keanggotaan banjar, sehingga tidak berhak atas kuburan desa. Tapi saat “Kelompok 13” ingin kembali masuk menjadi warga adat, dengan mudah bisa diterima.
Bukan hanya kasus Batuparas saja, sebelumnya juga terjadi keberingasan manusia Bali yang justru terjadi saat mereka merayakan hari sucinya. Saat perayaan Galungan dan Kuningan, hari perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adhrama (kejahatan), ditandai dengan sederetan peristiwa konflik dan keberingasan manusia Bali. Tidak hanya disebabkan kasus adat, tapi juga dari bentrok anak muda yang kemudian berujung pertempuran antar banjar. Itu terjadi pada 13 Maret 2005, dua hari setelah Nyepi di Kabupaten Klungkung. Massa Banjar Manggis nyaris bentrok melawan massa Kampung Gelgel. Pemicunya adalah perselisihan anak muda yang kemudian dilanjutkan dengan memukul kulkul bulus (ketongan bertalu-talu) tanda bahaya. Warga kedua banjar keluar berhamburan dengan senjata terhunus.
Saat April 2005, ketegangan juga menyeruak antara warga Desa Pakraman Ulakan dengan Angantelu. Batas tapal batas menjadi pemicu timbulnya perselisihan antar Desa Pakraman. Satu desa dengan desa yang lainnya saling klaim nilai itu menjadi milik desa tertentu.[2]
Kasus lainnya yang membuat kita tidak habis pikir kenapa terjadi adalah konflik yang terjadi pada 12 April 2005. Suasana memanas terjadi di Dusun Kejula, Yeh Embang, Jembrana. Sekitar 12 rumah warga dari kelompok Munduk Paras dan kelompok Jati terkena lemparan batu. Kejadian berawal saat penjor (bambu yang dihias) seorang warga kelompok minoritas tersenggol oleh iring-iringan upacara ngaben (pembakaran mayat) pun berakhir dengan keberingasan massa yang melempari rumah warga lain dengan batu dan benda keras lainnya.
Kasus di Yeh Embang ini ternyata tidak selesai, masih tersisa kelanjutan kasus tersebut yang berakhir dengan perusakan rumah-rumah warga. Awal pemicu kasus itu adalah laporan Ketut Westun, Ketut Gariawan, dan Kariawan ke Polsek Mendoyo. Ketiganya tokoh dari kelompok minoritas yang tidak mau bergabung ke Desa Adat Yeh Embang Kauh. Mereka keberatan atas dirobohnya penjor saat Hari Raya Galungan 9 April lalu. Dalam laporannya mereka menyebut penjor ditabrak dengan pepaga (kelengkapan ngaben) berangkat ke setra (kuburan). "Siangnya memang keluarga Ketut Wesen yang masuk kelompok mayoritas (pendukung pemekaran), melaksanakan pengabenan. Ketika pepaga diarak ke setra beberapa penjor warga minoritas roboh kesenggol," ujar salah seorang warga.
Gelagat tidak beres sebenarnya sudah kecium oleh Bendesa (ketua) Adat Yeh Embang Kauh, Dewa Putu Sedana. Sebelum perusakan terjadi, beberapa jaam sebelumnya, yakni pukul 19.00, Dewa Sedana melihat warga bergerombol di dua titik. Ketika itu dia menemui warga dan memerintahkan untuk membubarkan diri. Kades (Kepala Desa) Yeh Embang Kauh, I Wayan Silayasa, juga sempat menemui massa dan meminta mereka bubar. Mendengar permintaan Kades tersebut mereka bersedia bubar asalkan ketiga orang yang melapor tersebut diamankan di Mapolsek. Permintaan itu maunya dituruti Kades, namun ketika dicari ke rumahnya mereka tidak ada. "Akibatnya massa menjadi marah. Namun setelah diberi pengarahan mereka mau bubar. Mereka bukan bubar pulang, namun bergerak ke rumah warga monoritas.”
Potret beringas manusia Bali begitu vulgar ditunjukkan dengan perusakan dan penyerangan-penyerangan terhadap sesamanya. Seperti kasus Yeh Embang yang ternyata berpangkal antara pro dan kontra pemekaran desa, dan kemudian warga terpilah menjadi yang pro dan kontra pemekaran. Akar masalah itu diperuncing dengan momen menjatuhkan penjor yang memicu penyerangan dan perusakan.[3]
Ratusan warga pro pemekaran desa mengamuk dengan merusak belasan rumah di tempek (bagian) Jati dan Munduk Paras, Dusun Sekar Kejula Kauh. Rumah yang dirusak ini ternyata milik warga minoritas atau penentang bergabung ke Yeh Embang Kauh. Perusakan terjadi Selasa malam, 12 April 2005. Ratusan warga melempari belasan rumah dengan batu kali dan potongan bata merah. Akibat aksi membabibuta di malam hari itu, sedikitnya 12 rumah rusak dan satu balai tempek roboh.
Sebelum warga menyerang ke Dusun Sekar Kejakula, mereka berkumpul di pertigaan dan perempatan jalan desa tersebut. Setelah semuanya siap, sekitar pukul 21.00 mereka bergerak menuju rumah warga penentang pemekaran dengan mengendarai sepeda motor. Sebagian di antara mereka mengenakan cadar. Sasaran pertama menyerang rumah Dewa Tamanbali. Begitu sampai di tempat tujuan, sejumlah warga ini berteriak minta pemilik rumah keluar. Setelah penghuni berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri tanpa dikomando mereka langsung melempari rumah itu dengan batu dan potongan bata merah yang mereka ambil di jalan.
Bukan itu saja. Balai tempek di sebelah timur rumah Tamanbali juga dirobohkan. Puas melempari rumah Tamanbali, mereka kemudian menuju rumah Dewa Putu Tama. Aksi sama juga dilakukan warga pro pemekaran terhadap rumah Dewa Putu Tama. Rumah berdinding gedek dihancurkan dengan cara melempari dengan batu bata. Serangan warga ini tak berhenti sampai di rumah Dewa Tama. Kerumunan massa melanjutkan serangannya ke rumah Kariawan. Sejumlah dari gerombolan massa ini sempat bertanya kepada Kariawan soal laporan ke Polsek Mendoyo. Karyawan dibilang memberikan laporan berlebihan. "Saya tidak ada melebih-lebihkan laporan. Ini saksinya istri saya," ujarnya. Mendengar jawaban tersebut massa bertambah emosi. Mereka langsung menghujani rumah Kariawan dengan batu dan benda-benda yang mereka dapatkan di jalan.[4]
Tentu akar masalahnya bukan hanya sekadar tersenggol, tapal batas, perkelahian anak muda bahkan kasus adat yang seperti benang kusut. Saya meyakini pasti ada masalah lain yang lebih besar yang menyebabkan orang Bali begitu beringas dan sensitif. Bahkan tidak tanggung-tanggung untuk merusak dan menyerang orang dengan benda-benda tajam. Lalu di mana potret manusia Bali yang manis dan tersenyum ramah dalam postcrd-poscrd pariwisata itu? Di mana?
Kasus-kasus kekerasan dan konflik desa adat hanyalah satu dari sekian banyak “masalah” manusia Bali yang seperti api dalam sekam dan menunggu ledakan dahsyatnya. Kini yang terjadi hanyalah letupan-letupan kecil reaksi dari keterhimpitan orang Bali di daerah kelahirannya sendiri. Setiap jengkal tanah kini sangat berharga. Invasi ekonomi dan giuran tanahnya laku terjual membuat manusia Bali saling klaim tanah dengan saudaranya, dan tidak jarang melahirkan perseteruan dan kekerasan, seperti kasus perebutan tapal batas tadi.
Kasus-kasus kekerasan terjadi dengan sangat mudah menjadi “diadatkan” seperti pada contoh-contoh di atas. Karena “diadatkan”, maka persoalan akan berhenti dalam kesepakatan di sesama desa adat/pakraman. Maka dimulailah proyek-proyek untuk melokalitasnya kekuasaan jengka-jengkal tanah di Bali yang dikuasai oleh desa adat/pakraman. Konflik dan kekerasan yang terjadi ditanggulangi dengan menjelaskan daerah dan wewenang kekuasaan masing-masing desa. Akhirnya kasus-kasus kekerasan dan potret beringas manusia Bali tidak dilihat sebagai persoalan konstruksi benih dari politik, kuasa dan pembangunan pariwisata, tapi sebagai masalah bersama bagi Bali untuk menguatkan identitas ke-Balian, menjaga Bali dari pengaruh luar. Ia menjadi semacam gerakan politik identitas etnis. Persoalan saling “cakar-mencakar” sesama manusia Bali harus dicarikan musuh bersama yang bisa menyatukan manusia Bali untuk tetap bertahan dan kokoh dengan budayanya.
“Diadatkan” dan “dibuadayakannya”nya semua konflik dan kekerasan di Bali juga untuk mensterilkan bahwa Bali lepas dari gerahnya wacana politik yang terjadi di nasional. Kasus-kasus yang terjadi di Bali adalah kasus-kasus kebudayaan yang bisa diredam dengan pendekatan “keamanan” dan demi berlangsungnya “pariwisata budaya”. Justru pada perspektif inilah bisa dibongkar mengapa manusia Bali begitu beringas? Pada dekonstruksi politik kebudayaan Bali.
Pariwsata, kuasa dan pembangunan membuat manusia Bali lama terbungkam dan menjadi sapi perahan dari pariwisata. Tapi setelah semua bulan madu pariwisata budaya habis tertelam bom, manusia Bali kebingungan dan frustasi dengan situasi yang terjadi. Bayangan dan mimpi mereka untuk hidup mewah dari gemerincing dollar pariwisat punah sudah. Sementara itu, mereka (manusia Bali), telah banyak berkorban untuk pariwisata. Di samping itu, mereka melihat situasi sudah semakin kompetitif dengan banyaknya masuk penduduk pendatang.
Degung Santikarma mempunyai ilustrasi bahwa di Bali, bulan madu pariwista (baca: pembangunan) dengan kebudayaan melahirkan “pariwisata budaya”. Di sini kebudayaan dilihat sebagai hak milik, possession dan modal (baca: kapital). Hal ini menyebabkan klaim “kebudayaan Bali hanya milik orang Bali”. Klaim ini oleh sang kuasa dianggap sah. Karena itulah menjadi penting untuk selalu mencitrakan dan meyakinkan orang Bali bahwa “hanya kebudayaan Balilah yang unik”. Klaim dan siasat inilah yang digunakan oleh duet sang wisata dan sang kuasa. Dengan pernyataan “jagalah kebudayaan Bali yang indah itu”. Untuk menjaga modal (baca: kebudayaan) tersebut, Bali harus aman, diamankan dengan pendekatan keamanan.[5]
Adat dan kebudayaan adalah dua “hak milik” tersisa yang dimiliki manusia Bali. Kebudayaan dan tradisi dalam perspektif manusia Bali telah menjadi hak milik, dank arena itulah harus dilestarikan, dijaga dan disterilisasi dari pengaruh luar. Maka segala macam potret beringas manusia Bali kembali diselesaikan dengan wacana mulat sarira, “introspeksi diri“ dan ajakan untuk bersama-sama segalak-seguluk selulunglung sebayantaka (bersama-sama sehidup semati) untuk menghadapi masalah ini. Caranya dengan menjaga “hak milik” terakhir –adat dan kebudayaan—dan sudah pasti menancapkan politik identitas etnis untuk membendung pengaruh orang luar.
Wacana Mulat Sarira juga tidak lebih sekadar wacana perekat untuk kembali Nyegjegan Desa Pakraman (mengokohkan Desa Pakraman). Yang dijadikan argumentasi tentunya Desa Pakraman adalah benteng terakhir yang dimiliki manusia Bali. Karena itu pula, ia harus dilestarikan untuk menjadi “material kebudayaan” yang dimuseumkan, dijadikan hak milik, anti perubahan, dan sudah pasti menjualnya untuk “kebudayaan yang berpariwisata”.
Suara nyaring itu terdengar saat saya menghadiri Temu Wirasa Mulat Sarira (temu keakraban untuk mengkoreksi diri) untuk refleksi akhir tahun 2003. Tema Temu Wirasa ini adalah Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali (mendoakan keselamatan, kedamaian bumi Bali).[6] Banyak tokoh penting yang hadir, diantaranya adalah Kapolda Bali, Mangku Pastika dan rohaniawan yang terkenal namanya karena publikasi televisi lokal lewat acara Dharma Wacana (penyuluhan agama), Ida Pedanda Made Gunung.
Hampir seluruh tokoh lembaga adat diundang dalam acara tersebut. Seluruh Desa Adat, kini menjadi Desa Pakraman, setiap daerah di Bali diwakili oleh tokohnya dari Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga untuk memayungi banyaknya desa adat di Bali itu. Pertemuan itu menyepakati perlunya suara bersama untuk mengatasi konflik dan keberingasan antar sesama manusia Bali dalam Desa Pakraman. Karena Desa Pakraman adalah “benteng terakhir pertahanan manusia Bali”, maka perlu dilakukan agenda penyelamatan dengan menyatukan kekuatan manusia Bali, bukan memecah-belahnya.
Salah satu tawaran yang diajukan adalah dengan menghimpun kekuatan manusia Bali itu dalam gerakan Bali Mawacara (Bali berbicara/bersikap), bukan lagi terbelah dalam sikap-sikap Desa Mawacara (setiap desa berbicara/bersikap) yang hingga kini masih berjalan. Saat Desa Pakraman mulai bersatu, mulailah kata “keamanan” menjadi standar baku dalam menjaga Bali. Pendekatan keamanan adalah prioritas utama untuk membuat Bali aman dan stabil, tidak ada gejolak, seolah terlihat damai-damai saja. Pendekatan keamanan ini sangat cerdik diterapkan rezim otoriter orde baru yang menempatkan Bali menjadi “daerah budaya” yang tidak terjamah politik. Tapi pendekatan keamanan ini runtuh dengan menyeruak dan beringasnya manusia Bali keluar dari tekanan dan pembungkaman itu. Potret dan wajah-wajah kekerasan yang terjadi dalam kasus-kasus dalam uraian di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang bisa diungkapkan. Semuanya telah menjadi bukti bagaimana pendekatan orde baru itu menuai kritik tajam oleh orang Bali dan menutup rapi persoalan yang terjadi, letupan yang menunggu ledakan dahsyatnya, atau bahkan telah meledak perlahan tapi kontinyu dalam serangkaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi.
Tapi dengan Temu Wirasa itu, bukan operasi kekuasaan dan pendekatan keamanan itu yang dibongkar, tapi membentuk cara pengamanan baru, meniru gaya negara dalam melakukan pengamanan pada rakyatnya. Tapi kini yang menjalankan sendiri adalah masyarakat itu sendiri di setiap Desa Pakraman yang ada di Bali. Tentu yang menjadi supporting institutionnya adalah “aparat berwenang”, bisa kepolisian dan birokrasi.
“Pendekatan keamanan” inilah yang masih digunakan oleh negara melalui aparat-aparatnya dalam “mengawasi dan melindungi” Desa Pakraman. Institusi sipil ini menjadi bemper yang kuat untuk menjalankan pengawasan terhadap sesama masyarakat. Tentu cara ini sangat didukung oleh aparat keamanan dan negara dengan dalih “pemberdayaan masyarakat untuk keamanan lingkungannya”.
Kapolda Bali, Mangku Pastika, yang diacungi jempol berhasil menangkap teroris itu, mengemukakan gagasannya tentang “Manajemen Keamanan Terpadu”. Menajemen pendekatan keamanan ini, kata Kapolda, diwujudkan dan dipelihara dengan kondisi dinamis yang terjadi di masyarakat. Untuk itulah ia mengajak bersama-sama dengan Desa Pakraman untuk menciptakan keamanan. Keamanan, kata Kapolda, terdiri dari securuty, rasa aman itu sendiri, keselamatan, kepastian, dan kedamaian.
Mangku Pastika juga menekankan, “Dengan adat, budaya, dan agama yang satu, yaitu agama Hindu, adalah modal dasar untuk mewujudkan keamanan berlandaskan adat, budaya, agama. Semuanya itu ada di Desa Adat/Pakraman,” ujarnya. Ngastitiang Kerahayuan Jagad Bali, (Mendoakan Kedamaian Bumi Bali), ajaknya untuk bersama-sama Kepolisian dan Desa Pakraman menjaga Bali.
Maka dimulailah ajakan untuk mengajegkan budaya Bali dengan serangkaian program-program bernuasa adat dan budaya Bali. Media massa terbesar di Bali mempromosikan jargon ini dengan simultan hingga ke desa-desa. Dengan kuasa media yang dimilikinya, menterjemahan Ajeg Bali dan praksis nyata di masyarakat menjadi lebih kongkrit. Ajakan “Waspada Terhadap Orang Luar” misalnya, membuat manusia Bali menjadi siaga dan waspada dengan sesamanya. Logika “kita” dan “mereka” menjadi sangat kental di Bali.
Ajakan mengajegkan Bali ini terasa memilukan di tengah begitu terbuka dan plurarisnya kini penduduk Bali. Politik harmoni ini lahir di tengah begitu beringasnya manusia Bali dalam banyak banyak kasus-kasus adat. Yang menjadi korbannya adalah nak jawa (orang di luar Bali yang datang ke Bali) dan orang Bali sendiri. Lokalitas kekuasaan kini bukan terletak sentralistik, dimana negara menjadi otoritas tunggal. Tapi kini, kekuasaan menyebar dalam lokalitas-lokalitas kekuasaan, perilaku manusia Bali terhadap sesamanya, keberingasan untuk merusak dan menyerang. Praksis politik kekerasan menjadi nyata diakrabi manusia Bali sehari-hari. Kenyataan ini sudah terjadi jauh berpuluh-puluh tahun lalu saat Bali kolonial, di mana kekerasan, pelenyapan menjadi cerita sehari-hari dan catatan sejarah manusia Bali. Saat keberingasan itu ditekan oleh orde baru untuk menciptakan manusia-manusia Bali yang “murah senyum”, kini semuanya meledak menjadi keberingasan yang sebenarnya menjadi karakter kuat manusia Bali.
Salah satu yang merasakan—atau lebih tepatnya korban— dari pergulatan, kecemasan dan ironisnya manusia Bali di tanahnya sendiri adalah nak jawa (pendatang) yang mengadu nasib di Bali. Menjadi saksi dan korban karena merekalah –pendatang—sering dijadikan “musuh bersama” untuk menguatkan politik identitas etnis manusia Bali. Kristalisasi dari gerakan fundamentalisme Hindu Bali ini terlihat dengan praksis pelaksanaan jargon Ajeg Bali yang membius wacana kebudayaan Bali empat tahun terakhir. Jargon ini menawarkan jalan baru untuk membayangkan keutuhan dan kesolidan Bali menghadapi perubahan zaman. Ironisnya, bukan melakukan dekonstruksi politik kebudayaan Bali dan melihat discourse politik ekonomi yang mengkonstruksi Bali dari dulu hingga kini, tapi mencoba menghimpun kekuatan “generasi yang Ajeg Bali” untuk membangun “Bali yang baru”, Bali kuat dan kokoh dengan adat dan kebudayaannya.
Salah satu agenda dari Ajeg Bali itu adalah sweeping penduduk pendatang. Politik kependudukan ini jelas terlihat saat pasca Bom Bali untuk membendung nak jawa yang datang ke Bali. Politik identitas etnis menguat saat penduduk pendatang yang dicap teroris berasal dari luar Bali. Salah satu alasan untuk membendung penduduk pendatang ini adalah untuk menjaga kelestarian budaya Bali yang lama-kelamaan mulai pudar dengan pengaruh luar. Politik kependudukan dengan sweeping ini sangat ironis, karena salah satu mata pencaharian manusia Bali adalah rumah kos-kosan yang sangat mengharapkan penduduk pendatang. Sweeping menjadi isu yang meresahkan pasca Bom Bali. Tapi hingga kini razia penduduk masih tetap berlangsung. Nak jawa yang menjadi korban akhirnya menjadi komoditas, saat resahnya manusia Bali ia dikorbankan dan saat dibutuhkan menjadi rebutan. Proses perebutan kekuasaan saat Pemilu 2004 dan Pilkada 2005 menjadi contoh kuat bagaimana politik manusia Bali terhadap nak jawa ini.

Politik Manusia Bali dan Nak Jawa
Bangunan “kumuh” itu terletak jauh menjorok dari jalan utama kota Denpasar. Letak bangunan kumuh itu di pusat kota Denpasar membuatnya menjadi pusat perhatian penduduk sekitarnya. Meskipun masuk kedalam gang dan terpencil, tapi deretan bangunan kumuh dekat sungai itu sudah dikenal oleh masyarakat sekitarnya Berderet-deret bangunan semi permanen, kurang lebih 10 rumah bedeng dari bambu dan triplek seadanya. Bangunan darurat dan semi permanen itu dihuni oleh puluhan orang yang bersesak-sesakan dalam rumah tersebut. Saat malam hari, suasana di deret rumah itu menyerupai pasar malam dengan alunan musik dangdut tanpa henti.Yang memiliki rumah kos-kosan tersebut adalah penduduk asli kota Denpasar yang memanfaatkan tanah kosongnya yang menjorok menuju sungai. Tanah yang sempit itu ternyata bisa dimanfaatkan untuk kos-kosan dengan harga murah meriah.
Yang kos di tempat itu adalah serombongan orang Sunda dari Bandung dengan pekerjaan menjadi tukang sol sepatu. Dari mulut ke mulut mereka mengetahui ada tempat kos yang murah, cukup dengan kantong mereka. Awalnya hanya 3 keluarga yang menghuni tempat kos tersebut, tapi lambat laun berdatanganlah tujuh keluarga lagi. Pemilik kos tidak kalah cekatan, ia langsung membangun rumah-rumah bedeng lagi untuk menampung puluhan keluarga yang baru datang untuk mengadu nasib di Bali. Si pemilik kos faham betul, mereka semua adalah sumber penghasilan tambahan ditengah mulai seretnya pemasukan warung.
Maka mulailah rombongan Bandung ini membentuk komunitas sesama tukang sol. Setiap hari, dengan menggunakan sepeda mereka keliling menawarkan jasa sol sepatu dan sandal. Keterikatan kelompok mereka jalin dengan melakukan arisan bersama. Solidaritas di kos-kosan Bandung itu terpupuk dan terjalin rapi hingga pada suatu ketika terjadi Pemilu 2004 putaran pertama dengan agenda memilih anggota legislatif.
Seluruh anggota kos-kosan Bandung didata menjadi peserta pemilih yang akan melakukan pencoblosan. Kurang lebih jumlah keseluruhan yang akan mempunyai hak pilih nanti adalah 35-40 orang. Maka mulailah bapak kos bergerilya dengan berkampanye untuk memilih Caleg yang didukungnya. Si bapak kos menyebarkan kartu-kartu gambar si caleg untuk dipilih oleh rombongan kos-kosan Bandung. Ancamannya sederhana, “Kalau tidak mau memilih bapak saya ini, silahkan pilih kos yang lain, “ ancam bapak kos setengah bercanda sambil menunjuk fhoto di kartu kampanye yang selalu dibawanya kemana-mana. Tapi, ancaman itu direspon serius oleh seluruh warga Bandung di kos dan akhirnya dibentuk kebulatan tekad untuk memilih calon si bapak kos untuk dimenangkan dalam Pemilu 2004 legislatif di kota Denpasar yang lalu.
Dan kembali saat Pilkadal 2005, si bapak kos kembali berkampanye dan menyebarkan kartu-kartu nama berisi calon walikota yang menjadi jagoannya. Tanpa ragu ia menyerahkan ratusan kartu nama kampanye itu kepada seluruh massa di kosnya bahkan disebarkan kepada seluruh warga Bandung yang ada di Denpasar. Sampai saat ini cara itu berhasil untuk mempengaruhi warga kos untuk melihat calon walikota yang masih asing dalam bayangan para “pendatang” ini. Dengan fhoto-fhoto yang terdapat dalam kartu nama kampanye, bapak kos mengingatkan agar menusuk fhoto dalam kartu nama yang diberikannya dan sudah tentu dengan embel-embel partai politik terkenal dan paling dominan di Bali. Jaminan untuk mengingat itu penting, karena penduduk pendatang seperti warga Bandung yang mengadu nasib di Bali ini tidak tahu akan memilih siapa dalam Pilkadal 2005 di kota Denpasar. Si bapak kos merasa tenang dengan jaminan memberikan fhoto calon walikota jagoannya sudah familiar di warga kosnya. Tanpa penolakan dan rintangan berarti, bapak kos berhasil menghimpun suara dari “penduduk pendatang” yang tinggal di tempatnya. “Penduduk pendatang” menjadi komoditas yang selalu diperbincangan setiap momen perebutan kekuasaan seperti Pemilu 2004 dan Pilkadal 2005 yang berlangsung di kota Denpasar, Badung, Karangasem, Tabanan, dan Bangli.
Nak Jawa menjadi istilah yang sering terdengar ketika sering terjadi pencurian-pencurian di rumah penduduk di kota dan desa di Bali tahun 1980-an. Pemulung yang dicurigai berasal dari Jawa tersebut menjadi tertuduh utama dalam pencurian-pencurian di rumah penduduk, pretima (simbol dewa dalam Hindu Bali) di pura-pura di Bali. Maka setelah itu muncullah plang-plang pengumuman, “Masuk Wilayah Ini, Pemulung Dilarang Masuk” sebagai bentuk antisipasi kepada para pemulung yang diduga berasal dari Jawa, nak Jawa (orang Jawa).
Sampai disini, image penduduk pendatang, nak Jawa sebagai pencuri tambah melekat pada diri orang Bali. Ditambah lagi dengan berita-berita kriminal di media massa dan televisi yang menyebutkan pelakunya adalah orang luar Bali memompa kebencian dan sentimen pada penduduk pendatang. Sampai akhirnya saat Bom Bali, kecurigaan dan amarah pada penduduk pendatang semakin memuncak. Amrozi sebagai simbol pelaku bom Bali menjadi sasaran caci maki bagaimana nak Jawa telah menghancurkan Bali. Banyak karena ulah Amrozi, ribuan anak muda Bali menjadi pengangguran karena hotel-hotel sepi wisatawan. Dan karena Amrozi jugalah penduduk Bali menjadi melarat, karena pariwisata yang menjadi jantung kehidupan kini telah luka parah bahkan lumpuh total.
Perbincangan di warung kopi di desa-desa di Bali menunjukkan kebencian yang amat sangat kepada Amrozi beserta antek-antek pelaku bom Bali. “Rage keweh ulian I Amrozi. Mula kala jelme totonan” (Kita susah karena Amrozi. Orang itu—Amrozi memang kala (jahat), menjadi pendapat umum bagaimana kebencian pada penduduk pendatang yang ternyata membawa bom ke Bali. Para komentator di warung-warung desa sering menyebutkan bahawa Bali telah dibohongi oleh seorang teroris yang pantas untuk dihukum mati.
Pasca Bom Bali, bentuk kebencian dan frustasi orang Bali menghadapi pendatang diwujudkan dengan melakukan sweeping penduduk pendatang yang selama ini tinggal di Bali dan menghisap keberuntungan dari Bali. Penduduk pendatang yang telah dicap sebagai “perusak” dan sarang teroris menjadi alasan umum reaksi spontan untuk melakukan penertiban ini. Diseluruh desa-desa di Bali melakukan penertiban ini dengan membentuk Tim Pendataan Penduduk, satuan pecalang untuk pengamanan dan meminta bantuan Tramntib (Ketentraman dan Ketertiban) kabupaten dan kota di Bali.
Sarang-sarang penduduk pendatang seperti kos-kosan warga Bandung di kota Denpasar itu adalah sasaran pertama untuk ditertibkan. Akan diperiksa KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang harus asli kabupaten dan kota. Jika tidak punya, akan digiring untuk dikembalikan ke daerah asal atau dibuatkan KIPPS (Kartu Indentitas Penduduk Pendatang Sementara) yang berlaku selama 6 bulan dan bisa diperpanjang lagi.
Setelah banyak mengalami citra buruk dan selalu menjadi korban dari kecurigaan bahkan faham fasisme masyarakat adat, kini penduduk pendatang, nak jawa, menjadi primadona yang harus “digarap” oleh tim sukses Pemilu 2004 dan Pilkadal Juni 2005. Tentu saja ini karena potensi suara mereka dalam pemilihan nanti sangat besar.Berbagai cara terus dilakukan untuk mendekati para pendatang dan meraup dukungan darinya, termasuk cara praktis yang dilakukan bapak kos warga Bandung diatas.
Disinilah terbetik dilema dan kontradiksi dalam masyarakat Bali. Penduduk pendatang menjadi sasaran dan kambing hitam pada momen-momen tertentu (pencurian, Bom Bali dll) . Posisi mereka tersudut, menjadi sasaran amarah dan razia penduduk. Pokok kecurigaan selalu penduduk pendatang dengan rumah-rumah kumuh yang berderet di daerah-daerah terpelosok. Kontradiksi itu adalah saat warga adat Bali mempunyai rumah kos yang diperuntukkan pada penduduk pendatang. Krama sebenarnya membutuhkan warga pendatang untuk menempati usaha kos-kosan yang telah dibuat oleh warga asli. Tapi saat-saat tertentu mereka mengingkari, atau lebih tepatnya munafik demi sebuah kepentingan bernama Ajeg Bali. Kontradiksi itu tercermin dari tempat kos-kosan tadi. Si bapak kos yang notabene penduduk asli menyediakan tempat kos untuk ditempati penduduk pendatang, sementara desanya melaklukan sweeping di tempat kos tersebut, karena penduduk pendatang yang liar tanpa identitas kerap berlindung di tempat kos-kosan yang kumuh.Disinilah terjadi politik kepentingan dan dilematis dari Ajeg Bali, membersihkan penduduk Bali dari pendatang liar yang justru ditampung oleh kos-kosan penduduk yang dimiliki dan dikelola oleh penduduk asli Bali yang hidup dari bayaran kos-kosan.
Dalam Pilkada nanti, nak Jawa justru akan menjadi rebutan dan sumber pertarungan para tim sukses calon bupati dan walikota. Berbagai bujuk rayu dan jani-janji ditebarkan bagi pera pendatang ini. Selain itu, kontestasi uang sebagai penaklukan menjadi hal yang penting dicermati. Gerilya para tim sukses sangat potensial untuk mempergunakan uang untuk jual beli suara. Disamping itu, politik dukungan dengan organisasi massa muslim juga menjadi cara lain untuk mencari pengaruh. Pertemuan-pertemuan para calon bupati dan walikota dengan tokoh-tokoh muslim, atau kehadiran mereka dalam acara-acara agama lain perlu dicermati dalam rangka meraup dukungan suara tersebut. Selain itu, dukungan dalam organisasi massa muslim, para jagoan dan kelompok-kelompok massa dengan relasi pada kelompok-kelompok penduduk pendatang adalah jal;an lain untuk merangkul suara para pendatang.
Akhirnya, suara nak Jawa akan mudah dimainkan kartunya dengan kekuatan-kekuatan, relasi-relasi seperti diungkapkan diatas. Operasi para tim sukses para calon dalam menjalankan jurus-jurusnya sangat mempengaruhi kemana larinya suara nak Jawa nanti dalam Pilkada. Setelah lepas sementara dari tudingan teroris, pengganggu Ajeg Bali dan “perusak kebudayan” Bali, kini mereka—nak Jawa—dijadikan rebutan untuk proses politik yang notabene katanya untuk meng-Ajegkan Bali, seperti salah satu materi kampanye calon walikota dan Bupati. Sungguh ironis memang.

Di Sebuah Panti: Hancurnya Kebudayaan Bali
Suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah tempat aneh. Belum ada papan yang menunjukkan apa sebenarnya tempat itu. Berderet kamar-kamar kecil layaknya sebuah hotel. Tempatnyapun jauh melewati jalan bay pas di sebuah daerah Kota Denpasar. Saya tidak menyangka tempat yang saya kunjungi adalah sebuah tempat penampungan, tepatnya sebuah panti jompo Tempat yang awalnya sangat asing bagi saya. Belum sekalipun saya mengunjungi sebuah panti tempat para manula menghabiskan hari-harinya.
Saya berkeliling, belum satupun saya menemui para manula. Halaman lapangan itu saya kelilingi dan saya melihat para perempuan-perempuan tua dengan mengenakan baju kebaya yang lusuh duduk berkumpul. Ternyata mereka sedang mejajahitan (membuat upakara ritual Hindu). Sedangkan yang pria tidak jauh dari tempat itu sedang asyik memotong bamboo juga untuk dibuat perlengkapan upakara.
Saya bahagia bertemu dengan mereka. Saya hampiri dan disapanya saya dengan senyum, “Mriki Gus, wenten napi?” (Kesini nak, ada apa?) Sejuk dan hangat kata itu menyapa saya. Saya menghampiri mereka dan mereka menyambutnya dengan hangat. Mereka melewati hari-hari dengan aktivitas, tidak melayun, dengan kerjakeras tidak dengan bermals-malasan.
Lalu, mengapa mereka ada di panti jompo? Saya lama memikirkan kenapa mereka sampai tidak diterima di keluarganya? Apakah mereka ada kesalahan atau telah membuat kesalahan sehingga anak mereka menitipkan mereka di panti jompo? Saya lama merenungkan. Sama sekali tidak tampak dalam wajah mereka sifat jahat dan menjadi musuh di keluarga dan masyarakat. Saya tidak tahu awalnya mengapa mereka sampai dip anti jompo?
Pertanyaan itu saya simpan. Saya berusaha untuk membuat perempuan-perempuan ini bersuara. Tapi mereka bungkam. Mereka hanya senang dan gembira bercerita tentang aktivitas mereka kini. Mereka sangat senang bisa membuat perlengkapan upakara ritual untuk dijual dan akhirnya mereka bisa mendapatkan uang saku seadanya.
Dalam kamar-kamar sederhana di panti itu, dalam satu kamar mereka tidur berdua. Sehari-hari mereka disibukkan dengan kegiatan olah raga, kegiatan agama dan membuat perlengkapan upakara ritual. Ada juga diberikan pelatihan untuk keahlian lainnya untuk para manula ini. Saya tertegun melihat bagaimana semangat mereka menjalani hidup. Entah apa yang salah pada mereka, saya juga tidak mengerti. Saya hanya membayangkan kakek dan nenek saya dirumah jika harus ditempatkan di panti ini.Saya tidak akan tega.
Mereka, khususnya perempuan adalah perempuan tegar. Saya mendengar cerita beberapa diantara mereka disingkirkan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap gila. Tapi beberapa diantaranya dimasukkan ke panti jompo karena dituduh bisa ngeleak (ilmu hitam). Masyarakat terpaksa membuang mereka agar tidak menjadi penggangu dan merusak ketentraman masyarakat. Banyak juga diantaranya yang terpaksa dititipkan oleh keluarganya karena berselisih faham di keluarga. Beberapa cerita adalah ketidakcocokan dengan menantu sehingga sang anak mengalah dengan menitipkan ibunya ke panti jompo.
Mendengar cerita itu terpuruk dan tercoreng rasanya kebudayaan Bali yang adiluhung, ramah, sopan dan toleran. Tapi justru dengan warganya sendiri mereka (masyarakat) Bali menyingkirkan anggotanya. Kebudayaan Bali yang ditata saat ini, bisa hancur berantakan mendengar penuturan dan narasi yang diungkapkan para perempuan-perempuan tegar di panti jompo itu.
Saya kembali mengulangi pikiran saya tentang “hancurnya kebudayaan Bali”. Saya ingat bagaimana konstruksi tentang toleransi dan saling menolongnya manusia Bali. Tapi kini, saya curiga bahkan tidak lagi percaya akan toleransi dan saling menolongnya manusia Bali. Saya kini yakin, manusia Bali sungguh tega untuk menyingkirkan warganya sendiri dan dititipkan dip anti jompo, disisihkan dari masyarakat.
Perempuan-perempuan tua di panti itulah bagi saya seorang Kartini sesungguhnya. Kartini yang bukan saja melakukan protes dari kondisi tertindas dan mengikat, tapi perempuan tua di panti jompo harus lepas dengan kehidupan mereka sehari-hari. Mereka berpisah dengan anak, cucu dan keluarga hanya karena alas an menggangu masyarakat atau ketidakcocokan dalam rumah tangga. Jadi kenapa harus ada panti jompo.
Saya bingung dengan kata emansipasi kini dalam perempuan. Bagi saya perempuan selayaknya bercermin bagaimana kerasnya hidup dan pengalaman dari para perempuan tua ini menghadapi “nilai kebudayaan Bali” yang harus membuatnya tersingkir. Emansipasi dalam pengertian sederhana saya adalah ikut serta, disejajarkan dengan laki-laki posisinya, tapi secara nyata perempuan kini mesti belajar dari generasi mereka sebelumnya yang harus gigih bertarung dengan hidup dan kehidupan yang harus menyingkirkan mereka.
Panti jompo itu menyisakan tanya bagi saya, apa yang harus dimaknai oleh perempuan kini terhadap situasi ini? Saya sudah bosan mendengar perempuan yang berteriak kencang menuntut hak tanpa belajar dari generasi mereka sebelumnya yang tersisishkan. Layaknya mereka menurunkan tujuan dan kini mulai belajar mencari inspirasi para survivor yang hidup dari pengalaman yang getir.
Sesungguhnya, wajah Kartini saya temukan pada para perempuan-perempuan manula yang berdiri berderet yang menyapa saya dengan senyum ramah. Seolah mereka tidak menemuka lagi siapa anak dan cucu yang harus diajak untuk bicara, bertutur dan mendengarkan keluh kesah mereka. Saya kadang-kadang miris melihat para aktivis perempuan yang berteriak-teriak pada kekuasaan. Sekali-kali mereka juga harus diajak bicara dengan perempuan tua pemnghuni panti jompo ini.
Mereka, para perempuan tua tegar ini, tidak mengenal yang namanya feminisme itu, tapi mereka melakukan gerakan feminisme senyatanya melebihi para aktivis perempuan yang terus berkoar-koar tentang gerakan sensitif gender dan feminisme. Mereka mungkin tidak tahu apa itu undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tapi mereka sudah lebih dulu mengalami bagaimana diperlakukan kasar oleh kaum laki-laki. Mereka tidak melawan, mereka bisu dan perlu tempat bertutur.
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika saya bisa bertutur lama dengan perempuan perkasa itu. Saya akan sangat senang mendengar cerita mereka, keluh kesah mereka dan kenapa mereka disingkirkan oleh keluarga dan masyarakat. Dan sudah pasti mereka akan menceritakannya dengan tangis. Tangis itu adalah kejujuran bagaimana mereka sangat rindu dengan keluarga mereka. Tapi mereka harus menghadapi getirnya hidup. Mereka disingkirkan. Saya tidak dapat membayangkan lagi kenapa manusia Bali seperti itu. Kenapa…?
Kartini adalah mereka, bahkan kenapa harus Kartini dari golongan bangsawan, kenapa tidak perempuan manula yang survive untuk menghadapi hidup dengan tekanan dan penyingkiran terhadap mereka oleh masyarakatnya sendiri. Saya juga tidak mengerti apa yang membuat masyarakat Bali kini begitu sadis untuk membiarkan para ibu, ayah, kakek dan nenek mereka menghuni panti jompo. Manusia Bali yang ramah, santun, suka menolong kini telah ambruk. Yang menghancurkannya adalah sederetan perempuan manula yang selalu tersenyum melihat anak muda. :”Tiang jadi ingat cucu tiang,” ujarnya sangat jelas saya menyayat hati saya.
Ahh…Saya tidak kuasa menahan tangis lagi…


[1] Majalah Sarad, Ricuh Bali di Hari Suci, No. 60 April 2005.
[2] Majalah Sarad, No. 61 Mei 2005.
[3] Semua data dalam Kasus Yeh Embang diambil dari Radar Bali, Kamis 14 April 2005.
[4] Radar Bali, 14 April 2005.
[5] Semua bagian ini diambil dari Degung Santikarma, Budaya, Kuasa dan Pariwisata, essay belum dipublikasikan.
[6] Temu Wirasa itu dilaksanakan di Pura Samuan Tiga, sebuah pura di Kabupaten Gianyar pada 20 Desember 2003.

Tidak ada komentar: