Who am I

Who am I

Minggu, 18 Mei 2008

Manusia Bali dalam Politik




Manusia Bali dalam Politik
(Kontestasi dan Kuasa)

I Ngurah Suryawan





“…Urusan politik seperti demo, munas partai, Inpres dan Keppres, ganti-mengganti presiden, dan mutasi menteri menjadi urusan orang gede di pusat kekuasaan yang tidak berhubungan dengan Bali sebagai “daerah olah budaya”…”

(Degung Santikarma, Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal, Politik Representasi Kekerasan di Bali, Kompas, 1 Agustus 2003)[1]


Coba isenglah bertanya pada kawan anda bagaimana ia memandang Bali. Pastilah jawaban yang akan muncul adalah daerah pariwisata dengan keindahan alamnya yang mengagumkan, masyarakatnya yang “berbudaya” dengan adat istiadat dan tradisi yang terus bertahan dan kokoh. Dan jawaban terakhir yang kadang memilukan sekaligus menggelikan, manusia Bali adalah mahluk yang sopan santun, ramah tamah dan bersahabat.
Tapi saat bom di Legian Kuta meledak Oktober 2002, mendadak semua orang bertanya, kenapa bisa Bali yang dijadikan sasaran? Pertanyaan kenapa bisa Bali adalah pertanyaan yang sarat dengan konstruksi imaji dan citra akan Bali. Saat berkembangnya Bali sebagai destinasi bisnis jasa bernama pariwisata, seolah hidup dan kehidupan manusia Bali adalah untuk pariwisata. Semua barisan dan elemen masyarakat mencurahkan dirinya sepenuhnya pada industri jasa ini. Infrastruktur dibangun dengan simultan untuk mendukung program Bali Sebagai Tujuan Wisata Dunia. [2]
Image Bali adalah daerah pariwasata, tempat nyaman berlibur itulah yang berada dalam konstruksi orang kebanyakan, mungkin juga termasuk bagi rekan atau sahabat anda. Sehingga ketika bom meledak tidak ada yang mayangka kenapa Bali yang menjadi sasaran, daerah wisata milik kita semua? Daerah yang luput dari segala macam hiruk pikuk urusan terorisme, politik nasional bahkan internasional. Sekali lagi seluruh dunia terheran, kenapa Bali?
Geneologi Politik “Pembudayaan”
Konstruksi pandangan dunia dan juga masyarakat Indonesia kebanyakan memang menempatkan Bali menjadi bagian yang “tidak terjamah” urusan-urusan politik kelas tinggi, konflik atau ketegangan-ketegangan yang berujung pada kekerasan massa. Saat masyarakat dunia disibukkan dengan urusan politik, perang, bisnis, kolonisasi baru, maka Bali menjadi tempat tujuan utama untuk berwisata, menenangkan diri dan menghimpun tenaga untuk suasana yang lebih baru. Seluruh masyarakat dunia sangat mengenal Bali lebih dari manapun. Bahkan, orang Bali sangat bangga mengatakan bahwa Bali lebih terkenal daripada Indonesia. Pernyataan yang sering mereka ucapkan, “Indonesia itu dimananya Bali ya?” [3]
Lalu, darimana semua image Bali sebagai daerah wisata itu? Catatan-catatan sejarah menyebutkan, sebelum masa emas Bali menjadi tujuan daerah wisata, Bali terkenal sebagai pengekspor budak belian, daerah yang sangat barbar dengan peperangan dan pembantaian antar sesama. Tapi semua image buruk itu seketika berubah. Eksotisme manusia Bali—dengan perempuannya yang bertelanjang dada, pemandangan alam, seni dan adat tradisinya—membuat para pelancong, pedagang dan sarjana-sarjana yang berlibur di Bali membuat catatan perjalanan, membuat brosur-brosur promosi untuk sebuah pulau tropis di Asia yang sangat mempesona. Promosi yang paling ampuh mengenalkan Bali adalah melalui informasi dari mulut- kemulut yang terus disebarkan para pelancong, pedagang dan para antropolog kolonial itu.
Maka mulailah mengalir tour-tour para pelancong yang berdatangan terus menerus ke Bali. Kegagapan manusia Bali menerima durian runtuh itu mengharuskan mereka untuk mempersiapakan diri dengan berbagai cara. Seluruh kehidupan manusia Bali berubah. Tahun 1930-an , faham baru bernama modernitas berkembang dibawa oleh para pelancong-pelancong, pedagang, seniman, pelukis dan sarjana-sarjana asing. Sesaat berkembangnya modernisme di Bali melalui pariwisata sempat terhenti saat zaman revolusi kemerdekaan.
Sesudah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Bali beriringan kembali berjalan dengan pembangunan wisata yang tersendat-sendat karena ideology politik sebagai panglima. Presiden Soekarno menekankan pembentukan karakter bangsa melalui nasionalisme dan berdiri di atas kaki sendiri, Kencangkan Ikat Pinggang. Berkecamuknya kehidupan politik di Indonesia secara keseluruhan membuat Bali mau tidak mau terseret di dalamnya. Ketegangan politik tahun 1950-an hingga 1960-an, terjadi di Bali, menempatkan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam petarungan dan ketegangan politik yang sengit. Konflik, perebutan kekuasaan dan pengaruh membuat Bali semakin memanas menjelang 1965. Saat meletusnya G30S dan diikuti dengan pembantaian besar-besaran “manusia merah” di Bali orang yang dituduh simpastisan dan anggota PKI, Bali menjadi salah satu daerah dengan penyembelihan terganas, dengan jejak darah pembantaian dan kuburan massal yang hampir ada di setiap jengkal desa-desa di Bali.[4] Soe Hok Gie dalam sebuah essaynya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali saat hari-hari mencekam 1965-1969 di Bali;

“…Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali.Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu…”[5]


Kenangan, ingatan, jejak-jejak masa kelam pembantaian sesama saudara di Bali[6] itu disimpan rapi dalam selimut tebal bernama politik “Pariwisata Budaya”[7], sebuah ideology yang mengawali ideology pembangunan dan stabilitas keamanan ala orde baru. Tahun 1966 di mulai dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. Komunisme, PKI menjadi barang terlarang dibicarakan. Suara-suara kritis dan kehidupan politik menjauh dari citra Bali. “Sekarang bukan saatnya bicara politik, kini saatnya zaman pembangunan,” begitu petunjuk-petunjuk pejabat pemerintah di Bali yang masih saya ingat saat saya menginjak bangku sekolah menengah.
Secepat kilat pariwisata mempengaruhi seluruh denyut nadi dan hembusan nafas serta kehidupan manusia Bali. Daerah-daerah yang tadinya kerong kerontang, tidak terjamah manusia secepat kilat menjadi tempat yang digunakan untuk penginapan, kedai minuman ataupun toko-toko penjual souvenir. Manusia Bali yang miskin karena tanahnya kering kerontang menjadi terkejut saat pengusaha kaya dari Jakarta ataupun wisatawan, para turis, ingin membeli tanahnya.
Nak Buta Tumben Kedat,[8] seperti orang buta yang diberikan kesempatan melihat, begitu istilah manusia Bali memberikan joke pada saudaranya yang menjadi OKB (Orang Kaya Baru) karena tanahnya berhektar-hektar laku terjual. Tanah-tanah manusia Bali pun laris manis terjual, bahkan sampai ke tebing-tebing curam juga laku keras. Perlahan tapi pasti, pembangunan infrastuktur pariwisata menunjukkan dirinya. Hotel-hotel, café, diskotik bermunculan. Belum lagi bisnis prostitusi, narkoba sampai pada rantai pengikut kriminalitas lainnya sebagai dampak dari gemuruhnya dunia pariwisata di Bali.
Seni dan seniman juga salah satu kelompok yang mengambil keuntungan dari bisnis pariwisata ini. Kelompok-kelompok kesenian tradisional Bali mendapat hujan bookingan tampil di hotel-hotel berbintang. Bali Hotel, nama sebuah hotel di pusat kota Denpasar, adalah tonggak dari bagaimana seni dan pariwisata menunjukkan relasinya. Bali Hotel di pusat kota Denpasar, di Monumen Catur Muka, menjadi tempat pertunjukan-pertunjukan seni “khas” Bali untuk para wisatawan. Di tempat-tempat lainnya, khususnya wilayah Ubud dan sekitar Kabupaten Gianyar yang terkenal dengan daerah seninya, bermunculan Sekaa-Sekaa[9] (kelompok-kelompok kesenian tradisional) yang menikmati buah manis dari pariwisata. Dengan diangkut truk-truk, mereka pentas di hotel-hotel berbintang. Selain mereka, menjamur juga pentas-pentas Barong Dance sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Desa Adat, kini diganti menjadi Desa Pakraman berlomba-lomba memacu dirinya untuk mengabdi dalam pembangunan pariwisata. Maka berbondong-bondonglah masyarakat Bali melamar kerja di hotel, menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah pariwisata dan siap untuk bekerja menjadi bagian dari elemen pariwisata.

Suryak Siyu [10]Politik Manusia Bali
Kehidupan politik manusia Bali pasca kolonial ditandai dengan politik suryak siyu (bersorak dan mendukung yang dominan) untuk kemenangan Golkar kurang 30 tahun pemerintahan rezim otoriter orde baru. Semua gejolak dihadapi dengan penangkapan dan pembungkaman suara-suara kritis. Jika ada yang mengkritik dan melawan pemerintah dianggap menjadi musuh pembangunan, anti pembangunan, atau stigma-stigma manusia kiri yang sangat mematikan. Golkar menguasai kehidupan perpolitikan di Bali dan hampir seluruh wilayah di Indonesia. Budaya, politik dan (kuasa) pariwisata menjadi kata sakti untuk menaklukkan manusia Bali yang mencoba kritis dan keluar jalur. Politik dan pariwisata menyatu dalam proses pembudayaan yang dengan mudah dilakukan di Bali. Adat, tradisi dan agama menjadi subyek-subyek dari pembudayaan tersebut. Ditambah di dalamnya kolaborasi yang manis antara industri global yang menaungi Bali bernama pariwisata dengan negara, birokrasi dan kekuasaannya pada masyarakat.
Apatisme dan apolitisnya manusia Bali adalah harga yang harus dibayar pasca 1965. Semuanya itu memang sesuai dengan keinginan negara, rezim orde baru untuk menstabili kehidupan politik demi keamanan dan ketertiban di Bali. Ingatan lama dan bayangan kelam masa lalu—saat pembantaian PKI di Bali 1965-1969—menjadi salah alasan yang kuat untuk bungkam dan penurutnya manusia Bali dalam politik. Alasan yang sangat traumatik itu memang tidak kuat, tapi stigma komunisme, pengkhianat menjadi bencana besar bagi manusia Bali saat orde baru. Wacana ketakutan ini dimainkan dengan sangat baik oleh pemerintah. Keseragaman dan ketaatan menjadi harga mati. Ingatan kelam masa lalu tersimpan dalam selimut-selimut pariwisata dan ajakan untuk membuat Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah).[11]
Zaman-zaman kejayaan Golkar membuat saya teringat saat baru bergabung dalam organisasi sekaa teruna (organisasi pemuda) di banjar (komunitas terkecil masyarakat Bali). Saat itu saya menjadi salah seorang pemilih dari sekian ratus pemilih yang terdaftar di banjar saya. Saya sebenarnya malas memilih ketika malam hari sebelum pencoblosan, ayah meminta dengan sangat untuk memilih gambar pohon beringin, Golkar. Ayah setengah memaksa karena sebelumnya ia diminta oleh kawannya mencari 50 suara di keluarga besar saya. Begitu juga seluruh krama (warga) di banjar saya. “Malu kalau tidak pilih Golkar,” alasan Ayah saya yang tidak bisa saya bantah ketika itu.
Golkar juga merebut simpati masyarakat dengan acara gebyar Golkar di banjar-banjar di Bali. Semarak gebyar Golkar ini didasari atas kepentingan untuk suara dan sumbangan untuk pembangunan. Saat itu, seluruh krama banjar “diwajibkan” untuk datang mendukung suksesnya acara tersebut. Biasanya sejauh ingatan saya, ibu-ibu PKK (Penggerak Kesejahteraan Keluarga) akan menyanyikan koor, lagu-lagu pemenangan Golkar. Sayup-sayup biasanya saya dengar pidato tentang program dan janji-janji Golkar untuk pengaspalan jalan, membelikan gamelan atau membangun banjar. Setelahnya gemuruh tepuk tangan saya dengar tanpa henti. Saya masih ingat dengan persis peristiwa itu. Klimaksnya adalah pidato politik calon anggota legislative Golkar dari daerah tersebut. Dimulailah dengan janji-janji komitmennya pada rakyat, permintaannya untuk didukung oleh masyarakat di daerahnya dan ujung-ujungnya adalah sumbangan apa yang bisa diberikan pada banjar. Setelah janji diucapkan dengan sumpah, krama banjar biasanya akan medewa saksi (bersaksi kepada Dewa) untuk mencoblos Golkar dalam Pemilu nanti. Acara ini dilengkapi dengan ritual agama yang dipandang sakral, tapi anehnya untuk memenangkan satu partai politik. Setelah itu ditunjukkanlah atraksi cara pencoblosan pohon beringin berukuran raksasa oleh tokoh Golkar diiringi tepuk tangan dan gamelan memecah yang memecah telinga.
Euphoria masyarakat Bali Bali sontak berubah menjadi kebencian pada Golkar. Tahun 1998 ketika Soeharto menjadi presiden kesekian kalinya berhasil didongkel dari tampuk kekuasaannya. Krisis ekonomi, gerakan mahasiswa dan rakyat mendorong Jendral Besar Soeharto untuk turun tahta. Senyuma Jendral tokoh kunci Peristiwa ’65 itu harus terhenti Militer dan Golkar yang sering disebut sebagai mesin politik orde barupun merayap. Posisinya hanya menjadi hujatan oleh orang yang menyebutnya dirinya kaum “reformis”. Khusus untuk Golkar, citranya sebagai partai pembaharu merosot tajam, posisinya terancam oleh PDI yang ketika itu menjadi “partai oposisi”.
Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) menjadi momentum simpati masyarakat kepada PDI yang terus menjadi partai yang ditindas oleh penguasa, dan Megawati menjadi ikon ketertindasan itu. Ditambah lagi dengan posisi yang terpinggir dari Bung Karno oleh cerita kepahlawanan Soeharto menjadi momentum penting naiknya Megawati dalam tampuk kekuasaan dan meraih simpati masyarakat. Dan benar saja, akhirnya Megawatipun—meskipun melalui “kudeta merangkak” terhadap Gus Dur dan serangkaian kerusuhan di seluruh Indonesia—akhirnya menjadi presiden RI.
Pada Maret 2005, kongres kedua partai moncong putih ini kembali diadakan di Bali. Setelah sebelumnya sukses dalam kongres pertama 1999 yang didukung penuh oleh masyarakat dan pemerintah daerah Bali. PDIP dengan kekuatan yang compang-camping dan terpecah belah melakukan kongres keduanya, masih dengan melibatkan pengaman tradisonal Bali, pecalang, yang begitu harum namanya saat kongres pertama dilakukan.
“Mari Bersama-Sama Buat Bali Aman”, “Ini Bali Bung, Basisnya Megawati” adalah teks dari beberapa spanduk di tempat strategis di Denpasar menjelang Kongres II PDIP di wilayah Sanur.[12] Banteng moncong putih memang mendapat perhatian tersendiri dari masyarakat Bali. Di samping karena sejarah “ketertindasannya” saat rezim otoriter orde baru, jargonnya sebagai partai wong cilik sangat tepat saat Soeharto masih memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Di samping itu sejarah politik patron klien memang sangat kental di Bali. Soekarno adalah anak seorang perempuan Bali dan Megawati dengan begitu adalah keturunan orang Bali. Emosi keBalian ini mengakar kuat pada diri manusia Bali. Dan saat itu posisi Megawati memang terpinggirkan dalam politik nasional orde baru.
Disamping PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang kemudian berubah nama menjadi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dengan Megawati sebagai ikonnya, Partai Golkar adalah partai lain yang sempat mendapat tempat dalam massa keemasannya sebelum PDIP merebutnya. Sejarah Golkar (Golongan Karya) yang kemudian berubah menjadi Partai Golkar merebut hati masyarakat Bali berawal dari politik stabilitas dan keamanan dari mulainya rezim orde baru 1966 pasca peristiwa pembumihangusan dan pembantaian massal massa dan simpatisan PKI di Bali. Golkar menjadi pilihan yang “aman” dengan janji-janji pembangunan pura, pengaspalan jalan. Golkar menjadi harga mati dalam berpolitik bagi manusia Bali. Golkar menjadi pemenang mayoritas dalam setiap pemilu di Indonesia dan Bali selama kurang lebih 33 tahun.
Megawati dengan gerbong PDIP akhirnya menjadi partai penguasa, bukan lagi partai wong cilik seperti awal partai ini lahir dari ketertindasan. Rayuaan kekuasaan dan partai menjadi magnit dari beberapa orang yang berasal dari militer dan Golkar—yang sebenarnya lawan PDIP sebelumnya—untuk masuk menjadi anggota dan diakomodasi kepentingannya oleh Megawati. Saat posisi inilah partai menjadi kuda tunggangan beberapa kelompok kepentingan dalam tubuh PDIP. Hal ini terlihat jelas dari jalannya pemerintahan dimana PDIP berkuasa dan Megawati sebagai presiden. Politik kepentingan tidak dapat dihindarkan, sehingga yang terjadi kemudian adalah akomodasi berbagai kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Periode Megawati menjadi presiden akhirnya dianggap sebagai kelanjutan dari orde baru jilid II. Partai Wong Cilik telah menjadi penguasa dan terbius didalamnya. Akhirnya popularitas Megawati dan PDIP redup.
Tidak demikian halnya dengan Golkar. Partai yang dianggap “paling cerdas” diantara sekian banyak partai peserta Pemilu.[13] Akbar Tanjung, professor politik partai ini, telah bisa mengubah Golkar dari keterpurukan dihantam gelombang reformasi untuk bangkit dan kembali bertarung dalam pentas kekuasaan. Pemilu 2004 menjadi bukti bagaimana konsolidasi yang solid dari Golkar dengan “Paradigma Barunya” berhasil merebut suara mengungguli PDIP. Citra partai orde baru berhasil disulap menjadi partai dengan paradigma baru, pembaharuan dan perubahan.
Demikian juga halnya dengan PDIP. Tuntutan untuk perubahan dan pembaharuan terus kencang terdengar. Pra Kongres II di Bali, wacana pembaharuan, penolakan formatur tunggal dan hak prerogatif pada Megawati selalu digugat. Ternyata PDIP ingin meniru partai Golkar untuk menggerakkan wacana pembaharuan dalam tubuh partai. Dalam tubuh partai moncong putih ini telah terjadi friksi antara pendukung Megawati dan kelompok pembaharuan.
Gejala dan gairah pembaharuan ini sebelumnya juga dirasakan partai Golkar yang saat itu terpuruk menjadi cacian pendukung pro reformasi. Mereka kemudian bersuara bulat bersama untuk mengusung Golkar dengan paradigma baru dan terbukti mampu mengkonsilidasikan kemenangan pada Pemilu 2004. Iklim pembaharuan dan kecerdasan politik menuntut Golkar untuk berkompromi dan merangkul kekuatan-kekuatan reformis yang ada dalam tubuh PDIP. Dan benar, Golkar berhasil merangkul PDIP yang sebelumnya adalah musuh politiknya. Kenyataan itulah yang sulit diterima massa akar rumput yang telah terlanjur menganggap Golkar adalah partai orde baru dan mesin politik Soeharto. Tapi, Golkar kini kan sudah “berparadigma baru?”
Politik “paradigma baru” dan “pembaharuan” yang dimainkan oleh partai Golkar dan PDIP menjadi ajang kontestasi, perebutan image akan citra partai ini. Golkar lumayan berhasil menyepakati paradigma baru sebagai “jualan” dalam Pemilu 2004 dan harus diterima sangat sukses dalam menjaring dukungan. PDIP yang terpuruk dalam Pemilu 2004 mencoba untuk melakukan langkah perubahan dengan politik “pembaharuannya”. Apakah ini bisa berhasil menjadi wacana gerakan partai atau hanya menjadi riak-riak kecil yang bisa disumbat dengan ketokohan Megawati? Seruan untuk pembaharuan dalam menolak formatur tunggal, regenerasi dan ujunganya menggugat otoritarianisme Megawati dalam partai akan terbentur dinding kokoh “kultus” Megawati dan keputusan politiknya. Kompromi dan mbalelonya Megawati sering membuat massa akar rumput kecewa. Kasus pemilihan gubernur dan bupati walikota menjadi contoh bagaimana partai moncong putih ini telah mulai terseret dan mengakomodasi pada kekuasaan yang dulu menghantamnya. Jargon “Sudah Terbukti dan Teruji” menghadapi tantangan dan ujian yang deras.
Lalu, bagaimana politisi manusia Bali menghadapi konstelasi politik yang semakin rumit seperti benang kusut ini? Apakah darah “pembaharuan” dalam berpolitik ikut masuk dalam urat nadi manusia Bali. Berbeda adalah hal yang lumrah terjadi di Bali. Begitu juga dalam tubuh PDIP Bali. Ada riak-riak protes mengapa begitu patuh dan tunduknya PDIP Bali terhadap Megawati? Apakah karena ia keturunan orang Bali? Atau terbius nama besar Bung Karno? Politisi gaek Bali ternyata masih satya (setia) dengan perjuangan awal PDIP saat tertindas pada rezim orde baru. Ketokohan dan ketahanan dalam masa represif menjadi harga mati bagi para politisi PDIP.
Patron politik pada Megawati terasa begitu kuat terjadi di Bali. Baik Pemilu 2004 legislatife dan pemilihan presiden, kader-kader PDIP dan Megawati selalu unggul.[14] Darah manusia Bali sudah mengakar untuk janji setia pada Megawati dan PDIP. Tapi, tunggu dulu? Sejarah politik manusia Bali sangat mudah untuk berubah arus, saling papas (berpapasan/berbeda) hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi, tapi juga terkait dengan setting masyarakat Bali dalam pertarungan ekonomi, politik dan sosial. Salah satu pertarungan politik manusia Bali itu terlihat dari peran-perannya dalam kontestasi politik ekonomi. Dan geneologi politik itu lahir dengan afiliasi dan keberpihakannya. Salah satu yang masih terasa saat ini adalah peran lembaga feodal oligarkhi seperti puri dengan tokoh-tokoh politiknya. Meskipun gugatan-gugatan manusia Bali terus mengalir untuk feodalisme, tapi kekuatan ini masih ampuh dalam memetakan kekuataan poltik dan melacak jejak kontestasi ekonomi politik manusia Bali.

“Memainkan” Feodalisme: Puri, Politik dan Perebutan Kekuasaan
Dalam sebuah momen upacara ritual, seorang pemuda dengan serius terlibat pembicaraan dengan tiga orang kawannya. Tanpa sadar, dengan berdiri melingkar, telah berkumpul lebih banyak orang lagi untuk mendengarkan ceritanya. Telah berkumpul 6 orang yang dengan serius mendengarkan ceritanya. Padahal di dalam pura, masih berlangsung prosesi ritual yang bahkan mencapai tengah malam. Tanpa peduli suara gamelan yang terus menghidupi malam, si pemuda ini dengan menggebu-gebu bercerita dengan tanpa henti pada kawan-kawannya. Ternyata, bukan membicarakan tafsir mimpi untuk nomor togel atau membicarakan masalah desa adat, tapi mereka membicarakan bagaimana saling dukung mendukung dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) Juni 2005. Tentunya dengan jago-jago mereka sendiri.
Mendadak, dari saku kemeja safari putih yang diperguanakan si pemuda, keluar tumpukan kartu nama. Tanpa ragu ia membagi-bagikan kartu nama itu pada kelima kawannya. Ternyata bukan kartu namanya, tapi kartu berisi dua foto pria berdasi dan kalimat yang berbunyi; Di Puri kami dilahirkan, Di Masyarakat kami dibesarkan, Memimpin Denpasar sebagai panggilan pengabdian, Mensejahterakan Masyarakat adalah tujuan kami. Kemudian berisi dua nama pria tersebut dan dibawahnya bertuliskan Calon Walikota dan Wakil Walikota Denpasar. Menjadi latar belakang dari kartu itu adalah warna kuning dan bendera merah putih.
Ternyata itu adalah kartu kampanye untuk salah satu calon walikota Kota Denpasar dan wakilnya yang akan bertarung pada 24 Juni 2005.[15] Dengan kartu kampanye itulah si pemuda tadi berusaha untuk mencari dukungan untuk jagonya ini. Dengan harapan nanti bias memenangkan suara terbanyak dari pemilihan langsung Pilkada. Yang membuat si pemuda tadi semangat untuk menggalang dukungan adalah karena si calon walikota adalah sesuhunannya, ratu-nya (rajanya, orang yang disembahnya). Disembah dalam arti ini adalah si pemuda tadi adalah parekan (abdi) dari si calon walikota tadi. Sebagai seorang parekan yang baik, ia harus mendukung ratunya menjadi “pemimpin” ibukota propinsi Bali itu. Tanpa ragu, ia menyanggupinya dan akan berusaha untuk mencari pendukung di desanya.
Si calon walikota Denpasar tadi adalah keluarga puri, putra mahkota yang berusaha untuk mengadu nasib mencalonkan diri menjadi calon walikota, masuk politik praktis menjadi kader Golkar. “Di Puri kami dilahirkan” mengandung maksud bahwa si calon walikota ini adalah trah puri yang mempunyai sejarah untuk memimpin masyarakat para parekannya. Puri memiliki kekuatan yang penting untuk menarik massa dengan daerah pengaruh dan taklukannya, daerah kekuasaannya. Puri juga menjadi sentral dari bermainnya kekuasaan pada Bali zaman kolonial. Seorang raja dengan daerah kekuasaannya bisa membawahi beberapa desa dengan jumlah penduduk ribuan bahkan jutaan manusia di Bali. Berbagai puri-puri yang tersebar di Bali menjadi sentral pertarungan dari perebutan kekuasaan, sumber pemberontak dan sekaligus pengikat yang paling kuat untuk bersatu.
Kasus yang dialami si pemuda menunjukkan bagaimana patuhnya ia terhadap perintah dari ratunya yang menugaskannya untuk menjadi tim kampanye/sukses dengan menggalang dukungan dengan teman-temannya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, di upacara ritual ia juga berkampanye untuk menyebarkan kartu untuk memilih jagoannya. Dalam ritual/upacara, manusia Bali juga berpolitik dalam artian yang sebenarnya. Dalam terori-terori tentang Bali kolonial, Bali dengan upara ritualnya seolah steril dengan politik. Bali adalah daerah “praktek budaya” yang anti politik. Bali adalah daerah untuk menunjukkan bagaimana manusia sangat tekun untuk melakukan ritual persembahan kepada tuhannya. Tapi argumen semua itu gugur saat ritual dari awalnya diambil alih oleh kekuasaanya untuk mensubversinya menjadi alat kekuasaan untuk menindas (menjajah) masyakatnya, parekannya.
Puri juga menjadi kontestan paling awal saat perebutan-perebutan kekuasaan raja-raja zaman kolonial di Bali. Basis kekuasaan oligarki ini dimanfaatkan betul oleh kolonialis untuk menjadi instrumen pemecah belah dan basis dukungan yang paling solid. Maka janganlah heran jika Puri menjadi alat atau lebih tepatnya “mainan” kolonialis untuk membuka jalan merebut kekuasaan negara jajahannya. Tuduhan puri-puri yang opurtunis dan pengkhianat menjadi lekat dalam ingatan masyarakat terhadap puri yang dekat dengan kolonialis. Sementara sebagian puri menjadi martir dalam bertempur melawan kolonialis. Atau dalam mitos perjuangan heroik masyakat Bali disebut puputan (berperang sampai titik darah penghabisan)
Maka puri tidak bisa dilepaskan dari kontestasi politik dan kekuasaan. Zaman orde baru, puri dengan trah (keturunan) dan pendukungnya juga memainkan perannya dalam mengelola dan mempertahankan kekuasaan negera yang kuat. Puri juga berperan dalam menguatkan pemerintahan dan negara. Karena puri juga bisa berperan sebagai negara tradisional. Tapi kini—dalam zaman modern—puri telah merubah dirinya menjadi negara modern dengan basis logika tradisional—dengan menggunakan dukungan/massa dari garis kekauasaan puri sebelumnya.
Keberadaan puri-puri di Bali, khususnya di Denpasar, menunjukkan itu semuanya. Puri Pemecutan (Golkar), Puri Satria (PDIP) terkenal menjadi seteru dan ditambah dengan puri-puri kecil lainnya yang ikut saling dukung-mendukung dalam sejarah perebutan kekuasaan di Bali. Kini, permainan dukungan dan adu kekuatan feodalis (tradisional) yang diwariskan oleh puri zaman kolonial, coba kembali dimainkan oleh para generasi terbaru puri, yang ingin menyulap puri menjadi pemainbaru dalam bingkai negara dan kuasa. Itu jelas terjadi dalam perebutan pengaruh dari Pilkadal Juni 2005 di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan daerah lainnya di Bali.
Pilkadal Kota Denpasar, jelas akan mempertarungkan bagaimana solidnya massa dari Puri Pemecutan dan Puri Satria sebagai reuni pertarungan lama dalam memperebutkan pengaruh. Puri Satria akan menjagokan Puspayoga dari PDIP, sedangkan Widiada akan mendapatkan dukungan penuh dari Puri Pemecutan. Keduanya disamping akan memperebutkan massa mengambang, massa dari “penduduk pendatang”, pasti akan menggunakan politik pengaruh puri untuk memperebutkan sebagian dukungan dari masyakat Bali.
Itu terasa sangat jelas ketika pernyataan-pernyataan di media massa lokal—yang menyediakan halaman khusus untuk Pilkadal ini—meneyebutkan puri menjadi basis dukungan yang kongkrit dari para calon walikota. Selain politik trah puri dengan basis massanya, garis keturunan dan persaudaraan menjadi alasan kuat lainnya yang mempengaruhi politik di Bali. Si pemuda nanti jelas mengatakan bahwa kaitan persaudaraan antara satu puri dengan puri lainnya bisa menjadi faktor pengikat dukungan yang lumayan ampuh. Maka dilakukanlah pertemuan-pertemuan khusus dengan dalih sima krama (silaturahmi) untuk menggalang dukungan. Bahkan di setiap-setiap pertemuan, dilakukan acara mesuaka (berjanji) akan mendukung calon tertentu. Persis dengan acara “Kebulatan Tekad” saat rezim orde baru dan Golkar mempraktekkan acara seperti ini.
Maka puri dan politik menjadi rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses perebutan kekuasaan. Puri dan politik saling berelasi dengan satu bahasa yang sama, “kuasa”, dengan imaji romantisme kejayaan puri dan politik negara modern dalam partai-partai politik yang ada. Puri telah menjadi “partai politik” tradisonal yang menjadi gerbong dan payung berbagai kelompok dan golongan untuk menggalang kekuatan dan kekuasaan. Sementara semuanya itu merupakan jejak-jejak konstruksi Bali kolonial yang terus terendap dalam masyarakat Bali. Ingatan kolonial itu adalah puri menjadi areal kontestasi dan gugatan yang kini bukan dimainkan oleh para kolonialis dari negeri barat, tapi dimainkan sendiri oleh para pribumi yang melakukan praktek kolonisasi para sesamanya. Praktek-praktek kolonial telah diadopsi untuk diterapkan dengan pola yang sama.

Politik Janji Manusia Bali
Dalam sebuah pesangkepan (rapat) banjar, saat agenda rapat telah berakhir, sang kelian (ketua desa) mencoba bertanya lagi pada seluruh krama banjar, “Wenten sane malih ngusul?” (Ada yang mengajukan usul lagi?). Suasana sempat hening sejenak, saat semuanya menjadi cair ketika seorang krama mulai memberanikan diri untuk urun rembug. Krama yang lainnya mulai berbisik-bisik. Ternyata, krama yang tunjuk tangan tadi adalah tokoh masyarakat di banjar tersebut, yang kebetulan dijadikan Caleg (Calon anggota Legislatif) sebuah partai besar dengan massa pendukung fanatik di Bali. Dua bulan kedepen akan dilakukan pencoblosan putaran pertama Pemilu 2004 dengan agenda pemilihan anggota legislatif. Sudah bisa ditebak apa yang akan disampaikan krama banjar yang Caleg ini, pasti untuk meminta dukungan krama.
Ternyata benar saja, ia memohon kepada seluruh krama banjar untuk meminta dukungan dan nempahan dewek (mempertaruhkan diri) dalam pemilihan Caleg nanti. “Tiang nunas dukungan dan suara krama sami ke tiang, nomor urut 6 ring pencoblosan,” ujarnya tanpa ragu. (Saya meminta dukungan seluruh warga untuk memilih saya nomor urut 6 saat pencoblosan nanti). Sontak tanpa ragu, setelah meminta dukungan itu, seluruh krama kompak menjawab, “Ngihh” (Iya).
Semuanya ditengahi oleh kelian banjar yang kemudian mengarahkan pesangkepan untuk mendukung putra daerah dari banjar tersebut bersaing dalam pemilihan Caleg nanti. “Pang wenten krama banjar niki dados anggota dewan ring pemerintahan. Punapi krama sami, setuju?,” tanya kelian. (Biar ada warga banjar ini yang menjadi anggota dewan di pemerintahan. Bagaimana warga banjar semuanya, setuju?). Kontak setelah kelian bertanya seperti itu kepada krama, dijawab dengan serempak seluruh warga dalam pesangkepan itu, layaknya paduan suara, “Setujuuuuuuuu”
Itu semua terjadi menjelang Pemilu 2004, putaran pertama untuk memilih anggota legislaitif. Dalam Pilkadal Juni 2005, suara-suara serempak dalam forum-forum desa kembali terjadi di Bali. Para calon bupati dan walikota yang akan bertarung merambah semua golongan masyarakat, dari mulai meminta dukungan Barisan Anshor Serba Guna (Banser) NU (Nahdatul Ulama) hingga mendengar bagaimana krama subak (warga sistem pengairan tradisonal pertanian Bali) mesuaka (berjanji) untuk memilih dirinya. Para calon bupati dan walikota ini rajin datang dalam pertemuan-pertemuan kelompok-kelompok masyarakat yang mendukungnya. Seluruh dukungan dari kerabat-kerabat puri dirambah dengan berbagai cara. Meminta restu dan dukungan, dan hampir sebagian desa-desa pakraman rajin menggelar acara-acara mesuaka di banjarnya untuk mendukung salah satu paket calon. Seluruh krama banjar dikumpulkan dan mengikrarkan diri untuk mendukung paket calon tersebut. Disertai dengan penyerahan bantuan oleh sang calon, sambutan dan ikrar mendukung dari salah satu tokoh masyarakat dan biasanya ditutup dengan kampanye dan janji-janji dari sang calon. Seluruh krama bertepuk tangan, bergembira dan kembali lagi terdengar gemuruh lantunan koor kebersamaan suryak siyu (tepukan seribu/kebersamaan), “Setujuuuu”
Cobalah mengingat, hal yang sama terjadi pada manusia dan masyakarakat Bali tahun 1980-an, 25 tahun yang lalu, saat menjelang Pemilu dibawah pemerintahan Soeharto yang “Jujur dan Adil itu. Hampir seluruh banjar-banjar di Bali semarak dengan umbul-umbul dan spanduk warna kuning, beberapa ada yang merah. Tidak hanya meriah dalam umbul-umbul dan spanduk, tapi juga dengan acara meriah “Gebyar-Gebyar Golkar” dan acara “Kebulatan Tekad” mendukung salah satu partai politik peserta Pemilu. Sangat jarang yang “berbeda” untuk acara gebyar-gebyar ini. Pastilah “Gebyar Golkar dan Kebulatan Tekad” untuk mendukung golongan pohon beringin ini. Yang membuat acara gebyar-gebyar yang mendukung partai lain dianggap “subversif”, “musuh” dan “melawan”.
Setelah pidato-pidato dari aparat pemerintahan dan desa, acara yang ditunggu-tunggu oleh seluruh krama banjar akhirnya tiba. MC memberikan pengumuman, acara berikutnya adalah pidato politik kader Golkar. Bukan pidato politiknya yang terpenting—karena pasti akan berisi ajakan-ajakan untuk mencoblos Golkar dan janji-janji politik mensejahterakan rakyat—, yang ditunggu-tunggu adalah apa sumbangan yang akan diberikan oleh kader tersebut dan partai Golkar untuk pembangunan di banjar tersebut. Biasanya keluarlah uang puluhan juta, pengaspalan jalan, membelikan perlengkapan gamelan Bali atau pembangunan bagi banjar-banjar yang masih rusak, atau beragam bantuan lagi. Masyakat senang karena akan melihat gang mereka yang dulu becek akan teraspal, atau gembira anak-anak mereka tidak kebut-kebutan di jalan, tapi rajin berlatih gamelan Bali di banjar. Seluruh krama gembira melihat penari Hanoman bersama tokoh politik partai Golkar memperagakan bagaimana caranya mencoblos partai berpohon beringin dalam Pemilu nanti.
Zaman berganti, janji-janji partai lama telah usang ditelan semangat reformasi dan perubahan. Tapi bukan berarti “politik perjanjian” ini hangus dan tertelan zaman, tapi lebih subur dan kembali diterapkan dengan partai, simbol dan sudah pasti, janji-janji yang relatif baru—meskipun tidak semuanya baru dan ingin berbeda. Setelah Golkar tumbang, PDIP mengambilalih kekuasaan dengan simbol “partai tertindas” dan “wong ciliknya”. Setelah berkuasa, PDIP akhirnya menerapkan politik janji sama persis yang diterapakn Golkar. Pelantikan-pelantikan pengurus anak ranting di banjar-banjar, penyerahan bantuan dan selalu mendukung PDIP dengan mencoblosnya dalam Pemilu. Janji-janji politik kembali ditawarkan dengan bantuan-bantuan pada masyakarat, sama persis seperti yang dilakukan Golkar dalam mempertahankan kekuasaannya.
Kini, saat PDIP kehilangan kekuasaan karena kembali direbut Golkar, persaingan kembali cair dan entah siapa “partai tertindas” dan saat jargon “Partai Wong Cilik” sudah tercampakkan. Kekuasaan bisa membalut hasrat. Dan ternyata praktek-praktek kuasa diterapkan dengan gaya dan karakter yang sama, tapi dengan pemain dan baju yang berbeda. Politik janji yang dilakukan oleh partai-partai berkuasa adalah cara penaklukan yang termudah bisa dilakukan, dengan memberikan bantuan, menjual dan membeli suara.
Dalam perebutan kekuasaan—Pilkada dan setiap Pemilu digelar—beragam jurus telah dilancarkan untuk menarik simpati dan mencari dukungan massa. Dari mulai mengirimkan 25 truk batu untuk pembangunan desa dan kesanggupan membangun banjar yang rusak.Beragam jurus telah dilancarkan dan tinggal menunggu reaksi dukungan. Perjanjian bukan dalam hitam putih kertas bermaterai, tapi dengan “politik bantuan” yang akan dibalas dengan suara.
Tapi, politik janji ini bisa jadi merupakan “politik memainkan” dari manusia Bali sendiri. Kelompok-kelompok subaltern (terpinggirkan) dan yang mencoba kritis terhadap situasi politik mempermainkan politik janji ini untuk menguras habis kekayaan pejabat dengan mengerok bantuan dan membayarnya dengan suara. Politik pascakolonial menempatkan cara ini sebagai mengejek, menertawakan kekuasaan –partai politik dengan janji-janji dan bantuannya—dengan cara-cara para subaltern ini. Masyarakat Bali yang menjadi “korban janji-janji politik” ini tentu belajar bagaimana pola dan operasi kekuasaan partai politik ini. Dengan pelajaran tersebut, semoga saja manusia Bali bisa rasional dan kritis melihat kontestasi politik dan kekuasaan yang terjadi. Untuk berpikir rasional dan tidak lagi mengulangi kebodohan karena alasan PKI, “pengkhianat bangsa”, sangat mudah membunuh saudara sendiri. Saatnya kini membalikkan logika, memanfaatkan dan menertawai permainan-permainan politik yang menindas rakyat kecil. Semoga manusia Bali cukup cerdas untuk memainkan politik janji. Harga kebodohan “Gebyar-Gebyar Golkar” dan Mesuaka adalah pelajaran yang cukup untuk mengatakan, rakyat (Bali) hanya menjadi korban dari eksploitasi kepentingan dan kekuasaan politik.

“Mengamankan Bali” dan Kiprah Broker Politik
Semua masyarakat masih “takut” melihat arakan-arakan kampanye politik di jalan yang membuat macet. Atau peristiwa ketegangan saat pemasangan bendera partai saat Pemilu 2004 di Bali. Masyarakat berada dalam teror sekaligus juga kegenitan untuk mengetahu berita-berita politik Pilkadal 2005 terbaru. Semangat “mengamankan” Denpasar dan Bali adalah tekad yang sudah bulat diikrarkan penduduk Denpasar khususnya dalam pelaksanaan Pemilu serta perebutan kekuasaan di kota itu. Surat-surat resmi dari kelurahan, kecamatan sampai walikota menghimbau agar masyarakat kota Denpasar sama-sama menjaga keamanan kota Denpasar. Caranya dengan mentaati segala macam peraturan dan tata cara dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkadal 2005 dengan “baik dan benar”.
Tekad mengamankan Bali dari konflik dan kekerasan membawa keberhasilan, meskipun tidak sepenuhnya dalam pelaksanaan kampanye Pemilu 2004. Pawai peserta kampanye dengan dokar dan pakaian adat Bali menunjukkan bahwa Pemilu 2004 ini adalah untuk mengwujudkan Ajeg Bali, seperti tema dalam pelaksanaan Pemilu 2004 lalu di Bali, “Dengan Pelaksanaan Pemilu 2004, Kita Sama-Sama Menjaga Budaya Bali Untuk Tercapainya Ajeg Bali”
Dengan bayangan kesuksesan itu, pergantian kekuasaan daerah di Bali masih dibayangi dengan cita-cita untuk “mengamanakan Bali” itu. Di kota Denpasar himbauan untuk mengamankan pelaksanaan Pilkadal 2005 dalam bentuk baliho-baliho besar sudah terpampang. Begitu juga di daerah-daerah lain yang juga ikut melaksanakan Pilkada nanti. Wacana “mengamankan” ini kini membius seluruh perbincangan tentang mengantisipasi factor-faktor yang menyebabkan tercorengnya pelaksanaan Pilkadal nantinya.
Himbauan ini dipertegas oleh ketua KPU dan Panwaslu Denpasar dalam berita di media massa yang menghimbau untuk mewaspadai pihak-pihak yang berusaha membuat pelaksanaan Pilkadal 2005 di kota Denpasar tidak berlangsung lancer. Dan menghimbau seluruh masyarakat adat di Denpasar untuk mengawal bersama-sama pelaksanaan Pilkadal agar sukses.
Wacana “mengamankan” dan “mewaspadai” mendominasi pikiran masyarakat Denpasar dalam pelaksanaan Pilkadal 2005. Teror politik yang bergelimang berita kekerasan sebelumnya membuat masyarakat Denpasar protektif, waspada untuk melindungi daerahnya dari “pengaruh-pengaruh negative” yang bisa merusak kenyamanan kota Denpasar. Dengan berita kekerasan dalam pelaksanaan kampanye Pemilu 2004 di Kabupaten Buleleng, membuat masyarakat Denpasar belajar untuk mengantisipasi dan mewaspadai para “pembuat onar” tersebut.
Salah satu yang menjadi sasaran kewaspadaan itu adalah para broker-broker politik dan kekerasan yang sebenarnya berada dalam masyarakat tersebut. Relasi para broker ini yang bergulat dalam kehidupan masyarakat yang sama. Ini membuat wacana “mewaspadai” akhirnya bermuara pada saling curiga dan identifikasi diri antar masyarakat. Disinilah wacana “mengamankan” menjadi rancu dan sangat bias, saat ternyata kewaspadaan dan kecurigaan harus diarahkan pada diri masyakarat adat sendiri yang memainkan wacana “mengamankan” ini.
Dalam masyarakat adat juga terbentuk berbagai macam relasi dan kepentingan dalam Pilkadal 2005. Dalam tubuhnya—masyarakat adat telah terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok, saling dukung mendukung yang melibatkan beragam institusi dan kepentingan. Wacana “mengamankan” menjadi relasi yang menguatkan masyarakat adat untuk membelah dirinya dalam “kita” dan “mereka” dalam dukungan di Pilkadal 2005. Wacana “mengamankan” yang didengungkan pemerintah dan disiarkan dalam “pesangkepan” tadi akan diterjemahkan lain dengan berbagai macam bentuk cara-cara mengamankan untuk kepentingan kelompok dan pendukung mereka sendiri.
“Mengamankan Bali” sebagai sebuah wacana mensterilkan Bali dari konflik adalah cara lama dari kolonial yang menempatkan Bali sebagai daerah kebudayaan yang antipolitik. Meskipun peristiwa politik seperti Pemilu 2004 lalu dan kini Pilkada 2005, tetap ditempelkan dengan wacana kebudayaan yang mengurung Bali dalam wilayah “olah budaya” dengan wacana menjaga keamanan dan kebudayaan Bali dari konflik dan kekerasan. Dengan “politik”—dalam asosiasi masyakat Bali akan menyebabkan kekacauan—hanya akan merugikan Bali, pariwisata macet dan investasi menjadi ogah datang ke Bali karena terancam politik, demonstrasi dan ancaman situasi politik yang tidak menentu. Bali selayaknya dipelihara dalam wilayah eksotika budaya dan adatnya yang selalu unik dan menarik wisatawan.
Reproduksi wacana ini terus berlangsung seiring dengan kontradiksi dan ironi bahwa masyarakat Bali adalah arena kontestasi wacana politik akan kebudayaan yang terus terjadi. Bahkan wacana “mengamankan budaya Bali” juga adalah kontestasi politik yang melibatkan berbagai macam relasi, kepentingan yang bertarung dalam Pemilu 2004, Pilkada 2005 dan perebutan kekuasaan-kekuasaan lokal. “Siapa yang mengamankan apa” adalah tanda tanya besar untuk konteks wacana “menjaga Bali” ini. Pertanyaan besar yang juga harus didiskusikan pada pesangkepan banjar akan maksud dan pembongkaran agenda politik dibalik wacana kiprah manusia Bali dalam politik.
Salah satu yang memainkan wacana “mengamankan” Bali ini adalah para petualang politik yang begitu banyak ada di Bali. Para petualang politik ini menggunakan berbagai macam relasi untuk mencari dan membentuk dukungan-dukungan. Operasi mereka bisa terlihat dari orientasi politik dan kepentingan mereka saat ini untuk merebut kekuasaan. Para petualang-petualang ini—biasanya para elite politik, birokrasi, orang kuat lokal—akan berkolaborasi dengan para jagoan, organisasi massa bahkan para pejabat-pejabat negara lainnya untuk “bermain” dalam ukuran kepentingan-kepentingan mereka. Dan sangat lumrah bahwa para elite politik, politisi dan aparat pemerintah mengakomodasi mereka untuk berbagai macam kepentingan.
Petualang politik juga mempunyai agenda penting dalam mewujudkan ambisinya merebut kekuasaan. Partai Golkar dan PDIP misalnya dalam berbagai hal bisa melakukan kolaborasi tapi di berbagai momen akan saling bertarung. Para petualang politik tidak akan terikat dalam salah satu partai ataupun ideology, dan inilah yang membedakan militasi dan karakter politisi sekarang dengan massa lalu. Politisi sekarang adalah reinkarnasi dari para petualang yang akan melihat orientasi-orientasi politik yang menguntungkan mereka, berbeda dengan politisi dengan dasar ideology yang kuat dan terus kukuh mempertahankan ideologinya.
Petualangan politik para elite Bali terlihat jelas dalam momen-momen perebutan kekuasaan seperti Pemilu dan Pilkadal. Ini bisa dilihat dari pernyataan saling dukung-mendukung yang mengejutkan sekaligus juga menggelikan. Budaya politik manusia Bali telah tercipta untuk saling mepapas (berbeda) karena ketidakpuasan atau karena sentimen, dan kekalahan pertarungan politik. Sejarah telah membuktikan bagaimana manusia Bali begitu mudah saling bunuh dan menerapkan politik kewaspadaan, curiga dalam mengamankan “kepentingan” mereka pada lingkungannya sendiri. Sesama saudara saling tebas dalam peristiwa ’65 menunjukkan bahwa mengamankan dan kewaspadaan paling dini harus diterapkan pada lingkungan terdekat. Antisipasi dalam keberbedaan adalah harga mati untuk melihat siapa kawan dan lawan.
Para petualang politik yang berpindah-pindah partai dan dukungan adalah broker dan proovokator politik sebenarnya. Baik untuk bercermin pada peristiwa ’65, sebuah cerita bagaimana seorang PNI yang kemudian banting haluan menjadi anggota PKI yang militan. Setalah lama bergulat dalam partai palu arit ini, si petualang merasa tersisihkan dengan anggota lain dalam hal popularitas dan kekuasaan di tubuh partai. Akhirnya ia memilih untuk pulang kandang dan menjadi pentolan PNI. Saat pembantaian besar-besaran pada “manusia merah” di Bali tahun 1965-1969, si petualang ini bertindak paling sadis untuk menghabisi yang dituduh anggota dan simpatisan PKI sampai ke akar-akarnya, termasuk menghabisi kawannya dulu di partai palu arit ini.
Ciri petualang-petualang ini kembali diturunkan pada pertarungan politik yang melibatkan partai politik dan kelompok-kelompok masyarakat dalam perebutan kekuasaan. Kontestasi politik yang terjadi di Bali melibatkan wacana kebudayaan yang dominan untuk membuat politik sebagai “ritual kebudayaan” yang terjadi sehari-hari di Bali. Dari berbagai kontestasi itu lahir berbagai pertarungan wacana-wacana yang menempatkan politik selalu dikat-kaitkan dengan budaya Bali, “mengamankan” Bali dan menempatkan masyarakat Bali memandang politik dari budaya eksotis dan apolitis. Sementara itu, para petualang politik, para broker, organisasi massa menempatkan kontestasi politik demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Pertarungan dan relasi antara “politik yang berbudaya”, kekuasaan dan kepentingan para petualang dan broker inilah yang menguasai kancah dan panggung politik kini di Bali.

[1] Degung Santikarma ingin memberikan narasi tentang bagaimana politik konstruksi atas Bali, dan sampai kini masih melekat kuat dan kini dipraktekkan oleh orang Bali sendiri dalam melihat dirinya sendiri. Praktek kolonialisme menunjukkan keberhasilannya saat cara pandang masyarakat bisa diubah, bukan dengan penaklukan dan pertumpahan darah, tapi dengan relasi ide gagasan dan kekuasaan akan cara pandang, sebuah cara berpikir.
[2] Bali selalu menjadi trade marke dari program-program promosi pemerintah mempromosikan daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Saat rezim Soeharto dan pembangunanisme dalam kekuatan puncaknya, Bali menjadi andalan dalam program-prgram promosi seperti Visit Indonesia Year1991.
[3] Ungkapan yang sering saya dengar saat manusia Bali sedang bangga-bangganya karena daerahnya banyak didatangi turis-turis asing. Mereka kaya mendadak dan bangga daerahnya terkenal sebagai daaerah tujuan wisata.
[4] Lebih detail tentang narasi ingatan sejarah para saksi dan korban Peristiwa ’65 di Bali, jejak-jejak kuburan massal yang ditinggalkannya lihat Bab IV, Jejak Manusia Merah Bali di buku ini.
[5] Lihat Robert Cribb (ed) The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, hal. 425-436.
[6] Lebih lengkap akan diuraikan dalam Bab IV Jejak-Jejak Manusia Merah Bali dalam buku ini.
[7] Jargon pemerintah bagi Bali yang kemudian diterapkan dengan siasat politik yang mematikan oleh Pemda (Pemerintah Daerah) Bali. Politik “Pariwisata Budaya” juga menjadi perdebatan akademik para intelektual Bali tahun 1980-an yang menjadi think thank negara. Maka tidaklah heran jika institusi pendidikan (universitas) keranjingan untuk membentuk pusat-pusat studi pembangunan pariwisata untuk mendukung program pemerintah ini.
[8] Ungkapan sinisme, ironis dan kritik bagi manusia Bali. Sering dipergunakan untuk menggambarakan bagaimana manusia Bali kelabakan dari miskin mendadak menjadi kaya.
[9] Banyak dampak dari pembangunan pariwisata di Bali. Sekaa-Sekaa, Barong Dance, dan seluruh kehidupan masyarakat Bali yang bercorak “eksotik dan tradisional” menjadi obyek menarik wisatawan. Upacara keagamaan, potong gigi atau ritual-ritual lain menjadi incaran wisatawan yang menikmati budaya Bali.
[10] Suryak siyu adalah salah satu politik penyeragaman yang dilakukan negara melalui institusi terkecil pada masyarakat Bali bernama Desa Adat, kini berubah menjadi Desa Pakaraman. Dalam pesangkepan (rapat) desa saat orde baru, suryak siyu sering terjadi untuk persetujuan rapat. Tapi sebenarnya juga ada gugatan dalam masyarakat terhadap politik suryak siyu ini. Gugatan itu datang dari kontestasi kepentingan individu pada masyarakatnya.
[11] Jargon Bali yang BALI sangat terkenal menjadi promosi pariwisata Bali. Baliho di jalan-jalan utama di Kota Denpasar awal tahun 1980-an menunjukkan bagaimana derasnya industri pariwisata masuk ke Bali.
[12] Kongres II PDIP berlangsung pada 28 Maret-3 April 2004 di Sanur Bali. Pertarungan sengit massa Pro-Megawati dan Pembaharuan akhirnaya berujung pada bentrok massa dalam tubuh PDIP. Pada senin, 28 Maret 2004, massa Megawati dan pembaharuan nyaris bentrok dalam pengerahan massa besar-besaran di jalan utama menuju tempat kongres di sebuah hotel di Sanur. Sesama massa PDIP ini bahkan saling gebuk, saat massa Megawi berhasil mengeroyok seorang pendukung pembaharuan (Guruh Soekarnoputra) hingga babak belur. Di massa pro pembahruan, satuan tugas (Satgas)nya berseragam layaknya tentara mengawal ratusan massa yang berteriak mendukung perubahan di tubuh partai wong cilik ini. Seruan mereka, menolak status quo, menolak formatur tunggal dan regenarasi di tubuh partai.
[13] Di Bali, Partai Golkar menjadi ancaman serius bagai gerak langkah PDIP merebut dukungan massa. Dalam Pemilu 2004, Partai Golkar selalu membayangi ketat perolehan suara PDIP.
[14] Pemilu 2004 masih menjadi milik PDIP dan Megawati di Bali. Sebagian besar dalam Pemilu legislative, caleg-caleg dari PDIP melenggang mulus ke gedung wakil rakyat. Sementara dalam pemilihan presiden, meskipun orientasi politik manusia Bali sedikit banyak mengarah pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati masih menang tipis di Bali.
[15] Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) di Denpasar Juni 2005 nanti dengan jelas menunjukkan bagaimana salah satunya pertarungan puri dalam perebutan kekuasaan. Puri yang bertarung mempunyai catatan sejarah dalam perebutan kekuasaan di Denpasar yaitu Puri Pemecutan (Golkar) dan Puri Satria (PDIP). Calon yang bertarung nanti dari kedua partai politik salah satunya memainkan kekuatan dan sentimen dukungan dari kedua puri ini.

Tidak ada komentar: