Who am I

Who am I

Kamis, 01 Mei 2008

Tak Boleh Ada Darah Lagi Di Buleleng...?

Kompas Kamis, 30 Oktober 2003

Tidak Boleh Ada Lagi Darah Tertumpah di Buleleng…

"BAGAIMANA desa kami?" tanya Putu Satria (38) dengan nada cemas. Keletihan jelas terbayang di wajah Putu. Meskipun bibirnya tersungging senyuman, bekas hitam tampak di pelupuk matanya. "Sudah dua hari anak kami tidak sekolah dan kami belum tahu sampai kapan," ujarnya.

Tidak hanya Putu, pertanyaan senada juga diucapkan beberapa orang lainnya saat mereka berkumpul di Ruang Data Markas Kepolisian Resor (Polres) Buleleng, Selasa (28/10) siang. Ruangan, yang juga digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan gamelan, selama tiga hari disulap menjadi "rumah" bagi 16 keluarga warga Desa Petandakan, Kecamatan Buleleng, Singaraja, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka setelah tragedi Minggu berdarah.

Selain orangtua, anak-anak yang masih bersekolah pun terpaksa turut "mengungsi" ke Kepolisian Resor (Polres) Buleleng. Mereka mengaku ketakutan dan khawatir apabila kejadian Minggu yang menewaskan dua kerabat mereka, Putu Negara dan Ketut Agustana, masih berlanjut.

Kematian Putu Negara dan adik kandungnya, Ketut Agustana, diduga terkait masalah politik yang melibatkan dua partai politik berbeda. Putu merupakan salah satu pengurus Partai Golkar di tingkat desa.

"Masih gawat," ujar Gede Kompyang Subawa (11) dengan lugasnya. Siswa kelas enam Sekolah Dasar (SD) 2 Petandakan ini mengaku rindu bertemu teman-teman sekolahnya. "Tapi, baju dan buku masih tertinggal di rumah," kata Gede. Sesaat kemudian, bocah ini larut dalam keceriaan, bermain bersama bocah lainnya yang sama-sama menginap di ruangan tersebut.

Berdasarkan catatan Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Buleleng, terdapat 15 anak yang terpaksa berhenti sekolah sementara. Mereka terdiri atas tujuh orang di sekolah dasar, enam orang di sekolah menengah pertama, dan dua orang lainnya di sekolah menengah umum. Dengan pertimbangan demi kenyamanan, kesehatan, dan kemudahan pengaturan, Putu dan seluruh warga Desa Petandakan yang menginap di Polres Buleleng, dipindahkan ke Panti Asuhan Udiana Wiguna milik Pemkab Buleleng sejak Selasa siang.

HARI Minggu tanggal 26 Oktober 2003 menjadi hari kelabu bagi Nyoman Dangin (62). Tidak hanya terpaksa meninggalkan rumah dan mengungsi bersama seluruh keluarganya, termasuk ke Polres Buleleng, lelaki tua ini ini juga harus kehilangan dua dari delapan orang anaknya, Putu Negara dan Ketut Agustana, sekaligus di hari itu.

"Agustana sedang mencari hasil ronsen (rontgen) untuk persiapan berangkat kerja ke Jepang. Rencananya, bulan Oktober ini dia akan berangkat," tutur Nyoman. Tidak disangka, kepulangan Agustana dari Denpasar hari itu tidak ubahnya sekadar menyetor nyawa.

Dangin bertutur, ia sedang mengikuti rapat di Balai Subak di hari Minggu itu ketika mendengar kabar, rumahnya di Desa Petandakan akan diserbu massa. Bergegas pulang, Dangin bertemu anaknya, Putu Negara, baru saja tiba di rumah, sedangkan Ketut Agustana sudah berada di rumah sejak pagi. Beberapa saat kemudian, massa datang menyerbu dan melempari mereka dengan batu bahkan belasan panah dari batang bambu.

Dangin mengaku mengenal sebagian massa penyerbunya, yang satu desa dengan Dangin.

Meskipun kepala Dangin bocor terkena lemparan batu, lelaki tua ini mampu menghindar, namun sayang, salah satu panah mengenai lengan Agustana. Sementara Putu Negara tidak terlihat entah ke mana, sang istri, Ketut Kartini, berhasil lari menyelamatkan diri bersama ketiga anaknya.

"Ternyata, Negara sedang berusaha menenangkan massa. Ia dan Agustana dibawa ke luar rumah," kata Dangin dengan mata berkaca-kaca. Ketika kedua anaknya sedang berunding dengan massa di rumah salah seorang warga di pinggir jalan desa, Dangin mendengar seseorang berteriak ’untuk apa damai-damai, bunuh saja’.

Dangin mengaku tidak tahu siapa yang memulai, massa kembali merangsek kedua anaknya. "Negara sempat memegangi tangan penyerangnya yang menyabetkan pedang, namun kalah jumlah. Coba kalau satu lawan satu, saya yakin kami bisa mengalahkan sekitar 10 orang," kata Dangin.

Sabetan pedang dan golok, ayunan pentung kayu, bahkan batu, bertubi-tubi mengenai Putu Negara dan Ketut Agustana. Keduanya rebah di halaman, bersimbah darah. Dangin mengaku diselamatkan salah seorang warga sehingga nyawanya pun terhindar.

"Kalau mereka meminta damai, saya baru terima kalau kedua anak saya dihidupkan kembali," ujarnya dingin.

Korban jiwa dan harta benda akibat pergesekan antara dua partai politik besar berbeda kubu di Buleleng seolah-olah tidak pernah reda. Catatan Kompas menunjukkan, selama bulan Desember 1998 sampai Mei 1999, sedikitnya terjadi dua kali bentrokan berdarah antara massa Merah dan Kuning yang menelan sedikitnya sembilan korban jiwa.

Kematian Putu Negara dan Ketut Agustana pada Minggu lalu menambah panjang korban perbedaan pandangan politik di kabupaten ini. Padahal, masyarakat di Buleleng masih terbayang kerusuhan Mei 1998 yang hingga kini masih menyisakan puing-puing bekas bangunan terbakar.

Dangin juga mengakui, salah seorang keluarga mereka turut menjadi korban, rumahnya dirusak dan dibakar massa.

"Setelah bom, fokus Indonesia masih Bali, terutama berkaitan masalah keamanan. (Kasus) ini jelas perlu keprihatinan sangat dalam," kata Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) Pusat Saut Sirait seusai bertemu Bupati Buleleng.

Pertemuan dengan Bupati dan Kepala Polres Buleleng hari itu, menurut Saut, terkait upaya membangun suasana kondusif demi pemilu damai. Kepala Polres Buleleng AKBP Mohammad Safei menegaskan, polisi tidak akan membeda-bedakan sikap terhadap salah satu parpol dalam penegakan hukum. Intinya tak boleh ada lagi darah tumpah. (COKORDA YUDISTIRA)

Tidak ada komentar: