Who am I

Who am I

Kamis, 01 Mei 2008

Kriminalitas dan Bayangan Ketakutan

Sabtu, 18 Januari 2003

Membunuh Bayangan Diri

APA yang menyebabkan orang Indonesia membantai sesamanya? Pertanyaan dasar ini telah menggerakkan James T Siegel, professor senior di jurusan Antropologi dan Studi Asia di Universitas Cornell, Amerika Serikat, untuk melakukan telaah khusus soal narasi tentang kriminal dan kriminalitas yang digunakan sebagai pembenaran pembantaian massal di Indonesia.

SEBAGAI pengamat Indonesia, Siegel mendalami secara intim sejarah sosial, politik dan budaya Indonesia yang penuh kisah pembunuhan dan kekerasan. Anehnya, menurut Siegel, orang Indonesia hampir selalu menjadi pelaku dan korban sekaligus. Jarang terdapat kasus orang asing sebagai korban. Barangkali, situasi mental semacam ini mirip dengan penderita sakit jiwa yang berupaya mengebas khayal yang menghantui pikirannya dengan menyakiti diri sendiri.

Empat tahun silam, studi tentang mentalitas kekerasan itu diterbitkan dalam esai terbarunya, A New Criminal Type in Jakarta: Counter Revolutionary Today. Dalam karya ini, Siegel mengajukan suatu tesis yang menarik untuk menjawab pertanyaan di atas. Tesisnya adalah negara Indonesia, khususnya masa Orde Baru, sengaja menampilkan diri sebagai sebuah kekuatan maut yang setiap saat siap membunuh/menghilangkan segala bentuk ancaman yang diangankan akan terjadi. Kekuatan mengancam itu diperoleh melalui kontrol imajinasi.

Padahal, angan-angan itu tidak pernah menjadi kenyataan, contohnya rumor tentang balas dendam anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi latar peristiwa pembantaian mulai dari tahun 1965-1969. Rumor itu dipakai sebagai pembenaran oleh alat negara dan kelompok sosial yang berkepentingan langsung atau tidak langsung membantai secara massal anggota atau simpatisan atau keluarga yang dituding sebagai bagian dari PKI. Lebih aneh lagi, PKI menjadi label bagi setiap kekuatan yang dibayangkan akan menentang pemerintah. Anak-anak anggota PKI otomatis menjadi anak jadah yang disingkirkan dari jabatan atau posisi di pemerintahan.

Kemudian pembantaian massal para "kriminal" dengan judul disosialisasikan oleh media massa: "Petrus" (Penembak Misterius). Semuanya dilakukan tanpa bukti atas tindak "kriminal" yang dituduhkan atas mereka. Dan, hampir tidak ada upaya dari masyarakat Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang dituding guna memberikan kesaksian apalagi pembelaan diri.

Dalam dua pembantaian massal itu dan sejumlah pembantaian di Aceh, Papua, dan Timor Timur, negara mengubah diri dengan bertindak kriminal agar memperoleh kekuatan pembawa maut yang ditakuti. Acapkali tubuh korban dipenuhi bacokan dan peluru, sejenis pernyataan bahwa "kriminal", oposan politik tidak cukup mati satu kali. Akibatnya, muncul suatu pemahaman baru tentang kematian yang lebih dekat pengertiannya dalam konteks nasional ketimbang lokal atau kekeluargaan. Siegel menyebut fenomena ini sebagai nasionalisasi kematian. Ini menjadi arus alam bawah sadar yang menerima dan membenarkan berbagai macam pembunuhan.

Lantas, bagaimana transformasi yang bersifat pribadi ini menjadi suatu fenomena sosiologis? Ini adalah soal pelik yang mesti dijawab. Untuk itu Siegel menggunakan metodologi "membaca" wacana yang dipelopori oleh Roland Barthes. Metodologi semacam memang meyakinkan dalam pembahasan struktur narasi teks susastra, film dan bentuk-bentuk kesenian. Asumsi dasarnya adalah dalam setiap teks tersembunyi struktur mentalitas manusia, seperti halnya kalimat yang memiliki susunan sintaksis dan gramatik. Tujuan utamanya adalah mencari makna dan proses pemaknaan suatu kata, wacana dan yang tersembunyi dalam setiap teks. Jadi, Siegel berupaya membaca pikiran orang Indonesia melalui yang terkatakan atau yang tersembunyi.

Obyek yang diteliti Siegel bertitik berat pada peran media cetak sebagai pengantara narasi tersebut. Analisanya beranjak dari cara pemahaman diri dua orang presiden Indonesia, Soekarno dan Soeharto. Dalam dua otobiografi mereka, Soekarno, Autobiography: As Told to Cindy Adams dan Soeharto, Otobiografi: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, terungkap suatu bentuk ketakutan tentang desas-desus sekitar asal-usul dan keabsahan jati diri mereka. Perlu diingat bahwa kedua otobiografi itu dipaparkan dan ditulis oleh pihak kedua. Jadi, ini semacam proses pengungkapan diri kepada publik melalui mediator (jurnalis atau penulis biografi).

Soekarno terdorong untuk menjawab isu yang beredar di kalangan orang Belanda dan di Jakarta sekitar tahun 1950-an. Ia disebut-sebut sebagai anak haram seorang pemilik kebun Belanda dengan petani perkebunan. Memang tak bisa di- mungkiri cerita semacam ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa Belanda hanya bisa dikalahkan oleh kaum mereka sendiri. Bagi orang Belanda, Soekarno adalah anak haram dari salah seorang bangsa mereka. Ini suatu bentuk rasisme yang aneh yang menolak orang lain dengan memasukkannya ke dalam kelompok mereka. Bagi orang Indonesia, hal ini bisa berarti lain karena Soekarno dikenal sebagai bapak dari suatu bangsa. Jadi, skandal tentang asal-usulnya bisa mempengaruhi keabsahan sebuah bangsa. Suatu bentuk personifikasi bangsa ke dalam jati diri pemimpinnya.

Soeharto pun dijangkiti ketakutan serupa. Saat suatu majalah menyebut dirinya sebagai anak haram dari seorang bangsawan Yogya, dia merasa perlu secara khusus menjelaskan bahwa dia keturunan Bapak Kertosudiro, seorang ulu-ulu desa yang tidak memiliki sepetak sawah pun. Padahal tidak ada gosip yang beredar tentang dirinya, seperti yang dialami Soekarno. Jadi, Soeharto memakai plot yang serupa untuk menepis bentuk gosip yang dibayangkan akan terjadi tentang dirinya. Pesan yang ingin disampaikan melalui otobiografi tersebut ialah mereka anak sah bangsa Indonesia dan berasal dari kalangan orang biasa.

Kendati berbeda cara tuturnya, kedua presiden ini mengaitkan keberadaan jati diri mereka dengan nasionalisme. Pada masa era Soeharto, gosip itu diangankan akan mempengaruhi stabilitas bangsa dan negara, terutama "jika digunakan oleh gerilyawan politik". Akibatnya, kriminal menjadi identik dengan arus yang menentang kebijakannya.

Haram jadah dan rakyat

Soal hubungan haram dan anak jadah, menurut Siegel, dalam khazanah berpikir orang Indonesia termasuk ke dalam klasifikasi adat istiadat ketimbang hukum. Artinya, hal itu lebih dekat pengertiannya kepada norma untuk mengatur perilaku yang baik ketimbang faktor imperatif sebuah hukum. Efek langsung dari adat adalah pengucilan secara komunal/sosial. Pengertian seperti ini disampaikan secara implisit oleh Soekarno yang membela pilihan ibunya untuk menikahi seseorang di luar lingkup adat Bali. Bagi Soekarno, tindakan itu semacam keharusan modern, bukan sebagai bentuk pencerahan cara-cara tradisional.

Untuk kaum nasionalis, cara yang diatur adat dipandang sebagai hal tidak sah karena tidak lagi bersesuaian dengan undang-undang baru. Karena itu, adat musti ditinggalkan. Hal ini pula yang menimbulkan kekhawatiran bagi Soekarno dan Soeharto tentang bagaimana rakyat dan orang tua mereka berpikir tentang asal- usul.

Interpretasi Siegel terhadap otobiografi Soekarno dan Soeharto menemukan jejak pemikiran tentang rakyat. Bagi mereka, rakyat adalah abstraksi dari kumpulan orang yang menjadi pengikut pemimpin. Rakyat tidak pernah hadir sebagai subyek hukum yang mandiri, tetapi ia ada karena pemimpin atau elite menamai kumpulan orang Indonesia dengan beragam profesi dan status dalam satu kategori: rakyat.

Dengan demikian, ungkapan diri Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat ataupun cara kepemimpinan Soeharto yang begitu saja menyisihkan retorika "rakyat", lalu menggantikannya dengan istilah kriminal, adalah dua wujud hubungan paternalistik. Pada satu pihak, Soekarno mengidentifikasi diri dan mengatasnamakan rakyat dalam pidato-pidato yang tujuannya adalah mengesahkan hal-hal tertentu dan mengharamkan hal-hal lain yang pernah dilakukan pada masa revolusi. Inilah satu ironi yang ditampilkan Siegel saat dia bandingkan biografi Soekarno dengan Kusni Kasdut. Keduanya adalah aktor dalam revolusi, tetapi berbeda posisi setelah revolusi selesai. Pada sisi lain, Soeharto sama sekali berpaling dari idealisasi "rakyat", dan ia tampil sebagai bapak Indonesia. Konsekuensinya muncul perilaku palsu sebagai bentuk identifikasi diri yang tak tersalurkan. Kendati istilah rakyat tetap menjadi rujukan, namun ia tidak menjadi obyek yang ideal dalam retorika politik. Akan tetapi, hanya kumpulan orang bodoh yang mesti dididik agar bisa ikut dalam pembangunan dan pemberantasan kemiskinan.

Kedua bentuk identifikasi rakyat itu pada dasarnya adalah identifikasi palsu. Pada masa Soekarno, hubungan antara pemimpin dan rakyat dijalin secara imajiner dengan memasukkan istilah rakyat ke dalam retorika identitas nasional. Individu mendapatkan arena untuk mengekspresi diri di luar batasan keluarga, yaitu perasaan sebagai sebuah bangsa. Pada era Soeharto, hubungan imajiner itu lumpuh, sementara hubungan kekeluargaan tidak lagi menjamin kepuasan individu untuk ekspresi diri, dan upaya penegakan hukum lebih bersifat penghukuman ketimbang menciptakan suatu konstruksi sosial yang inklusif.

Akibatnya, tindak kekerasan terhadap anggota keluarga, tetangga, nasabah, dan penguasa muncul sebagai bentuk frustrasi terhadap hubungan kekeluargaan yang tidak mampu menyediakan arena yang lebih luas untuk ekspresi diri. Tindakan itu adalah transformasi dari perasaan anak haram dalam arti nasional. Pelaku tindak kekerasan merasa tidak mendapat tempat dalam lingkup nasional. Dalam kerangka berpikir semacam ini, "kriminal" atau "kriminalitas" lebih merupakan label yang dipakai media massa untuk mengharamkan tindakan semacam itu dan bertujuan membentuk norma sosial baru. Seperti halnya kaum nasionalis pada 1920-an, transformasi ini tidak dipandang sebagai upaya memahami akar persoalan dan mencari jalan keluar yang rasional, tetapi lebih kepada sesuatu keharusan. Tentu saja menimbulkan perasaan anomali, seperti yang dialami Kusni Kasdut sebelumnya.

Media massa dan invensi kriminal

Selain biografi yang disebutkan di atas, media massa menjadi sarana yang dipergunakan untuk membentuk dan melanggengkan konsep kriminal. Barangkali hanya di Indonesia, di mana majalah berita sejenis Tempo dan lain-lain, serta koran seperti Pos Kota, yang punya rubrik khusus "kriminalitas". Kriminalitas mencakup suatu definisi luas tentang tindak kejahatan, mulai dari pembunuhan sampai pemalsuan identitas dan penggelapan dana nasabah. Peran media massa, kata Siegel, sangat penting untuk menyalurkan batasan yang diciptakan pemerintah soal norma dan moral sosial.

Pemberangusan pers Orde Lama setelah tahun 1965, menciptakan kebimbangan sosial soal peran dan kedudukan imajiner rakyat dalam retorika politik. Suatu anomali sosial terjadi. Kendati sedikit perbedaan dalam latar belakang pemilikan, pers pada masa Orde Baru dalam berbagai bentuk pemberitaanya berperan untuk pembenaran ideologi pembangunan. Imbauan ke arah konsumerisme menjadi prioritas dengan bom minyak pada tahun 1970-an dan kampanye tentang gaya hidup baru.

Kendati begitu, norma baru yang sejalan dengan ideologi pembangunan berjalan timpang dan menciptakan kekosongan batin bagi kebanyakan orang Indonesia. Rakyat digambarkan sebagai orang bodoh yang perlu "dididik" agar dapat masuk ke dalam arus pembangunan. Sementara ruang ekspresi, seperti lapangan kerja, pendidikan, dan lain-lain, tidak terbuka luas sehingga banyak orang gagal menjadi bagian. Mereka yang gagal menjadi kelompok yang tidak diinginkan sehingga diperlukan kategori baru, kriminal. Ekspresi identitas masyarakat yang dipinggirkan ini tampak dalam berbagai bentuk kriminalitas baru yang jarang ditemukan pada era Soekarno, seperti membunuh anggota keluarga, kanak-kanak pembunuh, dan pemalsuan sertifikat. Media massa sering menggambarkan kemiskinan, yang juga berarti bodoh dan tak dihargai, sebagai dorongan untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.

Media massa, Tempo misalnya, menyebut sejumlah tindak kriminal sebagai tindakan sadis, yang artinya melakukan sesuatu perbuatan melanggar hukum dengan tingkah laku di luar pemahaman dan keharusan umum. Menurut Siegel, tulisan semacam itu melahirkan bentuk kriminalitas baru sebagai tindakan yang tidak masuk akal. Artinya, media massa Indonesia memberi kesan bahwa ada tindak kriminal yang masuk akal, seperti membunuh istri demi seorang kekasih yang lebih muda dan cantik. Namun, bila yang terjadi sebaliknya, ini dipandang tidak normal.

Bentuk kriminal lain adalah kanak-kanak pembunuh. Dorongan membunuh kawan sepermainan demi subang emas atau remaja membunuh kanak-kanak demi kalung emas menunjukkan bahwa kanak-kanak dan remaja meniru perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Ketertarikan pada emas adalah suatu hal yang alamiah, namun membunuh demi emas adalah mengerikan, apalagi jika dilakukan oleh kanak-kanak. Media massa menekankan pesan moral bahwa bentuk kejahatan kanak-kanak dan remaja semacam ini sebagai hal yang amat menakutkan. Acapkali media menggunakan analisa psikologi positivistik dengan mengaitkan perbuatan itu dengan keluarga yang gagal. Orang tua gagal mendidik anak mereka untuk masuk ke dalam lingkup sosial atau nasional. Namun, media tidak berhasil menggali motivasi di balik pembunuhan tersebut.

Dalam masa Orde Baru, keluarga dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi tempat pemupukan tingkah laku yang baik, namun bukan sumber hukum seperti dalam keluarga tradisional. Sementara negara hanya bertugas sebagai penghukum dan memastikan kelayakan fungsi keluarga dan bangsa. Sekolah tidak berhasil mengarahkan anak didiknya ke dalam ruang sosial dan nasional. Jadi, ada suatu kekuatan di dalam keluarga asli ataupun fiktif yang tiap saat bisa meletup yang akan membawa berita keluar lingkup rumah tangga dan kemudian polisi datang untuk menengahi. Akan tetapi, dalam banyak kasus, polisi, kejaksaan, dan hakim, sebagai pilar negara hukum, gagal menjadi perekat bangsa. Sering kali timbul kekhawatiran dari tertuduh bahwa pengadilan akan menghukum berdasarkan gosip yang beredar di kalangan tetangga atau masyarakat (yang disebarkan lewat media massa) yang dianggap membentuk citra buruk si tertuduh.

Gosip yang menghantui itu timbul dari invensi narasi kriminal dan kriminalitas yang dilakukan media massa. Berbeda dengan keberadaan hantu yang hanya mengganggu daerah tertentu, narasi tentang tindakan kriminal bisa didaur ulang untuk kasus lain dan disebarkan ke banyak daerah. Proses ini menjadikan tindak kriminal yang sadis sebagai bentuk tontonan, yang juga berarti terbentuk suatu nasionalisasi tentang kriminal dalam bentuk gosip, rumor, dan cerita seram.

Kriminalitas menjadi suatu kekuatan yang hadir di mana-mana. Pada satu sisi ditakuti, di sisi lain ia adalah kisah yang diminati. Para kriminal seolah-olah membuat diri mereka hadir dan dirasakan oleh orang lain dengan perbuatan yang sadis. Ia representasi kekuatan pelanggar hukum yang membuat hukum itu dihadirkan. Lewat media massa, kisah pembunuhan, pemalsuan, dan tindakan haram lainnya diubah menjadi suatu permasalahan umum, bukan hanya soal korban dan keluarganya. Dengan demikian, tindak kriminal mengalami transformasi dari soal perseorangan menjadi soal publik sehingga dibutuhkan kehadiran negara untuk menengahi. Siegel mengambil kesimpulan bahwa negara Orde Baru berakar dalam hubungannya dengan para kriminal dan kisah kriminalitas.

Jika garis edar narasi dalam Pos Kota atau Tempo diperhatikan lebih jauh lagi, maka terbentuk satu lingkaran, satu tindak kriminal-kehadiran polisi-generalisasi tindakan kriminal. Penutup dari cerita akan mengarahkan kembali kepada apa yang ingin dicapai negara dengan kriminalitas itu sendiri, yaitu suatu tindakan untuk membasmi. Negara Orde Baru, dengan bantuan Pos Kota dan media lainnya, mengambil alih kekuatan yang merusak yang tidak pernah diharapkan itu sebagai suatu alat untuk menekan potensi perlawanan yang terorganisir. Media massa menciptakan efek kejutan atau trauma dari suatu tindak kejahatan dengan deskripsi yang menggambarkan terjadinya suatu tindak yang tidak masuk akal, sadistik atau kejam.

Bagi pembaca, efek yang ditangkap adalah sebuah gambaran tentang apa yang bisa terjadi terhadap mereka, dan hal itu akan membenarkan tindakan negara untuk melakukan berbagai tindakan di luar hukum untuk membunuh para gali, kriminal, dan rampok dalam operasi Petrus. Seperti halnya negara Hindia-Belanda yang membuat istilah jago sebagai suatu hiburan dan kriminalisasi perlawanan, Soeharto menamakan Petrus sebagai shock therapy untuk membasmi kejahatan yang dibayangkannya.

Sebaliknya, jika setiap kali terjadi penyimpangan yang dilakukan kalangan atas atau aparat pemerintah, maka istilah oknum yang digunakan. Alur cerita semacam ini mencipatakan dikotomi bahwa pemerintah selalu benar dan rakyat adalah sumber kebodohan dan kriminalitas yang harus dibasmi.

Siegel berhasil menggali suatu wacana tersembunyi di balik tindak kekerasan di Jakarta dan Indonesia pada umumnya. Ia dengan tajam menilai media massa menjadi tangan kelas penguasa untuk mengontrol kekuatan yang dibayangkan akan mengancam stabilitas. Narasi tentang kriminal di media massa akhirnya meneguhkan kekuatan negara-polisi-sebagai kekuatan yang ditakuti dan mutlak untuk diikuti.

Apa yang tidak langsung dikatakan Siegel adalah orang Indonesia belum berhasil membangun wacana tentang negara yang menjadi pelindung, bukan pengendali masyarakat seperti yang sampai saat ini berlangsung. Model negara Orde Baru hanya melindungi kepentingan elite penguasa dan melakukan kriminalisasi terhadap rakyat yang tidak menjadi bagian dari moral negara. Oposisi terhadap pemerintah dan terhadap apa yang sudah disepakati sebagai dasar negara adalah haram atau kriminal. Pesan ini masih menghantui kebanyakan orang Indonesia untuk mencari jalan keluar dari situasi krisis dan pekerjaan tambal sulam yang akan melahirkan pertikaian baru.

Arif Rusli Mahasiswa S2 Program Human Rights, Mahidol University, Bangkok.

Tidak ada komentar: