Who am I

Who am I

Kamis, 01 Mei 2008

Intelektual Virtual

Intelektual Virtual?

(Oleh: Dr. I Gusti Nyoman Aryana )

“Seorang intelektual ibarat penumpang prahu kandas yang terdampar di sebuah pulau kecil yang sunyi. Dia hidup membaur dengan penduduk, dan bukan berdiri diatas penderitaan penduduk pulau tersebut. Dia bukan Robinson Crusoe, yang ingin menguasai seluruh pulau berserta isinya. Melainkan dia lebih mirip seorang Marco Pollo, yang tidak akan melupakan keindahan alam tempat-tempat yang pernah dikunjunginya. Dia adalah seorang pelancong atau pengunjung, bukan penjarah, bukan pula penakluk atau pun penjajah“ (Edward W. Said 1994/1997:67).

Boleh dikatakan bahwa kalangan cerdik-cendekiawan sudah merupakan kasta tersendiri. Sejak semula yang menjadi komitmen mereka adalah membela nilai-nilai kemanusiaan yang ideal – kebebasan, keadilan, humanisme dan akal sehat. Namun para cerdik-cendekiawan – seniman, filosof, sastrawan, akademisi, pengacara dan jurnalis, singkat kata: intelektual – telah menghianati komitmen mereka, tatkala mereka mulai melayani interes politik penguasa.

Kalau demikian siapakah yang layak kita sebut intelektual? Seorang intelektual ialah seseorang yang sangat peduli terhadap masalah sosial. Seorang intelektual menggandrungi tema-tema bernuansa teoretis-filosofis. Seorang intelektual gemar melontarkan pertanyaan mendasar. Seorang intelektual – tidak semua tapi kebanyakan – menekuni bidang sastra, seni atau ilmu pengetahuan. Sebab di bidang inilah para intelektual mengasah pisau analisis mereka, agar semakin tajam. Baik ini menyangkut kompetensi atapun kualitas seorang intelektual. Dalam perdebatan publik (terbuka) seorang intelektual senantiasa mengambil posisi kritis. Akan tetapi ada juga yang bersikap affirmativ, mempertanyakan relevansi permasalahan dan menganalisis berbagai hal yang muskil bagi orang kebanyakan, sembari mengkritisi kondisi sosial masyarakat, mempengaruhi perkembangan politik. Walaupun demikian, seorang intelektual tak terikat dengan tatanan moral (agama), yang berlaku dimasyarakat juga tak memihak politik (ideologi) penguasa tertentu. Faktor inilah kiranya yang sering membuat seorang intelektual disuatu negara berseberangan dengan penguasa.

Karakter intelektual seseorang bisa dilihat dari kemandirian berpikir (rasionalitas) yang berorientasi jauh kedepan. Orang yang berpendidikan tinggi (akademisi) belum tentu layak disebut intelektual. Begitu pula sikap „sok intelek“ (intelektualisme) tanpa latar belakang pendidikan yang memadai dinilai negatif masyarakat. Sikap intelektual dalam menyelesaikan berbagai masalah berlawanan dengan cara pragmatis. Singkatnya: „intelektual“ tidak sama dengan „inteligen“ atau pintar. Karena orang pintar atau akhli dibidang tertentu (spesialis) belum tentu memiliki karakter intelektual. Seorang intelektual bukanlah seorang yang tidak pintar.

Istilah kaum intelektual dipergunakan untuk pertama kali oleh Georges Clemenceau 1892, di Paris, bagi orang-orang yang membela Alfred Dreyfus (…). Kemudian istilah intelektual ini dipergunakan untuk mencemoh orang-orang yang dianggap tidak setia lagi dengan negara mereka sendiri.

Penggunaan istilah antara akademik dan intelektual seringkali keliru atau bahkan dipergunakan sebagai sinonim. Hal ini terjadi, karena kaum intelektual yang terpelajar, selain berkonotasi positif, juga merupakan orang terpandang di masyarakat. Jenjang pendidikan akademik bisa diperoleh lewat proses giat belajar. Sedangkan kepiawaian berbicara dan mengkritisi, bisa diperoleh tanpa harus melalui proses belajar atau mengajar di Universitas. Seorang intelektual berpengetahuan sangat luas. Namun kebanyakan mereka tidak memiliki titel akademik. Istilah intelektual sering dipergunakan untuk menghormati seseorang, yang memiliki daya nalar tajam, namun sering tidak membumi alias terlampau teoretis. Yang dimaksud disini ialah para autodidak – budayawan, sastrawan, seniman dll – yang tidak menyandang titel akademik.

Kendatipun istilah „intelektual“ selalu dihubungkan dengan „sikap kritis“ seseorang, namun sikap kalangan intelektual terhadap ideologi tertentu tidak selamanya demikian alias seringkali ambivalen. Mereka senantiasa menerima berbagai bentuk ideologi yang diwacanakan. Hubungan antara intelektual dan pemerintah pun sangat beraneka ragam. Ada kalangan yang mengaku mendukung „reformasi“ untuk tidak dikatakan sebagai penjilat pantat pemerintah. Ada pula kalangan intelektual yang secara terang-terangan menentang kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seorang intelektual bukan saja bisa memproduksi ideologi, akan tetapi ia mengkritik ideologi, bahkan ideologi yang ia ciptakan sendiri.

Jika ide-ide seorang intelektual sejalan dengan program penguasa, kemungkinan besar ia akan menjadi penasihat pemerintah yang effektif. Begitu juga sebaliknya. Jika antara pemerintah dan intelektual tidak melihat adanya titik pertemuan, maka seorang intelektual bisa saja menjadi pembangkang. Seorang pembangkang yang mempunyai reputasi baik dan terkenal dimasyarakat luas, akan selalu didekati oleh penguasa untuk dimasukkan kedalam system. Karena ia amat berguna bagi pemerintah. Kendatipun kaum intelektual cukup sering menyusahkan pemerintah, namun kehadiran para intelektual bisa menjadi alat (penguasa) yang cukup efektif untuk memberdayakan masyarakat.

Kaum intelektual - diluar profesi mereka masing-masing - senantiasa membangun jejaring sosial. Jika dibandingkan kelompok lain, kaum intelektual yang bekerja untuk kepentingan kelas penguasa sudah pasti memiliki informasi yang lebih akurat mengenai masalah-masalah kenegaraan. Sehingga hal ini membuat mereka lebih diperhitungkan dimasyarakat. Namun begitu pula sebaliknya. Kaum intelektual yang merakyat biasanya lebih memahami problem rakyat kecil yang termarginalkan. Terutama di negara-negara otoriter dengan kebebasan pers terbatas, seperti Indonesia di zaman Orba.

Menurut Bernhard von Mutius kini terbentuk intelektual tipe baru yaitu “knowledge worker” – baik sebagai karyawan tetap ataupun tidak – yang bekerja pada jejaring bermacam macam organisasi dengan proyek yang sangat kompleks. Baik itu proyek-proyek yang berhubungan dengan inovasi tekhnik/ilmu pengetahuan maupun yang menyangkut perkembangan atau perubahan sosio-kultural dimasyarakat. Inilah yang disebut “intelektual-konstruktif”. Disini sangat diharapkan kerjasama yang baik dengan berbagai pihak. Sehingga hasil analysis dapat dijadikan alat untuk melakukan perubahan. Selain sebagai team penasihat dalam lembaga-lembaga besar, namun ada juga gudang-pemikir mandiri.

Berdasarkan uraian tsb diatas kemudian muncul pertanyaan: “Apakah kalangan intelektual itu merupakan sebuah kelompok besar di masyarakat, atau kebalikannya, kelompok kecil yang hanya terdiri dari orang-orang pilihan saja? Sangat sulit utuk menjawab. Kendatipun demikian, dua karya besar abad ke dua puluh – Gramsci dan Benda – yang saling bertolak belakang dapat dijadikan acuan. Antonio Gramsci (….), marxis, aktifis, jurnalis dan filosof menulis catatan-catatan harian di dalam penjara, sembari mengatakan: “... semua orang adalah intelektual, namun tak semua orang memiliki fungsi intelektual di masyarakat.”

Gramsci mengulas peran intelektual berdasarkan jalan hidupnya sendiri. Disamping sebagai organisator gerakan buruh, ia juga seorang jurnalis, dengan kemampuan analisis brilian. Gramsci tidak berhenti dan berpuas diri pada gerakkan-massa. Melainkan – lewat gerakan massa – juga mesti tercapai pemberdayaan kultural.

Kalau menurut Gramsci, orang-orang yang memiliki fungsi intelektual di masyarakat itu dapat dibagai dua: pertama “intelektual-tradisional” (guru, pendeta dan pegawai negeri), yang dari generasi ke generasi melakukan hal-hal yang tetap sama. Kemudian yang kedua: “intelektual-organis” yaitu orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan kelas sosial tertentu – dalam hal ini pengusaha. Mereka ini adalah orang-orang yang mengabdi demi kepentingan kelompok pengusaha (kapitalis). Kapitalis menciptakan tekhnisi, spesialis ekonomi-politik, pakar kebudayaan, sistem perundang-undangan baru dan lain sebagainya. Para spesialis dibidang jasa reklame misalnya, yang bisa meningkatkan hasil penjualan produk tertentu secara drastis, dapat juga disebut sebagai intelektual organis. Mereka ini bukan saja berupaya untuk mempengaruhi prilaku konsumen agar membeli produk tertentu, melainkan juga menggiring anggota masyarakat dalam pemilihan umum, untuk memenangkan salah satu kandidat partai tertentu. Gramsci percaya bahwa intelektual organis secara aktif mempengaruhi masyarakat luas. Dalam hal ini mereka selalu giat berusaha untuk merubah pola pikir, menemukan pasar baru atau membesar pangsa pasar yang sudah ada. Berbeda dengan para guru dan pendeta yang sedikit banyak terikat dengan daerah tertentu dan selama bertahun tahun mengerjakan hal-hal yang itu itu saja, intelektual organis selalu aktif bergerak.

Julien Benda yang bertolak belakang dengan Antonio Gramsci, sebaliknya mendefinisikan intelektual itu sebagai sebuah kelompok kecil filosof pilihan yang selain cerdas, juga moralis, sembari menyuarakan kata hati nurani kemanusiaan. Menurut Benda intelektual-sejati adalah orang-orang pilihan atau manusia setengah dewa. Oleh karena itu jumlah mereka tidak mungkin banyak. Manusia setengah dewa sibuk dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, yang sulit ditemukan di dunia kita yang carut marut ini. Status sebagai orang-orang pilihan tentu saja jauh berbeda dengan orang kebanyakan, yang umumnya masih tertarik dengan materi (uang) dan kedudukan. Dan kalau masih memungkinkan berada dekat lingkaran istana. Intelektual yang sesungguhnya adalah – sekali lagi menurut Benda – orang-orang yang mencari kepuasan dibidang seni, ilmu pengetahuan atau metafisika. Yang dimaksud dengan intelektual sejati disini bukanlah pemikir yang hidup di menara gading. Melainkan sosok intelektual dalam arti kata yang sebenarnya, yakni orang-orang yang bergairah membela prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, tanpa pamerih membela rakyat kecil, anti-korupsi, dan melawan penguasa otoriter. Masalah intelektual saat ini (1927) adalah, bahwa mereka telah menyerahkan otoritas-moral mereka demi apa yang disebut sebagai „kesempurnaan nafsu politik“ seperti sektarianisme, nasionalisme, interes klas dan sebagainya. Intelektual-sejati harus siap hidup melarat, dicemoh dan dihujat. Inilah simbol yang digambarkan sebagai pribadi-pribadi yang senantiasa menjaga jarak dengan „kepentingan-kepentingan keduniawian“. Oleh sebab itu, jumlah mereka ini tidak mungkin banyak. Mereka-mereka ini adalah pribadi-pribadi yang tak kenal kompromi dan selalu berada dipihak oposisi – menentang status quo.

Tak dapat disangkal bahwa ilustrasi Benda mengenai „intelektual-sejati“ begitu tajam, sehingga hal ini memikat banyak cerdik cendekiawan (a. l. Edward W. Said). Prototif intelektual yang dikatakan Benda sebagai individu-individu pemberani, ahli bicara, yang selain mencintai kebenaran, juga berada diseberang kekuasaan, tidak pernah merasa takut terhadap kekuasaan – seberapapun hebatnya.

Dibanding Benda, analisis Gramsci mengenai fungsi intelektual seseorang dimasyarakat ternyata jauh lebih realistis. Karena peralihan zaman dari abad 20 ke abad 21 begitu banyak jenis pekerjaan baru yang mucul – penyiar tv/radio, akademisi/profesional, ahli computer, penasihat politik, analisis pasar, jurnalis media cetak/elektronik dan masih banyak lagi, bidang pekerjaan baru lainnya yang tidak bisa disebutkan disini. Semua fakta tersebut memperkuat pandangan Gramsci mengenai fungsi intelektual seseorang di masyarakat.

Jadi oleh karena itu, setiap orang yang bekerja disuatu bidang tertentu, baik ia sebagai produsen ataupun distributor informasi, kalau menurut alur pikiran Gramsci sudah layak disebut intelektual. Kalangan „manager-intelektual“ berpenghasilan besar telah berhasil pula menggeser posisi kelas pemilik modal lama yaitu pengusaha. Disamping itu modernisasi juga membawa implikasi teknis-ekonomis yang menyebabkan diversifikasi lapangan kerja. Disatu sisi jenis pekerjaan semakin beraneka ragam, namun disisi lain muncul spesialis-spesialis baru. Bahasa seorang spesialis computer misalnya bisa dimengerti oleh spesialis dari negara lain, namun tidak dimengerti oleh orang yang bukan spesialis dibidang tersebut.

Michel Foucault pernah mengatakan bahwa ditengah-tengah kalangan „intelektual universal“, muncul „intelektual-spesifik“, yakni orang-orang yang bekerja di satu bidang tertentu, namun sekaligus juga memiliki keahlian di bidang lain. Seorang pakar di bidang fisika misalnya, juga bisa menjadi penasihat pemerintah di bidang ilmu pengetahuan. Disini kemudian muncul istilah: „intelektual-spesialis“ yang rancu. Seperti telah disebutkan diatas bahwa seorang intelektual bukanlah seorang spesialis dan seorang spesialis (pakar) tidak mesti intelektual.

Bahan-bahan bacaan, literatur atau teori mengenai intelektual, baik yang cetak ataupun elektronik, tersedia begitu banyak di toko buku, perpustakaan atau ditempat lain. Hasil studi empiris dibidang sejarah atau sosiologi pun mudah diperoleh seperti Intelektual dan Nasionalisme, Intelektual dan Kekuasaan, Intelektual dan Politik, Intelektual dan Revolusi dan seterusnya. Sehingga dapat dikatakan tiada revolusi tanpa intelektual. Seorang intelektual adalah sosok individu yang memegang peran spesifik di masyarakat, yang tidak dapat direduksi menjadi seorang spesialis tanpa karakter yang mengabdi demi kelas sosial tertentu. Menurut Edward Said, seorang intelektual adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan, menjiwai dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi atau pendapat di depan publik tertentu. Ssebagai produsen die, setiap intelektual – memiliki pengagum, pendengar, pemirsa atau – seperti merk komoditi – konsumen tertentu pula. Tugas utama para intelektual adalah memerangi orthodoksi dan dogma. Bukan malah sebaliknya mempertahankannya, seperti yang kita saksikan sehari-hari di media massa. Seorang intelektual bukanlah individu yang gampang direkrut pemerintah atau organisasi besar lainnya. Intelektual berangkat dari prinsip-prinsip dasar universal yakni kebebasan dan keadilan bagi semua orang. Apabila HAM seseorang baik secara secara sengaja ataupun tidak, dilecehkan pemerintah, maka ini sudah menjadi kewajiban intelektual untuk melawannya. Semua ini bukanlah merupakan tugas yang gampang, memang: Seorang intelektual tidak memiliki banyak pilihan. Apakah ia sanggup hidup sepi menyendiri dikamar? atau menyesuasikan diri dengan keadaan? yang berarti menyerahkan diri kepada kekuasaan.

Intelektual tidak mesti selalu diartikan sebagai pengeritik politik pemerintah. Melainkan lebih dari itu semua, yakni melihat panggilan-suci-intelektual sebagai sebuah upaya mawas diri, untuk tidak membiarkan kebenaran-semu – sesuatu yang belum tentu benar dan juga tidak salah seratus persen – berkembang dan menyebar luas dimasyarakat.

Salah satu tugas intelektual menurut Edward Said adalah, antara lain mendobrak belenggu stereotip dan kategori-kategori sembarangan, yang menghambat pola pikir dan komunikasi antar manusia di masyarakat.

Intelektual “Universal“ dan intelektual „Nasionalis“

Diskripsi Julien Benda dalam bukunya “Penghianatan Intelektual” (1927) yang memukau itu, membuat pembaca berhalusinasi bahwa apa yang dinamakan golongan clerc (intelektual) itu, seolah-olah manusia-manusia yang berumah di “langit biru”, yang universal, tak kenal batas wilayah nasional serta tak memiliki identitas etnis. Namun seperti kita ketahui bersama, bahwa setiap orang dilahirkan, dibesarkan dan – kemungkinan besar juga sampai ajal menjemput – berada dalam lingkungan bahasa tertentu. Dan, bahasa merupakan media paling mendasar bagi aktivitas intelektual. Disamping itu, bahasa juga selamanya merupakan nahasa nasional seperti bahasa Ingris, bahasa Prancis, bahasa Jerman dst.nya. Bahasa Jerman mempunyai peran khusus, terutama menyangkut perubahan sikap intelektual “universal”, menjadi patriotis-fanatis atau nasionalis. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa tipologi intelektual “universal” berhaluan “nasionalis” pada dasarnya merupakan ciptaan pemikir-pemikir Jerman: Herder, Hölderlin, Husserl, Heidegger, Nietzsche dll. Singkatnya, moral-politik intelektual yang berkembang antara abad 19 dan 20, di Eropa sebagian besar berasal dari negeri para “penyair” dan “pemikir” tersebut. Dalam urusan filosofi – segala aliran – Jerman memang merupakan gudangnya. Dari Jerman kemudian ide-ide tsb. menyebar nyaris keseluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Namun yang menjadi masalah intelektual ialah persepsi bahwa setiap masyarakat “memilik” bahasa tertentu, yakni bahasa yang sarat dengan tradisi tertentu. Akhirnya tradisi – dengan cara apapun – mesti dipertahankan, agar segala sesuatu yang ada di masyarakat (baca: sistem sosial) berjalan mulus, sebagaimana mestinya. Sejalan dengan proses demokratisasi dan semakin meningkatnya jumlah orang-orang yang menghendaki kebebasan berpikir, menuntut otonomi khusus, diadakan pemilihan presiden langsung dan lain sebagainya, membuat pemerintahan nyaris tak berdaya. Negara sudah berada diambang jurang kehancuran. Warga masyarakat pluralistik sudah terpecah belah. Kini banyak orang muak dan sinis, melihat kenyataan yang ada, dimana tingkah polah elit-politik, selain dekaden dan korup, juga tak sanggup mengatasi kehidupan ekonomi rakyat yang semakin lama, makin surama. Nah, dalam kondisi sosial carut marut tsb., kemudian kalangan intelektual dituntut untuk mempersembahkan karya terbaik mereka. Mencari jalan keluar dari kemelut yang berkepanjangan. Kalangan intelektual diminta berperan aktiv, menyelamatkan bangsa dan negara dari jurang kehancuran. Singkat kata: kehadiran intelektual diharapkan bukan untuk memanas-manasi masyarakat, melainkan menenangkannya atau menghimbau rakyat, agar tidak melakukan, apa yang ingin mereka lakukan, anarkhis – menghancurkan etablishment. Intelektual harus sanggup menunjukkan jalan yang benar, sembari membuka pintu gerbang demokrasi, menuju kemakmuran bersama. „Jika kalangan intelektual sendiri tak sanggup mengatasi berbagai masalah kemayarakatan yang ada, bukanlah lantas berarti bahwa perubahan sosial lewat revolusi-anarkhis tak mungkin dipersiapkan“, kata Walter Benjamin.

1. Intelektual dan ambisi politik

Mengapa para intelektual sering cenderung mengambil alih aktivitas politik di masyarakat, yang sebenarnya bukan menjadi urusan mereka? Tak dapat disangkal oleh siapapun bahwa saat ini banyak penyair dan seniman (budayawan) dan tak sedikit ilmuwan dan filosof bahkan aktivis keagamaan sering ikut ambil bagian dalam acara-acara atau pertemuan yang sifatnya politis. Mereka sering berbicara dalam koridor nasional. Dengan kata lain, mereka amat peduli dengan segala sesuatu yang meyangkut masalah negara dan bangsa mereka. Oleh karena itu, karakter intelektual modern dewasa ini ditandai oleh adanya kontradiksi yakni disatu sisi mereka sering dikatakan hidup “didunia-lain” (universal), namun disisi lain mereka justru amat peduli dengan masalah-masalah lokal sosial kemasyarakatan sehari-hari seperti masalah kerusakan lingkungan, kemiskinan, kelaparan atau musibah bencana alam dan seterusnya. Disini lantas muncul pertanyaan awam: mengapa orang-orang – yang dikatakan hidup “dilangit” itu – mengambil alih aktivitas politik keduniawian yang sejatinya bukanlah menjadi urusan utama mereka?

2. Antara ambisi-politik dan aktivitas-intelektual

Kalangan intelektual belumlah merasa puas, jika hanya menjadikan politik sebagai aktivitas sampingan mereka. Mereka lebih tertarik untuk meresapkan politik kedalam karya-karya – seni, ilmu pengetahuan, filosofi – mereka masing-masing. Apa yang terjadi dengan seni di bidang kesusastraan misalnya sama sekali tidak mengherankan. Kita tidak mungkin mampu untuk membedakan antara „politik“ dan karya „sastra“ an sich dari seorang penyair misalnya. Karena keduanya saling terkait, yang satu mengisi yang lain. Yang kurang bisa diterima akal sehat – dan selalu menjadi pertanyaan menggelitik – ialah: Mengapa penyair harus menutup diri dari kobaran bara api semangat nasionalisme-romantis, sebagai inspirasi karya-karya mereka? Fenomena politik dalam seni ternyata terbukti amat mempengaruhi daya nalar masyarakat-konsumen (pembaca/pendengar/pembaca/pemirsa dll). Terutama karya-karya sastra (sajak) yang bermuatan politis. Sebagai contoh misalnya: …! Kalau dibaca, mula-mula karya tersebut mengesankan sebuah karya seni yang filosofis, namun ternyata bermuatan politis. Namun ada lagi tipe intelektual yang sengaja memasukkan unsur politis kedalam karya mereka. Misalnya para penulis roman dan dramawan. Mereka adalah orang-orang atau seniman yang diharapkan masyarakat agar menyuguhkan manusia dengan segala permasalahannya – konflik, cinta, cemburu, benci, iri dll – seobyektif mungkin, sebagai tontonan yang bermutu.

Beberapa contoh tersebut diatas hendaknya dapat menerangkan, fenomena muatan politis dalam hal berkarya bagi penyair, romancier, dramawan. Singkat kata: seniman, yakni orang-orang yang diharapkan dengan jujur mengakui bahwa unsur perasaan memang sangat dominan dalam karya-karya seni, yang mereka hasilkan. Akan tetapi ada juga kalangan intelektual, yang dalam berkarya menerobos apa yang disebut “obyektivitas” atau rambu-rambu ketidak-berpihakan intelektual yakni sejarawan. Tentu saja bagi kita yang hidup di abad ke duapuluh satu ini, bukan untuk pertama kalinya menghadapi penulisan sejarah yang sarat dengan kepentingan nasional (baca: rezim) dan interes partikular lainnya. Hal ini bisa terjadi terutama, karena metode penulisan sejarah modern (baca: ilmiah) belum dikenal orang. Perubahan baru terjadi tatkala fenomena partikularitas dalam penulisan sejarah bisa diterima para pakar secara terbuka, sembari menerima “keberpihakan” sebagai sebuah metode-ilmiah yang legitim.

Mengenai ketidak-berpihakan intelektual, mungkin para ilmuwan yang memilih sendiri bidang kerja mereka seperti sejarawan, psycholog, sosilog atau yang lainnya akan menjawab: Kami bukan mengabdi demi akhirat, melainkan kami mengabdi untuk memperbaiki kehidupan umat manusia di dunia yang fana, baik atas nama sebuah partai politik ataupun sebuah bangsa. Kami berjuang bukan menggunakan pedang, melainkan lewat penemuan-penemuan ilmiah. Kami adalah lasykar atau para pejuang akal sehat di dunia.

3. Intelektual dan Keberuntungan politik

Sebagian besar intelektual terlalu berlebihan dalam memandang sesuatu yang – mereka anggap – khas atau spesifik. Dan, ini berarti, mereka telah mengingkari adanya nilai-nilai universal. Mula-mula mereka ingin memuja-muja pencarian jati diri manusia (identitas) yang eksklusif, sembari mengabaikan segala sesuatu yang memiliki kecenderungan universal. Kebanyakan sastrawan besar atau pemikir (terutama Jerman) lebih suka memandang manusia berdasarkan asal usul, identitas- nasional, etnis atau ras mereka. Mengapa demikian? Padahal setiap orang – tanpa melupakan atribut etnis – sudah pasti merasa sebagai manusia. Menghapuskan egoisme nasional … humanitarisme dianggap sebagai gejala kemerosotan moral intelektual …segala sesuatu harus berangkat dari kegiatan praktis, suatu kegiatan yang hendak dipakai untuk mengukur intelektualitas seseorang.

Kita harus dapat membedakan antara humanitarisme – sebagai sensibelitas untuk kualitas abstrak manusia – dan perasaan cinta terhadap manusia yang konkret. Humanisme, yang berasal dari definisi abstrak merupakan gairah murni para cerdik cendekiawan dan tidak berimplikasi terhadap perasaan cinta keduniawian. Kita bisa membayangkan seseorang humanis, yang sangat mencintai umat manusia dan bukan berarti ia mencintai orang-perorangan yang benar-benar eksis. Dalam hal ini kita bisa melihat para sastrawan-sastrawan bangsawan besar (Spinoza, Goethe dll) yang amat mencintai kemanusiaan, yang selama hidupnya belum pernah dikabarkan telah melukai sesamanya. Sebaliknya perasaan yang meledak-ledak para pemikir pro-rakyat (macam Proudhon), yang berangkat dari dari ideologi humanisme-sentimetal sudah pasti berakhir pada petualangan politik.

Humanisme tidak ada hubungannya dengan intenasionalisme. Humanisme adalah gairah hidup duniawi – dalam bentuk lain – dan bukan merupakan sebuah bentuk pemikiran ideologis (welanschauung). Humanisme adalah salah satu bentuk protes thd paham nasionalisme-sempit. Humanisme juga amat berbeda dengan kosmopolitisme yang, berarti selera untuk menikmati kehebatan budaya bangsa-bangsa dunia, yang umumnya bebas dari dogma-dogma moral tertentu – demikian menurut Julien Benda. Kendatipun demikian, toh masih cukup banyak terdapat intelektual yang justru menganjurkan kepada orang-orang, agar mereka bersungguh-sungguh untuk mencari identitas spesifik yang, mereka katakan telah hilang atau semakin memudar itu seperti identitas etnis, religius, nasional dst. Bagi generasi masa depan fenomena mencari asal usul (identitas) bukan makin lemah, akan tetapi sebaliknya, ia akan semakin keras dan malah cenderung nyaris menjadi semakin sempurna. Tentu saja, setelah para intelektual melaksanakan tugas mereka dengan baik. Artinya, tanpa campur tangan (baca: rekayasa) para intelektual, maka fenomena pencarian identitas atau revitalisasi budaya lokal dan berbagai aktivitas sejenis - sangat sulit dibayangkan dapat terjadi sui generis begitu saja dengan sendirinya, tanpa bantuan pihak lain. Kalangan intelektual – baik penyair, seniman, pengarang, dramawan atau bahkan tak sedikit ilmuwan – yang cenderung menganjurkan untuk memberikan tempat yang terhormat bagi budaya lokal yang „asli“ dari pada memuja budaya universal yang abstrak.

Intelektual spesifik telah meracuni masyarakat untuk mencari identitas mereka, dalam segala hal, artinya apa saja yang membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Hal ini, bukan hanya terbatas pada bahasa, seni dan literatur, akan tetapi juga menyentuh adat isti-adat, seperti penampilan di depan umum hingga bentuk dan cara berpakaian yang dianggap khas, mendapat perhatian cukup serius. Gerakan revitalisasi budaya ini dimulai sekitar awal tahun 90an, dimana waktu itu banyak budayawan yang menganjurkan masyarakat agar mencintai (kembali) kepada identitas budaya sendiri seperti cara sembahyang, memasak, berdandan, atau cara mengatur ruang tamu dst. Mereka para budayawan menganjurkan masyarakat agar bangga dengan budaya mereka, sembari mengambil inisiatif sendiri, demi memperkuat identitas kultural mereka. Maka sejak itu dimana mana muncul ungkapan-ungkapan kebanggaan sebagai anggota komunitas tertentu, baik etnis, daerah ataupun agama tertentu. Yang menjadi persoalan disini bukanlah adanya kenyataan bahwa rasa kebanggaan tersebut telah diucapkan dan menyebar luas dimasyarakat, melainkan karena ucapan (konyol) tersebut berasal dari orang-orang intelek, yang nota bene merupakan kategori orang-orang yang seharusnya menganjurkan masyarakat untuk mencari bentuk-bentuk identitas yang bisa menyatukan mereka dengan yang lainnya – dan bukannya malah mempolarisasi masyarakat.

Ternyata bukan hanya atas nama nation, melainkan juga atas nama kelas, kaum intelektual telah mengorbankan azas universalitas. Para moralis menganjurkan bahwa rakyat tidak perlu menghapuskan ketidaksetaraan (antagonistik) dan melindungi kebersamaan alamiah. Melainkan meresapi perbedaan (kelas-sosial) yang ada di masyarakat secara mendalam. Sikap seperti inilah dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Sedangkan usaha untuk mengharmoniskan (kelas-sosial) dianggap sebagai satu kelemahan. Sebagai penjilat yang amat buruk.

Masih ada satu bentuk lain lagi cara menghargai partikularismus secara berlebihan yang sempat menyita perhatian kita yakni penghargaan yang luar biasa terhadap nilai-nilai spesifik budaya lokal dengan mengabaikan pesan-pesan moral universal. Masyarakat hendaknya perlu diingatkan terus menerus terutama untuk membayangkan mengenai masalah hak dan kewajiban mereka, sebagai penghargaan thd local genius, sejarah, letak geografis serta kondisi lingkungan sosial yang juga amat spesifik dan bukan memasukkan peraturan-peraturan yang berasal dari luar, yang dapat berlaku dimana saja. Konsekwensinya adalah bahwa pandangan seperti ini, bisa memotivasi sekelompok manusia, memaksakan diri untuk menjadi hakim-hakim moral yang bisa menentukan perbuatan baik atau buruk, benar atau salah di masyarakat. Akhirnya seberapa jauh mereka mendewakan napsu pribadi untuk mengesahkan penggunaan kekerasan yang mereka lakukan? Tak ada jawaban.














***

Intelektualisme - dalam arti yang lebih luas – ialah teori-teori atau pendapat yang sangat menekankan penggunaan rasio. Istilah ini biasa dipergunakan seseorang dalam polemik atau debat untuk merendahkan pihak lawan bicara yang, senantiasa menilai sikap intelek (baca: sok intelek) secara berlebihan.

1 komentar:

luh de mengatakan...

wow! luar biasa semangatnya, bli. selamat menulis sambil menjaga anak kessayangan di rumah. salam untuk nyonya.

btw, artikel puanjang ini bisa dipotong tampilannya biar enak dibaca dan alternatif pilihan tulisan di blog juga bisa disimak.

btw lagi, blogspot bisa diseting biar semua orang bisa komen. ga kaya sekarang, komen yang bisa hanya mereka yang punya akun gmail

hormat,
men bani
http://lodegen.wordpress.com