Sabtu, 18 Januari 2003 |
|
|
|
Membunuh Bayangan Diri APA yang menyebabkan orang SEBAGAI pengamat Empat tahun silam, studi tentang mentalitas kekerasan itu diterbitkan dalam esai terbarunya, A New Criminal Type in Padahal, angan-angan itu tidak pernah menjadi kenyataan, contohnya rumor tentang balas dendam anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi latar peristiwa pembantaian mulai dari tahun 1965-1969. Rumor itu dipakai sebagai pembenaran oleh alat negara dan kelompok sosial yang berkepentingan langsung atau tidak langsung membantai secara massal anggota atau simpatisan atau keluarga yang dituding sebagai bagian dari PKI. Lebih aneh lagi, PKI menjadi label bagi setiap kekuatan yang dibayangkan akan menentang pemerintah. Anak-anak anggota PKI otomatis menjadi anak jadah yang disingkirkan dari jabatan atau posisi di pemerintahan. Kemudian pembantaian massal para "kriminal" dengan judul disosialisasikan oleh media Dalam dua pembantaian massal itu dan sejumlah pembantaian di Aceh, Papua, dan Timor Timur, negara mengubah diri dengan bertindak kriminal agar memperoleh kekuatan pembawa maut yang ditakuti. Acapkali tubuh korban dipenuhi bacokan dan peluru, sejenis pernyataan bahwa "kriminal", oposan politik tidak cukup mati satu kali. Akibatnya, muncul suatu pemahaman baru tentang kematian yang lebih dekat pengertiannya dalam konteks nasional ketimbang lokal atau kekeluargaan. Siegel menyebut fenomena ini sebagai nasionalisasi kematian. Ini menjadi arus alam bawah sadar yang menerima dan membenarkan berbagai macam pembunuhan. Lantas, bagaimana transformasi yang bersifat pribadi ini menjadi suatu fenomena sosiologis? Ini adalah soal pelik yang mesti dijawab. Untuk itu Siegel menggunakan metodologi "membaca" wacana yang dipelopori oleh Roland Barthes. Metodologi semacam memang meyakinkan dalam pembahasan struktur narasi teks susastra, film dan bentuk-bentuk kesenian. Asumsi dasarnya adalah dalam setiap teks tersembunyi struktur mentalitas manusia, seperti halnya kalimat yang memiliki susunan sintaksis dan gramatik. Tujuan utamanya adalah mencari makna dan proses pemaknaan suatu kata, wacana dan yang tersembunyi dalam setiap teks. Jadi, Siegel berupaya membaca pikiran orang Obyek yang diteliti Siegel bertitik berat pada peran media cetak sebagai pengantara narasi tersebut. Analisanya beranjak dari cara pemahaman diri dua orang presiden Soekarno terdorong untuk menjawab isu yang beredar di kalangan orang Belanda dan di Soeharto pun dijangkiti ketakutan serupa. Saat suatu majalah menyebut dirinya sebagai anak haram dari seorang bangsawan Yogya, dia merasa perlu secara khusus menjelaskan bahwa dia keturunan Bapak Kertosudiro, seorang ulu-ulu desa yang tidak memiliki sepetak sawah pun. Padahal tidak ada gosip yang beredar tentang dirinya, seperti yang dialami Soekarno. Jadi, Soeharto memakai plot yang serupa untuk menepis bentuk gosip yang dibayangkan akan terjadi tentang dirinya. Pesan yang ingin disampaikan melalui otobiografi tersebut ialah mereka anak sah bangsa Kendati berbeda cara tuturnya, kedua presiden ini mengaitkan keberadaan jati diri mereka dengan nasionalisme. Pada masa era Soeharto, gosip itu diangankan akan mempengaruhi stabilitas bangsa dan negara, terutama "jika digunakan oleh gerilyawan politik". Akibatnya, kriminal menjadi identik dengan arus yang menentang kebijakannya. Haram jadah dan rakyat Soal hubungan haram dan anak jadah, menurut Siegel, dalam khazanah berpikir orang Untuk kaum nasionalis, cara yang diatur adat dipandang sebagai hal tidak sah karena tidak lagi bersesuaian dengan undang-undang baru. Karena itu, adat musti ditinggalkan. Hal ini pula yang menimbulkan kekhawatiran bagi Soekarno dan Soeharto tentang bagaimana rakyat dan orang tua mereka berpikir tentang asal- usul. Interpretasi Siegel terhadap otobiografi Soekarno dan Soeharto menemukan jejak pemikiran tentang rakyat. Bagi mereka, rakyat adalah abstraksi dari kumpulan orang yang menjadi pengikut pemimpin. Rakyat tidak pernah hadir sebagai subyek hukum yang mandiri, tetapi ia ada karena pemimpin atau elite menamai kumpulan orang Dengan demikian, ungkapan diri Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat ataupun cara kepemimpinan Soeharto yang begitu saja menyisihkan retorika "rakyat", lalu menggantikannya dengan istilah kriminal, adalah dua wujud hubungan paternalistik. Pada satu pihak, Soekarno mengidentifikasi diri dan mengatasnamakan rakyat dalam pidato-pidato yang tujuannya adalah mengesahkan hal-hal tertentu dan mengharamkan hal-hal lain yang pernah dilakukan pada masa revolusi. Inilah satu ironi yang ditampilkan Siegel saat dia bandingkan biografi Soekarno dengan Kusni Kasdut. Keduanya adalah aktor dalam revolusi, tetapi berbeda posisi setelah revolusi selesai. Pada sisi lain, Soeharto sama sekali berpaling dari idealisasi "rakyat", dan ia tampil sebagai bapak Kedua bentuk identifikasi rakyat itu pada dasarnya adalah identifikasi palsu. Pada masa Soekarno, hubungan antara pemimpin dan rakyat dijalin secara imajiner dengan memasukkan istilah rakyat ke dalam retorika identitas nasional. Individu mendapatkan arena untuk mengekspresi diri di luar batasan keluarga, yaitu perasaan sebagai sebuah bangsa. Pada era Soeharto, hubungan imajiner itu lumpuh, sementara hubungan kekeluargaan tidak lagi menjamin kepuasan individu untuk ekspresi diri, dan upaya penegakan hukum lebih bersifat penghukuman ketimbang menciptakan suatu konstruksi sosial yang inklusif. Akibatnya, tindak kekerasan terhadap anggota keluarga, tetangga, nasabah, dan penguasa muncul sebagai bentuk frustrasi terhadap hubungan kekeluargaan yang tidak mampu menyediakan arena yang lebih luas untuk ekspresi diri. Tindakan itu adalah transformasi dari perasaan anak haram dalam arti nasional. Pelaku tindak kekerasan merasa tidak mendapat tempat dalam lingkup nasional. Dalam kerangka berpikir semacam ini, "kriminal" atau "kriminalitas" lebih merupakan label yang dipakai media Media Selain biografi yang disebutkan di atas, media Pemberangusan pers Orde Lama setelah tahun 1965, menciptakan kebimbangan sosial soal peran dan kedudukan imajiner rakyat dalam retorika politik. Suatu anomali sosial terjadi. Kendati sedikit perbedaan dalam latar belakang pemilikan, pers pada masa Orde Baru dalam berbagai bentuk pemberitaanya berperan untuk pembenaran ideologi pembangunan. Imbauan ke arah konsumerisme menjadi prioritas dengan bom minyak pada tahun 1970-an dan kampanye tentang Kendati begitu, norma baru yang sejalan dengan ideologi pembangunan berjalan timpang dan menciptakan kekosongan batin bagi kebanyakan orang Media Bentuk kriminal lain adalah kanak-kanak pembunuh. Dorongan membunuh kawan sepermainan demi subang emas atau remaja membunuh kanak-kanak demi kalung emas menunjukkan bahwa kanak-kanak dan remaja meniru perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Ketertarikan pada emas adalah suatu hal yang alamiah, namun membunuh demi emas adalah mengerikan, apalagi jika dilakukan oleh kanak-kanak. Media Dalam masa Orde Baru, keluarga dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi tempat pemupukan tingkah laku yang baik, namun bukan sumber hukum seperti dalam keluarga tradisional. Sementara negara hanya bertugas sebagai penghukum dan memastikan kelayakan fungsi keluarga dan bangsa. Sekolah tidak berhasil mengarahkan anak didiknya ke dalam ruang sosial dan nasional. Jadi, ada suatu kekuatan di dalam keluarga asli ataupun fiktif yang tiap saat bisa meletup yang akan membawa berita keluar lingkup rumah tangga dan kemudian polisi datang untuk menengahi. Akan tetapi, dalam banyak kasus, polisi, kejaksaan, dan hakim, sebagai pilar negara hukum, gagal menjadi perekat bangsa. Sering kali timbul kekhawatiran dari tertuduh bahwa pengadilan akan menghukum berdasarkan gosip yang beredar di kalangan tetangga atau masyarakat (yang disebarkan lewat media Gosip yang menghantui itu timbul dari invensi narasi kriminal dan kriminalitas yang dilakukan media Kriminalitas menjadi suatu kekuatan yang hadir di mana-mana. Pada satu sisi ditakuti, di sisi lain ia adalah kisah yang diminati. Jika garis edar narasi dalam Pos Kota atau Tempo diperhatikan lebih jauh lagi, maka terbentuk satu lingkaran, satu tindak kriminal-kehadiran polisi-generalisasi tindakan kriminal. Penutup dari cerita akan mengarahkan kembali kepada apa yang ingin dicapai negara dengan kriminalitas itu sendiri, yaitu suatu tindakan untuk membasmi. Negara Orde Baru, dengan bantuan Pos Kota dan media lainnya, mengambil alih kekuatan yang merusak yang tidak pernah diharapkan itu sebagai suatu alat untuk menekan potensi perlawanan yang terorganisir. Media Bagi pembaca, efek yang ditangkap adalah sebuah gambaran tentang apa yang bisa terjadi terhadap mereka, dan hal itu akan membenarkan tindakan negara untuk melakukan berbagai tindakan di luar hukum untuk membunuh para gali, kriminal, dan rampok dalam operasi Petrus. Seperti halnya negara Hindia-Belanda yang membuat istilah jago sebagai suatu hiburan dan kriminalisasi perlawanan, Soeharto menamakan Petrus sebagai shock therapy untuk membasmi kejahatan yang dibayangkannya. Sebaliknya, jika setiap kali terjadi penyimpangan yang dilakukan kalangan atas atau aparat pemerintah, maka istilah oknum yang digunakan. Alur cerita semacam ini mencipatakan dikotomi bahwa pemerintah selalu benar dan rakyat adalah sumber kebodohan dan kriminalitas yang harus dibasmi. Siegel berhasil menggali suatu wacana tersembunyi di balik tindak kekerasan di Apa yang tidak langsung dikatakan Siegel adalah orang Arif Rusli Mahasiswa S2 Program Human Rights, |
Kamis, 01 Mei 2008
Kriminalitas dan Bayangan Ketakutan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar